Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 76Aku langsung melemparkan ponsel ke meja di depannya. "Lihat ini, Bu!"Ibu mengambil ponselku dengan alis berkerut. Matanya membaca pesan dari Lala, lalu ia mendongak menatapku. "Dan?""DAN?! Bu, Lala minta aku pisah sama Indri supaya dia bisa kembali! Siapa lagi yang ingin hal itu terjadi kalau bukan Ibu?!" Aku menekankan suaraku, dadaku naik turun karena emosi.Ibu mendengus, meletakkan ponselku di meja. "Kamu nuduh Ibu menculik cucu Ibu sendiri?""Apa lagi alasan yang lebih masuk akal?! Sejak awal, Ibu nggak pernah suka Indri! Ibu mau aku ninggalin dia, dan sekarang tiba-tiba Lala hilang dan dia minta aku pisah dari Indri supaya dia bisa pulang?! Ini jelas bukan kebetulan!"Ibu menatapku dengan dingin, lalu menggelengkan kepala sambil tersenyum miring. "Jangan nuduh sembarangan, Halbi. Kalau Ibu memang menginginkan hal itu, kenapa Ibu harus susah-susah menculik Lala?"Aku terdiam sejenak.Ibu melanjutkan dengan nada sinis. "Lagipula, bisa
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 77Tapi ancaman itu tidak membuatku gentar. Justru sebaliknya, itu semakin menguatkan tekadku. Aku tahu aku sudah berada di jalur yang benar. Jika pelaku sampai mengawasi gerak-gerikku dan langsung mengirimkan ancaman begitu aku melapor ke polisi, artinya mereka panik. Dan saat seseorang panik, mereka lebih mudah melakukan kesalahan.Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap. Indri memandangku dengan mata yang masih menyisakan kelelahan. Aku tahu dia hampir tidak tidur semalaman, sama seperti aku."Mas yakin mau ketemu wartawan itu?" tanyanya, suaranya terdengar khawatir.Aku mengangguk. "Ini satu-satunya cara biar kasus Lala nggak diabaikan begitu saja. Kalau polisi nggak bisa diandalkan, kita harus cari cara lain."Indri menggigit bibirnya. "Tapi, Mas … mereka udah ngancem kita. Gimana kalau mereka beneran ngelakuin sesuatu sama Lala?"Aku menarik napas dalam, mencoba meredakan gejolak di dalam dadaku. "Ndri, justru karena mereka ngancem, artinya k
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 78Aku tidak menjawab.Aku hanya berdiri diam, menonton bagaimana kedua polisi itu menggiring ibu menuju mobil patroli. Dia terus berteriak-teriak, memanggil namaku, meminta belas kasihan.Tapi aku tidak peduli. Bukan karena aku tidak punya hati. Tapi karena hatiku sudah hancur. Karena aku tidak tahu di mana Lala. Dan aku takut kalau aku kehilangan dia untuk selamanya.Aku pun pulang dengan langkah gontai. Tubuhku terasa lemas, seolah semua tenaga dan harapanku ikut terkikis bersama hilangnya jejak Lala. Begitu sampai di depan rumah, aku melihat Indri sudah berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh harap. Tapi saat melihat ekspresiku, harapan itu langsung sirna.Indri berlari mendekat. "Gimana, Mas? Lala udah ketemu?"Aku hanya menggeleng lemah.Indri langsung lemas, tubuhnya nyaris ambruk jika saja aku tidak segera menangkapnya. Air mata yang sejak tadi berusaha ia tahan akhirnya jatuh juga. Ia menggenggam lenganku erat, suaranya bergetar."J
