Entah yang keberapa kali Asih pindah tempat duduk. Perasaannya tak karuan menunggu Arunika datang. Pembeli yang sedari tadi datang membuat Winda tak bisa menemani Asih. Air mineral yang Asih bawa pun sudah tandas tak bersisa. “Kamu kenapa gelisah gitu?” tanya Winda setelah tak ada pembeli yang datang. “Enggak apa-apa. Saya cuma takut aja kalau enggak keterima kerja.” “Belum juga ketemu Mbak Arun, tapi aku yakin kamu di terima kerja di sini karena sejak lowongan kerja di sini di buka cuma kamu yang datang melamar,” jelas Winda. “Kamu enggak bohong ‘kan?’ tanya Asih begitu mendengarr penjelasan Winda. “Memang wajahku ada tampang pembohong ya?” tanya Winda balik. “Bukan gitu maksudku. Cuma aneh aja.”Winda hanya mengangkat kedua bahunya mendengar perkataan Asih. “Tu, yang kamu tunggu datang juga,” ucap Winda sambil menunjuk kearah perempuan yang datang menuju toko roti. “Hai, Win. Maaf ya aku
Arun masih tak beranjak dari tempat duduknya ia masih asik berkutat dengan laptopnya di ruang kerjanya. Hari ini malas sekali rasanya pulang. Arun juga lebih tenang meninggalkan Mamanya di rumah. Karena sekarang ada Bu Ijah yang menemani Mamanya. Selain membantu membuat kue Bu Ijah sekarang juga sering menginap di rumah Arunika. Arun meregangkan otot badannya yang terasa pegal. Sejak datang ia tak berhenti menyelesaikan pekerjaannya, malam ini lebih baik aku menginap disini saja.Arun memang bukan tipe perempuan yang harus tidur di kasur nyaman ruang berAC dan dengan aroma terapi yang menenangkan. Beruntunglah Arun sudah menaruh selimut, kasur busa dan bantal di ruangannya. Perlahan ia pun merebahkan tubuhnya, tak lama Arun sudah tertidur lelapDi rumah ArunIni anak kemana, jam segini belum pulang. Hpnya juga enggak bisa di hubungi. Sedari tadi Bu Erika berjalan mondar mandir sambil menggenggam ponselnya. “Ibu sudah coba telepon Winda, siapa tahu Mbak Arun di toko rotin
Ayu mengikuti Saka dari belakang sambil mendorong troli. Saka pun seolah tak peduli pada keberadaan Ayu, mungkin dia lupa kalau sekarang dia tak sendiri di sini. “Yu, kamu ngapain jalan di belakang saya?” tegur Saka yang melihat Ayu berdiri di belakangnya. “Menurut Bapak saya harus gimana?” tanya Ayu balik dengan wajah yang terlihat kesal. “Galak banget kamu. Saya tanya baik-baik jawabnya kayak gitu.”Ayu mencoba sabar kalau tak ingat Saka itu siapa pasti sedari tadi ia sudah meninggalkan Saka. Perlahan Ayu menghembuskan nafasnya. “Pak Saka, sekarang apa yang harus saya kerjakan?” tanyanya sambil memaksakan semyum di wajahnya. “Kok kayak terpaksa gitu ngomongnya,” ucap Saka sambil mengangkat alisnya. “Enggak, Pak saya ngomongnya iklas lahir batin.” “Kamu tahu enggak kenapa saya mengajak kamu belanja?” tanya Saka.Ayu yang mendengar perkataan Saka hanya mengeryitkan alisnya dan
Pikiran Arun tak fokus pada pekerjaannya. Potongan lapis singkong yang telah di potong Mamanya masih utuh belum ada satu pun yang terbungkus plastik. “Ya ampun Arun dari tadi ngapain aja?” teriak Mamanya begitu melihat Arun.Seketika lamunan Arun pun buyar mendengar teriakan Mamanya. “Mama kalau ngomong enggak usah pakai teriak bisa enggak,” ucapnya sambil mengusap dadanya. “Habisnya kamu ini di suruh bungkusin malah melamun. Lagian pagi-pagi mikirin apa sih. Ini itu pesanan orang kamu enggak lihat itu jam berapa. Sebentar lagi jam sembilan pesanannya mau di ambil,” jelas Mamanya sambil dengan cekatan membungkus lapis singkong. “Bu Ijah mana, Ma?” tanya Arun sambil celingukan mencari Bu Ijah yang tak nampak batang hidungnya. “Bu Ijah ada perlu nanti agak siangan kesininya. Kue yang mau di bawa ke toko udah jadi kan?” tanya Arun dengan tak enak hati pada Mamanya. “Udah, nanti kamu berangkat sama Pak Atmo aja, biar
