Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagiku. Permintaan yang kemarin kuajukan ke mama akan terealisasi hari ini. Mama akan pergi ke sekolah tempat aku menimba ilmu. Tentu saja untuk menemui Miss Lena.
Entah kenapa jantung ini malah berdegup kencang saat mendampingi mama masuk ke ruang guru untuk menemui Miss Lena. Wanita dengan senyum indah itu menerima kami dengan begitu ramah.“Silahkan duduk, Bu. Ada apa pagi-pagi sudah menyambangi saya?” tanya Miss Lena dengan memamerkan deretan gigi berpagar kawat miliknya.“Begini, Miss Lena. Darren itu butuh bimbingan privat dari Miss, kira-kira masih bisa nggak?”“Waduh, maaf sekali, Bu. Sudah hampir tiga bulan ini saya tidak melayani bimbingan privat karena Ibu saya sedang sakit dan lebih membutuhkan kehadiran saya.”“Oh, begitu.”“Iya, Bu. Lagipula kemampuan Bahasa Inggris Darren sudah baik, kok. Jadi, saya rasa nggak perlu bimbingan lagi.”“Tapi kata Darren ….”“Ma, aku takut aja kalau nanti aku nggak siap untuk ujian sekolah. Please, kumohon.” Sengaja kupotong ucapan mama agar tidak ketahuan aku sedang berbohong.Tampak wanita kesayanganku sedang berpikir. “Ehm … begini, Miss Lena. Sebenarnya saya mau minta tolong juga untuk keponakan saya yang dari desa, Bahasa Inggris dia masih kacau.”“Keponakan Mama yang mana?” tanyaku penasaran, namun jawaban yang kudapat justru sebuah cubitan di paha.“Meisya, Sayang. Masa sama saudara sendiri lupa?”“Tapi, Ma ….”“Darren, sebaiknya kamu keluar. Biar Mama yang bicara dengan Miss Lena. Lagian sebentar lagi mau bel masuk,” titah mama yang lebih tepatnya mengusirku dari ruangan ini.“Darren mau di sini,” ujarku sembari memberengut.“Ya, sudah. Kalau mau tetap di sini syaratnya nggak boleh rewel.”“Ish … Mama ini. Kenapa selalu anggap Darren macam anak kecil?”“Darren ….”“Iya, iya. Darren diem!”Tak ada pilihan lain selain mengunci mulut dan menjadi pendengar yang baik. Kulihat Miss Lena terkekeh melihat perdebatanku dengan mama. Pasti dia berpikir kalau aku anak manja dan kolokan. Huh! Semua gegara mama yang sesuka hati menjalankan misi, harusnya kan sesuai rencanaku.“Maaf, Bu. Meisya kelas berapa?”“Kelas 11, Miss. Dia anak baru di sekolah ini. Ayahnya menitipkan dia untuk ikut saya, jadi saya bertanggungjawab untuk memberikan perhatian lebih pada Meisya.”“Tapi saya tidak mengajar kelas 11, Bu. Mungkin bisa dengan Miss Endah.”“No, no, no … aku maunya hanya dengan Miss Lena!” Ekspresiku yang spontan tak rela itu sontak membuat Miss Lena memandang heran“Maksud aku be-begini, Miss. Yang butuh bimbingan untuk ujian itu kan aku? Jadi, ya harus aku yang diutamakan. Aku pokoknya hanya mau dengan Miss Lena, selain Miss Lena mendingan aku mogok sekolah saja!” Kupasang muka ngambek dan membuang muka.“Maaf, Miss Lena. Darren memang anaknya sedikit kolokan, kalau sudah punya keinginan harus dipenuhi. Jadi, tolong dibantu biar nggak mogok sekolah.”‘Aah … Mama! Ngapain juga pakai acara ngatain anaknya kolokan? Bikin harga diri ini runtuh saja sebagai pria dewasa!’ gerutuku dalam hati.“Baiklah, saya akan usahakan, Bu. Kemungkinan saya bisa datang hanya hari Sabtu dan Minggu, untuk waktu nanti saya konfirmasi lagi.”