“Ma, waktu itu aku pernah cerita ke Mama tentang mimpi aneh. Mama masih ingat?”
Wanita di hadapanku itu terdiam, tampak ia berusaha mengingat sesuatu. “Mimpi tentang kecelakaan mobil itu?”“Tidak hanya itu, Ma.”“Lalu?”“Tentang gadis dalam mimpi itu.”“Gadis yang kamu bilang mirip Meisya?”“Iya.”“Kamu yakin dia mirip Meisya?” tanya mama dengan tatapan menyelidik.Sudah kuduga, pasti mama pun tak akan percaya dengan yang kualami. Sungguh ini di luar nalar manusia. Selama bertahun-tahun dihantui mimpi yang selalu sama, bahkan salah satu dari mimpiku kini jadi kenyataan. Kehadiran Meisya menjadi penanda bahwa mimpi itu adalah sebuah firasat kenyataan akan masa depan.Penanda masa depan? Benarkah Meisya adalah bagian dari masa depanku? Atau … jangan-jangan ini kaitan dengan kehidupanku di masa lampau? Ah, apa iya reinkarnasi itu ada?Kucoba menepis semua pikiran yang makin tak masuk akal itu. Kehela napas berat, mengisi kembali paru-paru yang serasa terhimpit ini dengan merauk oksigen sebanyak mungkin.“Darren,” panggil mama membuyarkan lamunan yang mengembara entah ke mana.“Sudahlah, Ma. Sekali pun aku cerita sedetail mungkin apa yang kualami, pasti Mama juga nggak akan percaya.”“Darren, bukan Mama tak percaya, Sayang. Tapi itu semua sungguh tak masuk akal.”“Iya, aku tahu semua itu nggak masuk akal, Ma. Tapi itu memang beneran kenyataan yang selama ini aku alami!” Nada suaraku mulai meninggi.“Mama percaya, Darren.”“Nggak perlu bohong, Ma. Darren tahu Mama nggak akan percaya.”Mama kembali terdiam. Sorot kecemasan makin menjadi di riak wajahnya. Aku merasa kasihan dengannya, mungkin sikapku telah membuat ia makin khawatir.“Daren ingin istirahat, Ma. Mama sebaiknya keluar saja,” pintaku seraya memiringkan badan memunggungi wanita yang kini masih diliputi rasa waswas itu.Tak sanggup rasanya jika melihat sorot netra yang hampir runtuh pertahanannya dari desakan bulir bening. Sejak dulu aku paling tidak bisa melihat mama bersedih apalagi menangis. Ikatan batin yang begitu kuat membuatku bisa merasakan setiap kesedihan yang merundungnya.“Sebaiknya Mama bawa kamu ke dokter, Darren. Mungkin saja sakit kepala yang kamu rasakan bisa mendapat penanganan sedini mungkin.”“Nggak, Ma. Aku hanya ingin istirahat, Mama nggak usah khawatir.”“Tapi, Sayang ….”“Ma!” ucapku dengan nada agak tinggi sembari membalik badan dan menatapnya, meminta agar ia bisa memberiku waktu untuk menenangkan diri.“Baiklah, Sayang. Mama keluar dulu, tapi jangan lupa untuk turun makan, ya. Atau Mama suruh Bik Atin bawakan makan untuk kamu?”“Terserah Mama saja.”Setelah punggung wanita yang sejak tadi cemas itu menghilang di balik pintu, pikiranku kembali melayang tak menentu. Semua kejadian yang kualami selama ini semakin hari makin membuat otak ini lelah berpikir. Sebenarnya ada teka-teki apa dalam diriku.Ingatanku kembali pada sebuah bayangan yang hadir sesaat setelah aku menatap Meisya dengan lekat. Sungguh bayangan itu serasa nyata seakan aku pernah mengalami kejadian itu.Ada rasa penasaran yang bisa kuhindari. Bergegas aku membuka laptop dan memulai pencarian.Kata pertama yang kuketik adalah ‘Ciri Indigo’ karena aku ingin tahu apakah aku termasuk dalam kategori anak yang memiliki kemampuan lebih. Setiap artikel yang memuat tentang ciri-ciri anak indigo aku baca dan pahami.Menurut beberapa artikel yang kubaca menyatakan hal yang serupa sehingga dapat aku tarik garis besarnya bahwa anak indigo adalah anak yang memiliki