Namika terkejut ketika mendengar suara bel yang kencang. Ia segera turun ke bawah tanpa memedulikan kondisinya yang masih berantakan. Gadis itu membuka pintu gerbang dan melihat seseorang yang ia kenali.
Tante Mutia melambaikan tangannya pelan sambil tersenyum miring. Dengan wajah berkerut, Namika membuka pintu gerbang dan membiarkan Tante Mutia masuk ke dalam.
“Kamu baru bangun ya? Tante udah lama banget lho nungguin di depan, tapi gak dibuka-bukain,” celetuk Tante Mutia.
Namika mendengkus. “Aku itu enggak bisa tidur di tempat yang baru. Ini aja aku baru tidur jam tiga pagi. Oh iya, sebelum tidur, aku ngelihat ada orang yang berenang di pantai jam tiga pagi. Emangnya gak kedinginan ya?”
Tante Mutia mengerutkan keningnya sejenak dan mengembuskan napasnya. “Enggak usah diurusin. Tapi di sini enak banget kan? Tante aja rasanya mau tinggal di sini. Sayang banget ini jauh dari pusat kota.”
Gadis itu mencuci wajahnya dan mengeringkannya. Matanya menatap ke arah kolam renang yang berada di luar. Fasilitas di villa ini memang sangat luar biasa. Siapa pun akan betah untuk tinggal di sini.
Namika menarik sebuah laci dan melotot ketika dia melihat beberapa senjata di dalam sana. Dia langsung menatap Tante Mutia yang sedang duduk di teras. “Tante, kok ada ginian di sini?”
“Tante enggak mungkin ninggalin kamu sendiri gitu aja kan? Siapa tahu kamu juga bisa pakai bakatmu buat menembak. Tante tahu kemampuanmu itu di atas rata-rata,” jawab Tante Mutia dengan santai.
Ia menelan ludahnya dan memegang pistol itu. Sebagai seseorang yang memiliki kekuatan, ia harus mengikuti pelatihan di organisasi Gifted. Hal yang paling Namika sukai adalah menembak.
Namika merasa dia terlihat keren ketika menembak. Mungkin itu dikarenakan dia terlalu sering menonton film aksi, tapi siapa yang menyangka jika Namika berbakat dalam hal itu.
“Tapi kalau aku pakai ini bukannya bakal bikin ribut ya? Paling-paling bakal aku setrum pake taser gun. Gak menimbulkan keributan dan badannya bisa disembunyikan dengan mudah.”
“Kamu ngomongnya kayak udah pernah bunuh orang aja. Padahal tante tahu kalau kamu bakal kabur duluan setiap lihat mayat,” kekeh Tante Mutia.
Perempuan itu tertawa kecil dan menatap ke layar televisi. Ia melihat film yang sedang berlangsung dan menguap pelan. Sepertinya tidur selama empat jam masih kurang cukup untuk tubuhnya.
“Mandi sama sarapan dulu, habis itu baru tidur lagi,” ucap tantenya ketika menyadari bahwa Namika akan kembali ke ke kamarnya.
Namika mendesah kasar dan segera membersihkan dirinya. Ia menghidupkan shower dan membiarkan air hangat menerpa rambutnya. Matanya masih terpejam karena rasa kantuknya tak kunjung hilang.
Ia mengusap wajahnya dan pikirannya kembali tertuju pada kejadian kemarin. Tante Mutia memang mengatakan bahwa dia tidak perlu memikirkan hal itu, namun Namika tahu jika Tante Mutia mengetahui sesuatu.
Namika menelan ludahnya dan segera menggunakan pakaiannya. Ia turun ke bawah dan melihat beberapa makanan cepat saji yang sedang dihangatkan. Namika terkekeh ketika melihat itu.
“Memang kalau sama tante tuh, makanannya pasti sehat banget. Kalau ada mama sama papa, aku enggak bakal dikasih makan junk food sering-sering,” ucap Namika sambil menyomot burger.
Tante Mutia memutar bola matanya. “Kamu pasti tahu kalau tante itu males masak. Lagian masakan tante enggak bakal bisa seenak makanan mama kamu. Jadi mending beli junk food sekalian.”
