“Aduh, kamu kok kasar sama aku?” ucap Shintia.
“Kasar? Bukannya kamu yang kasar? Kamu yang udah membuat orang-orang di sekolah ini meributkan hal konyol,” Bagas memojokkan tubuh Shintia ke satu sudut tembok.
“Dengan aku yang hanya menarikmu paksa seperti ini?” lanjut Bagas.
Shintia memasang wajah lugu tidak berdaya, berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia tertawa lepas ketika menyadari maksud dan tujuan Bagas membawanya ke belakang sekolah seperti ini.
“Akhirnya lo menunjukkan wajah asli lo,” Bagas selangkah mundur.
“Hah? Sejak kapan lo tahu?” Shintia justru melangkah maju bahkan menyentuh dagunya, dan segera di tangkis oleh Bagas.
“Hahaha, kenapa kali ini kamu menolak sentuhan tangan ini?” Shintia memiringkan kepalanya.
“Lo tahu, kan? Ketika cewek dan cowok hanya berdua di...” ucap Shintia tertahan sesaat. Lalu ia memutarkan keadaan. Saat ini bukan lagi dirinya yang sedang disudutkan, melainkan Bagas. Lalu Shintia tersenyum sangat menyeramkan, sepertinya ia sedang memikirkan suatu rencana.
“Apa arti dari rautan wajah dan tindakan anehnya saat ini?” Batin Bagas.
Wajah Shintia semakin mendekat, dan mendekat. Bagas sampai bisa mendengar deru nafasnya yang terdengar aneh.
“Jika dia seperti ini terus, bisa-bisa dia akan menci—“ Pikiran Bagas terhenti ketika ia melihat bayangan seseorang yang sedang bersembunyi di balik dinding. Bagas segera mendorong Shintia menjauhi dirinya sebelum semakin jauh tindakannya. Seketika sosok yang mengintip mereka pun menghilang bagaikan debu tertepa angin.
“Ke mana dia pergi?” Bagas masih mencari sosok itu, lalu tiba-tiba saja Shintia meraih flashdisk dari saku seragamnya.
“Hei! Kembalikan.” Teriak Bagas.
“Gue tahu, isi FD ini apa. Pasti buat menghancurkan rencana gue kan?” Senyum sinis Shintia terukir cerah sekali.
Ia seperti sedang memegang kartu AS di tangannya, lalu tanpa ragu menginjak flashdisk. Bagas segera mendorong tubuh Shintia agar berhenti melakukannya, tapi ia tetap tidak bisa menyelamatkan flashdisk itu. Mata Bagas tidak bisa berbohong, melihat Shintia yang sudah mengerti semuanya.
“Ini tidak menantang sama sekali. Ke mana sisi Bagaskara yang menyenangkan? Haha.” Ucapan terakhir Shintia.
Bagas terdiam sesaat, dan hanya melihat Shintia yang pergi semakin menjauh dari pandangannya.
“Gue tidak pernah tahu jika sifat asli Shintia itu sangat menyebalkan dan busuk.” ujar Bagas.
***
Bel berdering tiga kali tepat pukul dua siang. Artinya kini sudah saatnya untuk Alieen pulang Sekolah. Alieen kembali teringat apa yang ia lihat sampai membuatnya seperti terbebani dan galau. Di mana ia melihat dengan jelas betapa serasinya Bagas dan Shintia.
“Bod*h, buat apa gue galau karena hal itu? Iya kan, Rin?” Alieen lupa jika kali ini dia tidak memiliki siapa pun untuk mencurahkan isi hatinya lagi, suka maupun duka.
Alieen menghela nafas beratnya, berharap beban yang ia pikul sedikit ringan. Tapi justru bertambah, karena seorang Pria muncul dengan hoodie dan masker hitam yang tidak terlihat jelas siapa sosoknya.
“Eh? Siapa lo!” seru Alieen.
Tanpa mengetahui jawabannya, pria itu langsung menarik tangannya kasar. Murid-murid yang ada di sekitarnya melihat ke arah Alieen dan membisikkan sosok misterius itu, mereka mengira jika sosok itu adalah Rafandi. Lalu suara yang tidak asing membuat mata para murid terbelalak.
