Kaisar memijat pangkal hidungnya. Kepalanya yang sudah penuh dengan pekerjaan, kini harus ditambah bebannya. Membuat kepalanya nyaris pecah.
“Argh.” Geraman kesal Kaisar menyentak seisi ruang rapat. Mereka sontak menatap pimpinan tertinggi perusahaan itu, bertanya dengan tatapan mata apa yang salah. Terutama pembawa materi yang sudah terlihat pucat. “Lanjutkan saja,” hardik Kaisar terlihat tak sabaran. Hembusan napas lelah terdengar setelahnya dan Erika yang melihat itu bisa menebak apa yang terjadi. Erika sudah menyampaikan keinginan sang nyonya dan Kaisar tentu menolak ide itu. Padahal Kaisar sudah berusaha menahan diri. Padahal dia sudah berjanji tak akan termakan omongan Erika lagi. Tapi kalau istrinya yang selalu berusaha mendekatkan mereka walau tidak sengaja, lama-lama dia bisa terjebak lagi. Istrinya yang bodoh itu meminta Erika ikut dalam acara bulan madu. Luar biasa kan? “Sialan.” “Kenapa, Pak?” Seseorang yang mendengar gumaman itu bertanya sepelan mungkin. “Tidak ada apa-apa. Kalian coba buat simulasi pemasarannya saja dulu, setelah itu laporkan padaku. Rapat hari ini selesai.” Merasa tidak lagi bisa fokus, Kaisar memilih menghentikan rapat. Dia mungkin harus mengistirahatkan pikirannya sejenak. Terutama dari ide gila istrinya. Dia ingin menghentikan semua kegilaan yang dilakukannya bersama Erika. Bukan karena dia ingin hidup pernikahan yang baik, tapi karena dia membenci perempuan itu. “Silakan teh chamomilenya, Pak.” Kaisar yang sedang bersandar di kursi kerjanya dengan lengan menutup wajah, mengintip sedikit. Dia menengkus kesal ketika lagi-lagi harus melihat orang yang sebenarnya ingin dia hindari. “Aku tidak memintamu membuat teh.” Kaisar kembali menutup wajahnya. “Saya hanya membuatkan karena sepertinya anda sedang banyak pikirian,” jawab Erika tetap bisa tersenyum. “Aku membencimu.” “Ehm... Apakkah Pak Kaisar tahu kalau perkataan itu terdengar sangat kekanakan?” Pria itu tidak membalas. Dia tahu akan kalah jika membalas sekretarisnya itu. Erika punya pikiran yang cerdas dan selalu bisa diajak berargumen, walau dia pada akhirnya lebih banyak mengalah. “Kalau sebenci itu kenapa menerima saya?” “Menurutmu karena siapa? Kalau bukan karena Flora mengancam, aku tidak akan menerimamu kerja di sini.” “Lalu kenapa anda menerima tawaranku yang satunya lagi?” Kali ini suara geraman yang terdengar dari bibir Kaisar. Pria itu pun tak punya jawaban untuk yang satu itu. Jangankan Erika, dia saja heran. “Lalu kenapa kau menawarkan itu?” Kaisar balas bertanya. Sama seperti Kaisar, Erika tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Bukan karena tidak punya jawabannya, tapi karena tidak mungkin memberitahu yang sebenarnya. “Karena anda selalu mengejek saya sebagai perempuan murahan dan sebagainya,” jawab Erika baru teringat dengan kalimat yang dulu pernah dia katakan pada pria itu. “Jadi ya sekalian saya benar-benar jadi murahan saja.” Sekali lagi Kaisar menggeram marah. Dia masih ingin berdebat, tapi sudahlah. Dia sedang ingin mengistirahatkan otaknya dan mencari jalan agar istrinya tidak terus-terusan ngambek. Ngambek karena dia menolak usulan sang istri. “Cobalah pergi membujuk Flora agar kau tidak perlu ikut. Dan lakukan apa pun agar dia berhenti merajuk.” Erika tidak lagi menjawab. Dia hanya sedikit menunduk, kemudian segera mengundurkan diri. Pekerjaan sedang menunggunya. “Dia hari ini pulang ke rumah orang tuanya,” Kaisar yang sudah menutup wajah lagi menambahkan, sebelum Erika menutup pintu ruangan. *** Setelah seharian mengurus