Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 68“Dia ditembak orang nggak dikenal, Pak. Mungkin ada orang yang dendam pribadi sama dia. Biasa, risiko pekerjaannya sebagai pengacara.”Tanganku melemas. Ponsel hampir jatuh dari genggamanku. “Ya Tuhan ....”“Pak Halbi, kalau gitu saya tutup dulu ya teleponnya. Saya cuma mau mengabari itu saja.”Aku mengerjap. “Iya, Pak. Iya. Terima kasih sudah memberi tahu.”Setelah telepon itu berakhir, aku hanya duduk terpaku. Pak Faisal, orang yang tadi memberiku harapan besar, kini telah tiada. Aku merasa seperti sedang jatuh dari tebing yang tinggi.Malam itu, aku hampir tidak bisa tidur. Pikiranku terus berkecamuk, mencari jalan keluar lain. Aku mencoba mengingat siapa lagi yang bisa membantuku. Tapi semakin aku berpikir, semakin aku merasa buntu.***Keesokan harinya.Aku melihat Indri yang sedang menyiapkan sarapan. Meski wajahnya terlihat lelah, tapi dia tetap berusaha bersikap seolah baik-baik saja.“Mas, kamu kenapa?” tanyanya kemudian.Aku menole
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 69Aku mengangguk pelan. Kami pun berjalan keluar dengan langkah cepat, meninggalkan toko itu tanpa membuat keributan. Sesampainya di mobil, aku segera melanjutkan pekerjaan mengganti ban yang sempat tertunda. Tanganku bergerak cepat, dipenuhi amarah yang kutahan.“Mas.” Indri bicara ketika kami sudah sama-sama di dalam mobil. “Aku minta maaf," katanya.Aku menatapnya. “Kenapa kamu minta maaf?”“Karena kemarin aku marah sama kamu, Mas. Aku kecewa karena kamu menikahi Miranda meskipun alasannya untuk menolongku. Tapi sekarang aku sadar … kamu juga menderita sejak pernikahan itu.”Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum pahit. Setelah itu Indri memelukku. Dan aku bisa melihat penyesalan di wajahnya, tapi aku tidak ingin menyalahkannya. Aku tahu, kami berdua hanya korban dari keadaan."Kita pasti bisa Ndri, kita pasti, bisa," ucapku sambil sama-sama terisak.Dia manggut-manggut. Lalu melepaskan pelukannya.Aku kembali menyalakan mesin dan melajukannya
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 70Pada akhirnya, waktu untuk persidangan pertama pun tiba. Ruang sidang dipenuhi ketegangan, dengan aku dan Miranda saling berhadapan untuk pertama kalinya secara resmi di depan hukum. Aku melihat Miranda duduk dengan percaya diri bersama pengacaranya, sementara aku duduk di samping pengacara kami dengan hati yang terus berdoa.Sidang berjalan cukup sengit, dengan argumen dari kedua belah pihak yang saling menyerang. Bukti video yang kami miliki menjadi fokus utama, dan pengacara Miranda mencoba membantah keasliannya. Namun, pengacara kami dengan tegas menjelaskan bahwa bukti itu telah diverifikasi dan sah untuk dijadikan dasar tuntutan.Di akhir sidang, hakim memutuskan untuk melanjutkan kasus ini ke tahap berikutnya. Aku merasa lega karena ini berarti perjuangan kami tidak sia-sia.Setelah sidang berakhir, aku berdiri di luar ruang sidang, menatap langit dengan perasaan campur aduk. Ini baru awal dari perjalanan panjang, tapi aku yakin, kebe