“Ada apa sih?” Seru Rafandi yang baru keluar dengan tas yang tergantung sebelah. Suasana menjadi hening seketika dan mereka mulai bertanya-tanya siapa sosok yang membawa Alieen pergi begitu saja. Bagas yang juga baru datang bersama Rafandi menatap bingung dengan penuh pertanyaan.
“Gue pergi duluan.” Ucap Bagas singkat.
Bagas segera berlari mengejar Alieen tanpa memedulikannya Rafandi yang menanyakan dirinya hendak pergi ke mana.
Di sisi lain, Alieen berusaha untuk melepaskan tangannya yang masih di genggam erat oleh sosok misterius itu.
Hingga akhirnya mereka berada di di dalam mobil, ia memperlihatkan wajahnya. Alieen pun baru menyadari jika pria ini adalah Bintara. Seharusnya Alieen tahu hal seperti ini suatu saat akan terjadi.
“Kenapa lo harus sampai bawa gue kayak begini? Apa enggak bisa ngomong baik-baik ke gue?” tanya Alieen tanpa menatap mata Bintara.
“Gue cuman menghindari masalah.” jawab Bintara.
“Biar in gue pulang sendiri!” Pinta Alieen.
“Apa lo mau orang-orang tau, kalau gue ini kakak lo?” pertanyaan Bintara membuat Alieen terdiam.
“Nurut saja sama gue.” lanjut Bintara.
Bagas yang melihat Alieen di bawa ke dalam mobil, berusaha menghampiri dan berniat ingin menegur orang yang membawa Alieen pergi. Tapi baru akan sampai di tempat, mobil itu sudah melaju terlebih dahulu.
“Sial!” umpatnya.
“Gue kurang cepat, tapi bagaimana dengan Alieen? Dia tidak ada masalah lain, kan?” Bagas menghela nafasnya, ia sangat khawatir setelah melihat situasi yang dihadapi Alieen. Tidak lama Rafandi datang dengan vespa legendaris miliknya.
“Lo ke mana saja? gue keliling sekolah nyariin lo.” ujar Rafandi.
Bagas hanya diam, ia sulit untuk menjawab pertanyaannya itu. Tapi Rafandi seakan mengerti apa yang ingin Bagas lakukan ia menyodorkan helm capung miliknya. Bagas segera menerima dan mengenakannya. Lalu tanpa basa basi Bagas segera menaiki vespa itu. Tapi baru saja naik vespa itu justru mati.
“Astaga! Jangan bilang motor lo kumat lagi!” geram Bagas.
“Sabar! Gue kasih mantra dulu, turun cepat! Vespa gue bisa saja makin ngambek sama kita nanti.” ucap Rafandi.
Bagas akhirnya turun kembali dan Rafandi berusaha menyalakan vespanya. Butuh perjuangan beberapa kali sampai Rafandi bisa menyalakan vespa kesayangannya itu. Setelah menyala mereka segera mengejar mobil yang sudah membawa Alieen pergi.
“Memang siapa sih yang kita ikutin?” tanya Rafandi sambil fokus menyetir.
“Alieen, dia yang tadi bikin semua orang pada rame di halaman sekolah.” Jawab Bagas.
“Hah? Alieen? Kok kita ikutin, kenapa?” Rafandi semakin penasaran.
“Gue tidak tau, yang pasti perasaan gue enggak enak.” Jawab Bagas.
Sedangkan Alieen ia hanya diam di dalam mobil Bintara, dia mendengar semua ucapan Bintara yang tidak berhenti seakan menyalahkan semuanya kepada dirinya.
“Seharusnya kalau lo tuh saat di ganggu, lo harus balik melawan. Bukannya cuman diam aja terima pasrah begitu.” ucapnya Bintara.
“Pantes saja lo lemah. Jadinya pada suka ganggu lo.” Lanjutnya.
“Termasuk lo kan.” ucap Alieen.
“Kok jadi gue?” tanya Bintara yang tidak mengerti. Alieen tidak menjawab pertanyaan Bintara.
“Kenapa diam? Jawab cepat!” bentak Bintara.
Alieen spontan menutup telinganya. Bintara yang melihat itu segera menepikan mobil miliknya. Lalu menarik kedua tangannya Alieen agar tidak menutupi telinganya.