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 79Aku duduk di meja makan sambil memperhatikan Lala yang dengan penuh semangat memasukkan beberapa kotak dagangannya ke dalam tas. Senyumnya pagi ini terasa lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya, meskipun aku tahu ada trauma yang masih tersisa di hatinya."Ayah, nanti anterin Lala ke sekolah, ya? Sampai depan gerbang pokoknya," katanya sambil menatapku dengan mata penuh harap.Aku mengangguk tanpa pikir panjang. "Tentu. Ayah bakal antar jemput Lala setiap hari pokoknya."Lala tersenyum lega. Indri yang duduk di sampingnya pun ikut tersenyum sambil mengelus kepala anak kami dengan penuh kasih.Setelah Lala selesai bersiap, aku segera mengantarnya ke sekolah. Di sepanjang perjalanan, dia bercerita tentang rencana bisnis kecil-kecilannya di sekolah, tentang teman-temannya yang sudah lama tidak ditemui, dan tentang harapannya untuk bisa menjalani hari seperti biasa lagi.Saat kami tiba di depan gerbang sekolah, Lala tiba-tiba menggenggam tang
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 80Indri menarik napas dalam. "Gimana kalau kita pindah ke kampung?"Aku terdiam. Kata-katanya menggantung di udara, menekan pikiranku yang sudah lelah.Indri melanjutkan dengan hati-hati, "Mas tahu sendiri, kan? Biaya hidup di kota ini mahal. Seberapapun kita bekerja keras, tetap saja rasanya nggak cukup. Di kampung, kita bisa sedikit bergantung pada alam. Ibuku juga ada sawah di sana. Kita bisa lebih hemat dan mungkin bisa membangun usaha kecil juga di sana."Aku mengusap wajahku, berpikir keras. "Tapi, gimana dengan pelanggan jualanmu dan sekolah Lala, Ndri?"Indri tersenyum lembut. "Aku yakin kita bisa mulai lagi, Mas. Kita bisa cari cara lain buat bertahan di sana. Aku nggak ingin lihat Mas kerja terlalu keras sampai lupa istirahat. Aku juga nggak mau Lala tumbuh dengan kehidupan yang penuh tekanan seperti ini."Aku menghela napas panjang. Kata-katanya masuk akal, tapi tetap saja, ada rasa ragu dalam hatiku."Apa Lala nggak keberatan?" tan
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 81Setelah pulang dari pasar, Indri langsung sibuk membersihkan sayuran sebelum memasukkannya ke dalam kulkas. Tangannya cekatan, membilas satu per satu sayuran di bawah aliran air, lalu meniriskannya dengan hati-hati. Aku bisa melihat keseriusannya, seolah-olah ia sudah sangat siap untuk memulai usaha ini besok.Sementara itu, aku berjalan ke belakang rumah, tempat tumpukan bambu tua berserakan. Beberapa di antaranya masih cukup kuat untuk digunakan. Aku mengambil beberapa batang, mengukur-ukur sebentar, lalu mulai memotongnya menggunakan gergaji.Indri yang masih di dapur melihatku sibuk di halaman belakang dan mendekat. "Mas, mau bikin apa dengan bambu-bambu itu?" tanyanya sambil mengeringkan tangannya dengan kain lap."Aku mau bikin kandang ayam, Ndri. Aku mau pelihara ayam biar nanti kita nggak perlu beli telur kalau Lala dan Arkan mau makan telur."Indri tertawa kecil. "Widih, bagus juga idenya. Tapi emang bisa memelihara ayamnya?""Bisal
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 82Pagi itu, setelah semuanya siap, aku, Indri, dan Lala berdiri di depan meja dagangan, menanti pembeli pertama yang datang. Sinar matahari mulai menghangatkan udara, dan bau gorengan yang masih hangat menyeruak ke udara, mengundang selera siapa saja yang melintas di depan rumah kami.Tak butuh waktu lama, beberapa tetangga mulai berdatangan satu per satu. Ada yang membeli sekadar untuk sarapan, ada juga yang sekalian belanja banyak untuk keluarga mereka. Aku bisa melihat wajah sumringah Indri ketika dagangannya laris manis."Wiih tahu gorengnya kayak enak banget," ujar seorang pembeli.Indri tersenyum. "Alhamdulillah."Aku yang berdiri di sampingnya ikut merasa bangga. Baru hari pertama jualan, tapi responsnya sudah sangat baik. Ini memberi harapan besar bagi kami.Namun, di tengah suasana yang menyenangkan itu, tiga orang ibu-ibu tetangga tiba-tiba datang. Mereka awalnya terlihat antusias memilih gorengan dan makanan matang yang dijual Indri
