“Aku minta rokoknya dong.” Queenie mengulurkan tangan dengan santainya.
“Bukannya kau dokter?” Kaisar tetap menyerahkan bungkusan rokoknya. “Ini tidak sehat dan di area rumah sakit dilarang merokok kan?” “Tenang saja. Di area ini aman kok,” balas perempuan itu menyulut rokoknya dengan santai. “Dan lagian aku perawat. Yah, walau pernah juga belajar psikologi.” Kaisar tidak menjawab lagi. Dia sedang dilanda kecemasan karena ketahuan bohong oleh salah satu teman istrinya. Dan ini jelas saja tidak baik baginya. Kalau Flora tahu, nasib perusahaannya bisa terancam. “Apa Erika sakit?” tiba-tiba saja Queenie bertanya dan langsung membuat Kaisar terbatuk-batuk karena tersedak asap rokoknya sendiri. Pria yang hari ini mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung itu, melotot ke arah Quennie. Dia sangat terkejut karena perempuan dengan seragam perawat itu langsung menyebut nama.“Bagaimana kau bisa pingsan sih?” Vanessa yang paling bisa diandalkan untuk kabur dari kantor mengomel ketika Queenie sudah pulang. Itu membuat Erika tersenyum. Dia selalu terhibur dengan kehadiran Vanessa. “Sejujurnya aku kurang tahu juga kenapa sampai masuk rumah sakit.” Erika mengedikkan bahunya. “Bagaimana bisa seperti itu?” Vanessa menghardik dan membut Erika bercerita. Tidak semuanya sih. Dia melewatkan soal Retno yang memergokinya berciuman dengan Bima. Atau lebih tepatnya dipaksa berciuman. “Kau itu sebenarnya kenapa sih?” Vanessa merasa heran mendengar cerita sahabatnya itu. “Perasaan kau tidak punya riwayat asma atau sejenisnya deh,” lanjut perempuan tambun yang kini sibuk mengatur makan pagi Erika yang sudah sangat telat. “Gak tahu juga sih,” Erika mengedikkan bahu. Erika sedikit berbohong karena sebenarnya dia tahu kalau dia sesak napas karena trauma. Trauma yang sebenarnya belum terlalu lama terjadi dan masih sangat membek
“Selamat pagi semua,” Erika menyapa rekan kerjanya dengan wajah cerah dan senyum lebar seperti biasa. “Loh, Mbak Erika? Kiraiin masih sakit. Kok udah masuk kerja?” Perempuan yang menggantikan Erika bertanya. “Ah, bukan sakit serius kok. Saya juga sudah langsung diizinkan pulang sama dokter,” Erika menjawab dengan senyuman. “Padahal kita sudah rencana mau jenguk sehabis pulang kantor nanti. Tapi syukur deh kalau sudah sembuh. Yakin gak masalah perlu istirahat lagi kan?” Erika menggeleng menjawab pertanyaan rekannya itu. Dia memang merasa sudah sangat sehat. Lagi pula memang tidak ada yang salah dengan tubuhnya, mentalnya yang bermasalah dan Erika sudah bisa mengatasinya dengan baik. “Kenapa kau ada di sini?” Erika langsung berdiri ketika mendengar pertanyaan itu. Dia langsung membungkuk hormat dan membukakan pintu ruangan karena yang datang adalah Kaisar.
