Melepas seorang anak ke perantauan itu berat. Dan kali ini, Nazilla harus merasakan hal itu.
Kepergian Avan di jam ketiga setelah pembicaraan mereka berdua membuat Nazilla harus tahu bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan meski banyak uang di tangan. Banyak orang berpikir, jika kita memiliki banyak uang, semua hal yang kita inginkan bisa tercapai dengan mudah. Nyatanya, bagi Nazilla itu hanya omong kosong belaka. Ia telah merasakan kehilangan banyak hal karena uang itu sendiri.
Nazilla kehilangan moment pertumbuhan putra pertamanya karena Avan dituntut untuk belajar sedini mungkin untuk menjadi pemimpin yang baik. Semua waktunya tersita dan digantikan dengan keterampilan-keterampilan yang menurutnya, tidak semua anak seusia Avan dapatkan.
Andai ia mau, Nazilla ingin sekali menemani tumbuh kembang Avan dan Vian dengan baik. Sayangnya hal itu tak bisa berjalan dengan sempurna, karena seorang raa itu diciptakan, bukan dilahirkan.
“Andai aku terlahi
“Ma, bolehkah aku tetap memanggil Mama, meski aku dan Vian sudah berpisah?” tanya Farrin.Wanita berambut pirang itu ragu jika permintaannya akan dituruti oleh sang mama mertua yang sebentar lagi akan menjadi mantan itu. Selama beberapa bulan kebersamaan ia dengan keluarga Avan dan Vian, kasih sayang dari seorang ibu yang didapatnya dari ibu mertua membuat Farrin terlena.“Sampai kapan pun, Farrin tetap putri Mama,” bisik Nazilla. Ia sudah menganggap Farrin sebagai putrinya, terlepas kepada siapa wanita itu melabuhkan hatinya. Sebagai orang yang sudah mengenal Farrin sejak lama, Nazilla tahu apa yang sudah menantunya itu alami. Karena itu, ia tahu pasti perpisahan mereka memiliki imbas lain.Pelukan mereka berakhir dan masing-masing mengusap air mata hanya dengan menggunakan tangan kosong. Tak ada pikiran untuk menggunakan tissu, atau apu tangan yang biasa dibawa di tas.“Ma, setelah ini kami berakhir. Entah ....”
“Jadi, bagaimana setelah ini, Nak? Sebenarnya aku sangat menyayangkan perpisahan kalian. Namun, mau bagaimana lagi? Sebagai seorang ibu aku tak bisa melakukan banyak hal,” ujar Nazilla. Wanita paruh baya itu meletakkan jus yang dipesannya lalu menatap ke netra biru milik Farrin, netra turunan dari sang ayah dan andai ia seorang pria, pasti orang-orang akan mengatakan bahwa ia adalah duplikat sempurna dari sang ayah.Oh, harusnya Nazilla katakan kemiripan itu pada putri dari sahabatnya ini.“Aku akan pergi, Ma.”“Pergi?”Farrin mengangguk. Sejak keputusan untuk berpisah antara ia dan Vian, Farrin belum bertemu dan berbicara secara leluasa seperti ini pada ibu mertuanya. Mungkin, ini saat yang tepat untuk membicarakan hal itu. Mengingat ia sedang berwaktu luang dan tanpa ditemani Vian.“Aku akan memenuhi beasiswa kelanjutan pendidikanku.” Farrin menjawab itu dalam satu tarikan napas.“Kau m
“Ikutlah denganku!”Sebuah suara membuyarkan lamunan Farrin yang tengah berdiri menunggu taksi. Di depannya, berhenti sebuah sedan hitam mengkilap dengan kaca jendela yang diturunkan dan menampilkan seseorang yang sudah ia kenal.“Maaf, aku sedang terburu-buru dan tak bisa ikut denganmu,” tolak Farrin dengan halus.Sungguh! Farrin sama sekali tak mengada-ada atau membuat alasan saat tadi ia mengatakan pada Nazilla bahwa kini ia sedang terburu-buru. Ia memang lupa jika ada janji yang menunggu dan itu berkaitan dengan kepergiannya ke Finlandia.“Aku akan mengantarmu. Ikutlah atau kau akan menyesal.”“Baiklah! Kuharap kau tidak akan mengecewakanku, Rizuki.”Farrin langsung membuka pintu mobil dengan kasar dan masuk ke dalam dengan perasaan dongkolnya, tetapi tak ia tunjukkan secara jelas. Saat ini, Farrin masih cukup sadar untuk tidak membuat Rizuki marah karena aura yang dikeluarkan wanita itu cu