“Kenapa lo tutup telinga? Lo enggak terima sama ucapan gue? Lo itu memang lemah! Baru begitu udah pasrah, menyerah. Seharusnya lo bisa lawan mereka supaya tidak semena-mena sama lo!” Bintara berteriak.
Alieen kali ini menangis ketakutan. Tangisan itu membuat Bintara semakin geram kepada Alieen, dan entah kenapa tangannya malah melayang ke udara dan mendarat keras di pipi Alieen.
Tatapan Bintara kali ini sangat berbeda, terlihat lebih menyeramkan. Ditambah ia melihat Alieen menangis, itu membuat Bintara semakin marah.
Alieen bergegas membuka pintu mobil itu, ia berusaha kabur dari Bintara, tapi tangannya ditahan olehnya. Cengkeramannya sangat kuat, Alieen memohon untuk dilepaskan tapi tidak kunjung melepaskannya. Hingga akhirnya pergelangan Alieen terlepas dan hal itu membuat tangannya sakit dan memar kemerahan. Setelah itu ia berlari pergi menjauh dari Bintara.
Huhu akhirnya bisa update! :" Jujur aja sekarang Moni enggak seperti dulu, gampang banget bagi waktu. Saat ini aja kalau lihat ada bantal, itu bawaannya mau tidur aja T^T Semoga kalian suka ya sama bab ini, jangan lupa tinggalkan tanda ya. Biar Moni juga tidak tersesat di labirin ini :' Terimakasih buat yg mampir, sampai jumpa di lain waktu! ♥
Alieen pada akhirnya tetap pulang ke rumahnya. Tapi sampainya di rumah justru ia kembali melihat sosok yang ia benci. Siapa lagi jika bukan kakak yang tidak ingin orang lain ketahui statusnya itu. Bintara.“Baru pulang? Kenapa kalian tidak pulang bareng saja?” Tanya sang Ibu.“Tadi aku—“ ucapan Alieen terpotong.“Tadi udah mau pulang bareng bu, tapi anak gadis ibu yang enggak mau. Malu katanya.” Ujar Bintara yang menyela nya.Alieen menatap wajah Bintara dengan kesal. Bintara berbohong dengan Ratih, Ibu mereka. Ratih juga percaya dengan ucapan Bintara yang justru menambah kekesalan dalam diri Alieen.Alieen sudah muak dengan ini semua, ia memutuskan untuk segera masuk ke dalam kamarnya. Walau Ratih memintanya untuk kembali segera turun agar bisa makan malam bersama tapi Alieen tidak ada niatan menuruti perintah ibunya.Alieen menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, dengan seragam yang masih lengkap. Ia
Saat Bintara membuka mata, Ratih dan Alieen sudah berada di sampingnya. Ia baru saja melewati masa kritis akibat luka tusuk di perutnya. “Ibu?” “Astaga, Bintara. Kamu kenapa bisa seperti ini?” “Aku tidak apa-apa bu. Jangan terlalu dipikirkan. Ibu lebih baik pulang saja, aku juga akan segera pulang.” “Bagaimana Ibu tidak khawatir? Kamu itu anak Ibu loh!” Ratih terlihat sangat sedih dan khawatir. Lalu ia mengambil teko yang ada di atas meja kecil di dekat tempat tidur pasien. “Alieen, bisa tolong ambilkan dulu air minum untuk Bintara?” Ratih menyodorkan teko itu kepada Alieen. “Iya bu.” Alieen segera pergi meninggalkan kamar itu. Sedangkan Ratih segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Lalu ia menatap Bintara penuh dengan kecemasan. “Siapa yang sudah melakukan hal ini? Bukan mereka, kan?” “Enggak bu, bukan.” “Lalu?” “Ibu, lain waktu saja ya? Aku... Aku belum siap buat ceritakan hal ini
“Apa yang ingin kalian lakukan?” tanya Bagas, tangannya tetap menahan pergelangan tangan Rini.“Lepasin tangan gue!” Seru Rini. Bagas akhirnya melepaskan tangan itu, dan pandangannya beralih melihat Alieen.“Gue sama sekali enggak nyangka kalau Rini akan tega begini sama gue,” Ujar Alieen di dalam hatinya.Rini pergi berlari meninggalkan mereka berdua. Sedangkan Alieen mencoba untuk memungut kembali belanjaan nya, tapi Bagas merebutnya dari tangan Alieen.“Apa yang mau lo lakuin?”“Buang, apa lagi?”Alieen ingin mencegahnya membuang belanjaannya, tapi Bagas sudah terlanjur menempatkan itu ke dalam tempat sampah. Alieen menatap tajam ke arahnya, padahal masih ada yang bisa di pakai lagi tapi Bagas membuang semuanya.“Lo tenang aja, kita belanja lagi.”Alieen menatap Bagas bingung, padahal ia tidak berkata apa pun seakan Bagas tau apa isi pikirannya.