“Baik, Miss. Terimakasih atas waktunya. Kalau begitu saya pamit.”“Silahkan, Ibu.” Miss Lena melepas kami dengan sebuah senyum disertai gelengan kepala.Akhirnya aku merasa lega karena rencana awal telah berhasil meski tak sesuai harapan. Entah apa yang dipikirkan mama sampai melibatkan Meisya sebagai alasan. Kalau nanti si gadis kampung itu ikutan belajar, yang ada malah jadi runyam.“Ma, kenapa si gadis kampung itu harus ikutan les privat bareng Darren?” komplainku saat telah keluar dari ruang guru.“Darren, hanya itu satu-satunya alasan yang tepat agar Miss Lena mau datang ke rumah. Kamu dengar sendiri tadi, kalau kamu nggak ada masalah dalam pelajaran Bahasa Inggris,” tutur mama sembari memegang bahuku, tatapannya seakan berkata untuk meminta agar aku mengerti apa yang ia maksud.“Iya, deh, Ma. Darren nyerah.”“Kok ngomongnya begitu?”“Darren itu maunya les sendiri, jadi bisa berduaan dengan Miss Lena.”“Darren!” Tetiba wanita di hadapanku membentak sembari melotot.Ups … duh, salah ngomong lagi. Bikin aku jadi salah tingkah kalau begini. Aku nggak mau kalau sampai mama curiga dengan rencanaku.“Jujur sama Mama, kamu minta bimbingan privat ke Miss Lena karena kamu ada tujuannya, ‘kan?”“Ya, pasti lah, Ma. Namanya bimbingan sudah pasti punya tujuan agar Darren makin pinter.” Aku masih mencoba berkelit, kucoba menekan debar jantung yang berpacu lebih kencang dari sebelumnya.“Kamu pasti punya rencana lain. Katakan ke Mama, apa maksud kamu ingin berduaan dengan Miss Lena? Mama nggak mau kamu punya pikiran macam-macam ke wanita yang usianya lebih dewasa dari kamu.”“Apaan, sih, Ma? Tenang aja, Ma. Aku itu Cuma mau fokus belajar dengan Miss Lena. Mama tahu sendiri kalau Meisya itu anaknya ceroboh banget, yang ada ntar malah gangguin Darren aja.”“Are you sure just it your reason?”“Ya, Ma. Udah, gih! Mending Mama pulang atau shopping gitu. Mumpung Papa lagi nggak ada si rumah, hahaha ….”“Kamu ini, bisa aja ngerayu Mama.”“Iya, donk … Darren gitu looh.”Kami pun tertawa, mama yang hendak pulang tak lupa mendaratkan bibir ke dahiku. Ah, telat. Belum juga aku menghindar mama sudah berhasil meraih kepalaku dan menariknya.Beruntung tak ada yang melihat karena semua siswa telah masuk ke kelas, hanya aku yang terlambat gegara memastikan Miss Lena menerima permintaan mama.Setelah mama beranjak meninggalkan aku yang masih terpaku membayangkan rencana berikutnya, kurasakan sebuah tangan menyentuh bahuku dari belakang. Ah, pasti Miss Lena yang ingin menegurku karena belum juga masuk ke kelas.“Ma-maaf, Miss.” Aku tergagap seraya membalikkan badan dan membungkuk hormat.“Miss siapa, toh, Mas? Miss Meisya maksudnya? hahaha ....”Suara itu … huh! Dasar si makhluk katrok, bisa aja membuatku kaget. Pengen rasanya kutimpuk pakai sepuluh buku tebal ke kepalanya biar amnesia sekalian.“Kamu ngapain di sini? Bukannya masuk kelas malah masih keluyuran. Nggak ngerti kalau sekolah di sini itu mahal, kasihan orang tua kamu yang banting tulang cari duit hanya untuk membiayai sekolah kamu di sekolah elit ini!”“Ealah … Mas Darren ini laki-laki, to? Tapi, kok suka banget cerewet kayak emak-emak. Eh, serius. Mas Darren itu persis kayak Eyang Uti aku di kampung. Cerewetnya minta ampun, suka ngomel setiap hari.”What? Aku disamain dengan neneknya? Dia pikir aku pakai kebaya apa? Terus kalau makan tembakau sampai merah giginya, gitu? Enak aja!