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 71POV LalaAku melangkah keluar dari ruang guru dengan perasaan yang sulit kugambarkan. Kakiku terasa begitu lemas, seolah tenagaku telah terkuras habis hanya untuk menerima kenyataan pahit ini. Aku dikeluarkan. Tidak ada kesempatan kedua.Aku menunduk, menatap lantai tanpa benar-benar melihatnya. Dadaku sesak. Aku tahu aku hanya korban, tapi nyatanya dunia tidak peduli. Dunia hanya melihat apa yang tampak di permukaan, dan sekarang, aku dicap sebagai anak bermasalah.Kenapa aku harus sebodoh ini?Pertanyaan itu terus-menerus berputar di kepalaku. Aku ingin marah pada diriku sendiri. Aku tahu Ayah adalah orang yang baik, tapi sejak aku tahu dia menghianati Mamah, rasanya aku sudah tidak percaya lagi pada siapa pun. Aku kecewa, aku marah, dan aku membiarkan diriku kehilangan kendali.Aku benar-benar menyesal.Tanpa sadar, air mataku menggenang. Aku tidak menangis, tapi ada sesuatu di dalam dadaku yang terasa berat. Aku ingin berteriak, ingin me
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 72Aku memandang wajah Ayah dan Mamah bergantian. Mereka tampak begitu lelah, tapi tetap berusaha tersenyum padaku. Hatiku mencelos melihat mereka seperti ini. Bagaimana mungkin aku tidak menerima keadaan ini? Mereka sudah berusaha sebaik mungkin untuk kami semua.“Lala setuju, Yah. Kalau memang harus pindah, kita pindah aja. Asal kita tetap bersama, itu sudah cukup buat Lala,” jawabku apa adanya.Mamah menatapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Terima kasih ya, La. Kamu anak yang baik.”***Esok harinya, Ayah langsung mencari kontrakan. Ia menghabiskan hampir seharian penuh berkeliling, dan untungnya menemukan kontrakan yang tidak terlalu jauh dari sekolah baruku. Tempatnya sederhana, tapi cukup nyaman untuk kami tinggali.Dan keesokan harinya lagi, kami mulai berkemas. Barang-barang yang tidak terlalu penting kami sisihkan, hanya membawa yang benar-benar dibutuhkan. Proses pindahan terasa melelahkan, tapi juga memberikan harapan baru.Sa
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 73Mamah yang sedang menidurkan Arkan langsung menatapku dengan wajah ragu. "La, sekolah itu tempat belajar, bukan tempat jualan. Kamu nggak takut kecapekan?"Aku buru-buru menggeleng. "Di sekolah juga ada yang jualan kok, Mah. Dan Lala nggak akan mengganggu pelajaran, janji! Lala cuma pengen bantuin Mamah dan Ayah biar pemasukan kita bisa lebih banyak."Mamah masih tampak bimbang. Aku tahu, beliau pasti khawatir aku akan kelelahan. Tapi aku benar-benar ingin melakukan ini. Aku ingin membantu, meskipun hanya sedikit.Setelah beberapa menit berpikir, Mamah akhirnya menghela napas. "Ya sudah, kalau kamu memang mau, nanti malam Mamah bikinin es susu jelly buat kamu jual di sekolah ya."Aku langsung tersenyum lebar dan memeluk Mamah erat. "Makasih ya, Mah. Lala janji nggak akan ngeluh capek."Keesokan harinya, aku bangun lebih awal dari biasanya. Setelah membantu Mamah menyiapkan dagangan untuk di rumah, aku juga ikut membantu menyiapkan es SUJE al
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 74Aku menjerit sekuat tenaga, berusaha melawan ketakutan yang menyergapku."Tolong! Tolong!"Namun, teriakanku hanya teredam oleh tangan kasar yang terus membekap mulutku. Napasku mulai sesak, tubuhku menggeliat mencoba melepaskan diri, tapi sia-sia. Orang itu terlalu kuat.Termos esku jatuh, membuat tutupnya berhamburan ke aspal.Kegelapan mulai menyelimuti pandanganku. Kepalaku terasa ringan, kemudian semuanya menghilang.____Aku terbangun dengan tubuh terasa lemas. Kepalaku sedikit pening, dan butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa aku berada di tempat yang asing. Ruangan ini gelap, dengan satu jendela kecil di sudut atas. Dindingnya kusam, hanya ada satu lampu redup yang menggantung di langit-langit.Aku mencoba bergerak, tetapi pergelangan tanganku terikat di belakang kursi. Aku mencoba menarik napas dalam, menenangkan diri meski jantungku berdegup kencang.Aku mencoba berteriak lagi, dan kali ini pintu di depanku terbuka perlahan.S