Akhirnya mereka sampai di bengkel dan Bagas segera mencari bangku agar mereka dapat beristirahat sejenak, lalu berbicara kepada montir di sana untuk memperbaiki atau periksa bagian-bagian tertentu.“Gue kira dia Cuma pintar soal pelajaran, ternyata hebat juga soal motor.”Alieen tidak bisa memalingkan pandangannya dari Bagas, sampai akhirnya pria tersebut menoleh kearahnya. Seketika Alieen menjadi salah tingkah, dan tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang. Alieen berusaha untuk mengalihkan pandangannya ke sisi lain, berusaha agar tidak langsung berkontak mata kepadanya.Bagas yang melihat tingkah gadis tersebut hanya bisa menatap heran, lalu ia memesankan taksi melalui ponselnya. Tidak butuh waktu lama, taksi itu datang untuk menjemput Alieen. Bagas menarik lengan Alieen lembut agar mengikuti dirinya. Alieen pun hanya pasrah mengikuti Bagas, hingga akhirnya mereka berdiri di samping taksi itu.“Cepat naik, ini udah di pesan dan siap n
Saat orang misterius itu hendak akan menggapai pundaknya, Alieen langsung memukul kuat sosok itu dengan botol yang digenggamnya. Suara rintihan sosok itu seolah tidak asing lagi di telinganya. Alieen lantas mendongakkan kepalanya sedikit, dan ia melihat jika orang misterius itu adalah orang yang sangat ia kenal. Ia sangat terkejut dengar kehadiran sosok tersebut.“Aw, sebegitu dendamkah lo sama gue?”“Shintia! Kok lo ada di sini?”“Iya, gue kesini karena mau belanja bahan kue. Btw lo...”“Apa?”“Lo pasti belum ada kelompok kan buat bazar minggu depan. Lo sekelompok sama gue saja, ya?”“Huh? Sekelompok sama lo, yakin?”“Iya lah, gue kurang satu anggota kelompok lagi. Lumayan kan nanti kalau kita bisa dapat nilai plus gede?”Sejujurnya Alieen terkejut mendengar ajakan Shintia, ini sama sekali tidak sesuai dengan ekspektasi nya.
“Kenapa baru sampai rumah?” tanya Bintara yang menatap sinis Alieen dan Bagas. “Kok lo udah di rumah sih? Gak mau tinggal lama aja di rumah sakit?” Alieen berusaha mengubah topik, tapi Bintara tidak menghiraukannya. “Apa kepentingannya dengan lo? Begini kelakuan lo di luar rumah ya, Alieen?” Bintara melipat kedua tangannya di dada, dan membusungkan dada. Ia terlihat marah besar kali ini. Tapi Alieen hanya diam tidak menjawab apa pun, dan menundukkan kepalanya. Bagas yang melihat itu merasa sakit hati. “Kenapa bapak bisa ada di rumah ini? Bukannya ini...” “Ini rumah saya, kenapa? Kamu mau protes?” ucap Bintara memotong pertanyaan Bagas. Bagas tidak bisa percaya dengan ucapan Bintara, ia juga tidak mau terima jika Bintara dan Alieen tinggal satu atap. Alieen yang sedari tadi hanya bisa menundukkan kepala kini memutar tubuhnya me
Seketika lampu kamar Bintara menyala, dan ia datang mendekati Alieen dengan cemas ketika mendengar teriakan Alieen.“Hei! Ada apa?”Alieen perlahan membuka matanya dan ia kembali berteriak untuk kedua kalinya.“Eh! Hei kenapa lo teriak lagi?”“Woyy, lo gak pakai baju kak!” Teriak Alieen yang segera beranjak keluar dari kamar itu. Bintara juga terkejut, ia lupa sedang mengganti pakaiannya. Lalu lampu kamarnya tiba-tiba saja mati.Alieen masih menggerutu dan mencaci dirinya sendiri, karena bodoh. Seharusnya ia terlebih dahulu mengetuk pintu kamar itu, bukan asal buka dan masuk.“Tapi walau sekilas, ternyata Bintara punya otot perut yang...”“Astaga! Apa sih yang lagi lo pikiran Alieen! Gila lo, ya?”Alieen merasa malu, sampai wajahnya memerah. Ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya, tapi tiba-tiba terdengar suara benda pecah dari kamar Bintara.Alieen segera membuk