“Apa sih yang membuatmu begitu bahagia?” Vaness langsung menyindir begitu melihat wajah Erika. “Ada deh. Kalian gak perku tahu dan hanya perlu membantuku menghabiskan uang,” sahut Erika terkekeh senang. “Dengan segenap hati akan kulakukan,” Lydia memekik riang. Dia sudah memikirkan berbagai jenis camilan. Erika tersenyum riang. Moodnya sedang sangat bagus. Ini semua karena Bima yang terang-terangan mengibarkan bendera perang terhadap saudaranya. Itu sudah sesuai dengan keinginan Erika. Salah satu tujuan utama Erika adalah menghancurkan keluarga Jayantaka dari dalam. Ini adalah salah satu langkah awal, sebelum Bima dan Kaisar saling menghancurkan. “Kuharap aku bisa lebih mempengaruhi Kai,” Erika bergumam pelan. “Kau mengatakan sesuatu?” Cinta yang berjalan paling dekat dengan Erika bertanya. “Tidak. Aku hanya bergumam saja. Sedang berpiki
Erika yang baru saja memarkir mobilnya, terlonjak ketika mendengar suara ketukan di jendela. Itu adalah Bima yang tersenyum lebar menyapanya, bahkan membukakan pintu mobil. “Hai, baru pulang?” tanya Bima tentu hanya basa-basi saja. “Apakah itu pantas disebut pertanyaan?” Erika terdengar sedikit ketus saat menjawabnya. Moodnya yang tadi bagus, kini kembali terjun bebas. “Namanya juga basa-basi,” Bima sama sekali tidak terpengaruh dengan mood Erika. Dia malah ingin mengerjai perempuan itu. “Kenapa sih? Lagi PMS ya?” “Kenapa sih lelaki selalu menganggap perempuan bad mood itu lagi PMS?” Erika mendelik kesal ke arah Bima. “Memangnya gak ada alasan kreatif lain?” “Astaga. Cuma bercanda, Ka,” seru Bima setelah tertawa pelan melihat reaksi ketus pujaannya. “Kalau gitu mau cerita kenapa bad mood?” Erika yang kini tengah menunggui lift, kembali
“Mbak Erika?” “Oh, ya. Kenapa Mbak Mel?” Erika menjawab panggilan itu dengan tergagap. “Kok melamun sih, Mbak?” Imel yang merupakan rekan Erika terkekeh. “Lagi banyak pikiran ya?” “Iya nih. Tahu aja kamu,” jawab Erika tersenyum lebar. “Lagi pikirin siapa? Pak Bima ya?” Imel jelas saja mengambil kesempatan untuk menggoda Erika. Erika sengaja tidak menjawab rekannya itu dan hanya tersenyum saja. Masalahnya akan jadi lebih panjang kalau dia menjawab dan Erika sedang malas berdebat. Dia memang memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan Bima sih. Tapi bukan pria itu yang dipikirkan, melainkan Retno sang ibu. Erika memikirkan pertanyaan perempuan paruh baya itu kemarin. “Terserah.” Itu yang Erika jawab kemarin. Jawaban yang terlalu abu-abu. “Wah, Mbak. Tuh pacarnya datang ngapel.” Erika menoleh ketika mendengar seruan bernada menggoda itu dan tentu saja melihat Bima di sana. Siapa lagi yang bisa disebut Imel sebagai pacar kalau bukan pria itu. Hanya Bima yang mengatakan perasaann
[Erika Bego: Apa kalian masih marah padaku?] Jemari lentik Erika bergerak mulus di atas ponselnya. Sudah tiga hari sejak para sahabatnya ngambek dan belum ada satu pun yang mengirip pesan apa pun di grup atau personal. “Kirim,” gumam Erika sambil menekan tombol kirim. “Yah. Kok gak dibalas sih?” keluh Erika dengan bibir maju, setelah beberapa menit menatap ponselnya. “Apa aku coba godaiin Kaisar saja ya? Aku kan harus lebih gencar lagi padanya.” Erika mengangguk mantap. Perempuan yang sudah menggunakan gaun tidur tipis berbahan satin itu, berbaring menelungkup di atas ranjang empuk dan besarnya. Sudah jam 10 malam, tapi Erika masih belum bisa tidur. “Halo, Sayang.” Erika terkikik geli ketika teleponnya terangkat. “Siapa ini?” terdengar suara mengantuk Kaisar dari seberang sambungan telepon. “Ah, Sayang. Kamu gimana sih? Masa suara pacar sendiri lupa.” Erika pura-pura merajuk, membuat Kaisar terdiam di seberang sana. “Apa kau gila?” kurang dari semenit kemudian, Kaisar sudah
“Kami datang tepat waktu gak?” tanya Retno dengan senyum mengembang, ketika melihat yang empunya rumah membukakan pintu. “Maksudnya apa ya, Bu?” Erika jelas saja bingung dengan pertanyaan itu. “Mama bawaiin sarapan pagi untukmu,” Bima yang menjawab sambil meringis. “Sayang sekali, tapi saya sudah masak dan sementara makan ketika pesan Pak Bima masuk.” Erika menyingkir dari pintu dan membiarkan dua orang itu masuk. Mereka tidak mungkin diminta berdiri di luar kan? Terutama karena Retno terlihat seperti membawa kantongan besar, bahkan Bima juga. “Bimma saja please. Ini bukan di kantor loh,” Bima mengingatkan. “Ada Bu Retno. Saya merasa sungkan.” “Wah, iya. Erika sudah masak mie goreng rupanya.” Kalimat Retno, membuat Bima urung memprotes Erika. Dia kemudian mengikuti jejak sang ibu untuk melihat keadaan dapur. Hal pertama yang Bima lihat memang sepiring mie goreng yang baru dimakan sedikit. Namun rupanya mata Bima cukup jeli. Dia melihat ada dua canngkir di atas island table.