“Wes, nggak usah mbatin, Mas. Ngomel kok dalam hati, itu namanya ngedumel.”“Serah, loe! Gue ogah ngelayani gadis kampung macam you!”“Hahaha … Mas Marvel nggak konsisten.”“Maksud kamu?”“Iya. Sebentar pakai aku kamu, sebentar pakai loe gue, terus berubah lagi jadi you.”Aargh!!!Sumpah, nih, gadis bener-bener menguji kesabaran banget. Gadis begini yang hadir dalam mimpiku selama delapan tahun? Kok, nggak banget, ya?“Yang nggak banget itu siapa? Memangnya aku minta dimimpiin Mas Darren? Eh, tapi beneran Mas Darren mimpiin aku sampai delapan tahun?” tanyanya sembari memicingkan mata.Hah? Kok dia tahu aku ngomong apa dalam hati?“Ka-kamu bisa denger suara hati aku?”“Suara hati apa?”“Yang barusan tadi kamu bilang ….”“Mas Darren itu ngomong dari mulut, ya pasti aku dengar lah.”“Tapi ….” Sesaat otakku stag, tak bisa berpikir karena seperti tak masuk akal.Sadar betul bahwa aku hanya bicara dalam hati, tapi dia bisa mendengar. Jangan-jangan ... ah, apa mungkin Meisya ini makhluk gaib yang sedang menyamar? Segera kulihat kakinya, tapi keduanya menapak sempurna di lantai. Aneh.“Kenapa, sih, Mas Darren lihatnya kok sampai begitu?”“Nggak, aku nggak apa-apa.” Bulu kudukku tetiba meremang dan bergidik, segera aku berbalik badan dan hendak mengambil langkah seribu untuk kabur dari hadapan gadis aneh itu.Tapi baru saja kaki ini ingin memutar, tangan Meisya mencegahku dan berbisik, “Tapi aku memang bisa denger suara hati, lho, Mas. Tuh, waktu nonton sinetron di chanel ikan terbang. Kalau nggak bisa denger, ntar nggak tahu ceritanya. Hahaha ….” Kembali ia tertawa ngakak.kurasakan tawa itu penuh ejekan kemudian berlalu dari hadapanku, meninggalkan diri ini yang masih melongo karena mendengar ucapan dia yang nggak mutu itu. Dasar, makhluk aneh! Sepertinya tidak hanya aneh, tapi juga nggak waras.Hari ini semua siswa pulang lebih awal dari biasanya, maklum hari terakhir berangkat untuk minggu ini. Sekolah full day memang menerapkan lima hari belajar saja.Jadi, besok adalah hari Sabtu. Hari yang sudah kutunggu untuk menjalankan semua rencana. Aku harus berhasil mengambil hati Miss Lena meski malu taruhannya.“Mas Darren nungguin aku? Takut kalau aku ngilang lagi, ya?” tetiba suara gadis katrok itu sudah ada di belakangku, sepertinya memang dia itu sosok makhluk astral yang bisa muncul dan hilang tiba-tiba.“Yuk, Mas!” Ia menarik tanganku untuk bergegas menuju pintu gerbang.“Meisya, hari ini aku mau ngajak kamu jalan-jalan. Mau nggak?”“Kemana, Mas?”“Ke kafe.”“Iih … Mas Darren, kok, mainnya ke kafe? Ntar aku bilangin ke nyonya, lho!”“Apaan, sih, Trok. Nggak jelas banget, deh!”“Itu tadi Mas Darren bilang mau ke kafe. Kafe itu tempat nggak baik untuk kita anak muda.”Oh My God … sebenernya dia ini dari planet mana? Sampai-sampai punya pikiran macam itu. Entah sudah berapa ka