Namika hanya mengangkat bahunya ketika mendengar itu. Dia tahu jika tantenya itu berbohong. Tante Mutia sangat pintar memasak, namun sebuah kejadian membuatnya tak pernah melakukan hal itu lagi.
Namika sendiri tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Saat itu ibunya hanya mengatakan padanya untuk tidak menghubungi Tante Mutia selama beberapa waktu.
Ayahnya dan Tante Mutia adalah saudara kandung, namun Namika merasa jika Tante Mutia lebih dekat dengan ibunya. Mungkin karena itulah ayahnya juga tidak mengetahui apa yang terjadi pada adiknya.
Perhatian Namika teralih pada langit yang berawan. Udara yang dingin membuat Namika merasa betah untuk berdiam di luar ruangan. Dia kemudian teringat jika dia harus menghubungi Alora dan Yumi.
Tangannya langsung mencari ponselnya dan ia membulatkan matanya ketika Yumi mengatakan bahwa orang tuanya menyuruh Yumi untuk tinggal di kampung halamannya selama satu bulan.
Sementara itu, Alora mengatakan bahwa dia kini sedang berada di ibukota karena pekerjaan ibunya. Sudut bibir Namika naik dan ia mengatakan bahwa mereka harus menceritakan semuanya ketika mereka sudah bertemu kembali.
Tanpa ia sadari, rasa kantuk yang ia rasakan tadi menghilang. Namika meregangkan badannya dan melihat Tante Mutia yang bersiap-siap untuk kembali. Matanya menatap tas hitam yang dipegang tantenya.
“Tante bawa narkoba ya?” tanya Namika asal-asalan. Tante Mutia langsung mengerutkan keningnya dan memukul kepala Namika pelan.
“Ini tuh isinya dokumen penting. Nanti kalau kamu kerja kayak tante juga kamu bakal tahu,” balas Tante Mutia.
Namika sama sekali tidak tertarik untuk bekerja seperti tantenya. Organisasi Gifted bekerja sama dengan negara dan tidak jarang pekerjaan yang mereka lakukan adalah pekerjaan yang berbahaya.
Tante Mutia melirik sebuah mobil yang tiba di depan villa. “Kamu nanti yang bawa mobilnya ya kalau mau kemana-mana. Tante mau lanjut kerja di kabupaten lain.”
Ia melempar sebuah kunci mobil dan Namika menangkapnya dengan sedikit terkejut. “Kenapa enggak bawain aku motor aja? Kayaknya lebih gampang deh pake motor kemana-mana.”
“Ya siapa tahu kamu udah bosen di sini terus tante enggak bisa jemput kamu. Jadi kamu bisa langsung pulang pakai mobilnya kan? Udah ya, tante mau berangkat dulu,” ucap Tante Mutia sambil mencium kening Namika.
Perempuan itu menatap kepergian tantenya dan menatap cuaca yang tampak cocok untuk berjalan-jalan. Dia segera mengunci villanya dan berjalan mengelilingi pantai sambil melihat villa yang lain.
Sedikit sekali orang yang berada di pantai tersebut. Mungkin karena posisinya yang jauh dari pusat kota, hanya orang-orang lokal yang mengunjungi pantai itu. Namun itulah hal yang Namika cari.
Ia dapat mendengar sayup-sayup pikiran orang, namun itu tidak menganggunya sama sekali karena jarak mereka yang jauh. Namika berjalan selama beberapa menit ketika dia bertemu dengan seorang laki-laki.
Jarak mereka cukup dekat, jadi seharusnya Namika dapat mendengar pikirannya. Namun entah mengapa yang terdengar hanyalah suara ombak.
Laki-laki itu menoleh dan Namika langsung menelan ludahnya. Rambutnya yang berwarna kecoklatan dipadukan dengan mata birunya menimbulkan sebuah sensasi di tubuh Namika.
Ia pun tersenyum kecil dan melambaikan tangannya. “Halo, kamu penghuni villa yang baru datang kemarin ya? Kenalin, nama aku Aruna.”
Namika tersentak dan langsung membalas jabatan tangannya. “Nama aku Namika. Kamu juga nginep di villa ya?” tanyanya dengan nada terbata-bata.
