Untuk menenangkan diri, Dareen menyalakan radio mobilnya. Sebuah tembang lawas segera mengudara.Kalau sudah tiada, baru terasaBahwa kehadiranmu, sungguh berhargaDareen tersenyum kecut, kemudian mematikan kembali radio itu."Cih, aku benar-benar seperti pecundang. Musik pun menertawakanku," oceh Dareen, lalu menjalankan mobilnya, meninggalkan jalanan yang semakin ramai.Sepanjang jalan pikiran Dareen tak fokus. Beberapa kali ia nyaris menyenggol mobil lain kala menyalip.'Di mana sebenarnya kamu, Arisha?' Keresahan Dareen tak ubahnya seperti seorang suami yang ditinggal pergi oleh istrinya.Di restoran Rasyad, Arisha, yang tak sadar bahwa kepergiannya mengacaukan pikiran Dareen, ternyata sedang menikmati makan siang tanpa beban."Gimana, enak?" tanya Rasyad, setelah Arisha memasukkan suapan pertama ke mulutnya.Arisha mengangguk-angguk dan tersenyum semringah. "Eeehm … ini lezat sekali!""Syukurlah. Aku senang kau menyukainya." Rasyad ikut tersenyum senang.Entah kenapa, melihat sen
"Huuu … cantik-cantik, tapi barang obral!" "Telanjangi aja dia!" "Iya. Rekam! Biar viral sekalian!" Beragam cemooh yang memojokkan Arisha bersahut-sahutan dari mulut ke mulut. Arisha tak kuasa membendung derai air mata luka. Baru saja ia merasa hidupnya tenang, kini kembali diterpa badai gara-gara bertemu dengan Nadine. 'Ya, Allah! Kenapa dunia ini sempit sekali?' "Ayo mandikan dia! Tubuhnya terlalu kotor!" Entah siapa yang berteriak, tapi ajakan tersebut benar-benar menggerakkan kaum hawa di dalam restoran itu untuk melakukan aksi serentak. Mereka mengambil minuman masing-masing, kemudian menyiramkannya kepada Arisha. Arisha yang dipegang kuat oleh Nadine dan temannya sama sekali tak bisa menghindar dan hanya mampu memejamkan mata. Mencegah air tersebut masuk ke matanya. Akibatnya, tubuhnya basah kuyup. "Telanjangi dia!" Tangan-tangan marah mulai menggerayangi badan Arisha. "Hentikan! Kumohon!" lirih Arisha, mengiba. "Aku sungguh tidak bersalah. Aku juga korban." Namun, t
"Tenangkan dirimu! Jangan pikirkan kata-kata wanita gila itu!" Rasyad menghidangkan secangkir teh hangat untuk Arisha yang duduk di sofa dengan tubuh gemetar. Arisha mendongak, menatap sendu pada Rasyad. "Aku menyedihkan, bukan?" Rasyad menggeleng. "Di mataku, kau wanita istimewa dengan kesabaran yang luar biasa," kata Rasyad, tersenyum hangat. "Wanita lain mungkin akan balas mencakar atau menjambak rambut perempuan gila itu. Setidaknya, mereka akan balas memaki." Arisha tersenyum kecut. "Aku tahu kamu hanya sedang mencoba menghiburku. Terima kasih! Setidaknya, masih ada seseorang yang peduli padaku." Tidak mudah menghapus goresan luka, apalagi bila luka itu dikemas dengan rasa malu. Rasyad memahami perasaan Arisha. Ia turut prihatin. "Sebaiknya kau bersihkan tubuhmu! Kau pasti merasa tidak nyaman." Benar. Arisha merasakan kulitnya lengket dan menguarkan aroma tak sedap. "Kamu tak ada bedanya denganku," sahut Arisha, memperhatikan penampilan Rasyad yang mirip lukisan abstrak.