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 83Asep tersenyum. "Saya cuma mau nganterin buku buat Lala, Paman. Ini ada catatan tugas yang tadi dia belum sempat salin di sekolah. Asep juga izin mau jemput Lala belajar lagi di rumah Rina."Aku mengangguk. "Oh, gitu. Makasih ya, Sep. Lala ada di dalam, masuk aja.""Terimakasih Paman, Asep nunggu di bangku aja."Asep lalu duduk di bangku kayu dekat pohon. Aku memperhatikan anak itu sebentar. Entah kenapa, aku mulai berpikir bahwa mungkin suatu hari nanti, anak ini bisa jadi seseorang yang lebih berarti di hidup Lala.Aku menghela napas dan tersenyum kecil.Hidup memang penuh kejutan. Dulu aku selalu khawatir kalau Lala dekat dengan laki-laki, tapi kali ini, untuk pertama kalinya, aku merasa tenang.Setelah beberapa menit dan Lala tak kunjung keluar, aku pun memutuskan untuk mengajaknya ngobrol."Asep, sini sebentar," panggilku.Anak itu langsung bangkit dan berjalan ke arahku. "Iya, Paman?" tanyanya sopan.Aku menepuk teras yang ada di sebel
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 95"Sudah Maura, yang penting sekarang kamu aman di rumah Uwa."Maura mengangguk dan tiba-tiba suara teriakan menggema dari luar rumah."Maura! Aku tahu kamu ada di dalam! Keluar, Maura!"Jantungku langsung berdegup kencang. Aku menoleh ke arah Maura yang duduk di kursi dengan wajah pucat pasi. Tangannya mencengkeram ujung bajunya dengan erat, tubuhnya gemetar hebat."Wa ... tolong, Wa. Tolong Maura. Maura takut!" isaknya dengan suara bergetar.Dari luar, suara pria itu semakin menjadi. "Aku melihat sendiri kamu lari ke sini! Jangan pikir bisa sembunyi dariku! Keluar! Dasar perempuan tidak tahu diri! Berani berselingkuh di belakangku, maka harus berani menerima akibatnya!"Maura menutup telinganya sambil menangis. "Wa, dia bakal masuk nggak? Jangan biarkan dia masuk, Wa! Maura takut!"Aku menggenggam tangannya yang dingin. "Tenang, Ra. Uwa nggak akan biarkan dia menyentuh kamu."Mas Halbi yang duduk di sebelahku langsung berdiri, wajahnya meneg
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 94Mas Halbi menghela napas lagi. "Iya, mereka nggak tahu yang sebenarnya. Itu sebabnya kamu nggak perlu ambil hati. Percuma. Kita nggak akan bisa mengubah cara mereka berpikir."Aku menggeleng. "Tapi sakit, Mas. Mereka ngomong tentang Lala seakan-akan dia itu barang bekas yang nggak pantas buat siapa-siapa."Mas Halbi menatapku penuh empati. "Lala bukan barang. Lala anak kita. Dan kita tahu siapa dia sebenarnya. Kita tahu bagaimana dia berjuang. Kita tahu dia bukan seperti yang mereka katakan."Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata suamiku."Yang penting kita ada buat dia. Jangan biarkan mereka membuat kita kehilangan kepercayaan pada anak kita sendiri," lanjut Mas Halbi.Aku menyandarkan kepala ke bahunya, berusaha mengambil kekuatan dari kehadirannya. "Aku cuma capek, Mas. Aku udah capek dengar orang ngomongin anak kita seolah-olah anak kita itu nggak ada harganya.""Aku tahu." Mas Halbi membalas dengan suara rendah. "Makanya kita gak usah