“Pak Kaisar tadi menelepon minta dibawakan mie goreng untuk sarapan pagi. Dari pada beli, saya bawa saja sisa masakan saya.” Retno langsung mendesah lega begitu mendengar jawaban itu. Walau tidak cukup memuaskan, tapi setidaknya tidak terlalu mencurigakan. Dia lupa kalau tidak ada sisa mie, selain yang dipiring. “Boleh Tante ikut mobil kamu gak? Banyak yang ingin Tante tanyakan soal Kaisar.” Erika tak langsung menjawab. Dia sedang mempertimbangkan beberapa hal terlebih dulu, sebelum akhirnya mengangguk. Mungkin ini jadi kesempatan yang baik untuk mencari tahu beberapa hal atau bisa memprovokasi. “Sudah lama tinggal di sini?” Retno mulai berbicara setelah menelepon putra bungsunya, perihal perubahan rencana dadakan ini. “Apa mengetahui hal itu penting?” Erika menjawab sambil fokus pada jalanan. “Penting gak penting sih.” Retno meringis pelan. “Tolong tanyakan yang amat sangat penting saja,” balas Erika malas sekali melakukan percakapan ini. “Kalau tanya-tanya soal kantor bole
“Apa kau baik-baik saja?” “Tidak ada yang akan baik-baik saja, setelah keguguran, Nes.” Erika tersenyum pada sahabatnya. “Sorry.” Vanessa yang tadi bertanya, meringis dan merasa bersalah. “Tidak usah merasa bersalah. Itu tidak akan mengubah apa pun,” balas perempuan cantik yang baru saja memotong rambutnya jadi bob itu. “Tumben kau bisa bijak begitu.” Kali ini Lydia yang mengejek Erika. “Sebenarnya itu bukan kata-kataku, tapi kata-kata si dokter.” Kali ini, giliran Erika yang meringis. “Lagi pula, kantungnya juga kosong. Belum ada bayi di dalamnya.” “Bener juga sih, tapi kan harus tetap nunggu beberapa lama dulu kan?” Giliran Cinta yang bertanya. Empat perempuan yang bersahabat itu, kini tengah berkumpul di salah satu kafe kesukaan mereka. Walau semua sibuk dengan urusan rumah tangga masing-masing, tapi mereka menyempatkan diri berkumpul untuk menghibur Erika. “Ya, apalagi aku cuma diberikan obat dan bukan kuret. Jadi mungkin aku harus bertahan minimal tujuh bulan lagi.
