“Heran deh, kenapa bangku Bagas masih kosong? Ini sudah hari kelima belas dia tidak masuk sekolah,” batin Alieen. Ia terus memandang kursi di sampingnya yang kosong.
Pluk!
Seorang gadis dari sisi kirinya menepuk pundak Alieen, membuat ia seketika sadar dari lamunannya.
“Astaga, lo bikin gue kaget aja!” seru Alieen.
“Haha maaf, lagian dari tadi lo bikin gue pengen lakuin hal jail,” ejek Rina. Alieen memutar kedua bola matanya malas.
“Ingin rasanya gue getok kepala lo ya, Rin!” kesal Alieen. Tapi gadis yang bernama Rina Fitria itu tertawa lepas, karena sekali lagi ia berhasil mengerjainya.
Tiba-tiba seorang murid masuk ke kelasnya dan menggebrak meja guru. Sontak hal itu membuat kaget seisi kelas.
“Lo semua dengerin gue, gue minta kalian semua bayar uang kas kalian sekarang! Ini diminta sama Pak Dayat, Wali kelas kita!” seru Shintia.
Shintia, salah satu teman sekelas yang termasuk dalam jajaran siswi good looking di Sekolah. Ia juga adalah bendahara yang selalu menagih uang kas di kelas. Tapi Alieen merasa ada yang aneh dengan ucapan Shintia.
“Kenapa Pak Dayat minta uang kas kita? Bukannya beliau sedang tidak mengajar hari ini?” tanya Alieen.
Shintia diam tak berkutik, matanya seolah menggambarkan jika ia sedang menyimpan sebuah rahasia. Hal ini semakin memperkuat kecurigaan Alieen terhadap Shintia.
“Pasti ada yang di sembunyikan sama dia. Gue tidak bermaksud buruk sangka. Tapi gerak geriknya aneh banget!” batin Alieen yang menyipitkan pandangannya.
“Eung, tadi Pak Dayat ada kok di kantor, gue habis dari sana. Kalau tidak percaya coba lo cek aja sendiri,” Shintia membuang muka dan memilih menagih uang kas ke deretan pojok yang kebanyakan adalah cowok. Tapi Alieen tentu saja tidak langsung mempercayai jawaban Shintia.
“Lin, lo kenapa nanya gitu?” heran Rina.
“Lo sadar tidak sih? Ada yang aneh sama ucapannya,” Bisik Alieen pelan, yang tidak mau ada yang mendengar ucapannya.
“Tidak, biasa aja.” Jawab Rina.
“Ish, masa lo tidak sadar sama sekali? ” tanya Alieen sekali lagi. Tapi Rina hanya menggelengkan kepalanya.
“Kenapa mereka sangat mudah di tipu? Ini si Rina juga ikutan percaya aja! Atau mereka Cuma pura-pura tidak tau apa-apa, dan pasrah saja? Memang sih uang kasnya tidak banyak, tapi sejak awal dia masuk kelas ini di pertengahan semester. Seakan semua di kelas ini hanya dia saja yang mengaturnya. Di tambah Pak Dayat membebaskan kita soal kelas, yang penting nilai kita bagus semua. Ini sangat mencurigakan.” Alieen berpikir sangat keras atas kecurigaannya, dan mempercayai instingnya.
Akhirnya Shintia sampai di hadapannya untuk menagih uang kas kepada Alieen.
“Uang kas.” Kata Shintia tanpa menatap mata Alieen, dan berpura-pura melihat buku catatannya.
“Gue seharusnya tidak ikut bayar. Uang kas sudah di kasih sampai akhir bulan nanti.” Ujar Alieen sembari mencari-cari, apakah ada celah dari topeng di wajah cantiknya atau tidak.
Biasanya Shintia akan menjadi kesal jika ada yang tidak menurut dengannya. Tapi kali ini berbeda, ia hanya berkata ‘Ya sudah’ lalu pergi ke murid lain. Alieen tidak percaya dengan di lihatnya.
Setelah Shintia selesai menagih, ia pergi keluar kelas. Lalu hanya berselang beberapa menit, Alieen mengikutinya diam-diam. Ternyata Shintia benar-benar berjalan ke kantor Guru.