'Arisha, kenapa kamu tega sekali meninggalkan kami tanpa kata?'Dareen menapak tangga dengan langkah gontai. Seluruh persendiannya terasa lunglai hingga ia butuh berpegangan, agar tak menggelinding jatuh."Tuan kenapa ya? Kok kelihatannya lesu banget," gumam Bi Minah, berbicara pada diri sendiri. Keningnya mengerut heran, menatap Dareen yang menyeret langkah berat menuju lantai atas.Tiba di kamar, Dareen menaruh kunci mobil di atas nakas, lalu mengempaskan badan ke kasur. Ia lelah, benar-benar kehabisan tenaga. Bukan karena sibuk bekerja, melainkan memikirkan Arisha yang kini entah di mana.Dareen memejamkan mata seraya menumpukan sebelah lengan di atas kening.'Arisha tidak punya siapa-siapa di kota ini. Bagaimana kalau dia diculik dan menjadi korban kejahatan?'Dareen terbelalak, kemudian terlonjak duduk."Arisha! Aaargh!"Dareen menjambak rambutnya dengan frustrasi. Hatinya sungguh resah membayangkan hal-hal buruk menimpa Arisha.Ingatannya tiba-tiba kembali melayang pada kejadian
"Akh!" Arisha merintih. Sebelah kakinya terperosok ke dalam lubang. "Kau baik-baik aja?" "Hm. Aku … cuma kaget," kilah Arisha, memijat pergelangan kakinya seraya menyapukan pandangan pada permukaan pasir basah yang diinjaknya. 'Aneh, padahal semua terlihat datar.' Arisha membatin heran. Sedari tadi hatinya diselimuti perasaan gelisah yang berkepanjangan. Pikirannya selalu tertuju pada Silla. 'Lagi apa ya Silla sekarang? Apakah dia makan dengan baik dan bisa tidur nyenyak?' Walau belum genap sebulan Arisha menghabiskan hari bersama Silla, dia hafal kebiasaan gadis itu. Silla mulai bergantung padanya dalam berbagai sisi. 'Ya Allah, tolong jaga Silla untukku!' "Ayo, berdiri dan menepi! Ombaknya makin besar." Ajakan dan sentuhan Rasyad pada lengannya memutus lamunan Arisha tentang Silla. Arisha melempar pandang ke laut lepas. Gulungan ombak saling berkejaran dan berlomba untuk mengempas pantai. Siap menghapus jejak yang menggores luka pada permukaan pasir. Melihat pasang kian na
"Silla sudah tidur?" Nyonya Hart melangkah pelan, mendekati ranjang perawatan Silla. Dareen yang baru saja menyelimuti Silla menoleh dan menatap Nyonya Hart dengan tatapan dingin. "Apa Oma benar-benar peduli?" "Apa maksudmu berkata begitu? Silla adalah putri dari cucuku. Dalam tubuhnya juga mengalir darahku." Nyonya Hart menjawab tak senang dengan sindiran Dareen. "Kurasa tidak. Oma hanya peduli pada diri Oma. Oma bertahan di tempat ini, itu karena Oma tidak ingin disalahkan, bukan karena benar-benar merasa bersalah, apalagi menyesal." "Dareen! Jaga bicaramu! Aku ini omamu." Khawatir suaranya akan membangunkan Silla, Dareen menjauh dari ranjang. "Oma, sejak dulu Oma tak pernah memikirkan perasaan kami. Yang Oma pedulikan hanyalah bagaimana menjaga citra diri dan nama baik Oma di hadapan publik. "Itu juga kan yang menjadi alasan Oma mengusir Arisha? Oma takut dia akan mengambil hati Silla dan aku jatuh cinta padanya. "Oma akan merasa malu jika hal itu terjadi. Karena, sama sep
"Kak, ke mana aja sih? Telepon juga nggak diangkat," omel Irsyad begitu Rasyad melangkah masuk ke rumah. "Bisa nggak ngomelnya ditunda dulu? Arisha mau lewat. Kasihan, dia kedinginan." Saat itulah Irsyad baru memperhatikan Arisha yang terhalang pintu, lantaran ia hanya membuka sebelah daunnya. "Lho, Kakak cantik kenapa? Kakinya cedera lagi?" Irsyad cukup jeli mengamati sebelah kaki Arisha yang berjingkat. "Kalau udah tahu, minggir!" Rasyad mendorong adiknya, kemudian memapah Arisha untuk naik. Sebenarnya ia tak keberatan membopong gadis itu hingga ke kamar, tapi Arisha menolak keras. Rasyad maklum. Mungkin Arisha segan dengan penghuni rumah yang lain. "Eh, ngapain bengong di situ?" seru Rasyad pada adiknya yang masih tegak mematung di depan pintu. "Cepat ambilkan kompresan untuk Arisha!" "I–iya." Buru-buru Irsyad menutup pintu, lalu beranjak ke dapur. "Kamu kok marah-marah sama Irsyad? Dia udah bela-belain bukain pintu untuk kita," protes Arisha, khawatir Irsyad akan tersingg
