Hari - 1
Semua orang yang ada di aula, selain kedua gadis yang ada di samping si Kepala desa, menatap Kakek itu dengan pandangan tak percaya. Bagaimana bisa dia mengatakan hal yang menyeramkan seperti itu dengan wajah tenang? Pasti ada yang tak beres dengan otaknya.
“Apakah kita bisa melanjutkan pembicaraan kita?”
Si Kepala desa bertanya dengan tenang. Tak ada orang yang menanggapi pertanyaan dari si Kakek.
“Kalau tidak ada yang berbicara di antara kalian, maka Aku akan menganggap kalian tak keberatan jika kita melanjutkan pembicaraan kita.”
“Oi, tunggu dulu!”
Saat si Kepala desa ingin melanjutkan pembicaraannya, pria yang sedang kupegang bahunya tiba-tiba saja berteriak.
“Apa maksudmu dengan permainan sudah dimulai? Apa yang terjadi dengan orang yang hilang di antara kami? Cepat jelaskan!”
Wajahnya nampak memerah karena marah. Bukannya Aku tidak mengerti dengan perasaannya saat ini, tapi dia harus tenang atau mungkin akan ada hal buruk yang akan terjadi, jadi Aku mencoba menarik bahunya lebih keras supaya dia tak bisa mendekat ke arah si Kakek.
“Tenanglah! Kita tak tahu apa yang si Kakek itu rencanakan, jadi kita tak bisa bergerak seenaknya!”
“Aku tahu itu, tapi...”
“Aku mohon!”
Pria itu menatap wajah seriusku dengan tatapan tajam, lalu wajahnya melunak dan dirinya mulai tenang. Aku melepaskan bahunya, setelah dia menghembuskan napas tenang.
“Apa pertengkaran di antara kalian sudah selesai?”
Pria di depanku menatap tajam ke arah si Kepala desa saat dia mendengar komentar dari si Kakek. Tatapannya seolah-olah mengatakan ‘memangnya kau pikir itu salah siapa?’.
“Kalau begitu, mari kita lanjutkan... Aku akan menjelaskan peraturan dari permainan ini!”
Tak ada yang merespon perkataannya.
“Peraturan pertama, kalian harus tinggal di Menara ini sampai Aku mengizinkan kalian untuk meninggalkan menara ini, jika kalian berani meninggalkan tempat ini tanpa seizin-ku, maka Aku tidak akan menanggung apapun yang terjadi pada kalian!”
Si kakek mengangkat satu jarinya untuk menunjukkan bahwa tadi itu adalah peraturan pertama.
“Peraturan kedua, setiap malam, tepat saat hari berganti, salah satu dari kalian akan kehilangan nyawa kalian. Hal itu akan terus terjadi sampai hanya tersisa setengah dari kalian, yaitu 15 orang.”
Si kakek mengangkat satu jarinya lagi, membentuk dua jari yang terangkat. Beberapa orang di antara kami menahan napas kami saat mendengarkan penjelasannya barusan.
“Kehilangan nyawanya katamu?! Apa kau serius?! Kau akan membunuh kami semudah itu!”
“Ya, tentu saja! Jika kau tidak memiliki hal yang berguna untuk dikatakan, lebih baik kau diam saja atau Aku mungkin terpaksa harus menutup mulutmu!”
“Apa katamu...”
Aku segera menuntup mulut pria di dekatku, sebelum dia bisa mengatakan hal lainnya. Melihat wajahku yang sangat khawatir mungkin membuat dirinya teringat bahwa saat ini dia bisa saja membahayakan nyawa orang-orang yang ada di sini, jadi dia kembali tenang. Akupun melepaskan tanganku dari mulutnya.
“Maaf...”
Aku hanya menggelengkan kepalaku untuk menanggapi permintaan maafnya. Dia mengalihkan perhatiannya ke arah lain untuk menghindari pandanganku.
“Kembali ke pembicaraan kita sebelumnya, orang yang dipilih untuk dibunuh pada malam hari adalah orang yang tidak cocok untuk tinggal di desa kami, itu juga berlaku untuk orang yang menghilang di antara kalian! Dia sama sekali tidak pantas untuk menginjakkan kakinya ke desa kami.”
Si kakek menghela napas sejenak, sebelum kembali melanjutkan penjelasannya.
“Orang yang menilai siapa yang pantas untuk dihilangkan adalah agen kami yang sudah bercampur dengan kalian!”
Si kakek berkata sambil menunjuk ke arah kami.