“Ma, aku merindukan Farrin.”Sudah dua minggu Vian tidak bertemu dengan Farrin. Alasannya? Sudah jelas karena wanita itu menghindari Vian. Ia memanfaatkan waktu sibuk prianya di perusahaan dan mencari tempat yang tak mungkin ditemukan.“Bukankah tadi kau sudah cukup memandanginya?” tanya Nazilla. Sebagai seorang ibu, perasaan peka Nazilla membuatnya tahu bahwa Vian ada di sekitar mereka dan mengawasi Farrin dari jauh. Hal itu diperkuat dengan Vian yang sesekali menunjukkan eksistensinya ke Nazilla. Kebetulan? Tentu saja tidak.Vian sudah menduga bahwa Farrin akan datang ke bandara untuk melihat kepergian Avan. Farrin tak akan setega itu untuk melewatkan kepergian terakhir pria yang pernah menjadi kekasih hatinya itu. Vian tahu, dan ada rasa di hatinya ingin menemui Farrin dan mencegahnya mengucapkan selamat tinggal pada sang kakak. Namun, hal itu ia urungkan begitu saja karena tahu jika Farrin tak akan berbuat yang lebih dari memandang.
“Jujur saja, Ma. Aku merasa hancur setelah Papa pergi. Hingga aku memutuskan untuk hidup sendiri, percayalah! Itu adalah bentuk pelarian atas rasa kehilanganku,” aku Vian.Pandangan Vian menatap lurus ke depan dan Nazilla tahu bahwa ucapan itu memang keluar dari hatinya. Ia tahu, semua memang tidak bisa diutarakan dengan gamblang karena tertahan banyak hal. Entah itu emosi, ketidaknyamanan, atau ketidakinginan karena ingin memikul beban itu sendiri. Kini, Vian seolah melepas beban itu dan mengeluarkan apa yang telah lama ia pendam.“Mama bisa mengerti itu, Nak. Kita semua kehilangan Papa dan tidak ada satu pun dari kita yang tak merasakan hal itu. Hanya saja, Mama menyayangkan sikapmu yang memilih lari dan tidak bertahan lalu saling menguatkan.”Pandangan Vian yang semula menatap lurus, kini menunduk. Ia bisa mengerti semua itu. Apa yang ibunya katakan memang benar bahwa seharusnya ia ada di sana dan saling menguatkan. Jika itu terjadi, m
Benar, kan?Vian kini memiliki banyak uang karena pendapan perusahaan sudah mulai beralih pada rekeningnya. Sayang, semua itu tak akan bisa membayar siapa pun untuk mempertahankan Farrin di sisinya. Wanita yang menjadi cinta pertamanya itu akan tetap pergi tak peduli sebanyak apa pun harta yang ia punya.“Ma, Farrin adalah cinta pertamaku,” ujar Vian. Ia meremat rambutnya yang kini mulai memanjang karena Farrin tak memperhatikannya lagi. Sebelum ini, Farrin akan berkomentar jika rambutnya mulai memanjang. Sedang Lena, wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya itu tak pernah mengomentari sepanjang apa pun rambutnya. Ah, apa ia harus memanjangkannya seperti milik Avan?Itu ide bagus karena mereka adalah kembar yang identik dari segi penampilan, bukan proporsi tubuh secara detail. Jadi, kali ini ia akan mencoba hal baru dengan meniru penampilan kembarannya yang kini telah berada jauh darinya.Tak peduli apa kata orang yang mengatakan jika ia ber