“Cih, Sialan. Gue asal tuduh kah? Tapi insting gue tidak pernah salah.” Alieen mengepal tangannya, kesal.
Pluk!
Ada yang menepuk bahu kirinya secara mendadak, dan Alieen menoleh ke belakang.
“Ngapain lo di sini? Habis cari kakel ganteng kayak gue ya?” Pria itu tersenyum dengan sudut bibir kanannya ke atas. Ia bernama Rafandi, salah satu kakak kelas Alieen.
“Eh bang Rafa, tidak kok. Gue Cuma lagi...” Alieen berfikir keras untuk membuat alasan yang pas agar tidak terkena masalah oleh kakel yang terkenal suka jahil ini.
“Hayo, cuma lagi apa...?” ulangnya dengan nada mengejek Alieen.
“Ah! Bukan urusan lo bang, gue mau ngapain!” seru Alieen, dan segera pergi dari sana. Beruntung dia tidak mengikutinya. Tapi Shintia yang pura-pura ke kantor Guru itu melihat betapa akrabnya Alieen dan Rafa, dan senyum licik terukir di wajahnya.
***
Sebenarnya Bagaskara selalu datang ke Sekolah, tapi ia tidak pernah mau masuk ke dalam kelasnya dan justru memilih untuk berada di ruang basket.
“Pasti posisi gue sebagai kapten bakal diganti. Udah lama gue nggak muncul ke kelas.” Bagas memegang bola basket, lalu ia memantulkannya beberapa kali ke lantai lapangan, dan melemparkannya menuju ring.
Tapi lemparannya sangat buruk, berkali-kali tidak ada yang masuk ke dalam ring itu. Padahal selama ini dia yang selalu melakukan cetak point di timnya.
“Kenapa permainan basket lo semakin jelek!” Teriak seseorang dari belakangnya. Bagas mengalihkan pandangannya dan menemukan Rafandi yang berjalan kearahnya.
“Ternyata persembunyian gue udah ketahuan ya,” ucap Bagaskara.
“Kenapa lo suka banget menghindari masalah?” tanya Rafa seakan tau apa yang sedang terjadi dengannya, sembari mengambil bola basketnya. Tapi Bagas hanya diam tanpa menjawab.
“Sekarang apa lagi masalah lo? Apa duit yang gue kasih pinjem ke lo itu masih kurang?” Rafa memantulkan bola basket ke lantai, lalu menembaknya tepat ke ring dan masuk dengan sempurna.
“Bukan, tapi makasih lo mau pinjemin gue. Kalau kakak gue gajian, pasti diganti.” Bagas berjalan menghampiri bola dan langsung menembaknya menuju ring dari sudut kanan, kali ini ia bisa memasukannya.
“Apa ini karena Shintia?” Bagas segera menatap mata Rafa.
“Dia pasti mau ceramahin gue lagi,” batin Bagaskara. Rafa yang melihat tidak ada reaksinya hanya menghembuskan nafas panjangnya.
Tidak ada yang tau jika mereka berdua itu dekat. Rafa yang populer walau terkenal jahil, tapi dia selalu dikelilingi siswi-siswi di Sekolah.
“Udah gue bilang, lo itu cuman dimanfaatkan sama Shintia. Kan gue pernah bilang, dia itu adek kelas gue di SMP dulu dan sikapnya masih saja sama. Patah hati kan lo sekarang.” Bagas masih enggan untuk membicarakannya dan justru berjalan meninggalkan ruang latihan basket itu.
Walau Rafa dengan keras memanggil dan bertanya ia hendak ke mana. Bagas tidak menghiraukannya.
***
Alieen kembali ke kelas, dan merasakan ada hal yang tidak wajar di sana. Teman-temannya memandangi dirinya aneh. Terutama para perempuan, mereka terlihat kesal padanya.
“Rin, kenapa semuanya liatin gue?” tanya Alieen.
“Lo abis dari mana aja tadi?” tanya balik Rina.
“Ya, gue ke toilet. Kenapa sih? Tapi lo juga ikutan—“ ucapan Alieen terpotong.