Kami langsung menatap satu sama lain untuk memeriksa siapakah yang dimaksud oleh si Kakek. Aku sejujurnya tak ingin percaya jika ada pengkhianat di antara kami.
Sebelum ada orang yang membuat komentar yang tak berguna, Aku segera mengangkat tanganku dan mengajukan pertanyaan pada si Kepala desa.
“Anu, apakah Aku bisa bertanya sesuatu?”
“Silahkan.”
“Berapa banyak orang yang sedang kau bicarakan?”
“Apa maksudmu adalah orang yang kukirim untuk menyamar di antara kalian?”
“Ya.”
Aku menganggukkan kepalaku. Dengan jantung berdetak kencang, Aku menunggu jawaban dari si Kepala desa.
“Hanya ada satu orang... di antara kalian, hanya ada satu orang pengkhianat.”
Meskipun Aku merasa sedikit lega dengan jawabannya, tapi Aku tak bisa sepenuhnya senang, karena hal itu tak merubah bahwa mungkin saja ada pengkhianat di antara kami.
“Peraturan ketiga, kalian bisa segera menyelesaikan permainan ini, jika kalian bisa menemukan si pengkhianat yang baru saja kubicarakan.”
Si kepala desa mengangkat tiga jarinya.
“Kalian bisa memasukkan nama dari orang yang kalian curigai ke dalam kotak yang sudah disediakan di ruangan ini, tapi jika nama yang dimasukkan salah, maka orang yang memasukkan nama tersebut akan dihukum... kalian pasti sudah bisa menebak hukuman macam apa yang akan kalian terima, kan?”
Si Kepala desa menunjuk ke arah sebuah kotak yang berada di pojok kanan ruangan ini, sebuah kotak yang menentukan nasib kami semua.
Dari apa yang dikatakan oleh si Kepala desa, kami semua bisa bebas dari Menara ini dan hidup di desa tanpa nama, jika kita bisa menebak siapakah di antara kami yang merupakan agen dari mereka alias si pengkhianat, tapi untuk melakukan hal tersebut, seseorang di antara kami harus mempertaruhkan nyawanya dengan memasukkan nama orang yang dicurigai sebagai pengkhianat dan jika dia salah, maka nyawanya akan menghilang.
Seujujurnya Aku tidak yakin ada orang di antara kami yang mau mempertaruhkan nyawanya untuk melakukan hal tersebut.
“Bolehkan Aku bertanya?”
Seorang gadis mengangkat tangannya. Dia adalah orang yang sebelumnya bertanya dengan serius, tapi diintrupsi oleh lelaki yang berada di dekatku.
“Ya, ada apa?”
“Apakah ada jaminan bahwa memang ada pengkhianat di antara kami? Kau bisa saja berbohong mengenai pengkhianat itu untuk membuat kami saling curiga satu sama lain.”
“Sayang sekali tak ada, kau hanya bisa mempercayai perkataanku... tapi percaya padaku, permainan ini adalah permainan yang adil untuk semua orang, jadi tak akan ada kecurangan dari pihak kami... itu selama kalian bisa mematuhi peraturan di sini dengan baik.”
“Aku mengerti.”
Gadis itu menurunkan tangannya.
“Apa tidak ada yang ingin bertanya lagi?”
Si Kepala desa melihat sekelilingi, tapi tak ada lagi yang mengangkat tangannya.
“Kalau begitu, kita lanjutkan... peraturan keempat, jika kalian ingin mempercepat permainan ini berakhir, kalian bisa membunuh perserta lainnya, tentu saja kalian dilarang membunuh atau menyakiti para staf, tentu saja itu jika kalian tak ingin dihukum oleh kami.”
Si Kepala desa baru saja mengatakan hal yang sangat berbahaya.
“Yang benar saja! Mana mungkin kami mau melakukan hal tersebut!”
“Sudah kubilang untuk tak mengatakan hal yang tak penting!”
Si kepala desa membungkam kembali pria yang berada di dekatku. Dia dengan enggan kembali menutup mulutnya.
“Aku akan lanjutkan penjelasanku... jika ada di antara kalian ditemukan meninggal, karena dibunuh oleh salah satu dari kalian, maka keesokan paginya kalian harus berdiskusi untuk menentukan siapakah pembunuhnya, waktu berdiskusi adalah dari jam sarapan sampai jam makan siang, setelah itu kalian akan melakukan voting, lalu orang yang mendapatkan voting terbanyak akan dihilangkan dari tempat ini... tentu saja kalian tidak ingin tinggal selamanya bersama dengan pembunuh, kan... jadi lebih baik kalian temukan si pembunuh itu.”