Berbeda dengan Arisha yang merasa damai di rumah Rasyad, Dareen justru tak bisa menjalani hari dengan tenang. Setiap detik berlalu, ia lalui dengan perasaan gelisah. Terlebih jika mendengar jerit pilu yang mengudara dari bibir lemah Silla saat menyerukan nama Arisha. Hati Dareen tercabik-cabik. Ingin rasanya ia menghadirkan Arisha detik itu juga di hadapan Silla, tapi sampai sekarang ia tak jua menemukan jejak keberadaan gadis itu. "Gimana? Ketemu sama Arisha?" tanya Dareen, menengadah pada James yang baru saja tiba. "Aku sudah mengerahkan dan menyebar orang-orang kita di beberapa titik, termasuk supermarket yang kau ceritakan itu, tapi … masih belum menemukannya." Dareen tertunduk lesu. Entah sudah berapa lama ia duduk di sofa itu, merenungi kepergian Arisha seraya mengawasi Silla yang sedang tidur. "Kerahkan lebih banyak lagi! Aku tidak tega melihat Silla terus mengigau." Tak terasa, bulir bening menggelinding jatuh dari sudut mata Dareen. "Silla sangat membutuhkan Arisha. Kal
"Sayang, kamu kembali? Aku mencemaskanmu." Dareen melesat menyongsong Arisha begitu mendengar derit pintu dibuka. "Jangan menyentuhku!" Arisha menepis tangan Dareen yang ingin memeluknya. "Ya Allah, Sayang … aku sudah mandi lho …." Arisha mendelik. "Mandi sana! Atau kamu tidur di sofa!" Dareen garuk-garuk kepala. Wanita kalau cemburu, semua jadi salah. "Ini sudah malam banget, Sayang. Nanti kalau aku masuk angin, bagaimana?" Arisha menulikan telinga. Ia naik ke atas kasur, lalu bersandar di kepala ranjang sambil bersedekap tangan. Tatapan tajamnya menembus manik kelabu milik Dareen. Dareen merasa semakin serba salah. "Serius … aku harus mandi lagi nih?" "Terserah. Aku nggak maksa." Dareen tersenyum lebar. Mudah sekali membujuk Arisha. "Terima kasih, Sayang!" "Tidur di sofa!" Arisha melempar bantal. Senyum Dareen lenyap. Terlalu cepat ia melakukan selebrasi. Ah, ternyata dia salah memahami makna kata terserah yang terucap dari bibir Arisha. "Ya, ya. Aku mandi lagi." Dareen
"Heh, siapa yang menggoda suamimu? Della? Tidak mungkin. Dia bukan wanita murahan dan bodoh seperti kamu!"Ratih tak terima putri semata wayangnya dianggap sebagai wanita penggoda."Oh ya? Terus apa namanya kalau perempuan masuk ke kamar orang lain dan memeluk laki-laki yang bukan suaminya? Perempuan terhormat tidak akan menyerahkan diri pada laki-laki yang baru dikenal, Tante." Arisha menyeringai sinis. "Dia bahkan dengan tak tahu malu memanggil suamiku sayang. Apa begini hasil didikan, Tante?"Ratih mengeritkan gigi. Kesal lantaran Arisha kini berani melawan kata-katanya."Setelah meninggalkan hotel ini besok, Tante, terutama putri kesayangan Tante ini, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Sombong kamu sekarang ya! Kamu lupa siapa yang merawat dan membesarkanmu selama ini? Kalau bukan karena tante yang menampungmu, kamu sudah jadi gembel di jalanan."Arisha mencebik. "Tentu aku tidak pernah lupa, Tante. A—""Bagus kalau kamu sadar. Pikirkan juga bagaimana caranya kamu membalas