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 75POV HalbiAku menggenggam termos es Lala yang tergeletak di gang sempit menuju rumah kontrakan kami. Tubuhku bergetar hebat, bukan karena dingin, tetapi karena perasaan takut yang menyesakkan. Kemana anakku? Aku menoleh ke sekeliling, berharap ada seseorang yang bisa memberikan jawaban, tapi jalanan sudah sepi. Hanya lampu-lampu redup dari rumah-rumah di gang ini yang menemani keresahanku."Lala!" Aku berteriak sekencang mungkin, suaraku menggema, tapi tak ada jawaban.Hatiku mencelos. Lala tidak mungkin meninggalkan termos esnya begitu saja. Dia anak yang sangat berhati-hati. Jika pun jatuh, pasti dia akan mengambilnya kembali. Tapi termos ini dibiarkan begitu saja di tanah, seperti sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba.Aku segera berlari ke rumah. Indri yang sedang menidurkan Arkan langsung terkejut melihatku masuk dengan napas terengah-engah."Mas, kenapa?" tanyanya panik."Lala, Ndri. Ini termos esnya aku temuin jatuh di gang." Aku men
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 95"Sudah Maura, yang penting sekarang kamu aman di rumah Uwa."Maura mengangguk dan tiba-tiba suara teriakan menggema dari luar rumah."Maura! Aku tahu kamu ada di dalam! Keluar, Maura!"Jantungku langsung berdegup kencang. Aku menoleh ke arah Maura yang duduk di kursi dengan wajah pucat pasi. Tangannya mencengkeram ujung bajunya dengan erat, tubuhnya gemetar hebat."Wa ... tolong, Wa. Tolong Maura. Maura takut!" isaknya dengan suara bergetar.Dari luar, suara pria itu semakin menjadi. "Aku melihat sendiri kamu lari ke sini! Jangan pikir bisa sembunyi dariku! Keluar! Dasar perempuan tidak tahu diri! Berani berselingkuh di belakangku, maka harus berani menerima akibatnya!"Maura menutup telinganya sambil menangis. "Wa, dia bakal masuk nggak? Jangan biarkan dia masuk, Wa! Maura takut!"Aku menggenggam tangannya yang dingin. "Tenang, Ra. Uwa nggak akan biarkan dia menyentuh kamu."Mas Halbi yang duduk di sebelahku langsung berdiri, wajahnya meneg
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 94Mas Halbi menghela napas lagi. "Iya, mereka nggak tahu yang sebenarnya. Itu sebabnya kamu nggak perlu ambil hati. Percuma. Kita nggak akan bisa mengubah cara mereka berpikir."Aku menggeleng. "Tapi sakit, Mas. Mereka ngomong tentang Lala seakan-akan dia itu barang bekas yang nggak pantas buat siapa-siapa."Mas Halbi menatapku penuh empati. "Lala bukan barang. Lala anak kita. Dan kita tahu siapa dia sebenarnya. Kita tahu bagaimana dia berjuang. Kita tahu dia bukan seperti yang mereka katakan."Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata suamiku."Yang penting kita ada buat dia. Jangan biarkan mereka membuat kita kehilangan kepercayaan pada anak kita sendiri," lanjut Mas Halbi.Aku menyandarkan kepala ke bahunya, berusaha mengambil kekuatan dari kehadirannya. "Aku cuma capek, Mas. Aku udah capek dengar orang ngomongin anak kita seolah-olah anak kita itu nggak ada harganya.""Aku tahu." Mas Halbi membalas dengan suara rendah. "Makanya kita gak usah