Sial, Namika membenci dirinya sendiri karena suaranya yang terlihat sangat gugup. Gadis itu merasa jika dia kembali pada saat umur sepuluh tahun di mana ia harus mengobrol dengan laki-laki yang ia sukai.
Aruna terkekeh. “Iya, aku tinggal di villa yang sebelah kanan. Kamu keponakannya Tante Mutia ya? Muka kalian lumayan mirip.”
“Oh? Kamu kenal sama Tante Mutia ya? Iya, aku keponakannya. Kamu ada keturunan western ya?” tanya Namika sambil memperhatikan wajah Aruna yang terlihat seperti orang blasteran.
Namun, laki-laki itu tampak membulatkan matanya seolah itu adalah pertanyaan yang tak seharusnya Namika tanyakan. Gadis itu menjadi gugup ketika ia melihat reaksi Aruna.
“Well, kalau boleh jujur aku enggak tahu siapa orang tuaku. Mungkin salah satu dari mereka itu orang barat,” kekeh Aruna.
Rasa bersalah memenuhi dada Namika. Ia memutuskan untuk duduk di sebelah Aruna dan menikmati angin pantai yang terus berhembus. Entah mengapa, Namika merasa nyaman dengan Aruna.
Dia bahkan lupa jika dia tidak bisa membaca pikiran Aruna. Seharusnya itu membuat Namika merasa curiga, tapi ia bahkan tidak memikirkan hal seperti itu. Aruna melirik Namika dan memiringkan bibirnya.
“Sebentar, tanteku bilang kalau kamu itu sepupu kenalan yang punya villa. Kalau kamu enggak tahu siapa orang tuamu, kok kenalan tanteku bisa jadi sepupumu?” tanya Namika.
Aruna membuka mulutnya sebentar dan tertawa. “Sirius punya yayasan buat mengadopsi anak-anak yang tidak punya orang tua. Karena aku cuma berbeda tujuh tahun, jadi dia menganggap aku sebagai sepupunya.”
“Dinamika yang rumit tapi okey,” sahut Namika sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Pikirannya kemudian teralih pada Sirius.
Namika pernah bertemu dengan laki-laki itu sekali dan dia mengeluarkan sebuah aura yang aneh. Sirius masuk ke dalam organisasi Gifted namun Tante Mutia mengatakan bahwa dia tidak memiliki kekuatan apa pun.
Itu membuat Namika mengerutkan keningnya. Apakah Aruna mengetahui tentang hubungan Sirius dengan Gifted? Dari gerak-geriknya, sepertinya Aruna mengetahuinya.
Tapi Namika tahu dia tidak boleh menanyakan hal itu pada pertemuan pertama mereka. Ia dan Aruna masih tidak mengetahui satu sama lain, mungkin akan lebih baik mereka membahas yang lain saja.
Tangannya memainkan pasir dan mencoba untuk membuat suatu bentuk. Setelah mencoba beberapa saat, Namika mendengkus ketika karyanya itu jatuh dan hancur ketika ia baru selesai.
“Kamu umurnya berapa sih?” celetuk Aruna. Namika menoleh dan ia melihat mata biru Aruna yang menatapnya dengan penasaran.
“Delapan belas. Bulan Desember nanti sembilan belas. Kalau kamu berapa?” tanya Namika balik. Gadis itu menduga jika Aruna sudah berusia dua puluh tahun jika melihat fisiknya.
“Wow sama. Aku juga delapan belas. Nanti bulan September aku ulang tahun yang ke sembilan belas,” jawab Aruna sambil memamerkan senyumnya.
Namika membulatkan matanya sejenak dan memalingkan wajahnya dengan cepat. “Ah, berarti kita seumuran dong. Kayaknya kita bisa jadi temen yang baik,” kekeh perempuan itu.
Senyum Aruna pun memudar namun dia mencoba untuk memaksakan senyumannya. “Boleh aja kalau kamu mau. Aku bisa kenalin kamu ke tempat-tempat bagus di dekat sini.”
“Beneran? Berarti mulai besok kamu bakal jadi tour guideku ya! Soalnya aku bakal di sini selama tiga bulan, jadi kamu harus jadi temenku selama aku ada di sini!” ucap Namika semangat.
Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. “Terserah kamu aja. Aku juga bosen karena enggak punya temen seumuran di sini.”
Namika pun terkekeh dan kembali menikmati pemandangan pantai. Aruna hanya menatap perempuan itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
Namika mengedipkan matanya dan menatap langit-langit kamar. Ia akan pergi bersama Aruna hari ini dan itu membuat jantungnya tak bisa berhenti berdebar. Bagaimana mungkin dia bisa mempercayai orang dengan sangat mudah? Tante Mutia mungkin akan memarahinya karena Namika mudah mempercayai orang. Tentu saja itu karena Namika pernah dikhianati oleh orang-orang yang dia percayai. Gadis itu mengerutkan keningnya. Lagi pula dia hanya akan berada di sini selama tiga bulan. Apa yang akan laki-laki itu lakukan? Mengambil uang atau barangnya? Silahkan. Namika tidak peduli. Tapi tentu saja Namika akan merasa sedikit kesal karena itu adalah uang pemberian orang tuanya. Terlahir dari keluarga yang lebih dari berkecukupan membuat Namika merasa jika dia sedikit boros. Ia bangkit dan membersihkan dirinya dengan cepat. Ia menggunakan baju lengan panjang dan celana pendek. Ia menyemprotkan parfum ke pergelangan tangannya dan mencoba meyakini dirinya bahwa dia sudah terlihat baik. “Kenapa aku sampe s
“Bagaimana bisa ada seorang siren yang tinggal di sini? Lalu peri yang kemarin bahkan belum berhasil tertangkap! Aku enggak mengerti kenapa kita harus mengerjar spesies-spesies aneh itu.” “Sial, aku pasti bakal dipecat jika aku enggak bisa menemukan mereka sekarang. Kalau saja aku enggak butuh uang, aku enggak akan mengambil pekerjaan kayak gini.” Namika sontak menarik tangan Aruna. Dia tidak tahu apa yang terjadi namun entah mengapa dia merasa jika orang-orang itu mengincar Aruna. Namika juga tidak yakin dia bisa menghadapi mereka. Kedua remaja itu kemudian berjalan masuk ke dalam villa Namika. Gadis itu menutup pintu villa dengan jantung yang berdebar. Apakah dia harus menghubungi Tante Mutia? Namika menelan ludahnya. Jika Tante Mutia mengetahui masalah ini, kemungkinan besar tantenya itu akan menyuruhnya untuk kembali. Namika masih belum mau berpisah dengan Aruna. Ia pun mengambil beberapa bahan masakan dan mulai mengolah makanan itu. Dia bahkan tidak sadar jika Aruna sudah me
Namika menatap mentai yang sudah ia buat. Sial, mungkin Namika akan menangis jika Aruna menolak makanan ini. Ini adalah salah satu makanan kesukaan Namika dan ia memutuskan untuk memberikan itu pada Aruna. Namika sudah berdiri di pintu depan selama sepuluh menit. Ia masih memikirkan keputusannya. Ia pun mendengkus dan membuka pintu dengan kencang. Ia tiba di villa Aruna dan memencet bel. Ia menunggu Aruna untuk keluar namun dia tampaknya tidak menerima kedatangan seseorang. Dengan berat hati, Namika membalik badannya dan memikirkan apakah dia harus memakan mentai itu atau tidak. Tapi seseorang memegang bahunya dan menahannya untuk tidak berjalan. Namika membalik badannya dan terkejut ketika melihat Aruna dengan rambut yang masih basah. “Maaf lama, tadi aku masih mandi,” ucap Aruna dengan napas terengah-engah. Namika dapat melihat air yang masih menetes dari rambutnya. “Eh, aku yang minta maaf! Kayaknya aku terlalu pagi ke sini ya?” tanya Namika. Ia benar-benar salah tingkah karen
