Perjalanan pulang sekolah akhirnya sampai juga, mobil memasuki halaman rumah berpagar besi yang cukup tinggi menjulang. Pak Dalim yang bertugas sebagai sekuriti bergegas menutup kembali pintu gerbang setelah mobil masuk.
Kulihat mama yang masih sibuk dengan tanaman bonsai, ia melakukan pekerjaannya dengan dibantu Bik Atin. Melihatku turun dari mobil, mama langsung menghambur dan memelukku seperti biasa. Tak hanya sekedar memeluk, tapi juga mendaratkan kecupan di kedua pipi ini.“Kok pulangnya telat, Sayang? Mampir dulu ke mana?”“Gadis kampung pakai acara ngilang, Ma!”Mama mengernyitkan dahi, “Kok, ngomongnya begitu?”“Habisnya Darren sebel, Ma. Aku, tuh, lagi capek banget. Eh, malah dia asyik ngelayap dengan cewek sok populer itu!”“Anak Mama kenapa, sih? Nggak biasanya jutek begini.”“Udah, ah, Ma. Darren mau mandi terus ke roof top. Suruh Bik Atin bawain camilan dan secangkir kopi latte kesukaanku, ya, Ma. Serius Darren lagi capek hari ini.”“Iya. Sudah sana masuk,” ucap mama sembari mengelus rambutku.“Oh, ya, Meisya. Aku minta maaf kalau sikap Darren menyinggung perasaan kamu, ya?” lanjut mama ke Meisya.“Iya, Nyonya. Nggak apa-apa, kok.”“Mama apaan, sih, malah minta maaf. Harusnya dia yang minta maaf karena sudah bikin Darren khawatir nyariin dia ke sana kemari.”“Hah? Serius Mas Darren khawatir dengan aku?” Tetiba gadis kampung itu main sambar omongan.Wajahku seketika pias seakan malu merayapi diri ini. Kenapa harus keceplosan segala, jadi bikin dia kegedean rasa kalau begini.Entahlah, dia memang gadis yang aneh bagiku. Sebelum bertemu dengannya, ia telah datang ke alam mimpiku sejak delapan tahun lalu. Rasanya seperti dejavu dengan apa yang kualami.Namun, sejak kehadiran dia di rumah ini, mimpi itu tak pernah hadir lagi. Bahkan mimpi tentang tragedi sebuah kecelakaan itu pun tak pernah menghantuiku lagi.Kuhempas tubuh ini ke peraduan yang ternyaman. Sejenak teringat akan sebuah ide gila yang tadi sempat terlintas di benakku. Kupikir bukan ide gila, tapi lebih tepatnya ide cemerlang untuk membuat Alea tak menggangguku lagi.Lima bulan lagi Pendidikan di sekolah itu akan berakhir, namun bagiku serasa satu abad di sana.Selama masih ada Alea dalam hidupku, maka ketenangan privasiku akan terus terusik. Aku butuh waktu untuk konsentrasi dalam perjuanganku untuk lulus nanti, jadi sudah kuputuskan untuk menjadikan Miss Lena sebagai pacar sementaraku.Namun, sesaat kemudian nyali ini menciut kembali membayangkan sebuah penolakan dari wanita dewasa yang dingin itu. Tak akan mampu kusembunyikan malu jika sampai Miss Lena menolakku. Tapi kalau tidak kulakukan, harapan untuk mendapatkan ketenangan fokus dalam belajar tak akan kudapat.Baiklah, semua harus kucoba. Targetku dalam waktu dua minggu Miss Lena harus jadi kekasihku. Malam ini aku harus minta ke mama untuk bantu bicara ke Miss Lena agar mau memberikan bimbingan belajar secara privat.Sontak semangat dalam diri kembali up, bergegas kulangkahkan kaki menuruni anak tangga dan mencari mama yang ternyata sedang sibuk di dapur. Seperti biasa, mama selalu membuat camilan untuk sore hari. Meski ada Bik Atin, tapi mama lebih suka mengolah semuanya langsung dari kedua tangan sendiri.