Saat orang misterius itu hendak akan menggapai pundaknya, Alieen langsung memukul kuat sosok itu dengan botol yang digenggamnya. Suara rintihan sosok itu seolah tidak asing lagi di telinganya. Alieen lantas mendongakkan kepalanya sedikit, dan ia melihat jika orang misterius itu adalah orang yang sangat ia kenal. Ia sangat terkejut dengar kehadiran sosok tersebut.
“Aw, sebegitu dendamkah lo sama gue?”
“Shintia! Kok lo ada di sini?”
“Iya, gue kesini karena mau belanja bahan kue. Btw lo...”
“Apa?”
“Lo pasti belum ada kelompok kan buat bazar minggu depan. Lo sekelompok sama gue saja, ya?”
“Huh? Sekelompok sama lo, yakin?”
“Iya lah, gue kurang satu anggota kelompok lagi. Lumayan kan nanti kalau kita bisa dapat nilai plus gede?”
Sejujurnya Alieen terkejut mendengar ajakan Shintia, ini sama sekali tidak sesuai dengan ekspektasi nya.
<“Kenapa baru sampai rumah?” tanya Bintara yang menatap sinis Alieen dan Bagas. “Kok lo udah di rumah sih? Gak mau tinggal lama aja di rumah sakit?” Alieen berusaha mengubah topik, tapi Bintara tidak menghiraukannya. “Apa kepentingannya dengan lo? Begini kelakuan lo di luar rumah ya, Alieen?” Bintara melipat kedua tangannya di dada, dan membusungkan dada. Ia terlihat marah besar kali ini. Tapi Alieen hanya diam tidak menjawab apa pun, dan menundukkan kepalanya. Bagas yang melihat itu merasa sakit hati. “Kenapa bapak bisa ada di rumah ini? Bukannya ini...” “Ini rumah saya, kenapa? Kamu mau protes?” ucap Bintara memotong pertanyaan Bagas. Bagas tidak bisa percaya dengan ucapan Bintara, ia juga tidak mau terima jika Bintara dan Alieen tinggal satu atap. Alieen yang sedari tadi hanya bisa menundukkan kepala kini memutar tubuhnya me
Seketika lampu kamar Bintara menyala, dan ia datang mendekati Alieen dengan cemas ketika mendengar teriakan Alieen.“Hei! Ada apa?”Alieen perlahan membuka matanya dan ia kembali berteriak untuk kedua kalinya.“Eh! Hei kenapa lo teriak lagi?”“Woyy, lo gak pakai baju kak!” Teriak Alieen yang segera beranjak keluar dari kamar itu. Bintara juga terkejut, ia lupa sedang mengganti pakaiannya. Lalu lampu kamarnya tiba-tiba saja mati.Alieen masih menggerutu dan mencaci dirinya sendiri, karena bodoh. Seharusnya ia terlebih dahulu mengetuk pintu kamar itu, bukan asal buka dan masuk.“Tapi walau sekilas, ternyata Bintara punya otot perut yang...”“Astaga! Apa sih yang lagi lo pikiran Alieen! Gila lo, ya?”Alieen merasa malu, sampai wajahnya memerah. Ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya, tapi tiba-tiba terdengar suara benda pecah dari kamar Bintara.Alieen segera membuk
Pagi hari yang cerah tepatnya sesaat sebelum upacara di mulai. Rini sedang tertawaria dengan teman-teman nya. “Eh lo tau? Gue kemarin ketemu sama siapa?” ujar Rini yang duduk di atas meja dengan kaki menyilang dan sebatang permen lollipop di mulutnya. Semua temannya memandang penasaran dengan kisah yang akan di ceritakan Rini. Hal ini membuat ia senang danmeminta semuanya untuk saling mendekat. “Gue kemarin ketemu sama Bagas!” serunya. Mereka menatap tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan, sekali lagi Rini menegaskan kebenaran ucapannya. Lalu menambahkan sebuah kisah lain, di mana ia bertemu dengan Alieen yang masih di cap sebagai gadis yang buruk. Di saat itu Alieen kebetulan baru saja memasuki ruang kelasnya, membuat semua murid yang membicarakannya terdiam, hanya menyisakan Rini yang tertawa. Rini pun menyadari jika ada sesuatu di belakangnya, dan saat menoleh alien berdiri di dengan sorotan mata yang tidak pernah ia da