Pagi hari yang cerah tepatnya sesaat sebelum upacara di mulai. Rini sedang tertawaria dengan teman-teman nya. “Eh lo tau? Gue kemarin ketemu sama siapa?” ujar Rini yang duduk di atas meja dengan kaki menyilang dan sebatang permen lollipop di mulutnya. Semua temannya memandang penasaran dengan kisah yang akan di ceritakan Rini. Hal ini membuat ia senang danmeminta semuanya untuk saling mendekat. “Gue kemarin ketemu sama Bagas!” serunya. Mereka menatap tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan, sekali lagi Rini menegaskan kebenaran ucapannya. Lalu menambahkan sebuah kisah lain, di mana ia bertemu dengan Alieen yang masih di cap sebagai gadis yang buruk. Di saat itu Alieen kebetulan baru saja memasuki ruang kelasnya, membuat semua murid yang membicarakannya terdiam, hanya menyisakan Rini yang tertawa. Rini pun menyadari jika ada sesuatu di belakangnya, dan saat menoleh alien berdiri di dengan sorotan mata yang tidak pernah ia da
“Rina! Kenapa dia ada di sana!” Alieen terkejut dengan kemunculan Rina di dalam berita. “Lokasi Cafe itu enggak jauh dari sini.” Ucap Bagas yang melirik ke arah Bintara. “Kenapa dia lihat gue begitu? Seperti lagi mengejek gue karena gue polisi tapi malah enggak bertindak apa pun. Menyebalkan. Gue tahu maksud nya.” “Kalau begitu kita harus segera kesana!” Seru Alieen dan dirinya bergegas akan pergi keluar namun Bintara menahannya. “Jangan ke sana. Lebih baik Lo ikut gue dulu ke tempat Ibu berada. Ibu sudah khawatir banget sama Lo.” Ucap Bintara dengan lembut. Alieen selama ini belum pernah melihat Bintara selembut ini. Membuatnya merasa aneh. “Tapi...” “Kalau Lo masih tetap menghawatirkan teman Lo yang munafik itu biar si Bagas dan Kapten, si kakaknya Bagas yang urus. Toh di sana ada beberapa anak buah organisasi yang di ikuti Bagas, dan Kapten pasti sudah di jalan. Jadi Lo sekarang ikut gue. Jangan menjauh dari gue buat sementara, gue mohon sama Lo Alieen.” Bintara memegangi ta
Alieen sedang berada di dapur dan mencuci mangkuk yang ia pakai untuk makan. Tapi pikirannya sedang bekerja keras mencari cara agar dirinya bisa pergi menemui Shintia tanpa siapa pun menemaninya. Ia meletakan mangkuk ke rak dan menghela nafasnya sesaat.Namun ia mendengar suara percakapan seseorang di ruang tengah. Alieen merasa penasaran dan berjalan mendekati sembari bersembunyi dengan hati-hati.“Bintara, gue tahu semuanya. Apa Lo enggak mau interogasi gue?” Ujar Bagas yang duduk di sofa dengan tangannya yang sibuk dengan tendo.Bintara menatapnya sesaat lalu memasang wajah terkejut. “Ah! Benar, kenapa gue enggak tanya Lo buat cari tahu alasan Lo gabung organisasi mereka!”Ekspresi Bintara yang terlihat terkejut polos itu seketika berubah datar. “Lo pikir gue enggak tahu soal Lo? Walau enggak semuanya karena enggak berguna buat gue. Tapi gue sudah tahu kenapa Lo gabung sama mereka, tentu dari kakak Lo. Kalau enggak, saat datang ke sini gue sudah pisahkan kepala sama badan Lo itu.”