“Ma, boleh nggak kalau Darren minta bimbingan belajar Bahasa Inggris secara privat dengan Miss Lena?”“Lho, bukannya Bahasa Inggris kamu sudah bagus?”“Tadi di kelas ada yang Darren masih nggak paham, Ma. Bisa ya, Ma. Ini juga biar nilai ujian nanti bagus.”“Kalau begitu les juga untuk pelajaran lain, donk!”“Pelajaran lain Darren sudah bisa, Ma. Hanya Bahasa Inggris saja yang masih ada kesulitan.” Aku masih mencoba mencari alasan agar mama bisa mengabulkan permintaanku,Mama justru malah memicingkan mata seakan tengah menyelidik. “Hari ini kamu aneh. Ada apa, Darren sayang anaknya Mama?” tanya Mama seraya merengkuh bahuku.“Nggak apa-apa, Ma. Pokoknya Darren mau Miss Lena besok sudah datang ke rumah ini untuk mengajar privat. Darren nggak mau tahu!” Seperti biasa senjataku adalah merajuk agar mama menuruti apa yang menjadi kemauanku.“Iya, nanti Mama coba telepon Miss Lena.”“Harus, ya, Ma.”“Iya, Mama akan usahakan untuk meminta Miss Lena.”“Makasih, Mama sayang. Emmuach ….” Kudaratkan sebuah tanda cinta di pipi kanan wanita cantik yang telah melahirkan aku.“Darren, kamu bilang mau mandi? Kok, masih bau asem?”“Hehehe … belum sempat, Ma. Tadi tiduran dulu terus inget kalau pas di sekolah ditegur sama Miss Lena gegara Darren nggak paham.”“Tumben anak Mama nggak paham. Biasanya si jenius ini pinter banget,” puji mama seraya mencubit pipiku.“Wajar, Ma. Namanya juga manusia biasa yang masih banyak salah dan masih butuh bimbingan. Darren ini bukan manusia sempurna juga, ‘kan?”Pandangan mama seketika menghadapku penuh. Bola manik itu menelusuri raut wajahku, menyelidik aneh.“Mama ini kenapa, sih? Lihat Darren sampai segitunya.”“Habisnya kamu aneh. Tumben banget jadi sok bijak begitu.”“Hahaha … Mama ini. Darren sudah gede, Ma. Sudah 18 tahun, sudah memasuki usia dewasa. Jadi, mulai sekarang Mama nggak boleh manjaain Darren kayak anak kecil terus.”“Yaach … kok, gitu. Mama pengen Darren jadi anak yang selalu dekat sama Mama.”“Udah, ah, Ma. Aku mau naik lagi, mandi terus ke roof top. Jangan lupa minta Bik Atin untuk anterin pesenan Darren.”Mama tersenyum dengan membulatkan jari membentuk isyarat oke. Wanita yang mulai memasuki usia senja itu masih terlihat cantik di mataku. Setiap hari ia menghujaniku dengan sejuta kasih sayang yang begitu melimpah. Apapun yang menjadi inginku selalu ia turuti.Senyumku mengembang kala memandang mentari yang hampir kembali ke peraduan. Dewi malam telah mengintip di sisi bintang merah.Semilir angin senja begitu menyejukkan hati, ditambah dengan membayangkan mulai besok aka nada guru cantik di rumah ini. Tak ada salahnya mencoba, masalah ditolak atau tidak urusan belakangan. Yang penting maju.Alea, kamu akan kubuat berhenti mengganggu kehidupanku selama di sekolah itu. Tak akan kubiarkan waktu terbuang sia-sia hanya karena ulah gadis centil sok tenar. Jika dia berani hadapi Miss Lena, maka nilai ujian dia sebagai taruhannya.Bisa saja Miss Lena jadi illfeel dan tak mau memberikan ia bimbingan karena setahuku selama ini Ayah Alea memanggil Miss Lena ke rumah untuk memberikan