kemampuan spesial di luar nalar yang tak bisa dibuktikan dengan sains.Benarkah aku anak indigo? Tapi aku tak mampu melihat makhluk tak kasat mata.Segala sesuatu yang terjadi memang ada dalam mimpi sebelumnya, namun itu bukan berarti aku mampu memprediksi masa depan. Jawaban mengenai anak indigo tak memberi jalan pencerahan yang dapat membuka tabir mengenai apa yang terjadi pada diri ini.Sejenak aku berpikir. Terbersit kata reinkarnasi dan mencoba menemukan beberapa kejadian yang nyata terjadi di dunia. Artikel pertama yang kutemukan adalah kisah nyata yang membuktikan kebenaran mengenai reinkarnasi. Langsung saja jari ini mengarahkan kursor ke link artikel tersebut.Reinkarnasi memiliki arti lahir kembali setelah kematian ke dalam tubuh yang baru dan kehidupan yang baru pula. Jujur, bagiku cerita reinkarnasi hanya ada dalam cerita fantasia tau kepercayaan agama tertentu.Cerita pertama mengenai seorang wanita bernama Dorren yang melahirkan anak lelaki dan diberi nama William. Suatu hari Dorren memarahi William dan membentaknya keras.Di luar dugaan, justru William mengatakan bahwa ia ayahnya Dorren. Bahkan ia mampu menceritakan masa kecil Dorren dan juga kucing kesayangannya yang diberi nama Boston.Beralih ke cerita kedua, yaitu tentang sebuah tanda lahir semacam rajah dengan bentuk seperti petir dengan warna coklat muda. Menurut cerita, keluarga tersebut memiliki kepercayaan mengenai reinkarnasi.Mereka menandai bagian-bagian tertentu agar jika ada yang meninggal maka akan terlahir kembali dengan membawa tanda tersebut.Terbukti kejadian di sebuah keluarga di negara Myanmar. Seorang anak terlahir dengan sebuah tanda yang sama persis dengan tanda yang dibuat oleh kakeknya, sedangkan sang kakek telah meninggal 11 bulan sebelum anak tersebut lahir.Kepala ini manggut-manggut setelah membaca beberapa penjelasan mengenai reinkarnasi. Tapi rata-rata cerita tersebut dialami oleh keluarga yang sama. Sedangkan aku dengan Meisya bukan satu keluarga. Kami besar di keluarga yang beda dan lingkungan yang juga sangat jauh berbeda.Lalu, disebut apakah ini? Aku tak memiliki hubungan sama sekali dengan Meisya tapi ia hadir dalam mimpiku, jauh sebelum aku mengenalnya. Tak masuk akal pula anak usia sepuluh tahun bisa bermimpi hal di luar jangkauan pikiran anak kecil.Entah sudah berapa lama aku menatap layar laptop sembari berpikir keras. Tak bisa kutemukan sebuah jawaban yang mampu memuaskan rasa ingin tahuku.Lelah sudah pencarianku hari ini. Lebih baik istirahat dan menenangkan diri. Mungkin esok hari atau entah kapan waktu pasti akan kutemukan jawabannya.Kututup kembali laptop, kemudian merebahkan diri ke peraduan ternyaman. Mencoba memejamkan mata, namun baru kusadari bahwa perut ini minta diisi.Perlahan aku bangkit dan keluar dari kamar. Langkahku terhenti saat menuruni anak tangga, suara mama mengundang kecurigaan.Samar-samar kudengar mama sedang bicara dengan papa melalui sambungan video call. Ada namaku ia sebut, sehingga membuatku mengendap-endap menuruni tangga.“Pa, Mama khawatir dengan kondisi kejiwaan Darren.”“ Maksud Mama apa?”“Mama bingung mau cerita, Pa. hanya saja Mama rasa kita perlu membawa Darren untuk periksa kepala dan pergi ke psikolog.”Deg!Batinku seketika syok mendengar ucapan mama. Ia berpikir aku sudah gila sehingga harus dibawa ke psikolog untuk mendapat penanganan.“Mama ini apaan, sih? Anak sendiri, kok, disangka gila.”