Alieen akhirnya berhasil menggapai tangan Rini yang tidak berhenti untuk melangkah. Rini segera menghempaskan tangan Alieen kasar.“Apa lagi yang mau lo lakuin? Apa belum puas lo membuat gue menunjukan siapa gue sebenarnya? Huh!” Rini bertolak pinggang, karena ia mengira jika dirinya sudah tidak lagi berurusan dengan Alieen.“Lo belum jelasin ke gue soal foto ini!” Alieen menunjukan foto yang ia dapat dari nomor misterius sebelumnya.Foto itu ternyata wajah Rini yang sedang memposting sesuatu di ruang khusus untuk para murid yang berekstraklikurer di penyiaran sekolah.“Oh, itu. Gue gak tau kalau ada cctv di depan ruangan itu, ternyata menyerot kelakuan mulia gue, ya? Maaf tapi artinya gue gak perlu merasa bersalahkan?” Rini menaikan sudut bibirnya ke atas, membuat Alieen terdiam seribu bahasa.Ia membiarkan Rini pergi kali ini, Alieen tidak lagi memiliki tempat untuk bersandar, tidak ada lagi yang mau mend
Bel sekolah berdering panjang, menandakan sekolah hari ini telah berakhir. Kebetulan hari ini adalah jadwal Alieen untuk piket, tapi tidak ada satu murid pun yang mau mengerjakan tugas ini bersama dirinya. Ia sudah mulai terbiasa dengan situasi baru di kelasnya ini, dan memilih untuk acuh dengan pandang orang lain tentang dirinya. Tiba-tiba seseorang merebut sapu dari tangannya. “Ngapain lo masih di sini?” tanya Alieen kepada seseorang di hadapannya ini. Belum sempat menjelaskannya, Shintia datang dan merebut sapu itu lagi. Bahkan ia tersenyum dan berkata, “Gue bantu ya, biar lo cepat kelar.” Alieen merasa itu senyuman yang tidak wajar, dan ia tau jika itu tidak lah sungguhan. Apa kali ini ia hanya mengenakan sebuah topengnya semata? “Ngapain lo ke sini?” Bagas yang tidak akan tertipu lagi dengan senyuman manis berbisa itu, sekali lagi menanyakan tujuan sesungguhnya kepada Shintia. Tapi shintia hanya tersenyum dan tidak mengakui tujuan utamanya.
Selama perjalanan keduanya hanya diam menikmati jalanan yang sedang mereka tempuh.“Jadi apa kalian memiliki sebuah hubungan spesial?” tanya Damar, pria yang sudah berusia 45 tahun. Pertanyaan nya membuat Alieen bingung dengan siapa sosok pria ini. Sedang Bagas, ia merasa malu dengan pertanyaan yang di lontarkannya.“Tolong pak, jangan bertanya yang aneh-aneh.”“Haha, saya hanya bertanya.”Lalu Alieen melihat sebuah foto yang tergantung di sebuah kaca spion mobil. Damar yang kebetulan memperhatikan Alieen, ia memberitahukan jika pasangan dalam foto itu adalah kedua orang tua Bagas yang sudah lama meninggal.“Pak, kenapa di jelaskan segala? Itu kan enggak penting.” Ujar Bagas.“Maaf den, Saya hanya merasa Pacar aden harus tahu.” Ucapan Darma membuat Bagas dan Alieen merona.“Gak perlu lo dengerin apa kata kakek-kakek kesepian itu. Dia begi
Alieen baru saja akan bersantai di depan televisi, tapi Bintara datang merebut remot yang di genggamnya lalu mematikan tv yang baru saja di nyalakan.Alieen berseru memanggil namanya karena kesal. Tapi tatapan Bintara lebih menyeramkan di bandingkan amarahnya.“Lu kenapa selalu balik sama dia? Apa lo sama dia pacaran?” tanya Bintara dengan dingin.“Emangnya kenapa? Suka-suka gue dong mau pulang sama siapa.”“Tapi kan ada gue, seharusnya balik sama gue.”Alieen hanya diam, ia sudah lelah untuk berargumen saat ini. Ia tidak mau menambah lelah pikiran dan hatinya. Tapi hal itu tidak di mengerti oleh Bintara. Ia ingin berbicara lagi tapi Ibu mereka muncul, di saat itu lah Alieen memutuskan pergi dari sana menuju kamarnya.“Kalian ribut ya?” tanya Ratih.“Bukan begitu kok bu, cuman aku negor dia supaya hati-hati jika berteman.”“Hm? Kok begitu? Memangnya siapa yang di