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 93Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya dada ini semakin sesak mendengar obrolan-obrolan yang terus diarahkan pada Lala. Kenapa sih orang-orang ini seperti tidak bisa berhenti membahas pernikahan? Seolah-olah hidup seseorang hanya akan dianggap sempurna kalau sudah menikah."Iya Ndri, lihat tuh si Maura, anak Bibi. Dia udah nikah di usia 17 tahun, sekarang anaknya usia 7 tahun, udah kayak bestie. Siapa yang bakal nyangka kalau dia ternyata udah punya anak," kata salah satu saudaraku lagi, seolah menambahkan beban di suasana yang sudah cukup berat.Aku melirik Maura yang sedang duduk di pojok ruangan. Dia tampak asyik dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil sambil mengetik sesuatu. Sementara anaknya yang berusia 7 tahun tampak sibuk melahap sepiring nasi di dekatnya."Maura, coba kamu ceritakan sama saudaramu ini, Nak. Mbak Lala, biar dia cepat mau nikah," Bibiku menimpali lagi, seolah sengaja ingin mempermalukan Lala di depan banyak orang.M
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 92"Maaf loh, bukannya menghina. Tapi kan ini kenyataannya, Ndri."Aku mengangguk pelan, meskipun dalam hati aku merasa muak. "Iya, Bu. Nanti coba saya bicara sama Lala."Bu Atun tersenyum puas. "Iya. Mumpung Juragan Danu juga masih belum ada yang srek tuh. Kali aja kalau sama Lala, dia mau.""Iya, Bu," jawabku seadanya.Setelah membayar belanjaan, aku segera pulang dengan hati yang berat. Langkahku terasa lebih lambat dari biasanya, pikiranku dipenuhi dengan percakapan tadi di warung.Sesampainya di rumah, aku langsung menemui ibu yang sedang duduk di ruang tengah rumahnya, mengiris bawang untuk persiapan memasak."Kata mereka, apa lebih baik Lala dijodohin aja, Bu?" tanyaku, meletakkan belanjaan di meja.Ibu menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan ekspresi tak percaya. "Dijodohin sama siapa?"Aku menghela napas. "Ya, sama siapa aja. Sama Juragan Danu misalnya."Ibu langsung melotot. "Husssh! Ngaco kamu, Ndri! Tua bangka begitu, masa mau
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 91Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia berbalik dan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Warga yang menyaksikan kejadian itu langsung saling berpandangan."Astaghfirullah, kok masih aja ada orang kayak gitu?" gumam salah seorang ibu yang berdiri tak jauh dariku."Iya, ya. Bukannya introspeksi, malah makin menjadi," timpal yang lain.Aku menarik napas panjang dan menoleh ke arah ibu. Jujur, aku selalu kepikiran kalau soal anak. Aku yang punya masalah dengan Bu Een, kenapa jadi Lala yang kena sumpah serapah? Ya Allah semoga saja, Engkau jauhkan anak hamba dari segala mata jahat.Mas Halbi, yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya ikut bersuara. "Sudah, Ndri. Lanjutkan saja pembagian sembakonya. Jangan sampai hal tadi mengganggu niat baik kita."Aku mengangguk dan kembali fokus ke apa yang sedang kulakukan. Aku tidak ingin kejadian barusan merusak suasana.Satu per satu, warga kembali maju untuk mengambil sembako."Indri, kamu benar-benar perempua
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 90Aku terperangah dan menggeleng-gelengkan kepala. "Astagfirullah Bu Een. Jangan menuduh orang lain tanpa bukti Bu, fitnah keji itu namanya. Memangnya kapan saya pernah bicara seperti itu?" "Halah bilang aja kamu mau nyangkal.""Saya bukannya menyangkal Bu Een," sanggahku tegas. "Bahkan kalau Bu Een bersedia, ayo kita bersumpah atas nama Tuhan, siapa yang sumpahnya palsu, maka dia siap mendapatkan konsekuensinya."Bu Een menelan ludah. Sementara orang-orang yang hadir di sana makin ramai berbisik-bisik. "Kalau Bu Een berani bersumpah atas tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Een itu, maka semua orang boleh percaya pada Bu Een dan semua orang boleh mengobrak-abrik toko saya. Tapi seandainya Bu Een bohong, maka konsekuensinya adalah berupa penderitaan hidup dan nikmat yang siap dicabut oleh Tuhan. Bagaimana?" tantangku.Semua orang saling lirik. Mereka lalu setuju tampak dengan usulku. Sampai akhirnya aku pun melakukan sumpah di bawah Alquran. Ka