“Bukan begitu, Pa. tapi kondisi kejiwaan Darren saat ini mengkhawatirkan. Lagipula kita ke psikolog, Pa. bukan ke psikiater.”“Coba, deh, Ma dipikir lagi. Karena selama ini tak ada yang aneh dengan Darren. Kita juga selama ini selalu ada buat dia, nurutin apa yang jadi maunya dia.”“Iya, Mama tahu. Tapi ini hal lain, Pa. mama saja sampai bingung.”“Ya, sudah. Besok Papa sudah sampai rumah karena urusan di sini juga sudah hampir delapan puluh persen selesai. Sisanya bisa Papa serahkan dulu ke Hendri untuk menghandle semua.”“Oke, Pa. Mama tunggu, siapa tahu dengan ketemu Papa keadaan Darren bisa lebih baik.”“Semoga, Ma. Hanya saja Papa rasa Darren sedang capek aja, apalagi sebentar lagi dia akan menghadapi ujian sekolah.”“Maybe, Pa. Ya sudah, Pa. Mama tutup, ya. Ini mau ngambilin makan untuk Darren.”“Oke, Ma. Salam buat Darren. Bilang ke dia kalau Papa rindu berat ingin peluk dia.”“Hahaha … Papa ini, ingat, Pa, Darren itu sudah besar.”“Hahaha … iya, Papa sering lupa kalau anak kita sudah besar, Ma.”“Nggak kerasa, ya, Pa. Papa ini gimana, sih? Dari tadi katanya mau nutup video call, tapi masih aja ngajakin ngobrol terus. Udah, ya … ini Mama mau ambil makanan untuk Darren.”Sekali lagi kudengar papa tertawa sebelum akhirnya menutup panggilan. Mereka memang selalu mesra diberbagai momen, hampir tak pernah kudengar mereka rebut. Kasih sayang mereka juga tercurah penuh untukku.Tubuhku terasa lemah kembali setelah mendengar percakapan mama dengan papa. Kusandarkan tubuh pada pegangan tangga, ada titik bening yang tetiba jatuh dari kedua sudut mata.Aku menangis bukan karena rasa sakit di kepala yang masih kurasa, melainkan ada nyeri menjalar kala tahu bahwa wanita yang selama ini jadi malaikat dalam kehidupanku justru menganggapku gila.Tak masalah jika mama tak percaya dengan semua ceritaku, tapi tak seharusnya berpikir bahwa aku mengalami gangguan kejiwaan. Sungguh menyakitkan mendengar semua itu.“Darren, kamu kenapa duduk di situ?” Tetiba mama sudah ada di ujung tangga, melihatku yang menyembunyikan wajah dalam tangkupan lutut yang kutekuk.Sontak aku mengangkat wajah, memandang penuh kecewa pada wanita itu. Tak kusangka ia tega berpikir aku tak waras lagi. Semua gegara Meisya, seandainya ia tak pernah hadir dalam mimpiku mungkin aku tak perlu merasa dihantui oleh kilasan bayang yang tak pernah kumengerti.“Darren, kamu kalau butuh apa-apa seharusnya cuk
Dengan gamang kulangkahkan kaki yang sebenarnya terasa berat menuju gazebo yang kini telah berubah menjadi tempat belajar. Semakin dag dig dug saat harus duduk di dekat Miss Lena, mencium harum bau parfum sweet romance yang mengusik indera pembau.“Sudah siap, Darren?”“Iya, Miss.”“Sekarang kamu bisa baca ringkasan materi ini dan silahkan mana yang belum paham.”“Baik, Miss.”Kuterima lembaran kertas yang telah distaples menjadi bandelan, namun tak segera kubaca. Tatapanku justru terarah ke Meisya yang ternyata sejak tadi memperhatikan wajahku tanpa berkedip, sebuah senyum juga terurai dari bibir itu.Mama kenapa juga nyuruh gadis katrok itu untuk ikutan belajar. Ganggu rencana saja. Kalau begini bagaimana cara aku merayu Miss Lena. “Ehm, ehm ….” Kucoba berdehem untuk menghentikan sikap konyol dari gadis kampung itu, namun ternyata tak ada efek sama sekali.“Eh, gadis kampung! Kamu mau belajar apa mau lihatin aku?” Tak dapat kusembunyikan sikap ketusku terhadap gadis itu meski ada M