“Jika begini, aku pun tak tahu harus bagaimana, Ma. Mengapa harus kesalahan yang kubuat menjadi sebegini fatal? Aku tak mau hal ini terulang lagi di kemudian hari,” ujar Vian. Ia menunduk dan menatap lekat jemari yang kini bertautan dan berkeringat entah karena apa.“Mama tahu. Kita semua memang pernah dalam keadaan yang sulit dan Mama yakin, kau pasti akan sanggup menjalaninya. Hanya saja, Mama minta untukmu tidak menyerah, Vi. Sebentar lagi kau memiliki seorang anak, yang ototmatis statusmu berubah menjadi ayah. Seorang ayah harus kuat untuk menjadi penopang dan pelindung anak dan istrinya. Jika kau lemah, siapa yang akan melindungi keluargamu?”Tuk!Kepala Vian diantukkan ke kemudi bulat itu. Memang tak sakit, tetapi cukup untuk membuat Nazilla meringis karenanya. “Mama tahu kamu frustasi. Tapi mengantukkan kepalamu seperti itu tak akan membuatmu amnesia,” ujarnya.“Maksud Mama?”“Ya, Mama pi
Mereka panik!Bukan sebab kecelakaan, kehilangan uang, saham atau apa pun, melainkan karena tiba-tiba saja Farrin tak bisa dihubungi. Awalnya, Nazilla berniat menghubungi calon mantan menantunya itu di jalan menuju minimarket tempat biasa mereka berbelanja yang letaknya tak jauh dari rumah utama. Namun, apa mau dikata saat ponsel Farrin tak bisa dihubungi sama sekali dan operator mengatakan jika ponselnya di luar jangkauan jaringan.Nazilla mengingat dengan jelas saat tadi ia sempat melihat bahwa baterai di ponsel Farrin hanya berkurang seperempatnya saja. Jadi, jangan salahkan ia jika mencurigai hal ini. Otak kritisnya benar-benar mengatakan jika ada hal yang tidak beres. Karena setahunya selama ini, Farrin bukan orang yang dengan mudahnya mematikan ponsel. Juga, area kota tak memiliki titik buta akan jaringan.Begitu ponsel Farrin tak bisa dihubungi, Nazilla langsung menyuruh Vian untuk mengantarnya ke sekolah tempat Farrin mengajar. Sesampainya di sana, pihak
“Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar. “Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini. “Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.” Ah, panggilan yang Farrin rindukan. Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu
Farrin menerima kenyataan jika Avan tak akan menerimanya karena ia sekarang sudah menjadi bekas sang adik. Dengan perlahan, ia kembali menatap kolam dan mengusap lembut perut datarnya. Tempat di mana nyawa lain kini tengah bersemayam dan menunggu untuk bertumbuh. “Avan dengan senang akan mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak yang kau kandung,” ujar Rizuki. Ia memahami apa yang membuat Farrin murung. “Apakah bisa? Aku takut jika ....” “Jika dia akan lebih menyayangi anak kandungnya nanti jika kau memutuskan bersamanya?” Farrin mengangguk. Sudah Rizuki duga jika Farrin akan berpikir seperti itu. Sebelum ini, keduanya sudah membahas bahwa ia tak akan mempermasalahkan jika Farrin ingin kembali bersama Avan. Wanita berdarah Jepang itu juga mengatakan bahwa Avan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang sudah ia lakukan pada mantan kekasihnya itu. Avan murni pergi tanpa mengetahui apa pun tentang keberadaan Farrin. Awalnya, Farrin memutuskan un