“Lin, kalau lo juga suka sama dia kenapa tidak bilang ke gue? Apa karena gue juga suka sama dia?” pertanyaan Rina semakin membuat Alieen tidak mengerti.
BRAK!
Lalu mejanya di pukul keras oleh Deshi, ketua geng mawar yang ada tiga anggota termasuk dia. Hingga semua orang terkejut.
“Heh! Lo mau numpang populer sama Rafandi kan, makanya buat berita tidak jelas itu?!” Deshi menatap tajam Alieen.
“Berita? Berita apaan sih?!” tanya Alieen yang tidak mengerti situasi saat ini.
“Hey! Kalian jangan main kasar ya, ngapain geng mawar dari kelas sebelah malah datang kesini?” Rani berdiri dan melipat kedua tangannya di dada.
“Jangan sampai gue aduin kalian mau membully Alieen ke Guru ya!” Lanjut Rina dengan mengancam mereka.
Alieen tidak percaya, ini semua berhubungan dengan Rafandi yang popular itu. Tapi apa yang menyebabkan mereka kesal padanya?
Krrrringgg!
Bel Sekolah berdering, artinya sudah jam istirahat. Murid-murid yang berkumpul di kelas mulai pergi ke kantin. Tapi sebagian masih di tempat dan menatap Alieen dengan kesal.
“Loh! Ada apa ini, kenapa kalian masih di sini?” tanya polos Shintia yang baru saja masuk kelas.
“Ini, lo liat aja sendiri!” Deshi menunjukkan sebuah artikel dari Web Sekolah mereka.
Shintia terkejut melihat judul di artikel yang tertulis, ‘Tertangkap basah! ini dia sosok pacar kakel favorit kita’ di tambah dengan beberapa foto yang jelas jika itu adalah Alieen dan Rafandi.
“Astaga?! Jadi kalian pacaran? Pantesan sering keliatan barengan mulu.” Matanya melirik kepada Alieen, dan memanaskan suasana yang ada.
Dengan buru-buru Alieen membuka ponselnya dan melihat artikel yang sudah dilihat oleh seluruh murid dan guru. Informasi seperti ini tentu tidak mudah untuk diterbitkan dalam website Sekolah.
“A... apa ini?! Ini sama sekali tidak benar! Kalian jangan mudah percaya artikel seperti ini!” Alieen merasa panik. Tapi semua orang hanya memandangnya seperti pembohong.
“Tidak mungkin info ini asal di posting, kan ini dari website Sekolah. Kalian pasti tahu kalau tidak sembarangan orang yang bisa mengupload sebuah kabar.” Pernyataan Shintia di setujui oleh banyak murid. Bahkan Rina ikut percaya dengan apa yang diucapkan Shintia.
“Gue kecewa sama lo yang enggak bilang apa-apa soal ini ke gue. Padahal kita udah lama temenan dari SD, tapi lu malah...” kecewa Rina sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Ia dan Alieen seperti saudara yang tidak terpisahkan. Semua hal di ceritakannya kepada Alieen, termasuk perasaannya kepada Rafa.
Semua yang ada di kelas memandang rendah dirinya. Mereka menganggap Alieen hanya menumpang tenar, sok suci, dan banyak lagi ungkapan tidak baik untuknya.
Alieen tidak tahan mendengar bisikan mereka dan tatapan kebencian teman-teman sekelasnya. Di tambah sahabatnya ikut membenci dirinya.
Ia melarikan diri dari sana, menerobos orang yang menghalangi jalannya. Air mata dan keringat sampai tidak bisa dibedakan lagi.
Alieen terus berlari melewati koridor, menaiki anak tangga, hingga sampai lah dia di rooftop sekolah. Lalu ada bayangan seorang laki-laki yang sedang berdiri di sana.
“Siapa dia? Keliatannya tidak asing,” batin Alieen yang hanya bisa melihat siluet orang itu.
“Aisshh... Ternyata benar, tempat seperti ini pasti sangat mudah ditemukan orang lain. Menjengkelkan.” ucapnya.
“Hm... Kok kayak tidak asing ya suaranya?” Alieen mencoba melihat dengan jelas, siapa sosok yang ada di balik siluet itu.