Dari arah lain kulihat Meisya dan Bik Atin membawa penampan berisi makanan yang akan disajikan untuk makan bersama. Mereka meletakkan seluruh makanan dan alat makan di lantai gazebo.“Meisya, kamu ikut makan di sini, ya. Temani Miss Lena,” pinta guru kesayanganku itu.“Maaf, Bu guru. Meisya tadi pagi sudah makan, dia kalau makan di dapur.” Bik Atin segera menyambar ucapan Miss Lena, kemudian menarik tangan Meisya agar segera pergi dari sini.Miss Lena tampak keheranan dengan sikap Bik Atin. Ia melepas pandangan ke arah mereka yang hendak pergi.“Itu asisten rumah tangga kamu, kok, bersikap begitu dengan Meisya?”“Meisya itu keponakannya Bik Atin, Miss. Dia ikut ke sini karena ayahnya ingin Meisya sekolah di kota.”“Ooh … itu sebabnya kamu bersikap seenaknya ke Meisya?”“Bukan, Miss. Tapi ada hal lain yang tak bisa kuceritakan.”“Rahasia?”Mata ini kembali menelusuri wajah cantik di hadapanku. Hanya sebuah senyum yang kuberikan sebagai jawaban.“Makan, Miss. Semoga suka dengan masakan
Samar-samar terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Kemungkinan itu papa yang baru saja sampai setelah hampir dua minggu mengurus usahanya yang di luar kota.Mama menghentikan tangis dan melepas pelukan, ia seka air mata yang telah membasahi pipi sehingga ada sedikit sembab terlihat di sana. Semburat kekhawatiran semakin menggurita di wajah itu, aku tahu pasti ia sedang bingung harus bicara apa ke papa nanti.“Ma, Mama tak perlu khawatir. Nanti kita akan sampaikan ke Papa secara bersamaan agar Papa bisa mendengar langsung cerita dari Darren.” Aku mencoba menenangkan mama yang tampak kebingungan, kuelus punggung tangannya.“Kita sambut Papa, yuk! Darren sudah kangen dengan Papa.”“Iya, Sayang.”Kugandeng tangan Mama untuk menuju ruang depan, menyambut kehadiran lelaki luar biasa bernama Tuan Zain Bakri, yaitu seorang ayah sekaligus suami yang sangat menyayangi keluarga.“Sudah pulang, Pa,” sambut mama ketika melihat lelaki yang sangat ia cintai itu memasuki ruang tengah.“Iya, Ma
Tangis kekhawatiran dari mama masih dapat kudengar saat aku memasuki sebuah ruangan untuk melakukan pemeriksaan CT Scan. Aku hanya bisa memejamkan kelopak mata ini.Jujur, tak ingin aku membuat kedua orang tuaku cemas karena kondisiku. Namun, sungguh apa yang terjadi padaku membuat isi kepala sakit tak terkira.“Bagaimana hasil CT Scan anak saya, Dok?” tanya mama setelah aku keluar dari ruang pemeriksaan.“Untuk hasilnya kita tunggu sampai dua hari, ya, Bu.”“Nggak bisa sekarang, Dok?”“Maaf, Ibu. Kami membutuhkan waktu untuk menganalisa hasil CT Scan.”“Baiklah, Dok. Terimakasih.”Dokter pun berlalu, sedangkan aku masih lemah duduk di kursi roda yang di dorong oleh papa. Mama perlahan mendekatiku dengan tatapan mata sendu.“Mama harap kamu baik-baik saja, Darren,” ucap mama sembari kedua tangan itu merangkum wajahku.Ucapan wanita yang tengah mencemaskan diriku itu penuh nada harap. Kembali kulihat bulir bening meluncur dari netranya kemudian jatuh tepat di pangkuanku.“Maafkan aku,
Sudah tiga hari ini aku terbaring di ruang bercat putih ini. Selang infus juga masih terpasang di tanganku. Mama dan papa bergantian menungguiku, masih terlihat gurat cemas yang berusaha mereka tutupi melalui senyum.Seharusnya dari hasil CT Scan, tak ada yang perlu dikhawatirkan karena tak didapati ada penyakit dalam otakku. Semuanya dalam keadaan baik, tak ada tanda-tanda adanya penyakit yang bersarang di sana.Namun, justru itu yang membuat mama dan papa tak mengerti kenapa aku sering merasakan sakit kepala. Bahkan apa yang kualami mengenai semua mimpi itu, hingga sekarang belum terungkap. Belum ada titik terang yang bisa menuntunku ke arah sana.Ada satu hal yang tak aku mengerti, bayangan itu semakin jelas saat diri bersama dengan Meisya. Gadis kampung yang kemunculannya saja sudah membuatku syok dan tak mengerti dengan jalan takdir dalam hidupku.Apa mungkin Meisya sengaja dikirim oleh Tuhan sebagai penunjuk atas semua mimpiku selama ini? Jika benar, langkah apa yang harus aku t
