Lagi-lagi Retno iseng ke gedung apartemen yang sering didatangi anak sulungnya. Dia baru saja turun dari mobil yang dia kendarai seorang diri, ketika mendengar seorang perempuan berteriak.
Suara itu terdengar tidak begitu jauh. Dan ternyata benar, dia bisa melihat sepasang muda mudi tengah berciuman tak jauh dari tempatnya parkir. Hanya saja sepertinya yang perempuan terlihat keberatan dan yang pria seperti dia kenali. “Bima? Apa itu kamu?” Retno kembali bertanya, setelah lebih dekat dengan mobil yang dia kenali. Tidak ada yang menjawab, tapi dua orang itu sudah berhenti berciuman. Si lelaki terlihat menunduk dan yang perempuan bergegas pergi, bahkan berlari. “Eh, tunggu.” Retno hendak mengejar, tapi Bima menghalanginya. “Ma,” panggilnya, menahan pergelangan tangan sang ibu. “Tadi itu siapa?” Retno segera mencecar anaknya. “Kau tidak melakukan tindak kejaha“Aku minta rokoknya dong.” Queenie mengulurkan tangan dengan santainya. “Bukannya kau dokter?” Kaisar tetap menyerahkan bungkusan rokoknya. “Ini tidak sehat dan di area rumah sakit dilarang merokok kan?” “Tenang saja. Di area ini aman kok,” balas perempuan itu menyulut rokoknya dengan santai. “Dan lagian aku perawat. Yah, walau pernah juga belajar psikologi.” Kaisar tidak menjawab lagi. Dia sedang dilanda kecemasan karena ketahuan bohong oleh salah satu teman istrinya. Dan ini jelas saja tidak baik baginya. Kalau Flora tahu, nasib perusahaannya bisa terancam. “Apa Erika sakit?” tiba-tiba saja Queenie bertanya dan langsung membuat Kaisar terbatuk-batuk karena tersedak asap rokoknya sendiri. Pria yang hari ini mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung itu, melotot ke arah Quennie. Dia sangat terkejut karena perempuan dengan seragam perawat itu langsung menyebut nama.
“Bagaimana kau bisa pingsan sih?” Vanessa yang paling bisa diandalkan untuk kabur dari kantor mengomel ketika Queenie sudah pulang. Itu membuat Erika tersenyum. Dia selalu terhibur dengan kehadiran Vanessa. “Sejujurnya aku kurang tahu juga kenapa sampai masuk rumah sakit.” Erika mengedikkan bahunya. “Bagaimana bisa seperti itu?” Vanessa menghardik dan membut Erika bercerita. Tidak semuanya sih. Dia melewatkan soal Retno yang memergokinya berciuman dengan Bima. Atau lebih tepatnya dipaksa berciuman. “Kau itu sebenarnya kenapa sih?” Vanessa merasa heran mendengar cerita sahabatnya itu. “Perasaan kau tidak punya riwayat asma atau sejenisnya deh,” lanjut perempuan tambun yang kini sibuk mengatur makan pagi Erika yang sudah sangat telat. “Gak tahu juga sih,” Erika mengedikkan bahu. Erika sedikit berbohong karena sebenarnya dia tahu kalau dia sesak napas karena trauma. Trauma yang sebenarnya belum terlalu lama terjadi dan masih sangat membek
“Selamat pagi semua,” Erika menyapa rekan kerjanya dengan wajah cerah dan senyum lebar seperti biasa. “Loh, Mbak Erika? Kiraiin masih sakit. Kok udah masuk kerja?” Perempuan yang menggantikan Erika bertanya. “Ah, bukan sakit serius kok. Saya juga sudah langsung diizinkan pulang sama dokter,” Erika menjawab dengan senyuman. “Padahal kita sudah rencana mau jenguk sehabis pulang kantor nanti. Tapi syukur deh kalau sudah sembuh. Yakin gak masalah perlu istirahat lagi kan?” Erika menggeleng menjawab pertanyaan rekannya itu. Dia memang merasa sudah sangat sehat. Lagi pula memang tidak ada yang salah dengan tubuhnya, mentalnya yang bermasalah dan Erika sudah bisa mengatasinya dengan baik. “Kenapa kau ada di sini?” Erika langsung berdiri ketika mendengar pertanyaan itu. Dia langsung membungkuk hormat dan membukakan pintu ruangan karena yang datang adalah Kaisar.