Namun secara tiba-tiba laki-laki itu bergerak perlahan mendekatinya, dan seketika mata Alieen membulat melihat sosok aslinya.
“Ternyata itu lo?!” seru Alieen. Laki-laki itu justru menatapinya bingung.
—Siapa yang di lihat Alieen sampai kaget banget gitu ya?—
“Ternyata itu lo?” seru Alieen. Pria itu menatapnya bingung. Lalu ia berjalan melewati Alieen. Alieen yang mengenali pria tersebut lantas berbalik dan mencoba menghalanginya. “Tunggu sebentar, Bagas!” Alieen merentangkan tangannya. Iya, pria itu adalah Bagas. Bagas hanya menatap matanya, mencari jawaban di sana. Mendapat perlakuan tersebut, hati Alieen merasa terenyuh. Ia menyadari jika sorotan mata pria itu menyimpan banyak kesedihan. Sial, Alieen tidak bisa menyembunyikan keinginannya untuk membantu Bagas. Tapi ia tidak tau harus bagaimana. “Apa mau lo?” ketus Bagas. “Tidak ada.”ucap Alieen. “Terus kenapa lo halangi jalan gue? Oh, atau diminta Shintia buat mengantarkan pesan dia ke gue?” tanyanya dingin. “Apa? Gue masih punya kerjaan lain! Buat apa gue jadi babunya, gila lo ya!” kesal Alieen. “Gue cuma mau tanya, apa lo tau tugas Pak Dayat sudah setinggi gunung?” lanjut Alieen.
Saat ini Bagaskara bersiap seperti bisa, lalu tiba-tiba saja ia teringat oleh Alieen. Pertanyaan dari temannya itu terus berputar di kepalanya . “Kalau gue di tanya rela melepas status itu, jelas tidak! Buat dapatin status itu bukan hal yang mudah.” ucapnya. Tiba-tiba saja ponselnya terus berbunyi, notifikasi tidak berhenti bermunculan. Bagas yang risih berakhir menjadi penasaraan saat ia melihat nama Rafandi. Ketika ia mengklik notifikasi tersebut tidak sedikit yang menghina bahkan mencaci maki seseorang yang bernama Alieen. “Kenapa ada nama Rafandi sama Alieen? Bukannya Alieen ini cewek kemarin?” Rasa penasarannya terus memunculkan beberapa pertanyaan di benaknya. Lalu ia baru ingat jika Shintia pernah menanyakan soal, sudah melihat artikel sekolah atau belum. Tanpa ia berpikir panjang, Bagas segera mengirim link artikel itu kepada Rafandi melalui pesan online. Bagaskara : Apa yang lu lakukan sama gadis di artikel ini?
“Oh, hoo! Dia mulai marah girls haha.”ejek Deshi.“Lo pasti mau mengadu kan ke ‘Rafa tersayang’ nya itu.” kelakarnya.“Udah puas kalian?!” pekik Alieen. Semua murid yang menertawakannya kini terdiam, setelah mendengar nada bicaranya yang benar-benar serius dan marah.“Jangan pakai teriak dong! Santai saja. Dasar nyari sensasi terus lo kerajaannya.” kesal Deshi. Ia mendorong bahu Alieen keras hingga terpental dan hampir jatuh.Bagas datang di saat yang tepat. Ia menahan tubuh Alieen dan berkata. “Kalian memang suka banget ngebully ya?”Alieen menatap Bagas bingung. Ia sangat tahu betul jika pria itu sangat acuh, dan jarang sekali berbicara jika bukan dengan yang ia kenal. Tidak hanya Alieen, semua murid di kelas juga kebingungan. Bagaimana bisa Bagas si raja peringkat satu dan terkenal acuh dengan sekitar itu justru membantu menangkap tubuh Alieen. Hanya satu o