“Ma, waktu itu aku pernah cerita ke Mama tentang mimpi aneh. Mama masih ingat?”Wanita di hadapanku itu terdiam, tampak ia berusaha mengingat sesuatu. “Mimpi tentang kecelakaan mobil itu?”“Tidak hanya itu, Ma.”“Lalu?”“Tentang gadis dalam mimpi itu.”“Gadis yang kamu bilang mirip Meisya?”“Iya.”“Kamu yakin dia mirip Meisya?” tanya mama dengan tatapan menyelidik.Sudah kuduga, pasti mama pun tak akan percaya dengan yang kualami. Sungguh ini di luar nalar manusia. Selama bertahun-tahun dihantui mimpi yang selalu sama, bahkan salah satu dari mimpiku kini jadi kenyataan. Kehadiran Meisya menjadi penanda bahwa mimpi itu adalah sebuah firasat kenyataan akan masa depan.Penanda masa depan? Benarkah Meisya adalah bagian dari masa depanku? Atau … jangan-jangan ini kaitan dengan kehidupanku di masa lampau? Ah, apa iya reinkarnasi itu ada?Kucoba menepis semua pikiran yang makin tak masuk akal itu. Kehela napas berat, mengisi kembali paru-paru yang serasa terhimpit ini dengan merauk oksigen s
Tubuhku terasa lemah kembali setelah mendengar percakapan mama dengan papa. Kusandarkan tubuh pada pegangan tangga, ada titik bening yang tetiba jatuh dari kedua sudut mata.Aku menangis bukan karena rasa sakit di kepala yang masih kurasa, melainkan ada nyeri menjalar kala tahu bahwa wanita yang selama ini jadi malaikat dalam kehidupanku justru menganggapku gila.Tak masalah jika mama tak percaya dengan semua ceritaku, tapi tak seharusnya berpikir bahwa aku mengalami gangguan kejiwaan. Sungguh menyakitkan mendengar semua itu.“Darren, kamu kenapa duduk di situ?” Tetiba mama sudah ada di ujung tangga, melihatku yang menyembunyikan wajah dalam tangkupan lutut yang kutekuk.Sontak aku mengangkat wajah, memandang penuh kecewa pada wanita itu. Tak kusangka ia tega berpikir aku tak waras lagi. Semua gegara Meisya, seandainya ia tak pernah hadir dalam mimpiku mungkin aku tak perlu merasa dihantui oleh kilasan bayang yang tak pernah kumengerti.“Darren, kamu kalau butuh apa-apa seharusnya cuk
Dengan gamang kulangkahkan kaki yang sebenarnya terasa berat menuju gazebo yang kini telah berubah menjadi tempat belajar. Semakin dag dig dug saat harus duduk di dekat Miss Lena, mencium harum bau parfum sweet romance yang mengusik indera pembau.“Sudah siap, Darren?”“Iya, Miss.”“Sekarang kamu bisa baca ringkasan materi ini dan silahkan mana yang belum paham.”“Baik, Miss.”Kuterima lembaran kertas yang telah distaples menjadi bandelan, namun tak segera kubaca. Tatapanku justru terarah ke Meisya yang ternyata sejak tadi memperhatikan wajahku tanpa berkedip, sebuah senyum juga terurai dari bibir itu.Mama kenapa juga nyuruh gadis katrok itu untuk ikutan belajar. Ganggu rencana saja. Kalau begini bagaimana cara aku merayu Miss Lena. “Ehm, ehm ….” Kucoba berdehem untuk menghentikan sikap konyol dari gadis kampung itu, namun ternyata tak ada efek sama sekali.“Eh, gadis kampung! Kamu mau belajar apa mau lihatin aku?” Tak dapat kusembunyikan sikap ketusku terhadap gadis itu meski ada M