bimbingan privat juga.Aku tertawa kala membayangkan semua itu. Lebih lucu lagi ketika melintas dalam pikiranku, semua orang di sekolah itu tahu aku memacari guru cantik namun dingin itu.Ah, pasti akan jadi berita utama di majalah dinding. Baru membayangkan saja sudah tertawa, padahal belum pasti bakalan diterima.Baru kali ini aku melakukan hal senekad ini. Semoga saja berhasil.Hari ini adalah hari yang mendebarkan bagiku. Permintaan yang kemarin kuajukan ke mama akan terealisasi hari ini. Mama akan pergi ke sekolah tempat aku menimba ilmu. Tentu saja untuk menemui Miss Lena.Entah kenapa jantung ini malah berdegup kencang saat mendampingi mama masuk ke ruang guru untuk menemui Miss Lena. Wanita dengan senyum indah itu menerima kami dengan begitu ramah.“Silahkan duduk, Bu. Ada apa pagi-pagi sudah menyambangi saya?” tanya Miss Lena dengan memamerkan deretan gigi berpagar kawat miliknya.“Begini, Miss Lena. Darren itu butuh bimbingan privat dari Miss, kira-kira masih bisa nggak?”“Waduh, maaf sekali, Bu. Sudah hampir tiga bulan ini saya tidak melayani bimbingan privat karena Ibu saya sedang sakit dan lebih membutuhkan kehadiran saya.”“Oh, begitu.”“Iya, Bu. Lagipula kemampuan Bahasa Inggris Darren sudah baik, kok. Jadi, saya rasa nggak perlu bimbingan lagi.”“Tapi kata Darren ….”“Ma, aku takut aja kalau nanti aku nggak siap untuk ujian sekolah. Please, kumo
Hari ini semua siswa pulang lebih awal dari biasanya, maklum hari terakhir berangkat untuk minggu ini. Sekolah full day memang menerapkan lima hari belajar saja.Jadi, besok adalah hari Sabtu. Hari yang sudah kutunggu untuk menjalankan semua rencana. Aku harus berhasil mengambil hati Miss Lena meski malu taruhannya.“Mas Darren nungguin aku? Takut kalau aku ngilang lagi, ya?” tetiba suara gadis katrok itu sudah ada di belakangku, sepertinya memang dia itu sosok makhluk astral yang bisa muncul dan hilang tiba-tiba.“Yuk, Mas!” Ia menarik tanganku untuk bergegas menuju pintu gerbang.“Meisya, hari ini aku mau ngajak kamu jalan-jalan. Mau nggak?”“Kemana, Mas?”“Ke kafe.”“Iih … Mas Darren, kok, mainnya ke kafe? Ntar aku bilangin ke nyonya, lho!”“Apaan, sih, Trok. Nggak jelas banget, deh!”“Itu tadi Mas Darren bilang mau ke kafe. Kafe itu tempat nggak baik untuk kita anak muda.”Oh My God … sebenernya dia ini dari planet mana? Sampai-sampai punya pikiran macam itu. Entah sudah berapa ka
“Ma, waktu itu aku pernah cerita ke Mama tentang mimpi aneh. Mama masih ingat?”Wanita di hadapanku itu terdiam, tampak ia berusaha mengingat sesuatu. “Mimpi tentang kecelakaan mobil itu?”“Tidak hanya itu, Ma.”“Lalu?”“Tentang gadis dalam mimpi itu.”“Gadis yang kamu bilang mirip Meisya?”“Iya.”“Kamu yakin dia mirip Meisya?” tanya mama dengan tatapan menyelidik.Sudah kuduga, pasti mama pun tak akan percaya dengan yang kualami. Sungguh ini di luar nalar manusia. Selama bertahun-tahun dihantui mimpi yang selalu sama, bahkan salah satu dari mimpiku kini jadi kenyataan. Kehadiran Meisya menjadi penanda bahwa mimpi itu adalah sebuah firasat kenyataan akan masa depan.Penanda masa depan? Benarkah Meisya adalah bagian dari masa depanku? Atau … jangan-jangan ini kaitan dengan kehidupanku di masa lampau? Ah, apa iya reinkarnasi itu ada?Kucoba menepis semua pikiran yang makin tak masuk akal itu. Kehela napas berat, mengisi kembali paru-paru yang serasa terhimpit ini dengan merauk oksigen s