Kali ini lelaki berkacamata mengangkat tangannya.
“Bagaimana jika si pelaku ada dua? Apa yang akan terjadi pada yang satunya lagi, jika yang dihukum hanya yang mendapatkan voting terbanyak?”
Si kepala desa menyeringai saat mendengar pertanyaan itu.
“Tidak ada, dia hanya akan kembali hidup bersama kalian di menara ini.”
Absurd. Itu adalah kesanku tentang perkataannya. Dia berkata bahwa kami harus hidup bersama dengan pembunu, padahal sebelumnya dia berkata bahwa kami tidak ingin hidup bersama pembunuh. Apa dia sedang mempermainkan kami?
“Wajah kalian mengatakan bahwa ‘jangan bermain-main dengan kami’ atau ‘apa kau serius dengan apa yang kau katakan?’... tenang saja, jika kalian tidak ingin tinggal dengan seseorang yang tidak kalian sukai, kalian hanya perlu membunuhnya dengan memasukkan namanya ke kotak yang berada di sebelah sana.”
Si kepala desa menunjuk ke arah kotak yang berada di sebelah kiri aula. Kotak itu bertuliskan dilenyapkan.
“Peraturan kelima, jika ada orang yang tak kalian sukai dan ingin menyikirkannya dari sini, maka kalian bisa menggunakan kotak itu. Kalian hanya perlu memasukkan nama orang tersebut ke dalam kotak itu dan setiap orang hanya boleh memasukan satu nama per harinya. Nama orang yang paling banyak mengisi kotak itu pada hari itu, maka keesokan harinya saat kalian selesai sarapan, maka orang itu akan dieksekusi. Jika ada nama yang terisi di kotak itu, maka tak akan ada orang yang dieksekusi pada malam hari.”
Lelaki berkecamata kembali mengangkat tangannya.
“Apa yang terjadi jika si pengkhianat yang terbunuh oleh kotak itu?”
“Tidak ada banyak hal yang berubah, permainan tetap dilanjutkan seperti biasa, hanya saja kali ini yang menilai siapa yang harus disingkirkan adalah para staf dan kalian tak memiliki cara lagi untuk mengakhir permainan ini dengan menebak siapa pengkhianatnya... jadi hati-hati, jangan sampai kalian membunuh si pengkhianat.”
Apakah ini adalah caranya untuk melindungi si pengkhianat?
“Apa ada lagi yang ingin kau tanyakan?”
“Untuk saat ini, tidak.”
“Aku mengerti, sekarang peraturan keenam... kalian tidak boleh keluar dari kamar kalian, setelah jam 10 malam, jika kalian sampai berkeliaran di malam hari, maka kalian akan dihukum.”
Kali ini yang mengangkat tangannya adalah temanku.
“Apakah kami harus tidur di kamar kami sendiri? Apakah kami tidak boleh tidur di kamar orang lain?”
“Tenang saja, selama kalian berada di dalam kamar, maka kami akan menganggap bahwa kalian berada di dalam kamar kalian masing-masing, jadi kalian semua bisa berkumpul di satu kamar yang sama... itu jika kalian bisa tidur bersama dengan si pengkhianat.”
“Apa itu tak masalah jika lelaki dan perempuan tidur di kamar yang sama?”
“Aku tak akan mempermasalahkan hal tersebut, Aku tidak peduli apa yang ingin kau lakukan di dalam kamar, selama kau tak melanggar peraturan.”
“Aku mengerti.”
Sebetulnya Aku cukup penasaran dengan alasan kenapa dia menanyakan hal tersebut, tapi untuk sekarang Aku memutuskan untuk tak mengatakan apapun.
“Peraturan ketujuh, kalian bebas menjelahi menara ini dan memasuki semua kamar yang tak terkunci, tapi kalian dilarang masuk ke dalam ruangan yang bertuliskan dilarang masuk bagi perserta... tanda itu bisa muncul di depan ruangan manapun dan akan berganti, tergantung situasi permainan, jadi kalian harus berhati-hati saat memasuki ruangan... tentu saja kalian dilarang memindahkan tanda tersebut.”
Peraturan yang satu ini tidaklah begitu sulit untuk dipatuhi, meskipun Aku penasaran dengan apa yang mungkin terjadi atau apa yang mereka sembunyikan di dalam ruangan itu, tapi Aku masih bisa menahan perasaan itu.