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 89Pagi itu, aku duduk di depan toko bersama Mas Halbi. Matahari masih rendah, tapi udara sudah terasa hangat. Toko kami masih sepi. Tak ada satu pun pelanggan yang datang sejak kemarin. Semalam aku sudah cerita pada ibu, soal ini, aku pikir ibu tahu kira-kira kenapa penyebab toko kami bisa sepi seperti ini, tapi ibu bilang namanya jualan pasti ada masa rame dan sepinya. Tapi entah kenapa aku tetap merasa ada yang tak beres dengan tokoku ini.“Mas, aku kepikiran sesuatu."Mas Halbi menoleh. “Apa?”“Gimana kalau hari ini kita bagi-bagi sembako gratis lagi seperti awal kita buka?”Kening Mas Halbi berkerut. "Ya, anggap aja ini sedekah. Selain itu, ini bisa jadi cara buat narik orang-orang supaya mereka kembali belanja di toko kita.”Mas Halbi terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Boleh juga idenya. Ya udah, ayo kita siapin sekarang.”Tanpa menunda lagi, kami mulai mengemas sembako. Aku dan Mas Halbi bekerja dengan penuh semangat, berharap u
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 88Ah aku tidak peduli. Yang penting aku ingin yang terbaik untuk anakku.***Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Asep. Mas Halbi menyarankan agar aku tak pergi sendirian, tapi aku yakin ini adalah urusanku sebagai ibu. Aku ingin menyampaikan keputusan Lala dengan baik-baik. Bagaimanapun juga, hubungan baik harus tetap dijaga, meski harus membawa kabar yang mungkin mengecewakan mereka.Saat tiba di rumah Asep, aku melihat Asep sedang duduk di teras rumah, sepertinya baru saja selesai sarapan. Ia tersenyum sopan saat melihatku."Bibi. Silakan masuk, Bi," katanya ramah.Aku mengangguk dan melangkah masuk. Di ruang keluarga, Bu Een duduk di kursi roda dengan wajah yang jauh lebih segar dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Ia sudah bisa berbicara meskipun pelan, dan nenek Asep juga ada di sana, duduk bersisian sambil merajut sesuatu.Setelah berbasa-basi sebentar dan menanyakan kondisi Bu Een, aku pun menghela napas. Aku
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 87Aku menarik napas dalam, "Bu Een sakit, La. Dia kena stroke sekarang, setelah mengalami stres berat akibat luka bakar yang dilakukan oleh majikannya di Arab. Sekarang dia cuma bisa duduk di kursi roda, dan Asep yang merawatnya."Mata Lala membulat. "Serius, Mah? Ya ampun ... Lala baru tahu. Kasihan banget. Lala harus jenguk Bu Een. Bisa antar Lala ke sana sekarang, Mah?"Aku mengangguk. "Tentu. Yuk, kita pergi sekarang."Kami segera berangkat ke rumah Bu Een. Saat sampai, aku melihat Bu Een duduk di kursi roda di halaman rumahnya, ditemani Asep. Dia tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya, dan wajahnya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Asep yang berdiri di sampingnya terlihat lebih dewasa dari terakhir kali aku melihatnya.Lala melangkah mendekat dengan hati-hati. "Assalamualaikum."Asep menoleh dan langsung tersenyum kecil. "Waalaikumsalam, La."Bu Een hanya menatap kami dengan mata yang tampak lelah. Aku bisa melihat ekspresi di wajahn