kerjaan kantor, kini Erika terpaksa harus mengurus urusan pribadi bosnya. Ddia malas melakukan ini, tapi akan susah menolak juga. Erika masih butuh pekerjaan itu demi kelangsungan rencananya. Sore ini Erika sudah berhasil mendapatkan buket bunga dan cokelat untuk nyonya bos. Itu adalah hal yang disukai wanita, terutama Flora yang posesif pada Kaisar. “Apa Nyonya Flora ada di rumah?” Erika bertanya pada petugas keamanan, setelah menyerahkan kartu identitas dirinya. Yah. Keamanan di rumah orang kaya memang menyebalkan. Bukan hanya di depan kompleks saja yang harus melapor, tapi di rumah yang bersangkutan juga. Untungnya Erika sudah cukup terbiasa dengan hal seperti ini. Rumah mantan bos Erika yang di Amerika juga seperti itu, teknologinya lebih canggih malah. Bukan hanya lebih cannggih rumah itu juga lebih mewah dari rumah orang tua nyonya bos. Mobil Mini yang dibawa Erika melaju melewati pagar dan diparkir tak jauh dari teras. Dia kemudian mengambil tas dan buket bunga di kursi penumpang, kemudian bergegas masuk. “Astaga Erika. Apa yang membuatmu kemari?” Pekikan senang Flora itu membuat Erika menoleh. Dia menemukan perempuan itu baru keluar dari lift yang jaraknya tak jauh dari ruang tengah dan refleks mengembangkan senyum. “Maaf karena datang tanpa pemberitahuan.” “Datanglah kapan pun kau ingin. Tak akan ada yang melarangmu datang,” jawab Flora memeluk Erika dengan erat. Perempuan berkulit eksotik itu sepertinya baru selesai mandi. Dia terlihat segar dan sangat harum. Belum lagi rambutnya yang masih agak basah. Jujur saja, kalau Erika pria dia pasti akan terposona pada kulit eksotis yang sangat terawat itu. “Saya datang atas permintaan Pak Kaisar, beliau menitipkan ini.” Erika segera memberikan buket bunga mawar merah segar, berikut sekantong cokelat mahal merk Jepang pada Flora. Memang atas perintah Kaisar, tapi Erika yang membelinya. Dan sesuai dugaan Flora menyukainya, walau masih pura-pura kesal. “Saya mengambil yang Nama Chocolate Champagne Pierre Mignon. Katanya coklat bisa menaikkan mood, tapi rasanya akan terlalu hambar tanpa tambahan alkohol.” “Ck. Dia pikir ini akan membuatku senang,” keluh Flora sambil mengulum senyum. Flora makin tersenyum riang. Dia senang sekali karena sahabat barunya ini sangat pengertian dan tahu seleranya. Tanpa perlu diperintah lagi, Flora memeluk Erika. “Kau memang yang terbaik,” seru Flora terdengar sangat terharu. Tak ada yang dilakukan Erika. Dia hanya bisa membalas pelukan itu dengan hangat. Inilah yang memang diinginkannya. Mengambil hati Flora agar suatu hari nanti tidak dicurigai. Sama yang dia lakukan dengan istri mantan bosnya. Jahat memang, tapi mau diapa. Kali lalu dia melakukan hal itu karena terpaksa. Kali ini dia melakukannya karena keharusan. Demi kebahagiaannya sendiri. “Saya sangat berharap tidak diikutkan untuk liburan anda berdua kali ini. Kebetulan saya sedang ada urusan.” “Oh, ayolah. Kenapa kau plin plan sekali sih? Ini kan sudah di luar jam kerja, kenapa malah jadi bicara sopan. Dan tidak Erika kau akan tetap ikut.” Erika langsung meringis mendengar itu. Meringis karena tujuan datangnya malah ditolak dan dia malah ditegur. Bukannya Erika tidak bisa bersikap santai, tapi dia sengaja. Dia sekedar enggan berbicara santai terlalu sering. Entah mengapa Erika kurang nyaman dengan Flora. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal dengan perempuan ini di depannya ini, tapi Erika belum tahu makanya dia lebih banyak diam saja. “Oh, ada tamu. Apakah ini teman barumu?” suara berat yang samar-samar dikenali Erika terdengar. “Oh, Daddy sudah pulang,” Flora memekik riang melihat ayahnya datang. Erika membiarkan Flora berlari pergi dari depannya untuk menyambut sang ayah. Awalnya sih Erika tidak terlalu memperhatikan. Dia tidak peduli dengan ayah Flora, tapi ketika pria itu mendekat Erika terkejut. Bukan hanya sekedar terkejut biasa, tapi dia benar-benar kehilangan kata-kata. Pupil mata Erika melebar, seolah sedang melihat hantu. Tubuhnya gemetar dan napasnya tertahan. Dia mengenali pria itu. ***To Be Continued***Kaisar mengumpat kesal. Lagi-lagi dia baru saja bertengkar dengan istrinya. Dan coba tebak, ini semua gara-gara dia menolak ide bulan madu ramai-ramai. Yeah. Ramai-ramai. Rupanya bukan cuma Erika saja yang diajak, tapi juga beberapa orang teman dan keluarga. Tentu saja ini terasa menyebalkan bagi Kaisar. Mana ada bulan madu rombongan seperti itu? “Kenapa pintunya lama sekali baru dibuka sih?” Kaisar bergumam kesal, sembari terus menekan bel. Lelaki itu menatap pintu unit penthouse mewah di depannya dengan tatapan bimbang. Haruskah dia pergi saja atau haruskah dia menerobos masuk saja? “Masa bodoh. Aku sedang tidak ingin tidur di rumah.” Akhirnya Kaisar memutuskan masuk menggunakan pin yang sudah dia tahu sebelumnya. Dan ya, itu adalah rumah Erika. Sesungguhnya Kaisar punya apartemen sendiri, tapi letaknya lebih jauh. Dia pun pernah dua kali datang ke unit Erika ini. Sekali datang bersama sang adik, sekali ketika akhirnya dia menerima ajakan perempuan itu. Dan ya, dia diberitahu
“Aku bertengkar dengan Kai.” Erika meringis mendengar penuturan Flora. Perempuan blasteran yang menjadi istri dari bosnya di kantor, sekaligus juga bisa dikatakan sebagai sahabatnya. “Dia pergi meninggalkan rumah dan aku tak tahu apa dia sudah baca chatku atau tidak, tapi dia tidak membalas.” Ringisan Erika makin menjadi mendengar hal itu. Dia tahu kalau Kaisar sudah membaca pesan Flora. Hanya saja pria itu menonaktifkan fitur laporan dibaca, sehingga tanda centang dua yang ada pada chat tak akan berubah biru walau sudah dibaca. “Mungkin Pak Kaisar menginap di apartemennya. Dan mungkin saja sekarang dia sudah tidur,” jawab Erika mencoba menenangkan. “Tapi gimana kalau dia malah pergi cari perempuan di klub?” “Ehm... aku rasa tidak. Hari ini kami lembur, jadi beliau pasti lelah dan tak punya tenaga lagi pergi ke tempat seperti itu.” Tentu saja sebagian besar dari kalimat Erika itu bohong. Buktinya Kaisr tadi sempat ada di rumahnya, walau pria itu segera diusir setelah Flora men
“Ngapain sih si Kai pakai acara kabur dari rumah segala?” Erika meringis mendengar pria tinggi di sebelahnya. Dia adalah adik kandung dari Kaisar. Radja Bima Jayantaka. Pria yang berprofesi sebagai model itu, katanya ada yang ingin dia bicarakan dengan kakaknya. Dan di sini lah mereka berada. Di lobi hotel yang tiba-tiba saja dijadikan sebagai tempat menginap Kaisar. Erika tadi sempat menghubungi Kaisar, agar pria itu segera berpindah ke hotel yang tak jauh dari rumahnya dengan sang istri. Ini tentu saja agar Bima tidak curiga. “Saya juga kurang tahu, tapi Nyonya ada di rumah saya,” jawab Erika setengah berbohong. “Oh ya? Kok bisa?” Bima terlihat cukup terkejut. “Sepertinya ini soal bulan madu yang tertunda itu. Mereka sepertinya tidak sejalan soal itu,” jawab Erika kali ini jujur. “Ah, pasti karena Flora mau mengajak banyak orang kan ya? Dia mengajakku juga.” Erika mengangkat kedua alisnya. Mengajak satu orang saja Kaisar sudah menolak, apalagi mengajak lebih dari satu orang.