“Erika.” Kaisar meneriakkan nama sang istri ketika dia tiba di rumah. “Sayang, kamu di mana?” Lelaki dengan pakaian kerja yang sudah berantakan itu, berlari menaiki tangga karena tidak mendapat jawaban. Dia juga tidak melihat sang istri di ruang tamu, maupun di dapur. Tinggal kamar yang belum diperiksa. “Sayang.” Kaisar langsung mendesah lega melihat istrinya meringkuk di atas ranjang. “Kamu kenapa?” Tidak ada jawaban dari Erika. Perempuan cantik itu bahkan tidak melepas pelukan pada lututnya. Dia bahkan belum mengganti baju, sejak pulang dari mengantar Queenie. “Erika.” Kaisar segera memeluk istrinya karena tahu ada yang tidak beres. Setidaknya, itu yang dikatakan sang kakak ipar. Lelaki yang terlihat makin matang itu, memang buru-buru pulang setelah mendapat pesan dari Queenie. Iparnya itu tidak mengatakan sesuatu yang spesifik, tapi Kaisar tahu ada yang salah. “Queenie ternyata hamil.” Akhirnya Erika bersuara dan mendongak, setelah cukup lama berdiam diri. “Padahal dia tidak
“Aku mohon.” Erika menggumamkan kalimat pendek itu, dengan mata terpejam dan kedua tangan terkatup. “Aku mohon kali ini berhasil.” Setelah sekali lagi menggumamkan kalimat serupa, si cantik itu membuka mata. Dia mengeluarkan stik yang sudah terendam beberapa menit pada cairan kuning dalam wadah kecil. Sayang sekali, hasilnya tidak membuat Erika senang. “Negatif lagi.” Erika mengatakan itu pada suaminya, ketika dia keluar dari kamar mandi. “Kamu tes lagi?” tanya Kaisar disertai dengan wajah prihatin. “Tentu saja aku akan terus melakukan tes, setiap kali kita selesai berhubungan,” jawab Erika dengan jujur. “Maksudku, tidak langsung juga.” “Sayang, tidak perlu buru-buru.” Selesai merapikan dasi, Kaisar langsung pergi memeluk istrinya itu. “Kita masih punya cukup banyak waktu untuk punya anak.” “Tapi ini sudah hampir dua tahun, Kai. Lydia saja sekarang sudah hamil anak kedua.” Tentu saja Erika akan mengeluh. Dia sudah sangat ingin menggendong malaikat kecil yang mirip dirinya atau
“Selamat pagi, Pak.” Kaisar menunduk ramah pada lelaki di depannya. “Halo, Kaisar.” Seorang lelaki pria tinggi besar mengulurkan tangan untuk menjabat. “Saya senang karena masih bisa menghubungi kamu.” “Saya yang harusnya senang karena Pak Herdiyanto masih mau menghubungi saya dan menawarkan pekerjaan.” Tentu saja Kaisar akan menunduk sopan. “Itu karena akan sangat sayang kalau bakat sepertimu hanya bekerja sebagai ojek saja.” Pak Herdiyanto menjawab dengan senyum cerah. “Syukurnya saya melihat postingan tunanganmu kamu dan kebetulan juga ada yang baru mengajukan pengunduran diri.” “Sangat kebetulan, Pak.” Kaisar sedikit meringis ketika mendengar hal itu. “Tapi bagi saya, tidak ada kebetulan di dunia ini.” Melihat lawan bicaranya sedikit canggung, Pak Herdiyanto mengatakan hal itu diiringi dengan kedipan mata. “Semua pasti ada alasannya.” Tak ada lagi yang bisa dikatakan oleh Kaisar, selain mengangguk. Dia kemudian mengikuti pria paruh baya itu ke ruangannya dan melakukan wawanca
“Kenapa kau tidak pernah bilang tentang pekerjaanmu?” tanya Erika dengan mata melotot, tidak peduli kalau sekarang dia sedang berada di tempat umum. “Tunggu dulu Erika.” Kaisar yang tadinya masih duduk di atas motor, kini turun untuk menjelaskan. “Aku mohon jangan marah dulu. Aku punya alasan untuk semua ini.” “Yang benar saja?” Erika makin melotot. “Bagaimana mungkin aku tidak marah ketika kau menyembunyikan semua ini.” “Aku tidak berniat untuk menyembunyikan apa pun. Aku hanya ....” “Hanya ingin bersenang-senang dengan cara membonceng perempuan lain?” Erika memotong kalimat tunangannya itu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Mana mungkin aku seperti itu, aku hanya .... Tunggu dulu.” Kaisar tiba-tiba saja menjadi bingung dengan apa yang dikatakan sang tunangan barusan. “Kau barusan bilang apa?” “Kau mau mengambil kesempatan dari penumpang perempuan kan?” tanya Erika tampak tidak mau menahan diri lagi. “Kau akan dengan sengaja mengerem mendadak agar nanti dada mereka b