Dari arah lain kulihat Meisya dan Bik Atin membawa penampan berisi makanan yang akan disajikan untuk makan bersama. Mereka meletakkan seluruh makanan dan alat makan di lantai gazebo.“Meisya, kamu ikut makan di sini, ya. Temani Miss Lena,” pinta guru kesayanganku itu.“Maaf, Bu guru. Meisya tadi pagi sudah makan, dia kalau makan di dapur.” Bik Atin segera menyambar ucapan Miss Lena, kemudian menarik tangan Meisya agar segera pergi dari sini.Miss Lena tampak keheranan dengan sikap Bik Atin. Ia melepas pandangan ke arah mereka yang hendak pergi.“Itu asisten rumah tangga kamu, kok, bersikap begitu dengan Meisya?”“Meisya itu keponakannya Bik Atin, Miss. Dia ikut ke sini karena ayahnya ingin Meisya sekolah di kota.”“Ooh … itu sebabnya kamu bersikap seenaknya ke Meisya?”“Bukan, Miss. Tapi ada hal lain yang tak bisa kuceritakan.”“Rahasia?”Mata ini kembali menelusuri wajah cantik di hadapanku. Hanya sebuah senyum yang kuberikan sebagai jawaban.“Makan, Miss. Semoga suka dengan masakan
Samar-samar terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Kemungkinan itu papa yang baru saja sampai setelah hampir dua minggu mengurus usahanya yang di luar kota.Mama menghentikan tangis dan melepas pelukan, ia seka air mata yang telah membasahi pipi sehingga ada sedikit sembab terlihat di sana. Semburat kekhawatiran semakin menggurita di wajah itu, aku tahu pasti ia sedang bingung harus bicara apa ke papa nanti.“Ma, Mama tak perlu khawatir. Nanti kita akan sampaikan ke Papa secara bersamaan agar Papa bisa mendengar langsung cerita dari Darren.” Aku mencoba menenangkan mama yang tampak kebingungan, kuelus punggung tangannya.“Kita sambut Papa, yuk! Darren sudah kangen dengan Papa.”“Iya, Sayang.”Kugandeng tangan Mama untuk menuju ruang depan, menyambut kehadiran lelaki luar biasa bernama Tuan Zain Bakri, yaitu seorang ayah sekaligus suami yang sangat menyayangi keluarga.“Sudah pulang, Pa,” sambut mama ketika melihat lelaki yang sangat ia cintai itu memasuki ruang tengah.“Iya, Ma
Tangis kekhawatiran dari mama masih dapat kudengar saat aku memasuki sebuah ruangan untuk melakukan pemeriksaan CT Scan. Aku hanya bisa memejamkan kelopak mata ini.Jujur, tak ingin aku membuat kedua orang tuaku cemas karena kondisiku. Namun, sungguh apa yang terjadi padaku membuat isi kepala sakit tak terkira.“Bagaimana hasil CT Scan anak saya, Dok?” tanya mama setelah aku keluar dari ruang pemeriksaan.“Untuk hasilnya kita tunggu sampai dua hari, ya, Bu.”“Nggak bisa sekarang, Dok?”“Maaf, Ibu. Kami membutuhkan waktu untuk menganalisa hasil CT Scan.”“Baiklah, Dok. Terimakasih.”Dokter pun berlalu, sedangkan aku masih lemah duduk di kursi roda yang di dorong oleh papa. Mama perlahan mendekatiku dengan tatapan mata sendu.“Mama harap kamu baik-baik saja, Darren,” ucap mama sembari kedua tangan itu merangkum wajahku.Ucapan wanita yang tengah mencemaskan diriku itu penuh nada harap. Kembali kulihat bulir bening meluncur dari netranya kemudian jatuh tepat di pangkuanku.“Maafkan aku,
Sudah tiga hari ini aku terbaring di ruang bercat putih ini. Selang infus juga masih terpasang di tanganku. Mama dan papa bergantian menungguiku, masih terlihat gurat cemas yang berusaha mereka tutupi melalui senyum.Seharusnya dari hasil CT Scan, tak ada yang perlu dikhawatirkan karena tak didapati ada penyakit dalam otakku. Semuanya dalam keadaan baik, tak ada tanda-tanda adanya penyakit yang bersarang di sana.Namun, justru itu yang membuat mama dan papa tak mengerti kenapa aku sering merasakan sakit kepala. Bahkan apa yang kualami mengenai semua mimpi itu, hingga sekarang belum terungkap. Belum ada titik terang yang bisa menuntunku ke arah sana.Ada satu hal yang tak aku mengerti, bayangan itu semakin jelas saat diri bersama dengan Meisya. Gadis kampung yang kemunculannya saja sudah membuatku syok dan tak mengerti dengan jalan takdir dalam hidupku.Apa mungkin Meisya sengaja dikirim oleh Tuhan sebagai penunjuk atas semua mimpiku selama ini? Jika benar, langkah apa yang harus aku t
