Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 54Pak Darwin mengangguk pelan. “Iya, Bu. Pak Halbi memang jarang ke toko belakangan ini, apalagi sejak Ibu sakit.”Aku diam, merasa dadaku semakin sesak. Dia bilang pergi ke toko setiap hari, tapi kenyataannya dia jarang ke sini. Apa sebenarnya yang sedang dia lakukan di luar sana?“Belakangan ini jarang ke sini?” ulangku, mencoba menggali lebih dalam.“Iya, Bu,” jawab Pak Darwin lagi. “Biasanya sih beliau mampir sebentar, tapi akhir-akhir ini malah sering nggak kelihatan. Kalau pun datang, paling cuma sebentar, habis itu pergi lagi.”Jawaban itu seperti menambah beban di pikiranku. Aku tidak tahu harus merasa apa—marah, kecewa, atau sedih. Aku hanya bisa mengangguk pelan sambil mencoba menyembunyikan kegelisahanku.“Oh, begitu. Ya sudah, Pak Darwin. Kalau gitu, saya pamit dulu, ya,” ujarku dengan suara yang hampir berbisik.“Iya, Bu. Hati-hati di jalan.”Aku melangkah keluar dari toko dengan perasaan yang campur aduk. Jalanan yang tadi kulalu
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 55"Iya, Mah.""Emangnya baru selesai tugasnya?” tanya bapaknya sekarang.Lala melirik tajam ke arah Mas Halbi, lalu menjawab dengan malas, “Iya.”"Terus tadi itu siapa yang anterin kamu pulang?" tanya Mas Halbi lagi."Temen. Kenapa?""Gak baik La, malu kalau dilihat sama orang. Anak perempuan pulang malam diantar sama laki-laki, biasanya-""Ngapain dengerin apa kata orang?" Lala memotong tajam.Seketika aku merasa ketegangan terjadi lagi diantara mereka."La, tapi kan-“Emang rumah teman kamu itu di mana sih, La? Biar kalau kamu belum pulang, kita bisa mudah cariin kamu,” potongku cepat. Sengaja untuk melerai mereka."Di komplek sebelah kok, Mah," jawab Lala seraya senyum. Aku senang, tapi hal itu justru membuatku semakin merasa aneh. Kenapa ya Lala ramah padaku tapi dingin pada ayahnya?"Oh ya sudah, kamu naik gih. Istirahat dan langsung tidur, biar besok nggak kesiangan lagi. Tadi kamu udah bolos sekolah, besok nggak boleh bolos lagi.”“Iya,
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 56Sore itu, saat Mas Halbi pulang dari toko, aku langsung mengajaknya duduk di ruang keluarga. Aku tak bisa menunda untuk memberitahunya tentang apa yang aku lihat tadi siang—Lala bolos sekolah lagi. Aku duduk di sebelahnya dan langsung bicara tanpa basa-basi."Mas, Lala bolos sekolah lagi. Tadi siang aku lihat Lala lagi duduk di depan swalayan sama anak laki-laki itu," ujarku, berusaha menahan nada kesal yang mendesak keluar.Mas Halbi menatapku sejenak, lalu menarik napas panjang. "Masa sih?""Iya, Mas. Keterlaluan banget kan?""Ya udah, aku naik dulu, biar aku tanya dia."Aku mengangguk membiarkan dia naik. Tak lama waktu berselang, dari bawah, aku mendengar samar-samar suara mereka berubah seperti menjadi sebuah pertengkaran. Suara Mas Halbi meninggi, dan aku mendengar Lala menjawab dengan nada keras pula. Aku semakin gelisah. Ada apa sebenarnya antara mereka?Ketika Mas Halbi turun, aku langsung mendekatinya. "Mas, ada apa sih? Kok sampa