Suara ketukan jari terdengar sangat jelas karena Kaisar melakukannya dengan sengaja. Pria itu mengetukkan jemarinya di atas meja rapat untuk memperlihatkan benda yang terpasang di sana pada lawan bicaranya. Perempuan yang menjadi klien hari ini, terus-terusan menatapnya dengan intens. Dan itu jelas saja membuat Kaisar risih. Dia tak pernah suka dengan perempuan jenis seperti ini. Teman perempuan itu saja mengernyit sebal, apalagi Kaisar yang diperlakukan seperti ini sejak kemarin. Klien yang ditemui Kaisar setelah bertemu sang adik kemarin pun sama ganjennya. Dan itu menyebalkan. “Maaf, Bu. Apa penjelasannya sudah bisa dimengerti?” Erika bertanya dengan nada kesal. Erika sangat pantas merasa kesal karena penjelasannya sedari tadi tidak didengar. Perempuan yang mewakili salah satu distributor obat terbesar itu, hanya memandang Kaisar dan hanya mendengar ketika pria itu bicara. Terlalu menyebalkan. “Oh, apa kau baru saja mengatakan sesuatu?” tanya perempuan itu menoleh sebentar pa
“Astaga Flora. Apa kau pikir ini ring tinju?” Kaisar memekik keras diikuti bantingan pintu ruangannya. Pria itu baru saja melerai pertengkaran istrinya dengan wakil dari distributor. Tak tanggung-tanggung, Flofa tidak hanya menampar, tapi juga menjambak rambut perempuan itu. “Salahkan saja dia yang menggodamu duluan.” Kening Kaisar berkerut mendengar pernyataan istrinya itu. Dia kemudian langsung memandang ke arah pintu yang baru saja menutup karena Erika baru saja masuk. Dan dengan mudah Kaisar mengetahui kalau ini adalah ulah sekretarisnya. Ya. Pasti seperti itu. Erika pasti mengerjainya lagii, seperti kala itu. Ketika dia dengan sengaja memberi cap lipstik pada cangkir yang dipakainya. Kaisar sampai harus menghadapi kemarahan semua orang karena Flora menemukannya dan ngambek. “Maaf, Pak. Nyonya sepertinya tidak sengaja mendengar percakapan saya tadi ketika turund ari lift,” Erika menjelaskan tanpa meminta. “Dan untuk apa juga kau mengantar perempuan itu sampai di lobi,” hard
“Melelahkan.” Erika menghempaskan dirinya ke atas tempat tidur. Dia tak peduli lagi dengan tubuhnya yang terasa lengket dan kotor. Pekerjaan beberapa hari ini sangat melelahkan. Apa lagi ditambah dengan mempersiapkan perjalan bulan madu yang bahkan belum sempat dia lakukan. Sebenarnya bukan hanya beberapa hari belakangan dia sibuk. Sejak pertama masuk pun Erika sebenarnya sudah cukup sibuk. Hanya saja kala itu dia masih ditemani oleh senior yang dia gantikan kedudukannya, jadi kala itu masih tak terlalu sibuk. Tapi saat itu Erika juga tidak bisa berbuat banyak. Tidak mungkin anak baru tiba-tiba meminta data perusahaan tiga tahun lalu kan? Itu terlalu mencurigakan. “Aku tidak melakukan kesalahan kan? Ini sudah benar kan?” gumam Erika yang menjadikan lengannya untuk menutupi mata. “Kamu sudah melakukan hal yang benar Erika.” Dia yang bertanya dan dia yang pula menjawab. Inginnya sih Erika langsung tidur saja, tapi dering ponselnya malah membuat dirinya kembali duduk. Apa lagi it