Alieen baru selesai menyantap sup, dan hendak akan keluar kamar untuk meletakkan mangkuk sup ke dapur di rumah ini. Namun ponselnya berdering dan nama yang muncul di layar adalah Shintia. Alieen langsung menjawab telepon tersebut.“Halo, Shintia?”“Gue rasa keadaan Lo baik-baik saja, dari suara yang terdengar segar.” Ketus Shintia.“Iya, bisa di bilang seperti itu. Kenapa telepon?” “Hah? Serius Lo tanya gue, kenapa telepon Lo? Yang benar saja Alieen! Lo itu tiba-tiba hilang di tengah kebakaran panti, susah di hubungi, ke mana saja Lo!”“Maaf bikin Lo khawatir, Hp gue rusak jadi susah di hubungi.”Alieen tidak sepenuhnya berbohong soal Hp nya yang rusak di temui oleh Bintara saat di panti asuhan karena jatuh dari genggaman Alieen saat dirinya di culik tiba-tiba. Tapi tetap saja ini terasa canggung saat dirinya di telepon Shintia seperti ini.“...Alieen, ada hal yang mau gue cerita ke lu. Gue merasa bersalah karena melibatkan Lo dalam masalah.” Shintia terdengar putus asa.“Kenapa dia
Alieen membuka matanya dan melihat sekitarnya. Ia menghela nafas saat mengetahui jika dirinya hanya sendirian saat ini, Alieen pun duduk di tepi kasurnya.Sebenarnya pikirannya sangat penuh berbagai pertanyaan dan kenyataan yang membingungkan dirinya. Namun bukan saatnya dirinya berdiam diri, Alieen memikirkan kembali perlahan apa yang baru terjadi kepadanya.“Baik, perlahan pikirkan kembali. Gue awalnya ada di panti asuhan yang Shintia kunjungi. Gue berasumsi dirinya sudah lama tinggal di sana dan gue juga dengar dia masih ada orang tua tapi kurang memperhatikannya. Tapi tiba-tiba gue di culik? Karena gue adiknya Bintara, padahal gue kurang paham masalahnya mereka. Yang pasti ini masalah sebuah organisasi WL itu kan? Gue enggak tahu apa saja organisasi itu lakukan. Gue harus cari tahu, tapi pertama gue harus lepas dari pengawasan Bintara. Selama ini dia sudah lama memasang alat pelacak diam-diam, berarti ada semacam CCTV tersembunyi atau alat perekam suara tersembunyi seperti di film
Terdengar suara bantingan pintu yang mengejutkan seorang lelaki berusia 45 tahunan. Namanya adalah Gerdy, seorang pemimpin mafia di antara jaman modern saat ini.“Walau kamu adalah anakku sendiri, bukannya sudah di ajarkan tata krama di sekolah?” Dengan santai Gerdy menghisap rokok sambil sibuk melihat dokumen yang berserakan di mejanya.“Papa! Apa maksudnya papa bakar panti asuhan! Papa tahu kan ada bunda di sana! Terutama ada Alieen dan aku di sana!! Apa papa mau membunuh anak sendiri?!” Teriak Shintia yang amarahnya sudah meledak-ledak.Sebuah dokumen tebal langsung menghantam wajah Shintia, dan yang melemparinya adalah Gerdy. Papanya mungkin terlihat tenang namun ada amarah yang tidak ia tunjukkan secara langsung.“PAPA!”Mata Gerdy sangat dingin kepada anaknya sendiri, perlahan dirinya mendekati Shintia, lalu berbicara dengan suaranya yang serak dan berat.“Dengar, jangan pernah bicara masalah ini. Kita sudah sepakat bukan. Sejak kau gagal bawa Bagas kemari, maka tidak ada kemuda
Perlahan Alieen membuka matanya dan ia mulai mendengar suara keributan, lalu Alieen menyadari jika ada suara Bintara yang sedari tadi berteriak memanggil namanya. Dengan lemas ia berusaha untuk bangun dari tempat tidur lalu berjalan perlahan menuju pintu kamarnya. Setelah membuka, Alieen benar-benar melihat Bintara yang sedang berargumen keras dengan seorang perempuan yang berdiri di depan Bagas. Karena penasaran Alieen berusaha mendekati mereka. “Alieen!” Seru Bintara yang menyadari kedatangannya. Ia dengan cepat berlari mendekat dan memeluk tubuhnya. “Lepas!” Alieen mencoba menolak pelukan Bintara. “Alieen, lu kenapa keringatan banyak begini? Lo demam? Maafkan gue, gue memang enggak becus jadi kakak Lo.” Bintara dengan lembut mengelus wajah Alieen. “Berhenti berakting, gue tanya sama Lo, kenapa bisa Lo ada di sini? Bagas, apa Lo yang kasih tahu dia?” “Apa untungnya buat gue Alieen...” “Tapi Lo selalu bilang dia bakal datang temui gue, itu maksudnya apa?” “Tanya saja kakak Lo