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 57Lala terdiam, tapi kemudian dia terisak di depanku. "Kenapa Lala? Kenapa kamu malah nangis begini?" desakku lagi."Mah, sebenarnya Ayah ... tapi Mamah janji harus tenang." Dia menatapku lekat. "Iya Lala. Mamah janji akan tenang, sekarang ceritakan semuanya ada apa yang sebenarnya?""Mah, Ayah ... dia punya perempuan lain."Aku hanya bisa terpaku, berusaha mencerna kata-katanya yang seperti belati menusuk dadaku. Dan sejurus dengan itu, aku merasakan dadaku kemudian sesak dan panas “Ayah punya perempuan lain?” ulangku, suaraku bergetar, hampir tidak percaya. “Kamu bercanda kan, La? Kamu bercanda 'kan?"Lala menunduk, berusaha menahan isakannya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Lala nggak bercanda apalagi bohong, Mah. Lala pernah lihat sendiri Ayah lagi di sebuah tempat kopi sama perempuan lain. Mereka mesra dan dekat banget. Lalu Ayah jujur kalau perempuan itu adalah istri keduanya."Aku terhenyak. Kata-katanya seperti petir yang menya
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 58Aku tidak pernah menyangka hidupku akan sampai di titik ini. Duduk di dalam mobil bersama Mas Halbi, dalam perjalanan ke rumah mertuaku dengan kepala yang penuh dengan pertanyaan. Setelah semua pengkhianatan dan rasa sakit yang ia buat, aku tidak tahu apa yang membuatku tetap bertahan di sisinya. Tapi satu hal yang aku tahu, aku harus mendengar kebenaran ini dari mulut mertuaku sendiri, apa pun yang terjadi.Sesampainya di sana, kami disambut dengan pintu yang dibuka pepan oleh ibu mertuaku. Wajahnya langsung dingin ketika melihat kami. Dan aku langsung bisa merasakan aura tidak bersahabat darinya. "Mau apa kalian datang ke sini?" tanyanya dengan nada tajam.Mas Halbi mencoba tetap tenang, meskipun aku bisa melihat jelas kegelisahan di wajahnya. "Bu, Halbi sudah menuruti apa yang Ibu mau. Sekarang Ibu harus jelaskan sama Indri, kalau Halbi menikahi perempuan itu karena Ibu yang memintanya."Untuk beberapa detik, wajah ibu mertuaku tidak men
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 59Aku mengusap rambut Lala dengan lembut, merasakan beratnya beban yang tidak hanya kuhadapi, tetapi juga dia.Lala tetap diam, menunggu kelanjutan ceritaku. Aku melanjutkan dengan hati yang bergejolak, "Ayah bilang dia menikahi perempuan itu karena dia butuh uang untuk biaya pengobatan Mamah di rumah sakit. Satu-satunya orang yang bisa membantu waktu itu adalah nenek kamu. Tapi nenek memberi syarat supaya Ayah menikahi Tante Miranda."Lala menatapku dalam. Sementara aku menarik napas panjang. "Sekarang Mamah benar-benar bingung, La. Apa kita harus kasih kesempatan kedua pada, Ayahmu? Atau kita hidup seperti dulu, tanpa sosok seorang ayah di rumah?"Lala masih terdiam, dan sejurus dengan itu tiba-tiba dia terisak. Tanpa kata-kata, dia memelukku dengan erat, seolah memberiku kekuatan yang selama ini aku butuhkan.“Lala nggak butuh siapa pun selain Mamah,” kata Lala dengan suara yang mulai terisak. "Putuskan apa yang bikin Mamah bahagia, maka La
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 60Aku tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Tante yakin kamu anak yang baik. Sekarang pulanglah.”Aditya berdiri dengan sopan, pamit, dan meninggalkan rumah. Aku mengantarnya sampai ke pintu, memastikan ia benar-benar pergi sebelum menutup pintu.Begitu aku berbalik, aku langsung disambut oleh protes Lala.“Kenapa sih, Mah? Mamah harus ngomong gitu di depan Aditya? Kan malu, Mah. Kita cuma temenan, kok. Nggak lebih."Aku menatap Lala dengan sabar, meskipun di dalam hati aku juga merasa kesal dengan sikapnya. “Mamah tahu, Lala. Mamah cuma khawatir. Jadi nggak ada salahnya kan kalau Mamah ngomong gitu sama Aditya? Lagi pula, ayah kan biasanya juga antar jemput kamu sekolah. Kenapa sekarang kamu malah ngerepotin anak orang lain begitu?”Wajah Lala langsung berubah. “Tapi Lala udah nggak mau lagi berangkat dan pulang sama ayah, Mah.”“Kenapa memangnya?”“Ya males aja, Mah. Emang Mamah nggak males sama ayah?”Aku menarik napas panjang, mencoba menahan