Suara bel terdengar nyaring, menandakan seseorang baru saja masuk ke tempat itu. Petugas yang berdiri di kasir menyapanya dan menanyakan apa yang ingin di butuh kan nya. “Ice blend satu dan roti bakar” Suara perempuan ini terdengar sangat familiar. Wanita itu duduk manis di cafe dan menatap keluar jendela. “Shintia!” teriak seorang pelayan. Oh pantas saja suaranya tidak asing di telinga. Ia lah orang yang sudah membuat janji dengan Alieen. “Di sini!” Shintia berlari menghampiri kasir dan mengambil pesanannya. Setelah itu, ia kembali ke bangkunya, dan menikmati pesanannya sambil tersenyum memikirkan rencana yang sempurna untuk hari ini karena rasa bosannya. Saat menikmati dan menanti, sebuah notifikasi pesan masuk dan berhasil membuat moodnya seketika hancur. Pesan itu tertulis atas nama ‘Pak tua menyebalkan’, Shintia hanya membaca pesan itu yang berisi ungkapan kasar dan memaksanya untuk membelikan minuman untuk sang pengirim pesan. Kenapa gue haru
“Rina! Kenapa dia ada di sana!” Alieen terkejut dengan kemunculan Rina di dalam berita. “Lokasi Cafe itu enggak jauh dari sini.” Ucap Bagas yang melirik ke arah Bintara. “Kenapa dia lihat gue begitu? Seperti lagi mengejek gue karena gue polisi tapi malah enggak bertindak apa pun. Menyebalkan. Gue tahu maksud nya.” “Kalau begitu kita harus segera kesana!” Seru Alieen dan dirinya bergegas akan pergi keluar namun Bintara menahannya. “Jangan ke sana. Lebih baik Lo ikut gue dulu ke tempat Ibu berada. Ibu sudah khawatir banget sama Lo.” Ucap Bintara dengan lembut. Alieen selama ini belum pernah melihat Bintara selembut ini. Membuatnya merasa aneh. “Tapi...” “Kalau Lo masih tetap menghawatirkan teman Lo yang munafik itu biar si Bagas dan Kapten, si kakaknya Bagas yang urus. Toh di sana ada beberapa anak buah organisasi yang di ikuti Bagas, dan Kapten pasti sudah di jalan. Jadi Lo sekarang ikut gue. Jangan menjauh dari gue buat sementara, gue mohon sama Lo Alieen.” Bintara memegangi ta
Alieen sedang berada di dapur dan mencuci mangkuk yang ia pakai untuk makan. Tapi pikirannya sedang bekerja keras mencari cara agar dirinya bisa pergi menemui Shintia tanpa siapa pun menemaninya. Ia meletakan mangkuk ke rak dan menghela nafasnya sesaat.Namun ia mendengar suara percakapan seseorang di ruang tengah. Alieen merasa penasaran dan berjalan mendekati sembari bersembunyi dengan hati-hati.“Bintara, gue tahu semuanya. Apa Lo enggak mau interogasi gue?” Ujar Bagas yang duduk di sofa dengan tangannya yang sibuk dengan tendo.Bintara menatapnya sesaat lalu memasang wajah terkejut. “Ah! Benar, kenapa gue enggak tanya Lo buat cari tahu alasan Lo gabung organisasi mereka!”Ekspresi Bintara yang terlihat terkejut polos itu seketika berubah datar. “Lo pikir gue enggak tahu soal Lo? Walau enggak semuanya karena enggak berguna buat gue. Tapi gue sudah tahu kenapa Lo gabung sama mereka, tentu dari kakak Lo. Kalau enggak, saat datang ke sini gue sudah pisahkan kepala sama badan Lo itu.”