“Kau itu bodoh atau apa?” tanya Viktor dengan kedua alis yang terangkat. “Mana bisa main menikah saja di catatan sipil dengan KTP saja?” “Aku hanya ... terburu-buru,” ringis Kaisar merasa agak malu juga. “Aku lupa kalau banyak yang harus diurus sebelumnya.” “Kau benar-benar bucin.” Viktor pada akhirnya hanya bisa menggeleng melihat temannya itu. “Bisa jangan terus menghina, Kai?” Setelah sekian lama diam, akhirnya Erika ikut berbicara. “Aku hanya mengatakan kenyataan, bukan menghina.” Viktor tentu akan membantah karena memang seperti itu dan membuat Erika mendengus kesal. Erika dan Kaisar memang langsung ke kantor Viktor si pengacara setelah dari DISDUKCAPIL dan ditolak. Tentu saja mereka datang ingin meminta bantuan dan bisa dengan mudah ditebak oleh Viktor. “Jadi mau dibantu nih?” tanya Viktor memainkan kedua alisnya, sekedar hanya untuk menggoda. “Kalau kau tidak sibuk dan mau,” jawab Kaisar rasional. Dia tahu sahabatnya itu cukup sibuk dan sebenarnya punya tarif yang m
“Aku gak jadi nikah.” Erika meneriakkan itu di depan ponselnya. “Hah? Maksudnya gimana?” Para sahabat Erika yang terhubung melalui panggilan video call, langsung memekik karena terkejut. “Aku udah balikin cincin yang dikasih Kaisar,” jawab Erika dengan wajah cemberut, siap untuk menangis. “Loh? Kenapa?” Cinta yang paling pertama bereaksi. “Perasaan baru berapa hari lalu kamu dilamar.” “Iya, tapi dia hanya asal ngelamar. Gak beneran mau nikah, apalagi dalam waktu dekat.” Erika menjawab dengan ekspresi kesal yang berlebihan. “Bentar-bentar.” Lidya langsung menghentikan sahabatnya yang baru mau menyambung kalimat itu. “Maksudnya gimana sih? Coba cerita yang detail.” Akhirnya, mengalirlah cerita Erika begitu saja. Tentu saja dia menceritakan itu dengan menggebu-gebu karena benar-benar merasa kesal. Tapi ternyata, itu membuat para sahabatnya jadi bingung. “Kenapa kau langsung minta pisah sih?” Vanessa yang bertanya dengan bingung. “Itu kan bisa dibicarakan baik-baik dulu.” “Aku su
“Erika.” Kaisar berteriak, sembari mengetuk pintu. “Kau belum makan.” Tentu saja tidak ada jawaban dari balik pintu. Perempuan cantik itu, bungkam dan tidak ingin berbicara pada sang kekasih. Entah Erika yang terlalu negatif atau apa, tapi dia merasa terkhianati. “Aku bukannya tidak ingin menikah.” Pada akhirnya, Kaisar kembali mencoba menjelaskan. “Aku tidak mempermainkanmu. Aku hanya meminta sedikit waktu, sampai aku cukup stabil untuk menghidupimu.” “Saat ini aku bahkan tidak pekerjaan, loh. Aku hanya bantu-bantu mama buat jualan dan itu pun masih baru merintis. Aku janji tidak akan lama-lama.” Seberapa banyak penjelasan yang diberikan Kaisar, tampaknya Erika enggan mendengar. Perempuan itu tetap bungkam dan mengunci diri di dalam kamar. Itu jelas membuat Kaisar menjadi makin sakit kepala. *** “Kenapa sih perempuan sulit sekali dimengerti?” Gagal membujuk Erika keluar kamar, pada akhirnya Kaisar berkunjung ke rumah temannya. “Kalau mereka mudah dimengerti, bukan perempuan
“Kurasa aku akan menikah dalam waktu dekat,” ucap Erika dengan raut wajah riang. “Eh, kok bisa?” Vanessa yang paling pertama menyahut dengan raut wajah kaget. Kebetulan, mereka memang sedang melakukan panggilan video grup. “Lelaki mana yang akhirnya berani melamarmu?” Lydia juga ikut bertanya dengan nada antusias. “Padahal kupikir kau akan menunggu Kaisar sampai tua.” Cinta yang meledek, sambil menyuapi anaknya makan. “Aku dengan Kaisar kok,” jawab Erika masih dengan nada riang. “Tadi pagi dia melamarku.” Seruan bernada kaget langsung terdengar. Satu per satu sahabat Erika, mulai menanyakan banyak hal. Mereka tentu saja penasaran kenapa bisa Kaisar Arya Jayantaka pada akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Erika Wiratama. Tentu saja Erika tidak keberatan menceritakan lamaran yang sama sekali tidak romantis itu, tapi tetap berhasil membuatnya terharu. Dia bahkan memamerkan cincin tipis yang dibelikan Kaisar. “Cantik kan?” tanya Erika benar-benar tak bisa untuk tidak tersenyum