“Anda sudah menghela napas lebih dari 5 kali pagi ini, Pak,” Erika tak segan menegur atsannya itu. “Itu bukan urusanmu,” hardik Kaisar ketus sekali. “Anda akan berangkat bulan madu sore ini, seharusnya anda merasa senang. Anda dan Nyonya akan menghabiskan waktu berdua.” “Apa kau sedang menghina?” “Tentu saja tidak. Saya hanya...” “Kalau begitu diam.” Erika langsung menutup mulutnya. Tapi bukan Erika namanya kalau tidak mengerjai Kaisar dengan tatapan mata mengejeknya. Mata yang berkedip sok polos itu, jelas saja itu membuat Kaisar merasa kesal setengah mati. “Lebih baik kau pergi kerja saja.” Kaisar menunjuk pintu ruangannya yang tertutup. Tidak ada hal yang bisa dilakukan Erika selain menurut. Dia pamit dengan membawa setumpuk kertas dan senyum merekah, masih mengejek atasannya itu. Kaisar hanya bisa mendesah melihat kelakuan sekretarisnya itu. Dia rasanya ingin sekali memecat perempuan itu, tapi tidak mungkin. Flora yang meminta agar Erika diterima sebagai sekretaris utaman
Bulan madu berjemaah kali ini bisa dibilang cukup sukses. Erika memang sangat piawai mengatur segala sesuatunya, kecuali satu hal. Dia tak bisa mengatur jadwal datang bulan Flora.Yes, Flora datang bulan. Lebih tepatnya tidak lama setelah rombongan mereka berangkat naik kapal dari Sorong. Dan coba tebak apa yang terjadi. Flora ngambek karena dia tidak bisa menyelam bersama hiu. Dan karena itu pula, dia ngambek dan merusak suasana liburan ini. Bahkan Queenie saja merasa sedikit kesal dengan sahabatnya itu. Apalagi yang lain, terutama Kaisar. “Berhentilah merengek seperti anak kecil hanya karena hal sepele,” hardik Kaisar terlihat marah. Wajar sih pria itu terlihat marah karena sang istri memaksa suaminya ikut tinggal di atas kapal saja. Flora melarang Kaisar terjun ke dalam laut, padahal hobi pria itu adalah menyelam alias snokling. “Aku kan gak suka sendirian.” Flora jadi ikutan kesal. “Bukannya Erika dan Queenie tadi bersedia menemanimu?” “Tapi aku pengennya ditemani sama ka
“Apa kau baik-baik saja?” “Tidak ada yang akan baik-baik saja, setelah keguguran, Nes.” Erika tersenyum pada sahabatnya. “Sorry.” Vanessa yang tadi bertanya, meringis dan merasa bersalah. “Tidak usah merasa bersalah. Itu tidak akan mengubah apa pun,” balas perempuan cantik yang baru saja memotong rambutnya jadi bob itu. “Tumben kau bisa bijak begitu.” Kali ini Lydia yang mengejek Erika. “Sebenarnya itu bukan kata-kataku, tapi kata-kata si dokter.” Kali ini, giliran Erika yang meringis. “Lagi pula, kantungnya juga kosong. Belum ada bayi di dalamnya.” “Bener juga sih, tapi kan harus tetap nunggu beberapa lama dulu kan?” Giliran Cinta yang bertanya. Empat perempuan yang bersahabat itu, kini tengah berkumpul di salah satu kafe kesukaan mereka. Walau semua sibuk dengan urusan rumah tangga masing-masing, tapi mereka menyempatkan diri berkumpul untuk menghibur Erika. “Ya, apalagi aku cuma diberikan obat dan bukan kuret. Jadi mungkin aku harus bertahan minimal tujuh bulan lagi.