“Tuan muda, saya sudah menyelesaikan semua tugas, dan sekarang teman tuan sudah tidur. Apakah lebih baik saya menetap karena Anda akan menginap di sini, atau tidak?” tanya seorang wanita paru baya yang sudah bekerja dengan kakak Bagas sejak lama untuk merawat rumah lama mereka ini. “Ibu pulang saja, biar sisanya saya yang urus. Jangan lupa beri tahu kakak, jangan bertindak gila.” Setelah mendengarnya ia segera pergi meninggalkan rumah itu. Bagas terlihat sibuk dengan ponselnya kini meletakan ponselnya di meja, ia berbaring di sofa dan memandangi salah satu foto keluarga dirinya di dinding. “Gue sudah serahkan sama kakak, tapi apa kakak akan bertindak dengan semestinya? Dia itu, walau perempuan tapi kelakuannya mirip sama kakaknya Alieen.” Bagas menjadi mengingat masa lalunya saat pertama kali ia bergabung dengan organisasi dan pertama kali mendapatkan misi kecil yang di kelompokan bersama Lutbis. Tepatnya waktu itu Bagas baru masuk SMP, dan usianya masih 12 tahun. “Owalah, jadi in
Bagas masuk ke salah satu gang gelap bersama Alieen, dan segera mematikan motor yang mereka kendarai. Lalu suara sirene kepolisian mulai terdengar keras, tapi beberapa saat kemudian suara itu semakin menjauh. Alieen dan Bagas menghela nafas lega, Bagas sedikit menoleh ke belakang dan melihat wajah Alieen tiba-tiba pucat.“Alieen, Lo sakit?” Bagas sedikit panik dan khawatir.“Gue enggak apa-apa...” Tapi wajahnya yang pucat tidak bisa di bohongi. Bagas mencoba menempelkan punggung tangannya ke dahi Alieen, ia ingin mengecek apakah benar Alieen tidak apa-apa.“Lo panas! Gak bisa begini, gue harus bawa lu pulang!” Bagas akan menyalakan kembali motornya lalu tiba-tiba Alieen menempelkan kepalanya yang terasa berat ke punggung Bagas.“Jangan... Kalau pulang, gue enggak tahu apa di rumah aman atau enggak. Gue juga khawatir sama ibu gue tapi masih ada kak Bintara jadi ibu pasti aman.... Tapi, gue juga gak mau ke rumah sakit... Nanti mereka datang lagi dan Lo bisa-bisa dalam bahaya yang lebih
“Pak, kami sudah memeriksa gedung ini. Memang benar jika ada tanda-tanda dari nona muda. Tapi sepertinya nona muda di bawa orang lain dari sini.” Ucap salah satu anak buah Bintara sembari memberikan sebuah tab yang sedang memutar video rekaman cctv sekitar gedung. “Cepat temukan di mana Alieen berada!!” Perintah Bintara kepada anak buahnya. “Ketua, saya menemukan ini di semak-semak...” ucap Fitry, salah satu anggota tim investigasi kepolisian yang dapat di percayai oleh Bintara. “Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya ketua...” Bintara terkejut saat melihat apa yang di tunjukan Fitry kepadanya. “Bukannya ini ikat rambut Alieen, Adik Anda, ketua?” Bintara meraih plastik transparan yang berisi rambut yang masih terikat dengan ikat rambut biru. “Rambut halus ini, dan ikat rambut biru yang biasa di pakai Alieen... Apa maksud dari ia yang memotong rambutnya? Ah, benar. Gue ingat waktu pertama kali gue ketemu dia, kalau gue bilang suka sama dia yang rambut panjang, dan jika