“Aduh, kamu kok kasar sama aku?” ucap Shintia. “Kasar? Bukannya kamu yang kasar? Kamu yang udah membuat orang-orang di sekolah ini meributkan hal konyol,” Bagas memojokkan tubuh Shintia ke satu sudut tembok. “Dengan aku yang hanya menarikmu paksa seperti ini?” lanjut Bagas. Shintia memasang wajah lugu tidak berdaya, berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia tertawa lepas ketika menyadari maksud dan tujuan Bagas membawanya ke belakang sekolah seperti ini. “Akhirnya lo menunjukkan wajah asli lo,” Bagas selangkah mundur. “Hah? Sejak kapan lo tahu?” Shintia justru melangkah maju bahkan menyentuh dagunya, dan segera di tangkis oleh Bagas. “Hahaha, kenapa kali ini kamu menolak sentuhan tangan ini?” Shintia memiringkan kepalanya. “Lo tahu, kan? Ketika cewek dan cowok hanya berdua di...” ucap Shintia tertahan sesaat. Lalu ia memutarkan keadaan. Saat ini bukan lagi dirinya yang sedang disudutkan, melainkan Bagas. Lalu Shintia tersenyum san
Alieen pada akhirnya tetap pulang ke rumahnya. Tapi sampainya di rumah justru ia kembali melihat sosok yang ia benci. Siapa lagi jika bukan kakak yang tidak ingin orang lain ketahui statusnya itu. Bintara.“Baru pulang? Kenapa kalian tidak pulang bareng saja?” Tanya sang Ibu.“Tadi aku—“ ucapan Alieen terpotong.“Tadi udah mau pulang bareng bu, tapi anak gadis ibu yang enggak mau. Malu katanya.” Ujar Bintara yang menyela nya.Alieen menatap wajah Bintara dengan kesal. Bintara berbohong dengan Ratih, Ibu mereka. Ratih juga percaya dengan ucapan Bintara yang justru menambah kekesalan dalam diri Alieen.Alieen sudah muak dengan ini semua, ia memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamarnya. Walau Ratih memintanya untuk kembali segera turun agar bisa makan malam bersama tapi Alieen tidak ada niatan menuruti perintah ibunya.Alieen menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, dengan seragam yang masih lengkap. Ia
Saat Bintara membuka mata, Ratih dan Alieen sudah berada di sampingnya. Ia baru saja melewati masa kritis akibat luka tusuk di perutnya. “Ibu?” “Astaga, Bintara. Kamu kenapa bisa seperti ini?” “Aku tidak apa-apa bu. Jangan terlalu dipikirkan. Ibu lebih baik pulang saja, aku juga akan segera pulang.” “Bagaimana Ibu tidak khawatir? Kamu itu anak Ibu loh!” Ratih terlihat sangat sedih dan khawatir. Lalu ia mengambil teko yang ada di atas meja kecil di dekat tempat tidur pasien. “Alieen, bisa tolong ambilkan dulu air minum untuk Bintara?” Ratih menyodorkan teko itu kepada Alieen. “Iya bu.” Alieen segera pergi meninggalkan kamar itu. Sedangkan Ratih segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Lalu ia menatap Bintara penuh dengan kecemasan. “Siapa yang sudah melakukan hal ini? Bukan mereka, kan?” “Enggak bu, bukan.” “Lalu?” “Ibu, lain waktu saja ya? Aku... Aku belum siap buat ceritakan hal ini
“Apa yang ingin kalian lakukan?” tanya Bagas, tangannya tetap menahan pergelangan tangan Rini.“Lepasin tangan gue!” Seru Rini. Bagas akhirnya melepaskan tangan itu, dan pandangannya beralih melihat Alieen.“Gue sama sekali enggak nyangka kalau Rini akan tega begini sama gue,” Ujar Alieen di dalam hatinya.Rini pergi berlari meninggalkan mereka berdua. Sedangkan Alieen mencoba untuk memungut kembali belanjaan nya, tapi Bagas merebutnya dari tangan Alieen.“Apa yang mau lo lakuin?”“Buang, apa lagi?”Alieen ingin mencegahnya membuang belanjaannya, tapi Bagas sudah terlanjur menempatkan itu ke dalam tempat sampah. Alieen menatap tajam ke arahnya, padahal masih ada yang bisa di pakai lagi tapi Bagas membuang semuanya.“Lo tenang aja, kita belanja lagi.”Alieen menatap Bagas bingung, padahal ia tidak berkata apa pun seakan Bagas tau apa isi pikirannya.