Tubuhku terasa lemah kembali setelah mendengar percakapan mama dengan papa. Kusandarkan tubuh pada pegangan tangga, ada titik bening yang tetiba jatuh dari kedua sudut mata.Aku menangis bukan karena rasa sakit di kepala yang masih kurasa, melainkan ada nyeri menjalar kala tahu bahwa wanita yang selama ini jadi malaikat dalam kehidupanku justru menganggapku gila.Tak masalah jika mama tak percaya dengan semua ceritaku, tapi tak seharusnya berpikir bahwa aku mengalami gangguan kejiwaan. Sungguh menyakitkan mendengar semua itu.“Darren, kamu kenapa duduk di situ?” Tetiba mama sudah ada di ujung tangga, melihatku yang menyembunyikan wajah dalam tangkupan lutut yang kutekuk.Sontak aku mengangkat wajah, memandang penuh kecewa pada wanita itu. Tak kusangka ia tega berpikir aku tak waras lagi. Semua gegara Meisya, seandainya ia tak pernah hadir dalam mimpiku mungkin aku tak perlu merasa dihantui oleh kilasan bayang yang tak pernah kumengerti.“Darren, kamu kalau butuh apa-apa seharusnya cuk
Dengan gamang kulangkahkan kaki yang sebenarnya terasa berat menuju gazebo yang kini telah berubah menjadi tempat belajar. Semakin dag dig dug saat harus duduk di dekat Miss Lena, mencium harum bau parfum sweet romance yang mengusik indera pembau.“Sudah siap, Darren?”“Iya, Miss.”“Sekarang kamu bisa baca ringkasan materi ini dan silahkan mana yang belum paham.”“Baik, Miss.”Kuterima lembaran kertas yang telah distaples menjadi bandelan, namun tak segera kubaca. Tatapanku justru terarah ke Meisya yang ternyata sejak tadi memperhatikan wajahku tanpa berkedip, sebuah senyum juga terurai dari bibir itu.Mama kenapa juga nyuruh gadis katrok itu untuk ikutan belajar. Ganggu rencana saja. Kalau begini bagaimana cara aku merayu Miss Lena. “Ehm, ehm ….” Kucoba berdehem untuk menghentikan sikap konyol dari gadis kampung itu, namun ternyata tak ada efek sama sekali.“Eh, gadis kampung! Kamu mau belajar apa mau lihatin aku?” Tak dapat kusembunyikan sikap ketusku terhadap gadis itu meski ada M
Dari arah lain kulihat Meisya dan Bik Atin membawa penampan berisi makanan yang akan disajikan untuk makan bersama. Mereka meletakkan seluruh makanan dan alat makan di lantai gazebo.“Meisya, kamu ikut makan di sini, ya. Temani Miss Lena,” pinta guru kesayanganku itu.“Maaf, Bu guru. Meisya tadi pagi sudah makan, dia kalau makan di dapur.” Bik Atin segera menyambar ucapan Miss Lena, kemudian menarik tangan Meisya agar segera pergi dari sini.Miss Lena tampak keheranan dengan sikap Bik Atin. Ia melepas pandangan ke arah mereka yang hendak pergi.“Itu asisten rumah tangga kamu, kok, bersikap begitu dengan Meisya?”“Meisya itu keponakannya Bik Atin, Miss. Dia ikut ke sini karena ayahnya ingin Meisya sekolah di kota.”“Ooh … itu sebabnya kamu bersikap seenaknya ke Meisya?”“Bukan, Miss. Tapi ada hal lain yang tak bisa kuceritakan.”“Rahasia?”Mata ini kembali menelusuri wajah cantik di hadapanku. Hanya sebuah senyum yang kuberikan sebagai jawaban.“Makan, Miss. Semoga suka dengan masakan