Aku mendekat untuk melihat. Di peta itu, ada ruangan kecil yang belum pernah kami temukan sebelumnya. Di sampingnya tertulis dengan tinta merah yang memudar, “Di sini disimpan jantung dan hati korban ritual.”Hatiku berdegup kencang. “Jadi, ini tempat di mana Marsya dan korban lainnya dijadikan tumbal,” gumamku, suaraku serak. Pikiran tentang Marsya, yang telah lama meninggal namun tubuhnya masih dimanfaatkan dalam ritual keji, membuat seluruh tubuhku menegang. Kami sudah berhasil mengalahkan penjaga bayangan, tetapi perjalanan ini jelas belum berakhir. Sesuatu yang lebih gelap dan jahat masih mengintai, dan kami harus segera menemukannya sebelum terlambat.Meisya memandangku dengan mata yang berkaca-kaca. "Darren, kita harus segera mengakhiri ini. Kita tidak bisa membiarkan warisan kegelapan ini terus berlanjut."Aku mengangguk, merasa semangat baru berkobar dalam diriku. "Kita harus menghentikan mereka. Apa pun yang terjadi."Pak Djata mendekat, memperhatikan peta itu dengan tajam.
Aku, Meisya, dan Pak Djata berdiri di tengah ruangan yang nyaris tenggelam dalam kegelapan. Lilin-lilin kecil di sekeliling kami sudah hampir habis, hanya menyisakan nyala lemah yang tak mampu mengusir seluruh kegelapan. Di hadapan kami, bayangan samar bergerak mendekat, mendesis seperti ular yang mengintai mangsanya. Ruangan ini tiba-tiba terasa semakin sempit, udara menebal, dan jantungku berdetak kencang.“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku lagi, meskipun suaraku hampir tenggelam oleh ketegangan yang menggulung di udara.Bayangan itu berhenti beberapa langkah dari kami, perlahan-lahan berubah menjadi lebih jelas, lebih nyata. Wujudnya tertutup jubah hitam panjang, matanya merah menyala seperti bara api yang mengintip dari balik tudung yang menutupi wajahnya.“Aku adalah penjaga terakhir rahasia Dr. Wirawan,” suaranya dingin, mengalir seperti angin malam yang membawa ancaman. “Kalian tak seharusnya berada di sini.”Pak Djata, meskipun sudah berusia lanjut, berdiri tegak di depan kami, t
Pintu ruangan terbuka dengan sendirinya, seolah-olah kekuatan yang menghalanginya telah lenyap. Kami melangkah keluar, disambut oleh pria yang tadi mengabari kami. Raut wajahnya memperlihatkan ketidaktenangan, ternyata ia menunggu dengan cemas di luar."Apa yang terjadi di dalam?" tanyanya dengan nada khawatir.Aku tersenyum lelah. "Kami berhasil mengusir bayangan Dr. Wirawan," jawabku dengan semangat yang terpancar dari suaraku.Mendengar perkataanku, lelaki itu menghela napas lega. Kulit wajahnya yang tadi tegang mulai melonggar, dan matanya yang sebelumnya suram kini berbinar dengan cahaya harapan yang sudah lama hilang. Rasanya seperti aku bisa melihat beban bertahun-tahun yang perlahan terangkat dari pundaknya."Syukurlah ... akhirnya masa kelam rumah sakit ini akan berakhir," ujarnya, suaranya bergetar. "Sudah lebih dari dua puluh tahun kami hidup dalam ketakutan."Namun, di tengah kelegaan yang kami rasakan, ada perasaan ganjil yang tak bisa kuabaikan. Meski bayangan gelap itu