Alieen baru selesai menyantap sup, dan hendak akan keluar kamar untuk meletakkan mangkuk sup ke dapur di rumah ini. Namun ponselnya berdering dan nama yang muncul di layar adalah Shintia. Alieen langsung menjawab telepon tersebut.“Halo, Shintia?”“Gue rasa keadaan Lo baik-baik saja, dari suara yang terdengar segar.” Ketus Shintia.“Iya, bisa di bilang seperti itu. Kenapa telepon?” “Hah? Serius Lo tanya gue, kenapa telepon Lo? Yang benar saja Alieen! Lo itu tiba-tiba hilang di tengah kebakaran panti, susah di hubungi, ke mana saja Lo!”“Maaf bikin Lo khawatir, Hp gue rusak jadi susah di hubungi.”Alieen tidak sepenuhnya berbohong soal Hp nya yang rusak di temui oleh Bintara saat di panti asuhan karena jatuh dari genggaman Alieen saat dirinya di culik tiba-tiba. Tapi tetap saja ini terasa canggung saat dirinya di telepon Shintia seperti ini.“...Alieen, ada hal yang mau gue cerita ke lu. Gue merasa bersalah karena melibatkan Lo dalam masalah.” Shintia terdengar putus asa.“Kenapa dia
Alieen membuka matanya dan melihat sekitarnya. Ia menghela nafas saat mengetahui jika dirinya hanya sendirian saat ini, Alieen pun duduk di tepi kasurnya.Sebenarnya pikirannya sangat penuh berbagai pertanyaan dan kenyataan yang membingungkan dirinya. Namun bukan saatnya dirinya berdiam diri, Alieen memikirkan kembali perlahan apa yang baru terjadi kepadanya.“Baik, perlahan pikirkan kembali. Gue awalnya ada di panti asuhan yang Shintia kunjungi. Gue berasumsi dirinya sudah lama tinggal di sana dan gue juga dengar dia masih ada orang tua tapi kurang memperhatikannya. Tapi tiba-tiba gue di culik? Karena gue adiknya Bintara, padahal gue kurang paham masalahnya mereka. Yang pasti ini masalah sebuah organisasi WL itu kan? Gue enggak tahu apa saja organisasi itu lakukan. Gue harus cari tahu, tapi pertama gue harus lepas dari pengawasan Bintara. Selama ini dia sudah lama memasang alat pelacak diam-diam, berarti ada semacam CCTV tersembunyi atau alat perekam suara tersembunyi seperti di film
Terdengar suara bantingan pintu yang mengejutkan seorang lelaki berusia 45 tahunan. Namanya adalah Gerdy, seorang pemimpin mafia di antara jaman modern saat ini.“Walau kamu adalah anakku sendiri, bukannya sudah di ajarkan tata krama di sekolah?” Dengan santai Gerdy menghisap rokok sambil sibuk melihat dokumen yang berserakan di mejanya.“Papa! Apa maksudnya papa bakar panti asuhan! Papa tahu kan ada bunda di sana! Terutama ada Alieen dan aku di sana!! Apa papa mau membunuh anak sendiri?!” Teriak Shintia yang amarahnya sudah meledak-ledak.Sebuah dokumen tebal langsung menghantam wajah Shintia, dan yang melemparinya adalah Gerdy. Papanya mungkin terlihat tenang namun ada amarah yang tidak ia tunjukkan secara langsung.“PAPA!”Mata Gerdy sangat dingin kepada anaknya sendiri, perlahan dirinya mendekati Shintia, lalu berbicara dengan suaranya yang serak dan berat.“Dengar, jangan pernah bicara masalah ini. Kita sudah sepakat bukan. Sejak kau gagal bawa Bagas kemari, maka tidak ada kemuda
Perlahan Alieen membuka matanya dan ia mulai mendengar suara keributan, lalu Alieen menyadari jika ada suara Bintara yang sedari tadi berteriak memanggil namanya. Dengan lemas ia berusaha untuk bangun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju pintu kamarnya. Setelah membuka, Alieen benar-benar melihat Bintara yang sedang berargumen keras dengan seorang perempuan yang berdiri di depan Bagas. Karena penasaran Alieen berusaha mendekati mereka. “Alieen!” Seru Bintara yang menyadari kedatangannya. Ia dengan cepat berlari mendekat dan memeluk tubuhnya. “Lepas!” Alieen mencoba menolak pelukan Bintara. “Alieen, lu kenapa keringatan banyak begini? Lo demam? Maafkan gue, gue memang enggak becus jadi kakak Lo.” Bintara dengan lembut mengelus wajah Alieen. “Berhenti berakting, gue tanya sama Lo, kenapa bisa Lo ada di sini? Bagas, apa Lo yang kasih tahu dia?” “Apa untungnya buat gue Alieen...” “Tapi Lo selalu bilang dia bakal datang temui gue, itu maksudnya apa?” “Tanya saja kakak Lo