Akhirnya mereka sampai di bengkel dan Bagas segera mencari bangku agar mereka dapat beristirahat sejenak, lalu berbicara kepada montir di sana untuk memperbaiki atau periksa bagian-bagian tertentu.“Gue kira dia Cuma pintar soal pelajaran, ternyata hebat juga soal motor.”Alieen tidak bisa memalingkan pandangannya dari Bagas, sampai akhirnya pria tersebut menoleh kearahnya. Seketika Alieen menjadi salah tingkah, dan tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang. Alieen berusaha untuk mengalihkan pandangannya ke sisi lain, berusaha agar tidak langsung berkontak mata kepadanya.Bagas yang melihat tingkah gadis tersebut hanya bisa menatap heran, lalu ia memesankan taksi melalui ponselnya. Tidak butuh waktu lama, taksi itu datang untuk menjemput Alieen. Bagas menarik lengan Alieen lembut agar mengikuti dirinya. Alieen pun hanya pasrah mengikuti Bagas, hingga akhirnya mereka berdiri di samping taksi itu.“Cepat naik, ini udah di pesan dan siap n
“Rina! Kenapa dia ada di sana!” Alieen terkejut dengan kemunculan Rina di dalam berita. “Lokasi Cafe itu enggak jauh dari sini.” Ucap Bagas yang melirik ke arah Bintara. “Kenapa dia lihat gue begitu? Seperti lagi mengejek gue karena gue polisi tapi malah enggak bertindak apa pun. Menyebalkan. Gue tahu maksud nya.” “Kalau begitu kita harus segera kesana!” Seru Alieen dan dirinya bergegas akan pergi keluar namun Bintara menahannya. “Jangan ke sana. Lebih baik Lo ikut gue dulu ke tempat Ibu berada. Ibu sudah khawatir banget sama Lo.” Ucap Bintara dengan lembut. Alieen selama ini belum pernah melihat Bintara selembut ini. Membuatnya merasa aneh. “Tapi...” “Kalau Lo masih tetap menghawatirkan teman Lo yang munafik itu biar si Bagas dan Kapten, si kakaknya Bagas yang urus. Toh di sana ada beberapa anak buah organisasi yang di ikuti Bagas, dan Kapten pasti sudah di jalan. Jadi Lo sekarang ikut gue. Jangan menjauh dari gue buat sementara, gue mohon sama Lo Alieen.” Bintara memegangi ta
Alieen sedang berada di dapur dan mencuci mangkuk yang ia pakai untuk makan. Tapi pikirannya sedang bekerja keras mencari cara agar dirinya bisa pergi menemui Shintia tanpa siapa pun menemaninya. Ia meletakan mangkuk ke rak dan menghela nafasnya sesaat.Namun ia mendengar suara percakapan seseorang di ruang tengah. Alieen merasa penasaran dan berjalan mendekati sembari bersembunyi dengan hati-hati.“Bintara, gue tahu semuanya. Apa Lo enggak mau interogasi gue?” Ujar Bagas yang duduk di sofa dengan tangannya yang sibuk dengan tendo.Bintara menatapnya sesaat lalu memasang wajah terkejut. “Ah! Benar, kenapa gue enggak tanya Lo buat cari tahu alasan Lo gabung organisasi mereka!”Ekspresi Bintara yang terlihat terkejut polos itu seketika berubah datar. “Lo pikir gue enggak tahu soal Lo? Walau enggak semuanya karena enggak berguna buat gue. Tapi gue sudah tahu kenapa Lo gabung sama mereka, tentu dari kakak Lo. Kalau enggak, saat datang ke sini gue sudah pisahkan kepala sama badan Lo itu.”