Namika mencoba beberapa baju yang akan ia kenakan hari ini. Matanya kemudian tertuju pada sebuah dress berwarna putih. Ia dan Aruna sudah berjanji untuk bertemu lagi hari ini. Sejujurnya Namika tidak pernah tertarik dengan tempat-tempat yang akan tuju. Namika hanya memiliki satu tujuan, yaitu menghabiskan waktunya berdua dengan Aruna. Laki-laki bermata biru itu berhasil membuat Namika kembali bodoh. Dua belas tahunnya bersekolah terasa sia-sia. Namika terkekeh ketika ia mengambil catokan dan mulai membentuk rambutnya. Waktu pun menunjukkan pukul lima sore. Namika menunggu Aruna sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Tangannya terus memainkan ponselnya walaupun pikirannya tertuju pada Aruna. Bel villa berbunyi dan Namika membuka dengan tergesa-gesa. Aruna melambaikan tangannya dan langsung terpana ketika melihat penampilan Namika. Namika juga merasakan hal yang sama. Aruna menggunakan kaos putih disertai kemeja krem dan celana berwarna hijau gelap. Sementara itu, Namika menggunakan
Aruna terkekeh ketika ia berhasil mencipratkan air ke wajah Namika dan membuatnya langsung menutup wajahnya. “Kamu enggak bakal pernah menang dari aku kalau untuk masalah ini, Mika.” “Bodo amat!” teriak Namika sambil berusaha menarik kaki Aruna agar ia tenggelam. Aruna memang tenggelam, tapi dia tidak terlihat seperti orang yang ditenggelamkan secara paksa. Namika yang melihat itu hanya bisa cemberut. Ia melipat tangannya dan melihat awan-awan yang bergerak dengan cepat. Aruna pun ikut melihat apa yang sedang dilihat oleh Namika. “Bentuk awan yang itu kayak permen ya,” celetuk Aruna sambil merangkul Namika dari belakang. Badan Namika menegang sejenak dan ia sontak menggeleng. “Itu lebih mirip kayak ipadku. Kamu kok bisa mikir itu permen sih?” “Malah aku yang seharusnya nanya gitu. Mau dilihat sampai badanmu diputar-putar juga enggak bakal kelihatan kalau itu tuh ipad,” sahut Aruna. Namika langsung menoleh dan melihat Aruna yang juga sedang melihatnya. Posisi mereka memang lumaya
Aruna memainkan helaian rambut Namika. “Alasan aku jaga jarak sama kamu ya karena aku takut kalau kamu bakal jadi orang yang berarti buat aku.” Kedua orang itu terdiam. Namika menatap layar televisi yang berwarna hitam. “Berarti Sirius itu siren juga ya?” “Iya. Hampir semua anak-anak di panti asuhan itu siren yang lahir di lautan. Sirius secara rutin menyuruh aku untuk mengecek apakah ada siren yang lahir.” Namika tak bisa berpikir lebih jauh. Semuanya terlihat sangat rumit. Dia bahkan baru tahu jika makhluk seperti itu nyata dan Aruna adalah salah satu dari mereka. “Jadi yang aku lihat waktu aku pertama kali dateng ke sini tuh kamu? Tapi kayaknya kamu juga udah sadar kalau aku ngelihatin kamu waktu itu,” celetuk Namika. Laki-laki itu terkekeh. “Tante Mutia itu sudah tahu semuanya tentang siren, jadi aku pikir enggak apa kalau aku ketahuan. Aku juga udah nyangka kalau kamu itu anggota Gifted.” “Jadi gitu. Oh iya, gimana siren bisa terlahir? Aku masih kurang ngerti konsep dilahir
“Namika, aku tahu walaupun aku sama Yumi ngomong macem-macem, kamu enggak bakal mau dengerin selama itu enggak sama dengan keyakinan kamu. Ikuti kata hati kamu.” “Bener. Namanya juga udah bucin. Aku yakin kamu enggak bakal ngerelain si Aruna itu begitu aja kan? Walaupun aku enggak ada di posisimu, aku pasti bakal menghabiskan waktuku dengan dia selama aku bisa,” sahut Yumi. Namika mengusap air matanya dan mencoba untuk menetralkan napasnya yang terengah-engah. Emosinya masih belum stabil karena dia benar-benar baru mengetahui hal itu kemarin. “It’s not the worst, guys. Dia juga bilang kalau orang yang kenal atau mengetahui siren bakal melupakan siren itu dalam waktu satu minggu. Tapi anehnya, hari ini adalah hari ke delapan dan aku masih inget sama dia.” Alora menjetikkan jarinya. “Aku rasa hal itu sama kutukan yang dimiliki sama siren ada hubungannya deh. Cuma aku enggak tau apa yang bikin dua hal itu jadi berhubungan.” “Kalau boleh jujur, aku emang enggak pengen menjauh dari di