“Dia tuanku.” Hanya jawaban itu yang bisa Farrin dengar dari bibir Natsu dan membuat wanita yang masih hamil muda itu mendengus kesal. Tentu saja, siapa pun di rumah ini pasti tahu kedudukan pria itu bagi Natsu. Namun, bukan jawaban itu yang Farrin butuhkan. Ia ingin jawaban yang lebih bagus dan spesifik dari hal itu. Alhasil, Farrin mendiamkan Natsu dan sama sekali tak menyentuh apa pun yang Natsu siapkan untuknya. Ia merasa jika selama ini idirinya menjadi boneka yang bisa dipermainkan oleh semua orang. Setelah permainan Avan dan Vian, disusul Rizuki, lalu kini Natsu. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu istri dari pria misterius yang mendatanginya kemarin dan mencari jawaban darinya. Tanpa disadari, waktu sudah berjalan cepat dan hari telah berganti. Meninggalkan Farrin yang masih enggan memasukkan apa pun ke mulutnya karena rasa kesal. Alex bahkan Natsu menyerah untuk membujuknya, bahkan ketika Natsu membujuk dengan jiwa yang Farrin bawa bersamanya pun, Far
“Kau, siapa?” tanya Farrin. Ekspektasinya akan Avan menghilang begitu saja kala ia mendapati sosok pria yang tak ia kenal sama sekali. Pria berbadan tegap, memiliki mata sipit khas Jepang, dan kulit kuning kecoklatan yang dibalut dengan tuxedo. Dari yang ia fahami, pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ia singgung dengan mudah.“Konnichiwa (selamat siang),” ujar pria itu sambil memberi salam khas Jepang. “Boku no nawae wa Daisuke desu, yoroshiku. (Namaku Daisuke, salam kenal)”Farrin hanya bisa mematung dan menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Alex yang berdiri seolah tengah mengawal pria itu. Mungkin, Farrin sedikit syok atau tidak mengerti apa yang diucap oleh pria itu.“Ah, Rin-chan. Maksud Tuan, beliau sedang memperkenalkan diri.” Natsu tiba dan berusaha menjelaskan siapa pria yang sedang duduk itu. Natsu mengerti, Farrin pasti tidak paham dengan ucapan pria yang memperkenalkan diriny
Setelah Farrin meminta sarapan di waktu dini hari dan Alex serta Natsu mencurigai sesuatu, keduanya sepakat untuk melakukan serangkaian tes dan pertanyaan hingga mereka mengambil kesimplan bahwa Farrin memang membawa nyawa lain di tubuhnya. Bahkan, untuk menegaskan kesimpulannya, Alex sengaja pergi mencari apotek saat matahari telah terbit dan membeli alat tes kehamilan instan. Alex maupun Natsu sudah menduga jika hasilnya akan berakhir positif, tetapi tidak dengan Farrin. Ia masih merasa tidak percaya. Kegagalannya beberapa waktu lalu untuk melihat dua tanda garis pada alat itu membuat ia berkecil hati dan enggan berharap lebih. Memang, apa yang bisa Farrin harapkan? Sedangkan meski ia positif pun, keputusan perceraiannya dengan Vian sudah mencapai tahap final. Jadi, ia merasa jika lebih baik untuk menyembunyikannya saja. Toh, meski Vian tahu pun, ia tak bisa memberi keluarga yang baik untuk calon anaknya kelak. Vian sudah memiliki Lena di sampingnya dan akan memili
Begitu selesai, Alex segera menuju dapur dan mendapati Natsu serta Farrin yang terduduk dan seperti menunggu kedatangannya. Alex tak tahu jika kehadirannya begitu ditunggu dengan antusias seperti ini. Ah, ia jadi menyesal saat ia berniat untuk mengulur waktu di kamar mandi dan berharap dua wanita yang hidup dengannya itu tak betah menunggu dan pergi tidur. “Maaf, Nona. Aku harus menyelesaikan sesuatu tadi,” jelas Alex. Ia tak ingin Farrin menuduhnya yang tidak-tidak, sedangkan yang sebenarnya memang ia tidak ada kegiatan sama sekali. Farrin menggeleng kecil dan tersenyum, lalu berkata, “Iya, tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi, ya. Jaa ... ayo masakkan aku ramennya. Dua, ya. Aku ingin makan dengan Natsu-chan juga. Ah, tiga kalau juga ingin, ya. Aku tak ingin kau hanya diam dan melihat kami makan.” Ah sial! Ingin rasanya Alex mengumpati Farrin. Natsu, kan, bisa membuatnya sendiri, mengapa ia yang harus disuruh untuk membuatkannya juga. Ia yakin, Natsu bisa membu