Alieen baru selesai menyantap sup, dan hendak akan keluar kamar untuk meletakkan mangkuk sup ke dapur di rumah ini. Namun ponselnya berdering dan nama yang muncul di layar adalah Shintia. Alieen langsung menjawab telepon tersebut.“Halo, Shintia?”“Gue rasa keadaan Lo baik-baik saja, dari suara yang terdengar segar.” Ketus Shintia.“Iya, bisa di bilang seperti itu. Kenapa telepon?” “Hah? Serius Lo tanya gue, kenapa telepon Lo? Yang benar saja Alieen! Lo itu tiba-tiba hilang di tengah kebakaran panti, susah di hubungi, ke mana saja Lo!”“Maaf bikin Lo khawatir, Hp gue rusak jadi susah di hubungi.”Alieen tidak sepenuhnya berbohong soal Hp nya yang rusak di temui oleh Bintara saat di panti asuhan karena jatuh dari genggaman Alieen saat dirinya di culik tiba-tiba. Tapi tetap saja ini terasa canggung saat dirinya di telepon Shintia seperti ini.“...Alieen, ada hal yang mau gue cerita ke lu. Gue merasa bersalah karena melibatkan Lo dalam masalah.” Shintia terdengar putus asa.“Kenapa dia
Alieen membuka matanya dan melihat sekitarnya. Ia menghela nafas saat mengetahui jika dirinya hanya sendirian saat ini, Alieen pun duduk di tepi kasurnya.Sebenarnya pikirannya sangat penuh berbagai pertanyaan dan kenyataan yang membingungkan dirinya. Namun bukan saatnya dirinya berdiam diri, Alieen memikirkan kembali perlahan apa yang baru terjadi kepadanya.“Baik, perlahan pikirkan kembali. Gue awalnya ada di panti asuhan yang Shintia kunjungi. Gue berasumsi dirinya sudah lama tinggal di sana dan gue juga dengar dia masih ada orang tua tapi kurang memperhatikannya. Tapi tiba-tiba gue di culik? Karena gue adiknya Bintara, padahal gue kurang paham masalahnya mereka. Yang pasti ini masalah sebuah organisasi WL itu kan? Gue enggak tahu apa saja organisasi itu lakukan. Gue harus cari tahu, tapi pertama gue harus lepas dari pengawasan Bintara. Selama ini dia sudah lama memasang alat pelacak diam-diam, berarti ada semacam CCTV tersembunyi atau alat perekam suara tersembunyi seperti di film
Terdengar suara bantingan pintu yang mengejutkan seorang lelaki berusia 45 tahunan. Namanya adalah Gerdy, seorang pemimpin mafia di antara jaman modern saat ini.“Walau kamu adalah anakku sendiri, bukannya sudah di ajarkan tata krama di sekolah?” Dengan santai Gerdy menghisap rokok sambil sibuk melihat dokumen yang berserakan di mejanya.“Papa! Apa maksudnya papa bakar panti asuhan! Papa tahu kan ada bunda di sana! Terutama ada Alieen dan aku di sana!! Apa papa mau membunuh anak sendiri?!” Teriak Shintia yang amarahnya sudah meledak-ledak.Sebuah dokumen tebal langsung menghantam wajah Shintia, dan yang melemparinya adalah Gerdy. Papanya mungkin terlihat tenang namun ada amarah yang tidak ia tunjukkan secara langsung.“PAPA!”Mata Gerdy sangat dingin kepada anaknya sendiri, perlahan dirinya mendekati Shintia, lalu berbicara dengan suaranya yang serak dan berat.“Dengar, jangan pernah bicara masalah ini. Kita sudah sepakat bukan. Sejak kau gagal bawa Bagas kemari, maka tidak ada kemuda
Perlahan Alieen membuka matanya dan ia mulai mendengar suara keributan, lalu Alieen menyadari jika ada suara Bintara yang sedari tadi berteriak memanggil namanya. Dengan lemas ia berusaha untuk bangun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju pintu kamarnya. Setelah membuka, Alieen benar-benar melihat Bintara yang sedang berargumen keras dengan seorang perempuan yang berdiri di depan Bagas. Karena penasaran Alieen berusaha mendekati mereka. “Alieen!” Seru Bintara yang menyadari kedatangannya. Ia dengan cepat berlari mendekat dan memeluk tubuhnya. “Lepas!” Alieen mencoba menolak pelukan Bintara. “Alieen, lu kenapa keringatan banyak begini? Lo demam? Maafkan gue, gue memang enggak becus jadi kakak Lo.” Bintara dengan lembut mengelus wajah Alieen. “Berhenti berakting, gue tanya sama Lo, kenapa bisa Lo ada di sini? Bagas, apa Lo yang kasih tahu dia?” “Apa untungnya buat gue Alieen...” “Tapi Lo selalu bilang dia bakal datang temui gue, itu maksudnya apa?” “Tanya saja kakak Lo