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 93Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya dada ini semakin sesak mendengar obrolan-obrolan yang terus diarahkan pada Lala. Kenapa sih orang-orang ini seperti tidak bisa berhenti membahas pernikahan? Seolah-olah hidup seseorang hanya akan dianggap sempurna kalau sudah menikah."Iya Ndri, lihat tuh si Maura, anak Bibi. Dia udah nikah di usia 17 tahun, sekarang anaknya usia 7 tahun, udah kayak bestie. Siapa yang bakal nyangka kalau dia ternyata udah punya anak," kata salah satu saudaraku lagi, seolah menambahkan beban di suasana yang sudah cukup berat.Aku melirik Maura yang sedang duduk di pojok ruangan. Dia tampak asyik dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil sambil mengetik sesuatu. Sementara anaknya yang berusia 7 tahun tampak sibuk melahap sepiring nasi di dekatnya."Maura, coba kamu ceritakan sama saudaramu ini, Nak. Mbak Lala, biar dia cepat mau nikah," Bibiku menimpali lagi, seolah sengaja ingin mempermalukan Lala di depan banyak orang.M
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 92"Maaf loh, bukannya menghina. Tapi kan ini kenyataannya, Ndri."Aku mengangguk pelan, meskipun dalam hati aku merasa muak. "Iya, Bu. Nanti coba saya bicara sama Lala."Bu Atun tersenyum puas. "Iya. Mumpung Juragan Danu juga masih belum ada yang srek tuh. Kali aja kalau sama Lala, dia mau.""Iya, Bu," jawabku seadanya.Setelah membayar belanjaan, aku segera pulang dengan hati yang berat. Langkahku terasa lebih lambat dari biasanya, pikiranku dipenuhi dengan percakapan tadi di warung.Sesampainya di rumah, aku langsung menemui ibu yang sedang duduk di ruang tengah rumahnya, mengiris bawang untuk persiapan memasak."Kata mereka, apa lebih baik Lala dijodohin aja, Bu?" tanyaku, meletakkan belanjaan di meja.Ibu menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan ekspresi tak percaya. "Dijodohin sama siapa?"Aku menghela napas. "Ya, sama siapa aja. Sama Juragan Danu misalnya."Ibu langsung melotot. "Husssh! Ngaco kamu, Ndri! Tua bangka begitu, masa mau
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 91Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia berbalik dan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Warga yang menyaksikan kejadian itu langsung saling berpandangan."Astaghfirullah, kok masih aja ada orang kayak gitu?" gumam salah seorang ibu yang berdiri tak jauh dariku."Iya, ya. Bukannya introspeksi, malah makin menjadi," timpal yang lain.Aku menarik napas panjang dan menoleh ke arah ibu. Jujur, aku selalu kepikiran kalau soal anak. Aku yang punya masalah dengan Bu Een, kenapa jadi Lala yang kena sumpah serapah? Ya Allah semoga saja, Engkau jauhkan anak hamba dari segala mata jahat.Mas Halbi, yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya ikut bersuara. "Sudah, Ndri. Lanjutkan saja pembagian sembakonya. Jangan sampai hal tadi mengganggu niat baik kita."Aku mengangguk dan kembali fokus ke apa yang sedang kulakukan. Aku tidak ingin kejadian barusan merusak suasana.Satu per satu, warga kembali maju untuk mengambil sembako."Indri, kamu benar-benar perempua
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 90Aku terperangah dan menggeleng-gelengkan kepala. "Astagfirullah Bu Een. Jangan menuduh orang lain tanpa bukti Bu, fitnah keji itu namanya. Memangnya kapan saya pernah bicara seperti itu?" "Halah bilang aja kamu mau nyangkal.""Saya bukannya menyangkal Bu Een," sanggahku tegas. "Bahkan kalau Bu Een bersedia, ayo kita bersumpah atas nama Tuhan, siapa yang sumpahnya palsu, maka dia siap mendapatkan konsekuensinya."Bu Een menelan ludah. Sementara orang-orang yang hadir di sana makin ramai berbisik-bisik. "Kalau Bu Een berani bersumpah atas tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Een itu, maka semua orang boleh percaya pada Bu Een dan semua orang boleh mengobrak-abrik toko saya. Tapi seandainya Bu Een bohong, maka konsekuensinya adalah berupa penderitaan hidup dan nikmat yang siap dicabut oleh Tuhan. Bagaimana?" tantangku.Semua orang saling lirik. Mereka lalu setuju tampak dengan usulku. Sampai akhirnya aku pun melakukan sumpah di bawah Alquran. Ka