"K–kamu mengusir kami? Keluarga istri kamu sendiri?"Kenyataan yang terjadi tak semanis impian Ratih. Sungguh ia tak percaya Dareen akan mengusir dirinya dan Della."Saya rasa apa yang saya katakan sangat jelas. Ayo!" Dareen bangkit dan mulai mengayun langkah menuju pintu."Ma, bagaimana ini? Masa kita balik lagi ke kampung?" rengek Della, berbisik resah di telinga Ratih."Sudah. Ikuti saja dulu! Rencana selanjutnya bisa kita pikirkan nanti."Meski enggan, Ratih dan Della tak punya pilihan selain mengikuti Dareen ke hotel."Wah, Ma … akhirnya kita bisa merasakan tidur di hotel." Della tersenyum semringah, duduk mengempas-empaskan pantatnya pada permukaan kasur."Iya, tapi cuma malam ini," keluh Ratih dengan muka ditekuk masam. "Pasti anak pembawa sial itu menjelek-jelekkan kita di hadapan suaminya. Kalau tidak, mana mungkin suaminya itu mengusir kita. Argh, padahal mama sudah membayangkan hidup enak jadi nyonya besar."Ratih menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kasur. "Eh, benaran empuk
Dua minggu kemudian, Arisha baru saja selesai dirias."Waah, Non Arisha cantik banget," puji Bi Minah dengan pupil yang membesar. "Tuan bakal makin klepek-klepek ini mah.""Apaan sih, Bi. Nggak jelas banget." Pipi Arisha merona merah jambu."Ho oh, Mommy. Mommy kayak princess. Sumpah!" Silla ikut mengacungkan dua jempol."Apakah pengantin wanita sudah siap keluar?" Seorang wanita masuk ke ruangan itu. "Acara akan segera dimulai.""Siap! Siap! Aman!" sahut sang penata rias.Arisha melangkah pelan dengan kepala tertunduk malu ketika MC memanggil dirinya dan Dareen untuk keluar dan naik ke pelaminan."Angkat kepalamu! Saatnya kamu bangga dengan diri sendiri," bisik Dareen, menghadirkan rasa geli di telinga Arisha. "Kamu wanita hebatku. I love you!"Tiga kata terakhir dari Dareen mampu memantik rasa percaya diri Arisha yang sempat tenggelam dilindas hinaan dan cacian oleh orang-orang di sekitarnya.Senyum lebar merekah di bibir Dareen. Menyaksikan Arisha mulai menerima diri sendiri sunggu
"Sayang, Silla anak yang kuat. Silla akan sembuh." "Tapi … Mommy kok nangis? Semua orang juga pada nangis. Silla takut mati, Mommy." Arisha memeluk Silla dengan sebelah tangannya yang bisa bergerak bebas. "Cup, cup. Silla salah paham, Sayang. Mommy … dan semua yang ada di sini nangis, itu … karena terharu Silla akhirnya sadar dan akan segera sembuh." "Benarkah?" Silla memandangi wajah orang yang mengelilinginya satu per satu. Mereka kompak mengangguk tanpa sanggup mengucapkan kata-kata. Arisha mengambil gelang di tangan Dareen. "Lihat! Mommy punya dua gelang. Satu untuk mommy, satu untuk Silla. Silla mau?" "Mau, mau!" Silla menjawab antusias, lupa akan kesedihannya barusan. Sejenak Arisha memilah gelang mana yang akan diberikannya pada Silla. Akhirnya, ia memakaikan gelang bernama Arisha Ayuningtyas kepada Silla. "Di balik gelang ini, terukir nama mommy. Nanti, walaupun Silla nggak bisa melihat mommy karena terhalang jarak dan waktu, percayalah … mommy selalu ada di dekat Sil