“Mbak Arun kenapa, ya. Kok tiba-tiba berubah setelah kamu sebut nama Pak Saka,” celetuk Winda. “Karena ada sesuatu pastinya,” jawab Asih sambil tersenyum. “Kayaknya kamu tahu sesuatu tentang Mbak Arun,” ucap Winda sambil melirik Asih dengan ujung matanya. “Karena aku mencari tahu,” jawab Asih singkat. “Udah aku bingung. Cepat kamu ngomong apa aja yang kamu tahu tentang Mbak Arun!” pinta Winda yang mengubah posisi duduknya menghadap ke arah Asih.Asih mengambil ponselnya. “Kamu perhatikan dua gambar ini,” perintah Asih sambil menyerahkan ponselnya pada Winda. “Dari mana kamu dapat foto ini,” tanya Winda sambil mengamati ponsel Asih dengan serius. “Itu foto yang aku ambil di album milik Pak Saka. Habis aku penasarana karena sejak lihat Mbak Arun aku ingat foto itu. Awalnya aku ragu, tapi setelah aku selidiki ternyata foto yang ada di kamar Pak Saka memang foto Mbak Arun,” jelas Asih. “Ssstttt, pelan-pela
Sebuah mobil berhenti tepat di depan gerbang masuk perumahan. Pak Senin yang merasa asing dengan mobil yang berhenti pun segera mendekatinya.“Permisi Pak,” sapa Bagas yang keluar dari mobilnya“Iya, Pak ada yang bisa saya bantu,” jawab Pak Senin dengan ramah.“Perkenalkan Pak saya Baguas,” ucap Bagas sambil mengulurkan tangannya dengan sopan pada Pak Senin.“Saya Senin, satpam di sini,” jawab Pak Senin sambil membalas uluran tangan Bagas.“Begini, Pak Senin saya sedang mencari rumah kalau boleh saya tahu apa di sini masih ada unit yang kosong?” tanya Bagas.“Kayaknya udah penuh, tapi nanti coba saya tanyakan karena di sini ada satu rumah kosong. Tapi iya itu pemiliknya pergi dan saya enggak tahu kemana,” jelas Pak Senin.“Tapi pasti sesekali pemiliknya pernah kesini ‘kan, Pak atau mungkin ada orang yang di suruh untuk menjaga rumahnya,” tanya Bagas yang tertarik dengan cerita Pak Senin.“Kalau itu sih ada, Pak, E... tapi dijual atau enggaknya saya kurang tahu. Karena pemilik rumah ko
Pak Senin menepati janjinya pada Saka untuk ngopi bersama di rumahnya, Beberapa makanan kecil dan kopi sudah tersaji di hadapan Pak Senin dan Saka. “Silahkan, Pak,” ucap Asih mempersilahkan mereka berdua. “Makasih, Sih. Kamu ikut ngobrol di sini aja, lagian ada yang mau saya bicarakan dengan kamu,” ucap Saka begitu melihat Asih hendak masuk kedalam rumah. Asih menghentikan langkahnya dan langsung ikut duduk bersama mereka. “Sih, kamu kenal Arunika ‘kan?” tanya Saka langsung tanpa basa basi.Asih menundukkan kepalanya. “iya, Pak,” jawabnya lirih.Pak Senin yang mendengar perkataan Saka hanya mengeryitkan dahinya. “Apa dia sudah tahu kalau kamu kerja sama saya?” Asih hanya mengganggukkan kepalanya merespon pertanyaan Saka. “Sebelumnya saya mau minta maaf,” ungkap Asih. “Minta maaf? Memangnya kamu melakukan salah apa?” tanya Saka penuh selidik mendengar permintaan maaf Asih. “Pak Saka ‘kan tahu kalau sa
Arun masih enggan beranjak dari tempat tidurnya, hari ini memang sengaja tak ingin kemana-mana.TOK! TOK! TOK! Terdengar suara ketukan dari pintu kamar Arunika. “Iya, jawabnya sambil melangkah dengan malas membuka pintu. “Mama, ucapnya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Tumben kamu jam segini masih di kamar, mana belum mandi. Kamu enggak lihat Run kerjaan di dapur banyak. Bu Ijah sampai kewalahan. Lagian mana Winda katanya mau bantu Mama,” ucap Mama tanpa henti.Arun menghembuskan nafasnya, ia pun berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. Mama tanpa di suruh pun mengikuti langkahnya dari belakang. “Winda sibuk, Ma. Kalau harus ninggal toko kayaknya enggak mungkin. Mama ‘kan tahu sampai Arun cari karyawan lagi,” jelas Arun. “Gini aja Run, gimana mulai sekarang kita fokus buat roti aja, enggak usah kue tradisional. Tapi kalau ada pesenan kita baru buatin,” usul Mama. “Terserah Mama aja. Lagian Arun buka tok