"Kalian pikir ini sudah berakhir?" katanya dengan suara dingin yang membuat darahku membeku.Aku dan Meisya saling pandang dengan cemas. Pria itu adalah Dr. Wirawan, atau setidaknya bayangannya yang masih tersisa di tempat ini. "Kalian berhasil mengusir bayangan gelap, tapi tidak mengusirku," lanjut Dr. Wirawan, suaranya penuh kebencian. "Aku adalah bagian dari rumah sakit ini. Selama rahasiaku belum terungkap sepenuhnya, aku akan terus ada."Aku menatap Dr. Wirawan dengan tegang. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyaku, mencoba mencari cara untuk mengatasi situasi ini.Dr. Wirawan tersenyum dingin, senyum yang penuh dengan kepuasan jahat. "Aku ingin melanjutkan apa yang telah kumulai. Kalian tidak bisa menghentikan aku."Meisya, dengan keteguhan yang luar biasa, melangkah maju. "Kita sudah datang sejauh ini. Kami tidak akan mundur."Pak Djata yang telah berdiri di belakang kami, maju ke depan. "Kalian tidak sendirian," katanya dengan suara tegas. "Kami akan melawan ini bersama."
Nyai Kambang mengangguk pelan. "Aku tahu apa yang kalian hadapi. Dr. Wirawan adalah musuh lama. Dia menggunakan ritual-ritual kuno untuk menguasai kekuatan gelap. Tapi ada cara untuk menyibak misterinya." Dia kemudian berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah rak kayu tua berdiri. Rak itu penuh dengan benda-benda yang tampak antik: botol-botol kaca berisi ramuan, patung-patung kecil dari kayu, dan beberapa gulungan kain yang tampak sudah berusia puluhan tahun. Nyai Kambang menarik napas dalam-dalam sebelum meraih sebuah buku tua yang tergeletak di rak paling atas. Buku itu tampak sangat tua, dengan sampul kulit yang sudah mengelupas dan tepi-tepi halaman yang menguning. Ada simbol-simbol aneh yang terukir di sampulnya, dan begitu Nyai Kambang menyentuhnya, ruangan seakan dipenuhi energi mistis. Cahaya lilin di ruangan itu bergetar, dan aroma dupa semakin menyengat. "Ini," kata Nyai Kambang dengan suara yang lebih lembut, "ini adalah buku yang berisi mantra-mantra dan petunjuk untu
Dengan tekad yang semakin kuat setelah mengalahkan bayangan gelap itu, aku dan Meisya melanjutkan pencarian. Aku tahu bahwa pertempuran yang baru saja kami menangkan hanyalah permulaan dari misteri yang lebih dalam, selebihnya adalah sesuatu yang mungkin saja jauh lebih mengerikan.*Keesokan paginya, kabut tipis masih menyelimuti desa di sekitar rumah sakit saat aku dan Meisya melangkah dengan hati-hati di jalan berbatu. Matahari baru saja terbit, memancarkan cahaya oranye keemasan yang menerobos pepohonan rindang. Suara burung berkicau terdengar sayup-sayup, seolah-olah menyambut hari baru dengan harapan yang rapuh.Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menitan, langkah kami berhenti di depan sebuah rumah tua yang terletak di ujung desa. Rumah dengan atap yang mulai lapuk dan dinding-dindingnya yang dipenuhi lumut. Sejenak aku menoleh ke arah Meisya. Wajah gadis itu menyiratkan ketegangan yang mulai menghinggapi pikiran. Segera kugenggam tangannya, mencoba menguatkan keberanian ga