"Silla takut." Silla menarik tangan Dareen. Sementara matanya tertuju pada Bian. "Lho, kenapa takut, Sayang? Om itu bukan orang jahat kok. Justru Om itu telah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Silla." Dareen mengelus lembut punggung jangan Silla. "Benarkah?" "Iya. Om itu saudara mommy." Silla kembali tenang dan memberanikan diri untuk membalas senyum Bian. "T–terima kasih, Om," ujar Silla, sedikit gugup. "Iya. Anak manis. Cepat sembuh ya …." Bola mata Bian terus bergerak memindai wajah Silla dan Arisha. Otaknya berpikir keras. Tidak mungkin ada begitu banyak kebetulan tentang kemiripan Silla dan Arisha. "Tuan Hart, bisakah kita bicara empat mata?" "Tentu. Mari kita ngobrol sambil minum kopi, tapi … tunggu sampai omaku tiba di sini. Tidak mungkin kita meninggalkan mereka berdua, bukan?" "Oh. Oke." Sepuluh menit berselang, Nyonya Hart datang dengan langkah tergesa-gesa. "Silla, Sayang. Oma senang kamu akhirnya sadar. Terima kasih. Kamu anak yang kuat!" Nyonya Hart men
"Kamu masih marah? Maaf, aku tidak bermaksud untuk membohongimu. Aku … hanya belum menemukan waktu yang pas untuk menceritakan semuanya." Dada Dareen terasa sesak mendapat perlakuan tak acuh dari Arisha. Semenjak kejadian di dekat ruang ICU, Arisha masih melakukan aksi tutup mulut dengannya. Sekarang saja Arisha berbaring sambil membuang muka. Gadis itu bahkan menjauhkan tangannya saat merasakan jemari Dareen menyentuh kulitnya. "Arisha, kamu boleh memakiku, tapi tolong … jangan mendiamkanku. Aku akui aku salah karena tidak jujur sejak awal." Arisha mengerti Dareen tentu memiliki alasan untuk menyimpan jati diri Silla dari dirinya. Hanya saja, ia tetap merasa kecewa. "Kalau kamu tidak bisa memercayaiku, tidak ada alasan untuk mempertahankan pernikahan ini." Akhirnya Arisha mau juga bicara. Kepercayaan terhadap pasangan merupakan salah satu pilar utama bagi kokohnya mahligai rumah tangga, selain kejujuran, saling menyayangi, dan menjaga komunikasi. "Arisha, aku belum memberitah
"James, kumpulkan karyawan yang sehat dan biasa mendonorkan darah! Silla butuh darah cepat." "Siap, Bro. Golongan darah apa?" "B negatif." "Kok bisa sama ya?" celetuk James dengan kening mengerut. "Apanya yang sama?" "Itu … golongan darah Silla. Kok sama dengan Arisha. Kebetulan yang aneh." Dareen termangu. Kenapa dia bisa lupa bahwa Arisha juga memiliki golongan darah B negatif. "Jangan ngaco! Walaupun golongan darah mereka sama, aku tidak mungkin meminta Arisha untuk mendonorkan darahnya. Dia bahkan masih dirawat." "Siapa yang butuh darah Arisha?" Dareen dan James menoleh kaget. "Tuan Bian," ucap keduanya serentak. "Ya. Aku sempat mendengar kalian menyebut nama Arisha." Bian menatap Dareen dan James bergantian. Akhirnya Dareen yang menjawab. "Putriku kritis dan butuh darah. Kebetulan golongan darahnya sama dengan Arisha." "Kalau begitu, izinkan aku membantu." "Tapi, Tuan … Anda belum lama mendonorkan darah pada Arisha." "Tidak masalah. Waktu itu cuma satu kantong. Lag
"Aku berhasil mendapatkan rekaman CCTV dari bangunan di seberang sekolah," lapor James seraya menyodorkan ponselnya pada Dareen, yang sedang sibuk di belakang meja kerjanya. "Lihat ini! Hanya saja, gambarnya tidak begitu jelas." Dareen mengambil ponsel dari tangan James. Matanya menyipit, memperhatikan setiap detail gerak yang terekam dalam potongan video tersebut. "Aku seperti mengenali postur tubuh wanita yang mendekati Silla," komentar James, terlihat berpikir. "Tapi, aku tidak yakin tebakanku benar." "Anggita!" seru Dareen, terlonjak tegak. Mukanya menegang. "Aku yakin wanita dalam rekaman ini adalah Anggita. Walaupun dia memakai seribu topeng, aku tidak akan pernah salah mengenalinya." "Ah, pantas saja aku merasa tidak asing. Eh, bukankah kalian sudah putus?" "Dia gila!" Dareen mengirimkan rekaman tersebut ke ponselnya, lalu mengembalikan gawai milik James. "Ayo, ikut aku!" "Rasanya, tidak mungkin Anggita membawa Silla ke apartemennya." James meneleng seraya menggeleng tak