“Erika.” Kaisar meneriakkan nama sang istri ketika dia tiba di rumah. “Sayang, kamu di mana?” Lelaki dengan pakaian kerja yang sudah berantakan itu, berlari menaiki tangga karena tidak mendapat jawaban. Dia juga tidak melihat sang istri di ruang tamu, maupun di dapur. Tinggal kamar yang belum diperiksa. “Sayang.” Kaisar langsung mendesah lega melihat istrinya meringkuk di atas ranjang. “Kamu kenapa?” Tidak ada jawaban dari Erika. Perempuan cantik itu bahkan tidak melepas pelukan pada lututnya. Dia bahkan belum mengganti baju, sejak pulang dari mengantar Queenie. “Erika.” Kaisar segera memeluk istrinya karena tahu ada yang tidak beres. Setidaknya, itu yang dikatakan sang kakak ipar. Lelaki yang terlihat makin matang itu, memang buru-buru pulang setelah mendapat pesan dari Queenie. Iparnya itu tidak mengatakan sesuatu yang spesifik, tapi Kaisar tahu ada yang salah. “Queenie ternyata hamil.” Akhirnya Erika bersuara dan mendongak, setelah cukup lama berdiam diri. “Padahal dia tidak
“Aku mohon.” Erika menggumamkan kalimat pendek itu, dengan mata terpejam dan kedua tangan terkatup. “Aku mohon kali ini berhasil.” Setelah sekali lagi menggumamkan kalimat serupa, si cantik itu membuka mata. Dia mengeluarkan stik yang sudah terendam beberapa menit pada cairan kuning dalam wadah kecil. Sayang sekali, hasilnya tidak membuat Erika senang. “Negatif lagi.” Erika mengatakan itu pada suaminya, ketika dia keluar dari kamar mandi. “Kamu tes lagi?” tanya Kaisar disertai dengan wajah prihatin. “Tentu saja aku akan terus melakukan tes, setiap kali kita selesai berhubungan,” jawab Erika dengan jujur. “Maksudku, tidak langsung juga.” “Sayang, tidak perlu buru-buru.” Selesai merapikan dasi, Kaisar langsung pergi memeluk istrinya itu. “Kita masih punya cukup banyak waktu untuk punya anak.” “Tapi ini sudah hampir dua tahun, Kai. Lydia saja sekarang sudah hamil anak kedua.” Tentu saja Erika akan mengeluh. Dia sudah sangat ingin menggendong malaikat kecil yang mirip dirinya atau
“Selamat pagi, Pak.” Kaisar menunduk ramah pada lelaki di depannya. “Halo, Kaisar.” Seorang lelaki pria tinggi besar mengulurkan tangan untuk menjabat. “Saya senang karena masih bisa menghubungi kamu.” “Saya yang harusnya senang karena Pak Herdiyanto masih mau menghubungi saya dan menawarkan pekerjaan.” Tentu saja Kaisar akan menunduk sopan. “Itu karena akan sangat sayang kalau bakat sepertimu hanya bekerja sebagai ojek saja.” Pak Herdiyanto menjawab dengan senyum cerah. “Syukurnya saya melihat postingan tunanganmu kamu dan kebetulan juga ada yang baru mengajukan pengunduran diri.” “Sangat kebetulan, Pak.” Kaisar sedikit meringis ketika mendengar hal itu. “Tapi bagi saya, tidak ada kebetulan di dunia ini.” Melihat lawan bicaranya sedikit canggung, Pak Herdiyanto mengatakan hal itu diiringi dengan kedipan mata. “Semua pasti ada alasannya.” Tak ada lagi yang bisa dikatakan oleh Kaisar, selain mengangguk. Dia kemudian mengikuti pria paruh baya itu ke ruangannya dan melakukan wawanca
“Kenapa kau tidak pernah bilang tentang pekerjaanmu?” tanya Erika dengan mata melotot, tidak peduli kalau sekarang dia sedang berada di tempat umum. “Tunggu dulu Erika.” Kaisar yang tadinya masih duduk di atas motor, kini turun untuk menjelaskan. “Aku mohon jangan marah dulu. Aku punya alasan untuk semua ini.” “Yang benar saja?” Erika makin melotot. “Bagaimana mungkin aku tidak marah ketika kau menyembunyikan semua ini.” “Aku tidak berniat untuk menyembunyikan apa pun. Aku hanya ....” “Hanya ingin bersenang-senang dengan cara membonceng perempuan lain?” Erika memotong kalimat tunangannya itu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Mana mungkin aku seperti itu, aku hanya .... Tunggu dulu.” Kaisar tiba-tiba saja menjadi bingung dengan apa yang dikatakan sang tunangan barusan. “Kau barusan bilang apa?” “Kau mau mengambil kesempatan dari penumpang perempuan kan?” tanya Erika tampak tidak mau menahan diri lagi. “Kau akan dengan sengaja mengerem mendadak agar nanti dada mereka b