Dengan pertanyaan yang menggelitik pikiran dan kekhawatiran yang semakin mendalam, Darren dan Meisya memutuskan untuk mengumpulkan semua petunjuk yang mereka temukan dan menyusunnya dengan cermat. Mereka menyadari bahwa untuk mengungkap rahasia gelap yang terkubur di dalam rumah sakit itu, mereka perlu menghubungkan setiap petunjuk dan mencari pola yang tersembunyi di baliknya.Sementara itu, Pak Djata menjelaskan kepada mereka bahwa untuk menghadapi kekuatan gelap tersebut, mereka perlu memperkuat keberanian dan kesatuan mereka. Pak Djata juga menyarankan mereka untuk mencari bantuan dari orang-orang yang ahli dalam hal supranatural atau okultisme, untuk mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang kekuatan yang mereka lawan.Darren dan Meisya pun mulai mencari tahu lebih banyak tentang sejarah rumah sakit itu dan orang-orang yang pernah terlibat di dalamnya. Mereka bertemu dengan orang-orang tua di desa sekitar, yang menceritakan kisah-kisah mistis yang berkaitan dengan rumah sakit
Namun, saat kami mencoba untuk melangkah lebih jauh, terdengar suara langkah kaki yang mendekati dari arah belakang. Kami berdua menoleh cepat dan terkejut saat melihat seseorang muncul di balik lorong yang gelap. Bayangan itu semakin mendekat, dan kami bisa melihat wajah yang penuh dengan kebencian—bayangan Arda."Kalian tidak akan pergi dari sini," ucap bayangan Arda dengan suara menggema, mengirimkan getaran menakutkan ke dalam tulang kami.Meisya berpegangan pada lenganku dengan kuat, matanya memancarkan ketakutan yang tak tersembunyi. "Darren, apa yang harus kita lakukan?"Hatiku berdegup kencang, tetapi aku mencoba untuk tetap tenang. "Kita harus mencari cara untuk keluar dari sini. Ayo, kita cari pintu darurat atau jalan lain untuk melarikan diri."Namun, sebelum kami bisa bergerak lebih jauh, bayangan Arda sudah berada di depan kami, menghalangi jalan kami. Matanya memancarkan aura kegelapan yang membuat bulu kudukku merinding."Kalian tidak bisa kabur dari sini. Kalian adalah
Setelah bibir Pak Djata mengatup rapat dan kepala mengangguk, angin yang cukup keras tadi pun berhenti. Perlahan Pak Djata membuka mata.Pak Djata menarik napas pelan, lalu membuangnya perlahan juga. Dia lakukan hingga beberapa kali sampai dirasa keadaan batinnya stabil kembali.Pak Djata akhirnya membuka mata dan melanjutkan ceritanya dengan nada serius, seolah dia merasa bertanggung jawab untuk memberi tahu kami tentang kebenaran yang tersembunyi."Hanya saja, Darren dan Meisya, saat aku menurunkan jenazah Marsya dari pohon, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras dari dalam kuburannya. Suara itu begitu nyaring dan menggetarkan hati, seakan memohon agar Marsya tidak dikuburkan.""Suara apa itu, Pak?" tanyaku dengan penuh penasaran."Saya yakin itu suara Marsya sendiri, memohon agar jiwanya tidak diperlakukan secara tidak layak. Karena itulah, saya bertekad untuk memenuhi permintaannya dengan menyelidiki lebih jauh.""Apa yang Anda temukan, Pak?" Meisya ikut bertanya, wajahnya penuh