Samar-samar terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Kemungkinan itu papa yang baru saja sampai setelah hampir dua minggu mengurus usahanya yang di luar kota.Mama menghentikan tangis dan melepas pelukan, ia seka air mata yang telah membasahi pipi sehingga ada sedikit sembab terlihat di sana. Semburat kekhawatiran semakin menggurita di wajah itu, aku tahu pasti ia sedang bingung harus bicara apa ke papa nanti.“Ma, Mama tak perlu khawatir. Nanti kita akan sampaikan ke Papa secara bersamaan agar Papa bisa mendengar langsung cerita dari Darren.” Aku mencoba menenangkan mama yang tampak kebingungan, kuelus punggung tangannya.“Kita sambut Papa, yuk! Darren sudah kangen dengan Papa.”“Iya, Sayang.”Kugandeng tangan Mama untuk menuju ruang depan, menyambut kehadiran lelaki luar biasa bernama Tuan Zain Bakri, yaitu seorang ayah sekaligus suami yang sangat menyayangi keluarga.“Sudah pulang, Pa,” sambut mama ketika melihat lelaki yang sangat ia cintai itu memasuki ruang tengah.“Iya, Ma
Tangis kekhawatiran dari mama masih dapat kudengar saat aku memasuki sebuah ruangan untuk melakukan pemeriksaan CT Scan. Aku hanya bisa memejamkan kelopak mata ini.Jujur, tak ingin aku membuat kedua orang tuaku cemas karena kondisiku. Namun, sungguh apa yang terjadi padaku membuat isi kepala sakit tak terkira.“Bagaimana hasil CT Scan anak saya, Dok?” tanya mama setelah aku keluar dari ruang pemeriksaan.“Untuk hasilnya kita tunggu sampai dua hari, ya, Bu.”“Nggak bisa sekarang, Dok?”“Maaf, Ibu. Kami membutuhkan waktu untuk menganalisa hasil CT Scan.”“Baiklah, Dok. Terimakasih.”Dokter pun berlalu, sedangkan aku masih lemah duduk di kursi roda yang di dorong oleh papa. Mama perlahan mendekatiku dengan tatapan mata sendu.“Mama harap kamu baik-baik saja, Darren,” ucap mama sembari kedua tangan itu merangkum wajahku.Ucapan wanita yang tengah mencemaskan diriku itu penuh nada harap. Kembali kulihat bulir bening meluncur dari netranya kemudian jatuh tepat di pangkuanku.“Maafkan aku,
Aku mendekat untuk melihat. Di peta itu, ada ruangan kecil yang belum pernah kami temukan sebelumnya. Di sampingnya tertulis dengan tinta merah yang memudar, “Di sini disimpan jantung dan hati korban ritual.”Hatiku berdegup kencang. “Jadi, ini tempat di mana Marsya dan korban lainnya dijadikan tumbal,” gumamku, suaraku serak. Pikiran tentang Marsya, yang telah lama meninggal namun tubuhnya masih dimanfaatkan dalam ritual keji, membuat seluruh tubuhku menegang. Kami sudah berhasil mengalahkan penjaga bayangan, tetapi perjalanan ini jelas belum berakhir. Sesuatu yang lebih gelap dan jahat masih mengintai, dan kami harus segera menemukannya sebelum terlambat.Meisya memandangku dengan mata yang berkaca-kaca. "Darren, kita harus segera mengakhiri ini. Kita tidak bisa membiarkan warisan kegelapan ini terus berlanjut."Aku mengangguk, merasa semangat baru berkobar dalam diriku. "Kita harus menghentikan mereka. Apa pun yang terjadi."Pak Djata mendekat, memperhatikan peta itu dengan tajam.