“Tuan muda, saya sudah menyelesaikan semua tugas, dan sekarang teman tuan sudah tidur. Apakah lebih baik saya menetap karena Anda akan menginap di sini, atau tidak?” tanya seorang wanita paru baya yang sudah bekerja dengan kakak Bagas sejak lama untuk merawat rumah lama mereka ini. “Ibu pulang saja, biar sisanya saya yang urus. Jangan lupa beri tahu kakak, jangan bertindak gila.” Setelah mendengarnya ia segera pergi meninggalkan rumah itu. Bagas terlihat sibuk dengan ponselnya kini meletakan ponselnya di meja, ia berbaring di sofa dan memandangi salah satu foto keluarga dirinya di dinding. “Gue sudah serahkan sama kakak, tapi apa kakak akan bertindak dengan semestinya? Dia itu, walau perempuan tapi kelakuannya mirip sama kakaknya Alieen.” Bagas menjadi mengingat masa lalunya saat pertama kali ia bergabung dengan organisasi dan pertama kali mendapatkan misi kecil yang di kelompokan bersama Lutbis. Tepatnya waktu itu Bagas baru masuk SMP, dan usianya masih 12 tahun. “Owalah, jadi in
Bagas masuk ke salah satu gang gelap bersama Alieen, dan segera mematikan motor yang mereka kendarai. Lalu suara sirene kepolisian mulai terdengar keras, tapi beberapa saat kemudian suara itu semakin menjauh. Alieen dan Bagas menghela nafas lega, Bagas sedikit menoleh ke belakang dan melihat wajah Alieen tiba-tiba pucat.“Alieen, Lo sakit?” Bagas sedikit panik dan khawatir.“Gue enggak apa-apa...” Tapi wajahnya yang pucat tidak bisa di bohongi. Bagas mencoba menempelkan punggung tangannya ke dahi Alieen, ia ingin mengecek apakah benar Alieen tidak apa-apa.“Lo panas! Gak bisa begini, gue harus bawa lu pulang!” Bagas akan menyalakan kembali motornya lalu tiba-tiba Alieen menempelkan kepalanya yang terasa berat ke punggung Bagas.“Jangan... Kalau pulang, gue enggak tahu apa di rumah aman atau enggak. Gue juga khawatir sama ibu gue tapi masih ada kak Bintara jadi ibu pasti aman.... Tapi, gue juga gak mau ke rumah sakit... Nanti mereka datang lagi dan Lo bisa-bisa dalam bahaya yang lebih
“Pak, kami sudah memeriksa gedung ini. Memang benar jika ada tanda-tanda dari nona muda. Tapi sepertinya nona muda di bawa orang lain dari sini.” Ucap salah satu anak buah Bintara sembari memberikan sebuah tab yang sedang memutar video rekaman cctv sekitar gedung. “Cepat temukan di mana Alieen berada!!” Perintah Bintara kepada anak buahnya. “Ketua, saya menemukan ini di semak-semak...” ucap Fitry, salah satu anggota tim investigasi kepolisian yang dapat di percayai oleh Bintara. “Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya ketua...” Bintara terkejut saat melihat apa yang di tunjukan Fitry kepadanya. “Bukannya ini ikat rambut Alieen, Adik Anda, ketua?” Bintara meraih plastik transparan yang berisi rambut yang masih terikat dengan ikat rambut biru. “Rambut halus ini, dan ikat rambut biru yang biasa di pakai Alieen... Apa maksud dari ia yang memotong rambutnya? Ah, benar. Gue ingat waktu pertama kali gue ketemu dia, kalau gue bilang suka sama dia yang rambut panjang, dan jika