“Semua peraturan yang kusebutkan tadi tidak akan berubah sepanjang permainan ini berlangsung, tapi bisa saja ada peraturan baru yang muncul tergantung dengan perkembangan permainan ini, tapi kalian harus mengingat ketujuh hal yang kukatakan tadi... semua peraturan ini akan tercantum di dinding aula ini, jadi mulai besok kalian bisa mengecek peraturannya di sini atau kalian bisa beranya pada Haruka dan Alice yang akan selalu berada di dalam menara ini, mereka akan membantu kalian dalam menyelesaikan permaian ini.”
Kami semua melihat kedua gadis yang saat ini tengah tersenyum ke arah kami.
“Sebelum mengakhiri pertemuan kita hari ini, Aku memiliki hadiah untuk kalian semua.”
Setelah mengatakan itu, si Kepala desa mengangkat sebuah kotak kayu yang tersembunyi di balik tubuhnya.
“Ini adalah tanda pengenal kalian, nama yang tercantum di sini adalah nama yang kalian pilih sebelum kalian datang ke menara ini, maka kalian pasti menyukai nama tersebut, kan? Jadi kalian tak akan masalah untuk selalu menggantung tanda pengenal kalian di dada kalian, kan?”
Meskipun kami merasa kesal dengan apa yang dia katakan, tapi tak ada yang mengatakan apapun.
Setelah kami saling memandang satu sama lain dengan perasaan ragu, kami satu per satu berjalan ke arah si Kepala desa. Orang yang memimpin mereka adalah diriku yang berada di paling depan, diikuti temanku dan pria berbadan besar yang tadi kutahan.
Aku menerima tanda pengenal yang diberikan oleh si Kepala desa. Di tanda pengenal itu terdapat fotoku dan nama yang telah kupilih saat mendaftar untuk tinggal di Desa Tanpa Nama.
Nama “Asraf” tertera di sana.
Hari - 1 Si Kakek dengan kedua pelayannya segera meninggalkan aula, begitu mereka tidak memiliki hal lainnya yang mereka harus lakukan di sini. Sedangkan kami, para perserta, masih tidak ada yang mau meninggalkan aula. Kami masih memikirkan apa yang baru saja terjadi. “Apa yang harus kita lakukan setelah ini?” Seorang gadis bertanya dengan nada bingung. Wajahnya nampak pucat dan tubuhnya terlihat lelah. Meskipun belum sehari kita berada di sini, tapi tempat ini telah menguras banyak tenaga dari kami. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi pertama-tama Aku ingin mencari keberadaan orang yang hilang di antara kita, apakah ada orang yang tahu kira-kira dia berada dimana?” Aku bertanya pada semua orang yang hadir. Mereka saling berpandangan sampai ada satu pria yang mengenakan Headphone menjawab pertanyaanku. “Bukankah dia berada di kamarnya?” “Kamarnya? Apa kau tahu dimana kamarnya berada?” “Entahlah... apakah ada yang tahu?” Lelaki itu melihat ke arah yang lain
Hari - 1 Aku dan temanku, Bagas, kembali ke kamar kami, setelah menyelidiki kamar Kira. Rasa syok masih kurasakan saat Aku membaringkan tubuhku di atas lantai. Pemandangan itu jelas bukan sesuatu yang bisa kau lihat setiap hari. Setiap kali mengingat adegan itu, Aku selalu menggelengkan kepalaku, lalu mengacak-ngacak rambutku agar Aku bisa melupakan adegan tersebut. “Nah, Asraf... sebetulnya apa yang ingin kau cari di kamarnya?” Aku melirik sejenak ke arah Bagas yang sedang menyenderkan tubuhnya di dinding, sebelum kembali menatap langit-langit, lalu menjawab pertanyaannya. “Tentu saja petunjuk... Aku sudah mengatakan itu sebelumnya, kan?” “Itu memang benar, tapi petunjuk macam apa yang kau bicarakan?” “Pertama Aku ingin tahu petunjuk untuk bisa menghindar dari terbunuh, tapi dilihat dari kondisi tubuh lelaki itu, sepertinya sulit untuk menghindar dari hal tersebut, setelah kau menjadi target dari pembunuhan.” “Kondisi lelaki itu... itu bukan cara biasa orang terbunuh.” “Ya, k