“Kau itu bodoh atau apa?” tanya Viktor dengan kedua alis yang terangkat. “Mana bisa main menikah saja di catatan sipil dengan KTP saja?” “Aku hanya ... terburu-buru,” ringis Kaisar merasa agak malu juga. “Aku lupa kalau banyak yang harus diurus sebelumnya.” “Kau benar-benar bucin.” Viktor pada akhirnya hanya bisa menggeleng melihat temannya itu. “Bisa jangan terus menghina, Kai?” Setelah sekian lama diam, akhirnya Erika ikut berbicara. “Aku hanya mengatakan kenyataan, bukan menghina.” Viktor tentu akan membantah karena memang seperti itu dan membuat Erika mendengus kesal. Erika dan Kaisar memang langsung ke kantor Viktor si pengacara setelah dari DISDUKCAPIL dan ditolak. Tentu saja mereka datang ingin meminta bantuan dan bisa dengan mudah ditebak oleh Viktor. “Jadi mau dibantu nih?” tanya Viktor memainkan kedua alisnya, sekedar hanya untuk menggoda. “Kalau kau tidak sibuk dan mau,” jawab Kaisar rasional. Dia tahu sahabatnya itu cukup sibuk dan sebenarnya punya tarif yang m
“Aku gak jadi nikah.” Erika meneriakkan itu di depan ponselnya. “Hah? Maksudnya gimana?” Para sahabat Erika yang terhubung melalui panggilan video call, langsung memekik karena terkejut. “Aku udah balikin cincin yang dikasih Kaisar,” jawab Erika dengan wajah cemberut, siap untuk menangis. “Loh? Kenapa?” Cinta yang paling pertama bereaksi. “Perasaan baru berapa hari lalu kamu dilamar.” “Iya, tapi dia hanya asal ngelamar. Gak beneran mau nikah, apalagi dalam waktu dekat.” Erika menjawab dengan ekspresi kesal yang berlebihan. “Bentar-bentar.” Lidya langsung menghentikan sahabatnya yang baru mau menyambung kalimat itu. “Maksudnya gimana sih? Coba cerita yang detail.” Akhirnya, mengalirlah cerita Erika begitu saja. Tentu saja dia menceritakan itu dengan menggebu-gebu karena benar-benar merasa kesal. Tapi ternyata, itu membuat para sahabatnya jadi bingung. “Kenapa kau langsung minta pisah sih?” Vanessa yang bertanya dengan bingung. “Itu kan bisa dibicarakan baik-baik dulu.” “Aku su
“Erika.” Kaisar berteriak, sembari mengetuk pintu. “Kau belum makan.” Tentu saja tidak ada jawaban dari balik pintu. Perempuan cantik itu, bungkam dan tidak ingin berbicara pada sang kekasih. Entah Erika yang terlalu negatif atau apa, tapi dia merasa terkhianati. “Aku bukannya tidak ingin menikah.” Pada akhirnya, Kaisar kembali mencoba menjelaskan. “Aku tidak mempermainkanmu. Aku hanya meminta sedikit waktu, sampai aku cukup stabil untuk menghidupimu.” “Saat ini aku bahkan tidak pekerjaan, loh. Aku hanya bantu-bantu mama buat jualan dan itu pun masih baru merintis. Aku janji tidak akan lama-lama.” Seberapa banyak penjelasan yang diberikan Kaisar, tampaknya Erika enggan mendengar. Perempuan itu tetap bungkam dan mengunci diri di dalam kamar. Itu jelas membuat Kaisar menjadi makin sakit kepala. *** “Kenapa sih perempuan sulit sekali dimengerti?” Gagal membujuk Erika keluar kamar, pada akhirnya Kaisar berkunjung ke rumah temannya. “Kalau mereka mudah dimengerti, bukan perempuan
“Kurasa aku akan menikah dalam waktu dekat,” ucap Erika dengan raut wajah riang. “Eh, kok bisa?” Vanessa yang paling pertama menyahut dengan raut wajah kaget. Kebetulan, mereka memang sedang melakukan panggilan video grup. “Lelaki mana yang akhirnya berani melamarmu?” Lydia juga ikut bertanya dengan nada antusias. “Padahal kupikir kau akan menunggu Kaisar sampai tua.” Cinta yang meledek, sambil menyuapi anaknya makan. “Aku dengan Kaisar kok,” jawab Erika masih dengan nada riang. “Tadi pagi dia melamarku.” Seruan bernada kaget langsung terdengar. Satu per satu sahabat Erika, mulai menanyakan banyak hal. Mereka tentu saja penasaran kenapa bisa Kaisar Arya Jayantaka pada akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Erika Wiratama. Tentu saja Erika tidak keberatan menceritakan lamaran yang sama sekali tidak romantis itu, tapi tetap berhasil membuatnya terharu. Dia bahkan memamerkan cincin tipis yang dibelikan Kaisar. “Cantik kan?” tanya Erika benar-benar tak bisa untuk tidak tersenyum