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 61Esok paginya, saat Lala bersiap untuk berangkat sekolah, aku sudah menunggunya di meja makan dengan uang saku di tangan. Aku ingin memastikan dia membawa bekal, setidaknya untuk jajan di sekolah. Namun, saat aku menyodorkan uang itu, Lala hanya melirik sekilas tanpa menyentuhnya.“Ini buat jajan kamu, La,” kataku, sambil tersenyum.“Nggak usah,” jawabnya singkat sambil mengambil air dari dapur dan sepotong roti dari meja.Aku menarik napas panjang, menyadari bahwa Lala masih ngambek. Ia bahkan tidak menunggu Mas Halbi keluar dari kamar seperti biasanya. Tanpa pamit, Lala melangkah cepat ke depan rumah. Aku segera mengejarnya ke teras.“La, kalau kamu nggak bawa uang, terus nanti di sekolah kamu nggak jajan gimana?”“Lala gak usah jajan, gak apa-apa,” sahutnya malas sambil memeriksa tasnya.“Loh, kasihan dong kalau kayak gitu. Nih ambil uangnya, Nak. Nanti kamu beli makanan atau minuman di sekolah, ya?” Aku menyodorkan uang itu lagi.“Nggak u
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 95"Sudah Maura, yang penting sekarang kamu aman di rumah Uwa."Maura mengangguk dan tiba-tiba suara teriakan menggema dari luar rumah."Maura! Aku tahu kamu ada di dalam! Keluar, Maura!"Jantungku langsung berdegup kencang. Aku menoleh ke arah Maura yang duduk di kursi dengan wajah pucat pasi. Tangannya mencengkeram ujung bajunya dengan erat, tubuhnya gemetar hebat."Wa ... tolong, Wa. Tolong Maura. Maura takut!" isaknya dengan suara bergetar.Dari luar, suara pria itu semakin menjadi. "Aku melihat sendiri kamu lari ke sini! Jangan pikir bisa sembunyi dariku! Keluar! Dasar perempuan tidak tahu diri! Berani berselingkuh di belakangku, maka harus berani menerima akibatnya!"Maura menutup telinganya sambil menangis. "Wa, dia bakal masuk nggak? Jangan biarkan dia masuk, Wa! Maura takut!"Aku menggenggam tangannya yang dingin. "Tenang, Ra. Uwa nggak akan biarkan dia menyentuh kamu."Mas Halbi yang duduk di sebelahku langsung berdiri, wajahnya meneg
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 94Mas Halbi menghela napas lagi. "Iya, mereka nggak tahu yang sebenarnya. Itu sebabnya kamu nggak perlu ambil hati. Percuma. Kita nggak akan bisa mengubah cara mereka berpikir."Aku menggeleng. "Tapi sakit, Mas. Mereka ngomong tentang Lala seakan-akan dia itu barang bekas yang nggak pantas buat siapa-siapa."Mas Halbi menatapku penuh empati. "Lala bukan barang. Lala anak kita. Dan kita tahu siapa dia sebenarnya. Kita tahu bagaimana dia berjuang. Kita tahu dia bukan seperti yang mereka katakan."Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata suamiku."Yang penting kita ada buat dia. Jangan biarkan mereka membuat kita kehilangan kepercayaan pada anak kita sendiri," lanjut Mas Halbi.Aku menyandarkan kepala ke bahunya, berusaha mengambil kekuatan dari kehadirannya. "Aku cuma capek, Mas. Aku udah capek dengar orang ngomongin anak kita seolah-olah anak kita itu nggak ada harganya.""Aku tahu." Mas Halbi membalas dengan suara rendah. "Makanya kita gak usah