Hari - 1 Saat Bagas membukakan pintu, Aku dapat melihat dua orang gadis sedang berdiri di depan kami. Satu memiliki wajah yang serius, sedangkan yang satunya sedang membuat wajah ketakutan sambil memegang ujung cardigan yang dipakai oleh gadis lainnya. “Maaf tiba-tiba mengganggu kalian, tapi apakah kita bisa berbicara sebentar?” Aku saling memandangan dengan Bagas untuk beberapa saat. Sejujurnya Aku tidak begitu yakin bagaimana harus menanggapinya. “Apa kau tidak keberatan berbicara dengan mereka berdua?” “Jujur saja, Aku menentangnya!” “Kau benar-benar berterus terang.” Aku kagum dengan temanku yang bisa mengatakan hal itu langsung di depan mereka berdua. “Aku tahu bahwa kalian mungkin tidak bisa langsung mempercayai kami, apalagi setelah apa yang baru saja terjadi, tapi ada hal yang ingin kubicarakan dengan kalian.” “Apakah hal itu penting bagi kami?” “Bagaimana jika Aku mengatakan bahwa Aku mengenal salah satu dari kalian, sebelum kita berada di sini.” Aku langsung berwaj
Hari - 1 Kami semua menatap ke arah Crona yang baru saja memperkenalkan dirinya. Ekspresi tak percaya berada di wajahku, ekspresi yang mengatakan ‘yang benar saja’ di wajah temanku, ekspresi datar di wajah Sarah dan ekspresi yang tak bisa kudeskripsikan di wajah Ria. Apakah dia memasang wajah ketakutan, bingung atau khawatir? Atau mungkin itu adalah ekspresi dari gabungan ketiganya? “Apa kau tidak pernah diajarkan untuk tidak menguping pembicaraan orang lain oleh orang tuamu?!” Bagas berkata dengan kasar. Sudah jelas, dia sangat tak menyukai Crona. Crona kemudian menarik permen lolipop di bibirnya dengan tangan kanan, lalu menunjuk ke arah Bagas dengan lolipop tersebut. “Kau kasar sekali! Apakah orang tuamu tidak pernak mengajarimu cara berbicara kepada seorang wanita?!” “Berisik! Aku tidak ingin mendengar ceramah dari bocah sepertimu!” “Meskipun kau bersikap seperti itu, tapi bukankah kita hanya berbeda satu tahun?” Saat Crona mengatakan itu, kami semua (kecuali Ria) menatap C
Hari - 1 Setelah kami sepakat membentuk aliansi, kami berlima duduk melingkar di lantai kamarku dan Bagas. Posisi kami dari searah jarum jam adalah Aku, Crona, Ria, Sarah dan Bagas. “Apakah kamar ini tak memiliki tempat duduk apapun yang bisa digunakan?” Crona mengeluh sambil menepuk-nepuk lantai dengan wajah kesal. “Entahlah, Aku belum memeriksa lemari dan berbagai tempat lainnya... lagi pula, kita memiliki hal lainnya yang lebih penting untuk dibahas saat ini.” “Ya, itu benar... apa yang harus kita lakukan setelah ini?” Sarah memegang dagunya saat mengatakan hal tersebut. Dia nampak berpikir cukup keras. “Meskipun kita sudah membentuk aliansi, tanpa adanya rencana, maka aliansi ini tidak akan berarti banyak.” Lanjut Sarah. “Kalau tak salah kaulah yang pertama kali mengajukan permintaan untuk membuat aliansi, kan? Apa ada yang kau pikirkan saat kau mengajukan hal tersebut?” Crona mengajukan pertanyaan. “Aku hanya berpikir untuk mencari rekan yang bisa diajak berkerja sama..