“Tuan muda, saya sudah menyelesaikan semua tugas, dan sekarang teman tuan sudah tidur. Apakah lebih baik saya menetap karena Anda akan menginap di sini, atau tidak?” tanya seorang wanita paru baya yang sudah bekerja dengan kakak Bagas sejak lama untuk merawat rumah lama mereka ini. “Ibu pulang saja, biar sisanya saya yang urus. Jangan lupa beri tahu kakak, jangan bertindak gila.” Setelah mendengarnya ia segera pergi meninggalkan rumah itu. Bagas terlihat sibuk dengan ponselnya kini meletakan ponselnya di meja, ia berbaring di sofa dan memandangi salah satu foto keluarga dirinya di dinding. “Gue sudah serahkan sama kakak, tapi apa kakak akan bertindak dengan semestinya? Dia itu, walau perempuan tapi kelakuannya mirip sama kakaknya Alieen.” Bagas menjadi mengingat masa lalunya saat pertama kali ia bergabung dengan organisasi dan pertama kali mendapatkan misi kecil yang di kelompokan bersama Lutbis. Tepatnya waktu itu Bagas baru masuk SMP, dan usianya masih 12 tahun. “Owalah, jadi in
Bagas masuk ke salah satu gang gelap bersama Alieen, dan segera mematikan motor yang mereka kendarai. Lalu suara sirene kepolisian mulai terdengar keras, tapi beberapa saat kemudian suara itu semakin menjauh. Alieen dan Bagas menghela nafas lega, Bagas sedikit menoleh ke belakang dan melihat wajah Alieen tiba-tiba pucat.“Alieen, Lo sakit?” Bagas sedikit panik dan khawatir.“Gue enggak apa-apa...” Tapi wajahnya yang pucat tidak bisa di bohongi. Bagas mencoba menempelkan punggung tangannya ke dahi Alieen, ia ingin mengecek apakah benar Alieen tidak apa-apa.“Lo panas! Gak bisa begini, gue harus bawa lu pulang!” Bagas akan menyalakan kembali motornya lalu tiba-tiba Alieen menempelkan kepalanya yang terasa berat ke punggung Bagas.“Jangan... Kalau pulang, gue enggak tahu apa di rumah aman atau enggak. Gue juga khawatir sama ibu gue tapi masih ada kak Bintara jadi ibu pasti aman.... Tapi, gue juga gak mau ke rumah sakit... Nanti mereka datang lagi dan Lo bisa-bisa dalam bahaya yang lebih
“Pak, kami sudah memeriksa gedung ini. Memang benar jika ada tanda-tanda dari nona muda. Tapi sepertinya nona muda di bawa orang lain dari sini.” Ucap salah satu anak buah Bintara sembari memberikan sebuah tab yang sedang memutar video rekaman cctv sekitar gedung. “Cepat temukan di mana Alieen berada!!” Perintah Bintara kepada anak buahnya. “Ketua, saya menemukan ini di semak-semak...” ucap Fitry, salah satu anggota tim investigasi kepolisian yang dapat di percayai oleh Bintara. “Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya ketua...” Bintara terkejut saat melihat apa yang di tunjukan Fitry kepadanya. “Bukannya ini ikat rambut Alieen, Adik Anda, ketua?” Bintara meraih plastik transparan yang berisi rambut yang masih terikat dengan ikat rambut biru. “Rambut halus ini, dan ikat rambut biru yang biasa di pakai Alieen... Apa maksud dari ia yang memotong rambutnya? Ah, benar. Gue ingat waktu pertama kali gue ketemu dia, kalau gue bilang suka sama dia yang rambut panjang, dan jika