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 93Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya dada ini semakin sesak mendengar obrolan-obrolan yang terus diarahkan pada Lala. Kenapa sih orang-orang ini seperti tidak bisa berhenti membahas pernikahan? Seolah-olah hidup seseorang hanya akan dianggap sempurna kalau sudah menikah."Iya Ndri, lihat tuh si Maura, anak Bibi. Dia udah nikah di usia 17 tahun, sekarang anaknya usia 7 tahun, udah kayak bestie. Siapa yang bakal nyangka kalau dia ternyata udah punya anak," kata salah satu saudaraku lagi, seolah menambahkan beban di suasana yang sudah cukup berat.Aku melirik Maura yang sedang duduk di pojok ruangan. Dia tampak asyik dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil sambil mengetik sesuatu. Sementara anaknya yang berusia 7 tahun tampak sibuk melahap sepiring nasi di dekatnya."Maura, coba kamu ceritakan sama saudaramu ini, Nak. Mbak Lala, biar dia cepat mau nikah," Bibiku menimpali lagi, seolah sengaja ingin mempermalukan Lala di depan banyak orang.M
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 92"Maaf loh, bukannya menghina. Tapi kan ini kenyataannya, Ndri."Aku mengangguk pelan, meskipun dalam hati aku merasa muak. "Iya, Bu. Nanti coba saya bicara sama Lala."Bu Atun tersenyum puas. "Iya. Mumpung Juragan Danu juga masih belum ada yang srek tuh. Kali aja kalau sama Lala, dia mau.""Iya, Bu," jawabku seadanya.Setelah membayar belanjaan, aku segera pulang dengan hati yang berat. Langkahku terasa lebih lambat dari biasanya, pikiranku dipenuhi dengan percakapan tadi di warung.Sesampainya di rumah, aku langsung menemui ibu yang sedang duduk di ruang tengah rumahnya, mengiris bawang untuk persiapan memasak."Kata mereka, apa lebih baik Lala dijodohin aja, Bu?" tanyaku, meletakkan belanjaan di meja.Ibu menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan ekspresi tak percaya. "Dijodohin sama siapa?"Aku menghela napas. "Ya, sama siapa aja. Sama Juragan Danu misalnya."Ibu langsung melotot. "Husssh! Ngaco kamu, Ndri! Tua bangka begitu, masa mau
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 91Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia berbalik dan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Warga yang menyaksikan kejadian itu langsung saling berpandangan."Astaghfirullah, kok masih aja ada orang kayak gitu?" gumam salah seorang ibu yang berdiri tak jauh dariku."Iya, ya. Bukannya introspeksi, malah makin menjadi," timpal yang lain.Aku menarik napas panjang dan menoleh ke arah ibu. Jujur, aku selalu kepikiran kalau soal anak. Aku yang punya masalah dengan Bu Een, kenapa jadi Lala yang kena sumpah serapah? Ya Allah semoga saja, Engkau jauhkan anak hamba dari segala mata jahat.Mas Halbi, yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya ikut bersuara. "Sudah, Ndri. Lanjutkan saja pembagian sembakonya. Jangan sampai hal tadi mengganggu niat baik kita."Aku mengangguk dan kembali fokus ke apa yang sedang kulakukan. Aku tidak ingin kejadian barusan merusak suasana.Satu per satu, warga kembali maju untuk mengambil sembako."Indri, kamu benar-benar perempua
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 90Aku terperangah dan menggeleng-gelengkan kepala. "Astagfirullah Bu Een. Jangan menuduh orang lain tanpa bukti Bu, fitnah keji itu namanya. Memangnya kapan saya pernah bicara seperti itu?" "Halah bilang aja kamu mau nyangkal.""Saya bukannya menyangkal Bu Een," sanggahku tegas. "Bahkan kalau Bu Een bersedia, ayo kita bersumpah atas nama Tuhan, siapa yang sumpahnya palsu, maka dia siap mendapatkan konsekuensinya."Bu Een menelan ludah. Sementara orang-orang yang hadir di sana makin ramai berbisik-bisik. "Kalau Bu Een berani bersumpah atas tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Een itu, maka semua orang boleh percaya pada Bu Een dan semua orang boleh mengobrak-abrik toko saya. Tapi seandainya Bu Een bohong, maka konsekuensinya adalah berupa penderitaan hidup dan nikmat yang siap dicabut oleh Tuhan. Bagaimana?" tantangku.Semua orang saling lirik. Mereka lalu setuju tampak dengan usulku. Sampai akhirnya aku pun melakukan sumpah di bawah Alquran. Ka