Hari - 0 Aku dengan gugup melihat ke sekelilingku. Ada banyak sekali orang asing di sekelilingku, tapi mereka mungkin akan menjadi temanku di masa yang akan datang jadi mungkin Aku perlu untuk mendekatkan diriku dengan mereka mulai sekarang. “Anu... hmm...” “Tes... tes... tes...” Tapi sayangnya saat Aku ingin berbicara dengan seorang gadis yang duduk di bangku seberangku, tiba-tiba Aku dikejutkan dengan suara microphone yang sedang dites oleh seorang lelaki. Perhatianku dan beberapa orang lainnya langsung tertuju pada lelaki tersebut. “Hallo semuanya, apa kabar kalian?” Tidak ada satupun orang yang menjawab sapaannya. Beberapa dari kami memandangnya dengan bingung, beberapa lainnya nampak tak tertarik dengannya dan sisanya sibuk dengan urusan mereka sendiri. “Anu, semuanya tolong perhatiannya!” Dia masih tak mendapatkan balasan apapun dari kami. Matanya nampak gugup saat dia melihat wajah kami satu persatu dari tempatnya berdiri. Setelah beberapa saat, seorang wanita cantik ke
Hari - 0 “Baik, teman-teman sekalian... kalian pasti tahu tujuan dari bis ini, kan?” Tak ada yang menjawab pertanyaan dari James. Semuanya hanya terdiam dan sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Aku jadi kasihan dengannya, jadi Aku mengangkat tanganku. “Ya, kakak di sana... kemanakah tujuan dari bis ini?” “Ke Desa tanpa nama.” “Benar sekali... untuk apa kita ke sana?” Aku tahu dia ingin memeriahkan suasana di sini, tapi jika tak ada yang peduli dengannya, rasanya sangat menyedihkan. “Memulai hidup baru.” Karena tak ada yang menanggapinya lagi, Aku kembali menjawab pertanyaannya. “Benar sekali... kita akan memulai hidup kita dengan hidup yang baru... kita akan melupakan semua yang terjadi di masa lalu, bahkan nama kita... Aku tahu bahwa kalian tadi hanya menyebutkan nama samaran kalian, tapi itu akan menjadi nama kita yang sebenarnya mulai hari ini, kita tak perlu lagi mengingat nama lama kita... kita akan membuang semuanya!” Meskipun dia berbicara dengan semangat, tapi te
Hari - 0 “Kenapa bisnya berhenti? Apakah kita sudah sampai di tujuan?” Aku bertanya sambil melihat-lihat keadaan di sekitarku. “Tidak, sepertinya ini waktunya makan siang.” James menjawabku sambil menunjuk ke arah Rest Area. Bis yang kami tumpangi berhenti, karena harus mengantri untuk masuk ke Rest Area. “Jadi ini sudah waktunya makan siang, Aku sama sekali tak sadar... apakah kau mau makan sesuatu, Bagas?” “Aku masih belum lapar, tapi jika ada hal yang menarik, mungkin Aku akan makan.” Sejujurnya Aku juga masih tidak lapar, tapi mungkin kami tak akan melakukan pemberhentian dalam waktu dekat, jadi kurasa lebih baik kita memakan sesuatu. Dan buang air selagi sempat, yah jangan sampai lupa dengan buang air. “Kurasa Aku akan buang air dulu, sebelum makan...” “Kau tidak seharusnya mengatakan itu di dekat seorang gadis.” “Maaf...” Sepertinya gumamanku yang kurang sopan dapat didengar oleh Rina, jadi Aku langsung meminta maaf padanya. “Kalian hanya memiliki waktu satu jam untuk
pertama Author di GoodNovel. Butuh banyak petuangan untuk menyelesaikan Novel yang satu ini, terutama melawan rasa malas. Meskipun cerita utama dari Novel ini sudah berakhir, tapi Author berencana untuk menuliskan cerita pendek yang menceritakan masa lalu dari setiap karakter yang hanya diceritakan sekilas, keseharian Asraf dan yang lainnya di dalam menara yang tak bisa dimasukkan ke dalam cerita utama, lalu kehidupan sehari-hari mereka setelah tinggal di Desa Tanpa Nama. Kemungkinan besar ceritanya akan di Post di Blog pribadi Author dan bukan di platform ini. Jadi silahkan tunggu cerita Author yang selanjutnya. Author juga mau mengucapkan terima kasih kepada Editor yang telah membantu saya, juga pada GoodNovel yang sudah mau menayangkan Novel ini dan terutama pada para pembaca setia yang mau membaca cerita ini sampai habis. Sampai jumpa lagi di karya Saya yang selanjutnya. TTD Author, Ismail Fadillah.