“Apa sih yang membuatmu begitu bahagia?” Vaness langsung menyindir begitu melihat wajah Erika. “Ada deh. Kalian gak perku tahu dan hanya perlu membantuku menghabiskan uang,” sahut Erika terkekeh senang. “Dengan segenap hati akan kulakukan,” Lydia memekik riang. Dia sudah memikirkan berbagai jenis camilan. Erika tersenyum riang. Moodnya sedang sangat bagus. Ini semua karena Bima yang terang-terangan mengibarkan bendera perang terhadap saudaranya. Itu sudah sesuai dengan keinginan Erika. Salah satu tujuan utama Erika adalah menghancurkan keluarga Jayantaka dari dalam. Ini adalah salah satu langkah awal, sebelum Bima dan Kaisar saling menghancurkan. “Kuharap aku bisa lebih mempengaruhi Kai,” Erika bergumam pelan. “Kau mengatakan sesuatu?” Cinta yang berjalan paling dekat dengan Erika bertanya. “Tidak. Aku hanya bergumam saja. Sedang berpiki
Erika yang baru saja memarkir mobilnya, terlonjak ketika mendengar suara ketukan di jendela. Itu adalah Bima yang tersenyum lebar menyapanya, bahkan membukakan pintu mobil. “Hai, baru pulang?” tanya Bima tentu hanya basa-basi saja. “Apakah itu pantas disebut pertanyaan?” Erika terdengar sedikit ketus saat menjawabnya. Moodnya yang tadi bagus, kini kembali terjun bebas. “Namanya juga basa-basi,” Bima sama sekali tidak terpengaruh dengan mood Erika. Dia malah ingin mengerjai perempuan itu. “Kenapa sih? Lagi PMS ya?” “Kenapa sih lelaki selalu menganggap perempuan bad mood itu lagi PMS?” Erika mendelik kesal ke arah Bima. “Memangnya gak ada alasan kreatif lain?” “Astaga. Cuma bercanda, Ka,” seru Bima setelah tertawa pelan melihat reaksi ketus pujaannya. “Kalau gitu mau cerita kenapa bad mood?” Erika yang kini tengah menunggui lift, kembali
“Mbak Erika?” “Oh, ya. Kenapa Mbak Mel?” Erika menjawab panggilan itu dengan tergagap. “Kok melamun sih, Mbak?” Imel yang merupakan rekan Erika terkekeh. “Lagi banyak pikiran ya?” “Iya nih. Tahu aja kamu,” jawab Erika tersenyum lebar. “Lagi pikirin siapa? Pak Bima ya?” Imel jelas saja mengambil kesempatan untuk menggoda Erika. Erika sengaja tidak menjawab rekannya itu dan hanya tersenyum saja. Masalahnya akan jadi lebih panjang kalau dia menjawab dan Erika sedang malas berdebat. Dia memang memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan Bima sih. Tapi bukan pria itu yang dipikirkan, melainkan Retno sang ibu. Erika memikirkan pertanyaan perempuan paruh baya itu kemarin. “Terserah.” Itu yang Erika jawab kemarin. Jawaban yang terlalu abu-abu. “Wah, Mbak. Tuh pacarnya datang ngapel.” Erika menoleh ketika mendengar seruan bernada menggoda itu dan tentu saja melihat Bima di sana. Siapa lagi yang bisa disebut Imel sebagai pacar kalau bukan pria itu. Hanya Bima yang mengatakan perasaann
[Erika Bego: Apa kalian masih marah padaku?] Jemari lentik Erika bergerak mulus di atas ponselnya. Sudah tiga hari sejak para sahabatnya ngambek dan belum ada satu pun yang mengirip pesan apa pun di grup atau personal. “Kirim,” gumam Erika sambil menekan tombol kirim. “Yah. Kok gak dibalas sih?” keluh Erika dengan bibir maju, setelah beberapa menit menatap ponselnya. “Apa aku coba godaiin Kaisar saja ya? Aku kan harus lebih gencar lagi padanya.” Erika mengangguk mantap. Perempuan yang sudah menggunakan gaun tidur tipis berbahan satin itu, berbaring menelungkup di atas ranjang empuk dan besarnya. Sudah jam 10 malam, tapi Erika masih belum bisa tidur. “Halo, Sayang.” Erika terkikik geli ketika teleponnya terangkat. “Siapa ini?” terdengar suara mengantuk Kaisar dari seberang sambungan telepon. “Ah, Sayang. Kamu gimana sih? Masa suara pacar sendiri lupa.” Erika pura-pura merajuk, membuat Kaisar terdiam di seberang sana. “Apa kau gila?” kurang dari semenit kemudian, Kaisar sudah
“Kami datang tepat waktu gak?” tanya Retno dengan senyum mengembang, ketika melihat yang empunya rumah membukakan pintu. “Maksudnya apa ya, Bu?” Erika jelas saja bingung dengan pertanyaan itu. “Mama bawaiin sarapan pagi untukmu,” Bima yang menjawab sambil meringis. “Sayang sekali, tapi saya sudah masak dan sementara makan ketika pesan Pak Bima masuk.” Erika menyingkir dari pintu dan membiarkan dua orang itu masuk. Mereka tidak mungkin diminta berdiri di luar kan? Terutama karena Retno terlihat seperti membawa kantongan besar, bahkan Bima juga. “Bimma saja please. Ini bukan di kantor loh,” Bima mengingatkan. “Ada Bu Retno. Saya merasa sungkan.” “Wah, iya. Erika sudah masak mie goreng rupanya.” Kalimat Retno, membuat Bima urung memprotes Erika. Dia kemudian mengikuti jejak sang ibu untuk melihat keadaan dapur. Hal pertama yang Bima lihat memang sepiring mie goreng yang baru dimakan sedikit. Namun rupanya mata Bima cukup jeli. Dia melihat ada dua canngkir di atas island table.