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 89Pagi itu, aku duduk di depan toko bersama Mas Halbi. Matahari masih rendah, tapi udara sudah terasa hangat. Toko kami masih sepi. Tak ada satu pun pelanggan yang datang sejak kemarin. Semalam aku sudah cerita pada ibu, soal ini, aku pikir ibu tahu kira-kira kenapa penyebab toko kami bisa sepi seperti ini, tapi ibu bilang namanya jualan pasti ada masa rame dan sepinya. Tapi entah kenapa aku tetap merasa ada yang tak beres dengan tokoku ini.“Mas, aku kepikiran sesuatu."Mas Halbi menoleh. “Apa?”“Gimana kalau hari ini kita bagi-bagi sembako gratis lagi seperti awal kita buka?”Kening Mas Halbi berkerut. "Ya, anggap aja ini sedekah. Selain itu, ini bisa jadi cara buat narik orang-orang supaya mereka kembali belanja di toko kita.”Mas Halbi terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Boleh juga idenya. Ya udah, ayo kita siapin sekarang.”Tanpa menunda lagi, kami mulai mengemas sembako. Aku dan Mas Halbi bekerja dengan penuh semangat, berharap u
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 88Ah aku tidak peduli. Yang penting aku ingin yang terbaik untuk anakku.***Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Asep. Mas Halbi menyarankan agar aku tak pergi sendirian, tapi aku yakin ini adalah urusanku sebagai ibu. Aku ingin menyampaikan keputusan Lala dengan baik-baik. Bagaimanapun juga, hubungan baik harus tetap dijaga, meski harus membawa kabar yang mungkin mengecewakan mereka.Saat tiba di rumah Asep, aku melihat Asep sedang duduk di teras rumah, sepertinya baru saja selesai sarapan. Ia tersenyum sopan saat melihatku."Bibi. Silakan masuk, Bi," katanya ramah.Aku mengangguk dan melangkah masuk. Di ruang keluarga, Bu Een duduk di kursi roda dengan wajah yang jauh lebih segar dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Ia sudah bisa berbicara meskipun pelan, dan nenek Asep juga ada di sana, duduk bersisian sambil merajut sesuatu.Setelah berbasa-basi sebentar dan menanyakan kondisi Bu Een, aku pun menghela napas. Aku
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 87Aku menarik napas dalam, "Bu Een sakit, La. Dia kena stroke sekarang, setelah mengalami stres berat akibat luka bakar yang dilakukan oleh majikannya di Arab. Sekarang dia cuma bisa duduk di kursi roda, dan Asep yang merawatnya."Mata Lala membulat. "Serius, Mah? Ya ampun ... Lala baru tahu. Kasihan banget. Lala harus jenguk Bu Een. Bisa antar Lala ke sana sekarang, Mah?"Aku mengangguk. "Tentu. Yuk, kita pergi sekarang."Kami segera berangkat ke rumah Bu Een. Saat sampai, aku melihat Bu Een duduk di kursi roda di halaman rumahnya, ditemani Asep. Dia tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya, dan wajahnya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Asep yang berdiri di sampingnya terlihat lebih dewasa dari terakhir kali aku melihatnya.Lala melangkah mendekat dengan hati-hati. "Assalamualaikum."Asep menoleh dan langsung tersenyum kecil. "Waalaikumsalam, La."Bu Een hanya menatap kami dengan mata yang tampak lelah. Aku bisa melihat ekspresi di wajahn