Kujatuhkan tubuh ini ke peraduan yang telah aku tinggalkan selama empat hari. Aroma ruangan yang sangat aku sukai dibandingkan ruang rawat inap. Kuhirup kuat-kuat udara di sekitar, begitu lega bisa kembali ke rumah ini.Setelah merasa kangen dengan kamar pribadi terobati, bergegas aku kembali bangkit dan menuju ke kamar mandi. Mengguyur tubuh dengan air dari shower membuat tubuh ini semakin segar. Tak lupa kutuang obat keramas ke kepala, menghilangkan aroma obat yang berasa menempel ke seluruh tubuh hingga kepala.Setelah puas memanjakan diri dengan guyuran air, segera kuraih handuk dan menutupkan ke sebagian tubuh. Baru saja kaki ini hendak melangkah keluar kamar mandi, tampak seorang gadis yang tak ingin kulihat bayangannya justru tengah berdiri dekat meja di sisi ranjang. Sontak aku terkejut.“Heh, gadis kampung! Ngapain kamu di sini?” bentakku tanpa basa-basi lagi.“Ini, Mas. Bik Atin menyuruh aku bawain makanan untuk Mas Darren.”“Ngapain juga Bik Atin nyuruh cewek aneh ini!” ger
Hari demi hari kulalui tanpa mendengar suara Meisya di rumah ini. Ada sesuatu yang hilang dalam kepingan hati, entah apa aku masih belum mengerti.Hanya saja ada rasa rindu yang terselip dan menurutku cukup aneh. Kerinduan ini seakan pernah kurasakan sebelumnya, perasaan yang hadir pun seakan pernah tumbuh dan begitu kuat.Tapi kapan semua itu pernah hadir? Semua serasa dejavu, namun memiliki kekuatan untuk menganggu alam bawah sadarku.Kesepian yang aku rasa sedikit terobati saat hari Sabtu dan Minggu dengan kehadiran Miss Lena yang masih bersedia membimbingku hingga ujian sekolah nanti. Rencana untuk menjadikan Miss Lena sebagai pacar seakan telah menguar. Pikiran ini justru sudah tak menghiraukan apa pun selain pelajaran sekolah.Sikap Alea yang masih cari perhatian hanya kutanggapi dengan sikap dingin dan acuh. Beberapa slentingan terdengar di telinga, mereka mengatakan jika seorang Darren telah berubah menjadi manusia kutub yang sangat dingin.Saat berpapasan dengan Meisya, baik
Aku mendekat untuk melihat. Di peta itu, ada ruangan kecil yang belum pernah kami temukan sebelumnya. Di sampingnya tertulis dengan tinta merah yang memudar, “Di sini disimpan jantung dan hati korban ritual.”Hatiku berdegup kencang. “Jadi, ini tempat di mana Marsya dan korban lainnya dijadikan tumbal,” gumamku, suaraku serak. Pikiran tentang Marsya, yang telah lama meninggal namun tubuhnya masih dimanfaatkan dalam ritual keji, membuat seluruh tubuhku menegang. Kami sudah berhasil mengalahkan penjaga bayangan, tetapi perjalanan ini jelas belum berakhir. Sesuatu yang lebih gelap dan jahat masih mengintai, dan kami harus segera menemukannya sebelum terlambat.Meisya memandangku dengan mata yang berkaca-kaca. "Darren, kita harus segera mengakhiri ini. Kita tidak bisa membiarkan warisan kegelapan ini terus berlanjut."Aku mengangguk, merasa semangat baru berkobar dalam diriku. "Kita harus menghentikan mereka. Apa pun yang terjadi."Pak Djata mendekat, memperhatikan peta itu dengan tajam.