Sebulan kemudian.Tak terasa waktu berjalan begitu saja, bahkan pengalaman kami di Menara Tanpa Nama itu mulai terasa seperti mimpi.Menara itu sekarang sudah terbakar dengan hanya menyisakan puing-puing bangunan. Sejujurnya Aku merasa seperti mengalami keajaiban, karena bisa selamat dari api yang dapat membakar semua bagian dari Menara besar itu.Keberuntungan mungkin sedang terjadi pada kami, karena dampak dari terbakarnya menara itu tak meluas sama sekali. Yah, sebetulnya Aku tak tahu itu hanya sekedar keberuntungan semata atau ada semacam kekuatan aneh yang melindungi Desa dari api tersebut.Aku akan berbohong jika mengatakan bahwa Aku tak merasakan apapun saat melihat puing-puing dari Menara itu. Karena meski sebentar, kami telah menghabiskan 10 hari di dalam sana. Dan tempat itu juga menyimpan tubuh teman-teman kami yang telah meninggal. Pada akhirnya sampai akhir kami tak pernah lagi melihat tubuh mereka. Bahkan saat api yang membakar Menara itu te
Hari – 10.Setelah berpisah dengan Asraf, kami semua berjalan menuju pintu keluar dari Menara ini. Kami semua berhenti tepat di depan pintu tersebut, lalu saling melihat ekspresi wajah satu sama lain.“Sebelumnya pintu itu tak bisa terbuka sama sekali, kan?”Tanya Cinta sambil melihat pintu yang ada di hadapannya.“Ya, itu benar... Aku dan Asraf sudah mencoba membukanya.”Jawabku sambil berjalan menuju pintu tersebut, Rock dan Michael juga segera mengikutiku. Kami bertiga kemudian mendorong pintu tersebut. Meskipun berat, tapi kami bisa membuka pintu tersebut, berbeda sekali dengan apa yang terjadi di hari pertama kami datang ke tempat ini.“Pintunya benar-benar terbuka...”Gumam Cinta tak percaya.Aku menutupi wajahku dari sinar matahari yang masuk melalui pintu tersebut. Setelah seminggu lebih tak melihat cahaya matahari, Aku jadi merasa silau dengan cahayanya.“Kita benar-benar sudah bebas.”Aku bisa mendengar gumaman Lisa saat gadis itu berjalan keluar dari Menara ini.“Horeee! Ki
Hari – 10.“Aku benar-benar tak menyangka bahwa Christ akan mengkhianatiku.”Kata Kepala desa sambil melihat kedua orang yang berbadan besar di lantai. Aku bisa melihat ada minuman yang tumpah di lantai, kemungkinan besar mereka diracuni olehnya.“Aku sendiri juga tak menyangka akan hal tersebut.”Balasku dengan jujur. Aku memang tak pernah berencana untuk melibatkannya.“Apakah dia memang menyimpan dendam padaku? Aku tak menyangka bahwa lelaki sepertinya akan menyimpan dendam.”“Itu mungkin salahmu sendiri bahwa kau membunuh salah satu anggota keluarganya.”“Hmm... kurasa kau memang benar.”“Tentu saja Aku benar.”Meskipun dia seharusnya tahu apa yang saat ini sedang kurencanakan, tapi dia tak terlihat panik sama sekali.“Nah, apa sudah kau mengetahui apa yang sedang kurencanakan saat ini?”“Ya, tentu saja.”“Lalu kenapa kau tak melarikan diri?”“Untuk apa? Aku ini sudah tua, bahkan jika kau tak melakukan ini, Aku pada akhirnya akan mati juga.”Kepala desa itu memberikan senyuman ten
Hari – 10.“Asraf, apa kau akan melakukan sesuatu yang berbahaya sendirian lagi?”Tanya Sarah yang nampak tak senang dengan apa yang ingin kulakukan.“Ya, kurasa begitu.”Jawabku dengan santai.“Apa kau tak berpikir untuk merubah sifatmu yang satu itu?”Sarah kembali bertanya, tapi dengan nada yang lebih kesal dari sebelumnya.“Untuk saat ini... tidak!”Jawabku tanpa ragu.“Kenapa?”Sarah menghilangkan nada kesalnya dan menggatinya dengan nada sedih.“Tidak ada alasan yang begitu spesial, kurasa Aku hanya bertindak egois.”Aku memberikan senyum lemah saat mengatakan itu.“Apa kau ingat saat Aku berkata ingin merubah tempat ini?”Tanyaku dengan suara lemah, tapi masih dapat terdengar oleh Sarah dan yang lain.“Ya, kau pernah mengatakan itu... kau serius tentang itu, kan?”“Ya, tentu saja... Aku benar-benar berniat untuk melakukannya, tapi untuk melakukan hal tersebut.”“Kau perlu menjadi Kepala desa... betul, kan?”Crona melanjutkan ucapanku dengan nada percaya diri. Aku mengangguk ke