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 89Pagi itu, aku duduk di depan toko bersama Mas Halbi. Matahari masih rendah, tapi udara sudah terasa hangat. Toko kami masih sepi. Tak ada satu pun pelanggan yang datang sejak kemarin. Semalam aku sudah cerita pada ibu, soal ini, aku pikir ibu tahu kira-kira kenapa penyebab toko kami bisa sepi seperti ini, tapi ibu bilang namanya jualan pasti ada masa rame dan sepinya. Tapi entah kenapa aku tetap merasa ada yang tak beres dengan tokoku ini.“Mas, aku kepikiran sesuatu."Mas Halbi menoleh. “Apa?”“Gimana kalau hari ini kita bagi-bagi sembako gratis lagi seperti awal kita buka?”Kening Mas Halbi berkerut. "Ya, anggap aja ini sedekah. Selain itu, ini bisa jadi cara buat narik orang-orang supaya mereka kembali belanja di toko kita.”Mas Halbi terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Boleh juga idenya. Ya udah, ayo kita siapin sekarang.”Tanpa menunda lagi, kami mulai mengemas sembako. Aku dan Mas Halbi bekerja dengan penuh semangat, berharap u
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 88Ah aku tidak peduli. Yang penting aku ingin yang terbaik untuk anakku.***Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Asep. Mas Halbi menyarankan agar aku tak pergi sendirian, tapi aku yakin ini adalah urusanku sebagai ibu. Aku ingin menyampaikan keputusan Lala dengan baik-baik. Bagaimanapun juga, hubungan baik harus tetap dijaga, meski harus membawa kabar yang mungkin mengecewakan mereka.Saat tiba di rumah Asep, aku melihat Asep sedang duduk di teras rumah, sepertinya baru saja selesai sarapan. Ia tersenyum sopan saat melihatku."Bibi. Silakan masuk, Bi," katanya ramah.Aku mengangguk dan melangkah masuk. Di ruang keluarga, Bu Een duduk di kursi roda dengan wajah yang jauh lebih segar dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Ia sudah bisa berbicara meskipun pelan, dan nenek Asep juga ada di sana, duduk bersisian sambil merajut sesuatu.Setelah berbasa-basi sebentar dan menanyakan kondisi Bu Een, aku pun menghela napas. Aku
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 87Aku menarik napas dalam, "Bu Een sakit, La. Dia kena stroke sekarang, setelah mengalami stres berat akibat luka bakar yang dilakukan oleh majikannya di Arab. Sekarang dia cuma bisa duduk di kursi roda, dan Asep yang merawatnya."Mata Lala membulat. "Serius, Mah? Ya ampun ... Lala baru tahu. Kasihan banget. Lala harus jenguk Bu Een. Bisa antar Lala ke sana sekarang, Mah?"Aku mengangguk. "Tentu. Yuk, kita pergi sekarang."Kami segera berangkat ke rumah Bu Een. Saat sampai, aku melihat Bu Een duduk di kursi roda di halaman rumahnya, ditemani Asep. Dia tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya, dan wajahnya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Asep yang berdiri di sampingnya terlihat lebih dewasa dari terakhir kali aku melihatnya.Lala melangkah mendekat dengan hati-hati. "Assalamualaikum."Asep menoleh dan langsung tersenyum kecil. "Waalaikumsalam, La."Bu Een hanya menatap kami dengan mata yang tampak lelah. Aku bisa melihat ekspresi di wajahn