Aku, Meisya, dan Pak Djata berdiri di tengah ruangan yang nyaris tenggelam dalam kegelapan. Lilin-lilin kecil di sekeliling kami sudah hampir habis, hanya menyisakan nyala lemah yang tak mampu mengusir seluruh kegelapan. Di hadapan kami, bayangan samar bergerak mendekat, mendesis seperti ular yang mengintai mangsanya. Ruangan ini tiba-tiba terasa semakin sempit, udara menebal, dan jantungku berdetak kencang.“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku lagi, meskipun suaraku hampir tenggelam oleh ketegangan yang menggulung di udara.Bayangan itu berhenti beberapa langkah dari kami, perlahan-lahan berubah menjadi lebih jelas, lebih nyata. Wujudnya tertutup jubah hitam panjang, matanya merah menyala seperti bara api yang mengintip dari balik tudung yang menutupi wajahnya.“Aku adalah penjaga terakhir rahasia Dr. Wirawan,” suaranya dingin, mengalir seperti angin malam yang membawa ancaman. “Kalian tak seharusnya berada di sini.”Pak Djata, meskipun sudah berusia lanjut, berdiri tegak di depan kami, t
Pintu ruangan terbuka dengan sendirinya, seolah-olah kekuatan yang menghalanginya telah lenyap. Kami melangkah keluar, disambut oleh pria yang tadi mengabari kami. Raut wajahnya memperlihatkan ketidaktenangan, ternyata ia menunggu dengan cemas di luar."Apa yang terjadi di dalam?" tanyanya dengan nada khawatir.Aku tersenyum lelah. "Kami berhasil mengusir bayangan Dr. Wirawan," jawabku dengan semangat yang terpancar dari suaraku.Mendengar perkataanku, lelaki itu menghela napas lega. Kulit wajahnya yang tadi tegang mulai melonggar, dan matanya yang sebelumnya suram kini berbinar dengan cahaya harapan yang sudah lama hilang. Rasanya seperti aku bisa melihat beban bertahun-tahun yang perlahan terangkat dari pundaknya."Syukurlah ... akhirnya masa kelam rumah sakit ini akan berakhir," ujarnya, suaranya bergetar. "Sudah lebih dari dua puluh tahun kami hidup dalam ketakutan."Namun, di tengah kelegaan yang kami rasakan, ada perasaan ganjil yang tak bisa kuabaikan. Meski bayangan gelap itu
"Kalian pikir ini sudah berakhir?" katanya dengan suara dingin yang membuat darahku membeku.Aku dan Meisya saling pandang dengan cemas. Pria itu adalah Dr. Wirawan, atau setidaknya bayangannya yang masih tersisa di tempat ini. "Kalian berhasil mengusir bayangan gelap, tapi tidak mengusirku," lanjut Dr. Wirawan, suaranya penuh kebencian. "Aku adalah bagian dari rumah sakit ini. Selama rahasiaku belum terungkap sepenuhnya, aku akan terus ada."Aku menatap Dr. Wirawan dengan tegang. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyaku, mencoba mencari cara untuk mengatasi situasi ini.Dr. Wirawan tersenyum dingin, senyum yang penuh dengan kepuasan jahat. "Aku ingin melanjutkan apa yang telah kumulai. Kalian tidak bisa menghentikan aku."Meisya, dengan keteguhan yang luar biasa, melangkah maju. "Kita sudah datang sejauh ini. Kami tidak akan mundur."Pak Djata yang telah berdiri di belakang kami, maju ke depan. "Kalian tidak sendirian," katanya dengan suara tegas. "Kami akan melawan ini bersama."
Nyai Kambang mengangguk pelan. "Aku tahu apa yang kalian hadapi. Dr. Wirawan adalah musuh lama. Dia menggunakan ritual-ritual kuno untuk menguasai kekuatan gelap. Tapi ada cara untuk menyibak misterinya." Dia kemudian berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah rak kayu tua berdiri. Rak itu penuh dengan benda-benda yang tampak antik: botol-botol kaca berisi ramuan, patung-patung kecil dari kayu, dan beberapa gulungan kain yang tampak sudah berusia puluhan tahun. Nyai Kambang menarik napas dalam-dalam sebelum meraih sebuah buku tua yang tergeletak di rak paling atas. Buku itu tampak sangat tua, dengan sampul kulit yang sudah mengelupas dan tepi-tepi halaman yang menguning. Ada simbol-simbol aneh yang terukir di sampulnya, dan begitu Nyai Kambang menyentuhnya, ruangan seakan dipenuhi energi mistis. Cahaya lilin di ruangan itu bergetar, dan aroma dupa semakin menyengat. "Ini," kata Nyai Kambang dengan suara yang lebih lembut, "ini adalah buku yang berisi mantra-mantra dan petunjuk untu