Hari – 10.“Tidak ada yang benar-benar kusembunyikan dari kalian tentang sifatku yang asli... Aku memang selalu seperti ini.”Jawabku sambil tersenyum santai.“Apa itu memang benar?”Tapi nampaknya Maria tak percaya dengan perkataanku sedikitpun.“Itu memang yang sebenarnya, kau bisa tanyakan saja pada Bagas... dia sudah mengenalku luar dan dalam, jadi dia seharusnya tahu jika Aku sedang menyembunyikan sifat asliku atau tidak.”Aku melihat ke arah Bagas untuk meminta pendapatnya.“Ya, Aku sudah lama mengenalnya... jadi Aku tahu bahwa dia tidaklah banyak berubah dari sebelum dan sesudah dia datang ke tempat ini.”Jawab Bagas tanpa ragu sama sekali.“Benarkah itu?”Tapi sepertinya Maria meragukan hal tersebut.“Apa yang ingin kau katakan?”Bagas menajamkan pandangannya pada Maria.“Tidakkah kau berpikir bahwa dia sebelum dan sesudah Kakaknya meninggal adalah dua orang yang berbeda?”“Maksudmu?”“Oh, ayolah... Aku tahu bahwa kau sudah menyadarinya... bahwa Asraf yang sebelum dia menjadi
Hari – 10.“Jadi apa yang ingin kau lakukan setelah ini, Rock?”Tanya Michael yang sudah mengerti apa yang kami bicarakan, sebelum dia dan Rock bergabung dengan kami.“Kau tahu sudah mengerti bahwa kau tak mungkin terus seperti ini, kan?”Lanjut Michael yang mendesak Rock untuk menjawab pertanyaannya.Rock nampak menggaruk lengan kirinya dengan cangung. Dia sepertinya memang sudah menyadari hal tersebut, tapi sayangnya dia belum bisa menentukan hal yang bisa dia lakukan di luar sana.“Aku selalu berkelahi.”Katanya dengan tiba-tiba.“Hal tersebut membuatku ditakuti oleh banyak orang dan tentu saja mendapat banyak musuh... Aku sendiri tak begitu mengerti kenapa Aku tak bisa menahan diriku, tidak kurasa itu hanya alasanku... Aku hanya bersikap terlalu egois dan tak mau mengerti perasaan orang lain... Aku selalu saja membuat orang-orang di sekitarku kerepotan karena tingkahku yang eg
Hari – 10.“Pertama-tama, mari kita hilangkan suasana kaku di sini dan membicarakan sesuatu dengan lebih santai!”Kataku sambil meregangkan tubuhku agar tubuhku merasa lebih santai.“Kau benar... kita sudah terbebas dari permainan itu, jadi kita lebih baik bersikap lebih santai.”Kata Sarah yang setuju dengan ideku.“Justru itu adalah hal yang kulakukan saat ini... kenapa kalian seperti tidak menyadarinya!”Kata Cinta yang telihat kesal. Tentu saja Aku menyadarinya, jadi seharusnya dia tak perlu marah begitu.“Tenang saja, Cinta... Aku mengerti usaha yang ingin kau lakukan.”Kataku yang membuatnya menoleh ke arahku dengan ekspresi sedikit terkejut.“Eh! Benarkah itu?”Aku menganggukkan kepalaku.“Tentu saja... kau ingin kami melupakan peristiwa buruk yang terjadi di sini, kan? Meski hanya untuk sementara waktu.”Cinta terse
Hari – 10.Setelah merapikan tempat tidurku, Aku langsung bergagas mandi dan mengganti pakaianku. Aku sebetulnya cukup menyukai baju baru yang kudapatkan di tempat ini, tapi sepertinya Aku harus meninggalkan baju tersebut di sini, karena setelah diperhatikan ternyata baju itu memiliki noda darah yang sulit dihilangkan. Kemungkinan besar itu adalah bekas pertarungan antara Aku dan Sebastian kemarin. Saat itu dia memiliki banyak noda darah di dirinya, belum lagi dia menggunakan pisau yang basah oleh darah segar.Setelah itu, Aku mengemas kembali barang-barang bawaanku. Aku jadi teringat, Aku membeli obat sebelum ke tempat ini, tapi sepertinya Aku hanya menggunakannya sedikit. Meski begitu Aku memutuskan untuk tetap menyimpannya, karena siapa tahu Aku membutuhkannya.Setelah beres, Aku membawa barang bawaanku keluar kamar. Di saat yang hampir bersamaan, Bagas juga nampak keluar dari kamarnya.“Ah, Asraf... apa kau...”Bagas berhenti bertanya di tengah-tengah, dia kemudian menggelengkan k