Aruna tidak tahu apa yang dia inginkan. Hubungannya dengan Namika tidak memiliki kejelasan. Ah, lebih tepatnya Aruna yang tidak menginginkan kejelasan itu. Dia takut serakah. Aruna tidak yakin dia bisa melepaskan Namika setelah dia tahu bahwa dia memiliki Namika. Gadis itu memiliki masa depan yang panjang, berbeda dengan dirinya. “Jadi alasanmu enggak bisa baca pikiranku itu karena kita beda ya?” tanya Aruna sambil memperhatikan rambut Namika yang terkena hembusan angin. Perempuan itu terlihat sangat cantik di mata Aruna. Rambut panjangnya yang bergelombang itu benar-benar membuatnya kagum. Tanpa sadar Aruna sudah memegang sehelai rambut Namika. Namika yang menyadari itu hanya tersenyum. “Iya. Karena itulah aku ngerasa nyaman banget sama kamu. Aku enggak pernah ngerasa seperti ini sebelumnya. Rasanya sangat tenang.” Namika berdiri dan duduk di sebelah Aruna. Laki-laki itu menggunakan kemeja putih dan celana selutut yang menampakkan kaki jenjangnya. Jantung Namika berdetak dengan
Namika melirik beberapa orang yang kini sedang berdiam di villa yang Alora sewa. Entah mengapa gadis itu tiba-tiba merencanakan sesuatu yang sangat mendadak seperti ini."Jadi.. Kita sekarang mau ngapain?" tanya Yumi bingung.Alora tertawa kecil. "Ngapain aja juga boleh. Kalau aku sih hari ini mau minum aja. Dapet wine yang manis banget nih."Namika melirik Archie yang sedang menghisap vapenya. Laki-laki itu sama sekali tidak merasa canggung walaupun mereka berempat menatap Archie dengan tatapan bingung."Ini kalian berdua udah baikan apa gimana?" tanya Namika.Archie terdiam sejenak dan menatap Namika. "Hmm, mungkin bisa dibilang gitu? Aku tahu kok kalau kamu sama Yumi masih ngerasa enggak nyaman sama aku.""Masalahnya kamu tuh brengsek banget, tahu. Untung aja waktu itu kamu sogok aku pakai uang. Kalau enggak, mungkin sampai sekarang kamu juga masih belum aku maafin," sahut Arjuna.Aruna mengangguk setuju. "Yaudahlah. Minta rokok dong, Juna. Masih pusing banget nih ngurusin anggota
Namika menatap kedua kakinya yang terbenam di kolam renang. Rasanya sangat aneh karena untuk pertama kalinya, hidupnya terasa tenang lagi. Kejadian kemarin terasa seperti mimpi buruk."Aku yakin kalau aku pasti udah mati kalau kekuatannya Tante Mutia enggak aktif," komentar Aruna. Paha laki-laki itu masih terlihat sangat menyeramkan karena luka yang disebabkan oleh Luke."Jujur aku kaget banget kemarin. Ternyata Tante Mutia masih bisa melampaui batasannya dia. Yah, walaupun lumayan terbatas karena untuk lawan yang kuat, kekuatannya enggak bisa jadi pasif."Laki-laki itu mengusap rambut Namika dengan lembut. "Aku bersyukur deh, kamu enggak ada luka sama sekali. Tante Mutia lumayan parah lukanya, mana psikisnya juga lumayan terluka gara-gara Luke."Namika memang sempat melihat kondisi Mutia sekilas. Namun, dia harus mendapatkan perawatan sehingga Namika meninggalkannya di kamar. Namika melirik paha Aruna."Kamu kenapa enggak minum mithril aja? Kan pasti langsung sembuh?" tanya Namika. D