Dengan tekad yang semakin kuat setelah mengalahkan bayangan gelap itu, aku dan Meisya melanjutkan pencarian. Aku tahu bahwa pertempuran yang baru saja kami menangkan hanyalah permulaan dari misteri yang lebih dalam, selebihnya adalah sesuatu yang mungkin saja jauh lebih mengerikan.*Keesokan paginya, kabut tipis masih menyelimuti desa di sekitar rumah sakit saat aku dan Meisya melangkah dengan hati-hati di jalan berbatu. Matahari baru saja terbit, memancarkan cahaya oranye keemasan yang menerobos pepohonan rindang. Suara burung berkicau terdengar sayup-sayup, seolah-olah menyambut hari baru dengan harapan yang rapuh.Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menitan, langkah kami berhenti di depan sebuah rumah tua yang terletak di ujung desa. Rumah dengan atap yang mulai lapuk dan dinding-dindingnya yang dipenuhi lumut. Sejenak aku menoleh ke arah Meisya. Wajah gadis itu menyiratkan ketegangan yang mulai menghinggapi pikiran. Segera kugenggam tangannya, mencoba menguatkan keberanian ga
Dengan pertanyaan yang menggelitik pikiran dan kekhawatiran yang semakin mendalam, Darren dan Meisya memutuskan untuk mengumpulkan semua petunjuk yang mereka temukan dan menyusunnya dengan cermat. Mereka menyadari bahwa untuk mengungkap rahasia gelap yang terkubur di dalam rumah sakit itu, mereka perlu menghubungkan setiap petunjuk dan mencari pola yang tersembunyi di baliknya.Sementara itu, Pak Djata menjelaskan kepada mereka bahwa untuk menghadapi kekuatan gelap tersebut, mereka perlu memperkuat keberanian dan kesatuan mereka. Pak Djata juga menyarankan mereka untuk mencari bantuan dari orang-orang yang ahli dalam hal supranatural atau okultisme, untuk mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang kekuatan yang mereka lawan.Darren dan Meisya pun mulai mencari tahu lebih banyak tentang sejarah rumah sakit itu dan orang-orang yang pernah terlibat di dalamnya. Mereka bertemu dengan orang-orang tua di desa sekitar, yang menceritakan kisah-kisah mistis yang berkaitan dengan rumah sakit
Namun, saat kami mencoba untuk melangkah lebih jauh, terdengar suara langkah kaki yang mendekati dari arah belakang. Kami berdua menoleh cepat dan terkejut saat melihat seseorang muncul di balik lorong yang gelap. Bayangan itu semakin mendekat, dan kami bisa melihat wajah yang penuh dengan kebencian—bayangan Arda."Kalian tidak akan pergi dari sini," ucap bayangan Arda dengan suara menggema, mengirimkan getaran menakutkan ke dalam tulang kami.Meisya berpegangan pada lenganku dengan kuat, matanya memancarkan ketakutan yang tak tersembunyi. "Darren, apa yang harus kita lakukan?"Hatiku berdegup kencang, tetapi aku mencoba untuk tetap tenang. "Kita harus mencari cara untuk keluar dari sini. Ayo, kita cari pintu darurat atau jalan lain untuk melarikan diri."Namun, sebelum kami bisa bergerak lebih jauh, bayangan Arda sudah berada di depan kami, menghalangi jalan kami. Matanya memancarkan aura kegelapan yang membuat bulu kudukku merinding."Kalian tidak bisa kabur dari sini. Kalian adalah
Setelah bibir Pak Djata mengatup rapat dan kepala mengangguk, angin yang cukup keras tadi pun berhenti. Perlahan Pak Djata membuka mata.Pak Djata menarik napas pelan, lalu membuangnya perlahan juga. Dia lakukan hingga beberapa kali sampai dirasa keadaan batinnya stabil kembali.Pak Djata akhirnya membuka mata dan melanjutkan ceritanya dengan nada serius, seolah dia merasa bertanggung jawab untuk memberi tahu kami tentang kebenaran yang tersembunyi."Hanya saja, Darren dan Meisya, saat aku menurunkan jenazah Marsya dari pohon, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras dari dalam kuburannya. Suara itu begitu nyaring dan menggetarkan hati, seakan memohon agar Marsya tidak dikuburkan.""Suara apa itu, Pak?" tanyaku dengan penuh penasaran."Saya yakin itu suara Marsya sendiri, memohon agar jiwanya tidak diperlakukan secara tidak layak. Karena itulah, saya bertekad untuk memenuhi permintaannya dengan menyelidiki lebih jauh.""Apa yang Anda temukan, Pak?" Meisya ikut bertanya, wajahnya penuh