“Alex,” ujar Natsu. Ia menggoncang pelan tubuh Alex yang tengah terlelap di futon—kasur lantai khas Jepang, yang ada di kamarnya. Natsu mungkin merapal untuk meminta maaf untuk nanti, tetapi ia juga bersyukur karena Alex tidak mengunci pitu kamarnya.“Ada apa, Nats?” tanya Alex dengan pelan. Jika saja tuan yang memerintahkannya untuk menjaga Farrin ada di sini, sudah pasti ia akan mendapat hukuman karena menurunkan tingkat kewaspadaan. Karena bagaimanapun juga, Alex adalah seorang penjaga dan tugasnya adalah memiliki kewaspadaan yang tinggi. Dan membiarkan kamar tidak terkunci dan seseorang bisa masuk sembarangan adalah suatu kesalahan yang fatal.“Oh, tidak! Nats!” sergah Alex. Ia baru ingat jika tak mengunci kamar. Lalu, apakah ada suatu hal yang membuat wanita itu panik seperti ini?“Apa, lex?”“Aku lupa mengunci pintu dan menurunkan kewaspadaanku. Seharusnya aku tidak menuruti perkataan Farri
“Vi, hentikan pencarianmu tentang Farrin.”Dengan satu kali tombol ditekan, pesan suara yang Nazilla kirimkan kini terkirim pada ponsel Vian. Ia sudah memutuskan untuk mengalah dan membiarkan Farrin lepas dari tanggung jawabnya. Setelah ini, ia hanya bisa berharap jika wanita itu bisa menemukan bahagianya sendiri, atau setidaknya menemukan orang yang mencintainya.Bukankah dicintai lebih baik ketimbang mencintai?Sebagai orang yang sudah melewati lima dasawarsa alam hidupnya, Nazilla mengerti betapa hidup terkadang tidak bisa kita kendalikan meski ada banyak uang di tangan kita. Padahal, tak sedikit dari mereka yang mengatakan bahwa jika kau memiliki uang, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan.Mungkin mereka benar, tetapi bukan berarti harus dijadikan sebagai sebuah pembenaran.Nazilla sendiri yang mengalaminya tanpa ada bantuan cerita dari orang lain. Kini, meski uang dan kekuasaan bisa ia pegang, satu wanita untuk kebahagiaan pu
“Ap-apa maksudmu, Ri?” Badan Nazilla mengalami tremor kecil saat Rizuki menyelesaikan ucapannya. Semakin lama, Wanita paruh baya itu semakin merasa terancam saat wanita yang enggan duduk itu mengatakan banyak hal. Bahaya! Ia bisa mencium ada tanda-tanda bahaya untuk nanti.“Mama sangat tahu apa yang kumaksud, tapi masih menanyakannya padaku? Biar kuberitahu satu hal, Ma. Biarkan Avan bersama dengan Farrin dan mereka menjemput bahagianya. Putra kesayanganmu sudah bertemu dengan wanita yang pas untuknya. Wanita yang mencintainya dan memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang bisnis. Sebagai orang yang kau anggap anak juga, aku mengatakan hal yang sebenarnya dan berharap Mama bisa mengerti.”Rizuki melirik Nazilla sekilas lalu melanjutkan, “Yang Mama tuduhkan, bahwa aku tidak adil pada kedua orang itu semata-mata juga karena Mama sendiri. Perlukah aku mengatakan semua hal yang membuat Mama bisa berpikir bahwa apa yang Mama lakukan adalah sebua