Mutia menatap Luke yang sedang merangkulnya. Siapa pun yang melihat mereka sekarang pasti berpikir jika mereka berdua adalah kekasih. Yah, mereka tidak salah jika itu terjadi sepuluh tahun yang lalu.Perempuan itu tidak mengerti kenapa Luke sampai harus melakukan ini. Mutia sangat yakin jika Luke masih memiliki akal yang sehat walaupun dia memang posesif saat mereka berpacaran."Sebenarnya ilmu hitam apa yang kau gunakan sampai kau bisa bangkit dari kubur?" tanya Mutia dengan sedikit malas. Entah apa yang harus dia lakukan supaya Luke mau membiarkannya pergi."Yah, entahlah. Ilmu hitam ini berasal dari para roh yang sudah mati. Kau tahu jika pengguna ilmu hitam akan tetap berada di dunia ini jika mereka belum melepaskan ilmu hitamnya, bukan?"Mutia mengernyit. "Aku tahu. Tapi roh? Bukankah mereka tidak bisa mati selama mereka belum melepaskan ilmu hitam mereka itu? Lalu gimana bisa kamu mengambil itu dari mereka?"Luke menyentil dahi Mutia. "Bukannya aku sudah bilang jika aku adalah s
Mutia menatap air laut yang terus menerjang. Kini dia sudah menjadi orang dewasa, namun masa lalu tidak pernah berhenti mengejarnya. Rasanya sangat menyebalkan. Tentu saja Mutia tidak dapat melupakan titik-titik terendah dalam hidupnya. Dia masih mengingat bagaimana sakit yang ia rasakan saat dia sadar bahwa dia dan Galen tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya. Saat itu Mutia yakin jika Galen hanya akan menjadi salah satu orang yang pernah hadir dalam hidupnya. Mutia sudah ikhlas dengan kenyataan itu dan menjalani hari-harinya seperti biasa. Kedatangan Angkasa membawa angin segar ke dalam kehidupan Mutia. Laki-laki yang pintar memasak itu selalu berhasil membuat Mutia tersenyum. Mutia bahkan mengira jika Angkasa akan menjadi pasangan hidupnya. Sayangnya khayalannya itu menghilang saat Angkasa meninggal karena tabung gas yang meledak. Saat itu Mutia merasakan sakit yang lebih daripada saat dia tahu bahwa dia dan Galen tidak bisa bersama. Ibu Namika adalah seseorang yang membuat
Namika membuka pintu gerbang villanya dan menatap Tante Mutia yang terlihat sangat lelah. Perempuan itu mengerutkan keningnya dan segera mempersilahkan tantenya itu untuk masuk. “Tante kenapa?” tanya Namika khawatir. Gadis itu tidak pernah melihat Mutia dengan kondisi yang sangat berantakan seperti itu. Mutia mengembuskan napasnya dan menatap langit-langit villa. Dia tidak tahu apakah dia bisa mengungkapkan hal itu kepada Namika. Tapi Mutia tahu jika Namika harus mengetahui hal itu. “Luke yang selama ini kalian bilang.. Aku kenal sama laki-laki itu,” ucap Mutia sambil memejamkan matanya. Tubuh Namika langsung menegang ketika Tante Mutia mengatakan itu. Dia dan Aruna memang sudah menduganya, tapi ia tidak menyangka jika Tante Mutia akan menceritakannya secepat ini. “Aku juga enggak tahu kenapa dia ganti nama jadi Luke. Waktu kita pacaran, namanya dia Galen,” lanjut Tante Mutia. Namika membulatkan matanya dan menahan napasnya sejenak. Namun, dia tetap duduk di samping tantenya dan
Mutia menggigit bibirnya ketika ia mendengar kabar dari Namika. Ia semakin yakin jika tujuan utama Luke adalah dirinya. Namun kenapa dia dulu sering menyerang Aruna? Tangannya memegang setir dan jantungnya tidak berhenti berdebar. Mutia sudah mengalami pahit dan manisnya hidup walaupun ia bahkan belum mencapai kepala tiga. Lagu yang mengalun di radio pun ia abaikan. Menjadi seseorang yang memiliki hadiah memang membuat hidupnya tidak pernah tenang. Kini Mutia menjadi takut jika Namika akan mengalami hal yang sama dengan apa yang dia rasakan. Pandangannya menatap matahari yang mulai tenggelam. Ah.. Sebuah kenangan tiba-tiba muncul di ingatannya. Sebuah ingatan yang ingin dia lupakan, karena hubungan mereka yang memburuk. Bukannya Mutia membenci hubungan Aruna dan Namika, hanya saja dia melihat mereka setiap dia melihat pasangan itu. Dia melihat mereka yang tidak bisa menyatu karena takdir. “Apa yang bakal terjadi kalau aku enggak pernah pergi ke sini ya?” gumam Mutia pelan. Itu su
Namika menggigit bibirnya ketika rencananya untuk menculik anggota Rajani terus-terusan gagal. Matanya menatap Inola yang sedang bermain air di pantai. Gadis itu mungkin tidak terlihat bagi ancaman di mata orang lain. Tapi setelah Namika berurusan dengan Inola, dia tahu betul jika Inola sangat mudah dimanfaatkan jika berkaitan dengan Aruna. Namika mengembuskan napasnya dan melihat beberapa orang yang sedang berlalu lalang. Ia mengerutkan keningnya ketika menyadari bahwa anggota Rajani mencapai sepuluh orang. Aruna juga selalu dalam mode waspada sejak ia mengintrogasi anggota Rajani itu. Namika terkadang tidak percaya jika Aruna bisa memiliki karakter yang sangat berbeda dengan Baruna. Ia pun melangkahkan kakinya dan mulai berlari kecil. Tante Mutia tidak membiarkan Namika mengabaikan olahraganya. Dia selalu menghubungi Aruna untuk memaksa Namika berolahraga. Tangannya merogoh taser gun yang ia letakkan di kantong celananya. Jika rencananya kali ini gagal, Namika tahu bahwa dia ha
Namika terbangun ketika ia mendengar getaran dari ponselnya. Ia mengerutkan keningnya dan meraba ponselnya yang ada di atas meja. Namika segera membaca pesan yang dikirim itu dan terkekeh. Gadis itu segera turun ke bawah dan melihat Aruna yang sedang meminum jus jeruk. Ia segera memeluk laki-laki itu dan menunjukkan pesan yang dikirim oleh Inola. “Pagi-pagi aku udah digangguin sama fans kamu lho. Kayaknya dia masih enggak terima kalau aku berhasil bikin kamu suka sama aku,” kekeh Namika. Aruna mendesah kasar dan menatap beberapa pesan yang dikirim oleh Inola. “Apa aku bunuh aja dia ya? Lagi pula siren kayak kita enggak punya catatan sipil. Enggak bakal ada yang nyadar kalau dia hilang.” Namika terdiam dan memperhatikan Aruna sejenak. Tentu saja dia menyadari jika Aruna tak bisa disandingkan dengan manusia normal. Entah sudah berapa banyak orang yang Aruna bunuh sebelumnya. “Enggak perlu. Walaupun dia emang nyebelin, kayaknya agak keterlaluan kalau kamu sampai bunuh dia. Biarin aj
Aruna mengelus kepala Namika dengan lembut. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam namun Aruna sama sekali tidak mengantuk. Pikirannya masih tertuju pada anggota Rajani yang mengawasi mereka. Laki-laki itu pun bangkit dari ranjang dan mencium dahi Namika. Matanya mengarah pada senjata yang tersembunyi di tasnya. Dia tidak menyangka bahwa dia akan melakukan hal ini lagi. Namun dia juga tak dapat mengabaikan perintah Sirius. Selama ini Sirius sudah menjadi mesin pembunuh dan Aruna yang melanjutkan tugasnya itu. Ia pun mulai menyiapkan pakaiannya. Aruna melangkah keluar dan menatap keadaan sekitar. Tentu saja pantai itu sangat sepi. Tapi anggota Rajani akan selalu mengawasi mereka selama seharian penuh dan inilah kesempatan Aruna. Akhirnya setelah berjalan sebentar, dia menemukan markas mereka. Tempat itu memang terlihat seperti tempat pedagang dan orang lain tidak akan menyadarinya. Laki-laki itu menempelkan telinganya dan mencoba menebak ada berapa orang yang harus ia bunuh.