Aku, Meisya, dan Pak Djata berdiri di tengah ruangan yang nyaris tenggelam dalam kegelapan. Lilin-lilin kecil di sekeliling kami sudah hampir habis, hanya menyisakan nyala lemah yang tak mampu mengusir seluruh kegelapan. Di hadapan kami, bayangan samar bergerak mendekat, mendesis seperti ular yang mengintai mangsanya. Ruangan ini tiba-tiba terasa semakin sempit, udara menebal, dan jantungku berdetak kencang.“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku lagi, meskipun suaraku hampir tenggelam oleh ketegangan yang menggulung di udara.Bayangan itu berhenti beberapa langkah dari kami, perlahan-lahan berubah menjadi lebih jelas, lebih nyata. Wujudnya tertutup jubah hitam panjang, matanya merah menyala seperti bara api yang mengintip dari balik tudung yang menutupi wajahnya.“Aku adalah penjaga terakhir rahasia Dr. Wirawan,” suaranya dingin, mengalir seperti angin malam yang membawa ancaman. “Kalian tak seharusnya berada di sini.”Pak Djata, meskipun sudah berusia lanjut, berdiri tegak di depan kami, t
Pintu ruangan terbuka dengan sendirinya, seolah-olah kekuatan yang menghalanginya telah lenyap. Kami melangkah keluar, disambut oleh pria yang tadi mengabari kami. Raut wajahnya memperlihatkan ketidaktenangan, ternyata ia menunggu dengan cemas di luar."Apa yang terjadi di dalam?" tanyanya dengan nada khawatir.Aku tersenyum lelah. "Kami berhasil mengusir bayangan Dr. Wirawan," jawabku dengan semangat yang terpancar dari suaraku.Mendengar perkataanku, lelaki itu menghela napas lega. Kulit wajahnya yang tadi tegang mulai melonggar, dan matanya yang sebelumnya suram kini berbinar dengan cahaya harapan yang sudah lama hilang. Rasanya seperti aku bisa melihat beban bertahun-tahun yang perlahan terangkat dari pundaknya."Syukurlah ... akhirnya masa kelam rumah sakit ini akan berakhir," ujarnya, suaranya bergetar. "Sudah lebih dari dua puluh tahun kami hidup dalam ketakutan."Namun, di tengah kelegaan yang kami rasakan, ada perasaan ganjil yang tak bisa kuabaikan. Meski bayangan gelap itu
"Kalian pikir ini sudah berakhir?" katanya dengan suara dingin yang membuat darahku membeku.Aku dan Meisya saling pandang dengan cemas. Pria itu adalah Dr. Wirawan, atau setidaknya bayangannya yang masih tersisa di tempat ini. "Kalian berhasil mengusir bayangan gelap, tapi tidak mengusirku," lanjut Dr. Wirawan, suaranya penuh kebencian. "Aku adalah bagian dari rumah sakit ini. Selama rahasiaku belum terungkap sepenuhnya, aku akan terus ada."Aku menatap Dr. Wirawan dengan tegang. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyaku, mencoba mencari cara untuk mengatasi situasi ini.Dr. Wirawan tersenyum dingin, senyum yang penuh dengan kepuasan jahat. "Aku ingin melanjutkan apa yang telah kumulai. Kalian tidak bisa menghentikan aku."Meisya, dengan keteguhan yang luar biasa, melangkah maju. "Kita sudah datang sejauh ini. Kami tidak akan mundur."Pak Djata yang telah berdiri di belakang kami, maju ke depan. "Kalian tidak sendirian," katanya dengan suara tegas. "Kami akan melawan ini bersama."
Nyai Kambang mengangguk pelan. "Aku tahu apa yang kalian hadapi. Dr. Wirawan adalah musuh lama. Dia menggunakan ritual-ritual kuno untuk menguasai kekuatan gelap. Tapi ada cara untuk menyibak misterinya." Dia kemudian berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah rak kayu tua berdiri. Rak itu penuh dengan benda-benda yang tampak antik: botol-botol kaca berisi ramuan, patung-patung kecil dari kayu, dan beberapa gulungan kain yang tampak sudah berusia puluhan tahun. Nyai Kambang menarik napas dalam-dalam sebelum meraih sebuah buku tua yang tergeletak di rak paling atas. Buku itu tampak sangat tua, dengan sampul kulit yang sudah mengelupas dan tepi-tepi halaman yang menguning. Ada simbol-simbol aneh yang terukir di sampulnya, dan begitu Nyai Kambang menyentuhnya, ruangan seakan dipenuhi energi mistis. Cahaya lilin di ruangan itu bergetar, dan aroma dupa semakin menyengat. "Ini," kata Nyai Kambang dengan suara yang lebih lembut, "ini adalah buku yang berisi mantra-mantra dan petunjuk untu
Dengan tekad yang semakin kuat setelah mengalahkan bayangan gelap itu, aku dan Meisya melanjutkan pencarian. Aku tahu bahwa pertempuran yang baru saja kami menangkan hanyalah permulaan dari misteri yang lebih dalam, selebihnya adalah sesuatu yang mungkin saja jauh lebih mengerikan.*Keesokan paginya, kabut tipis masih menyelimuti desa di sekitar rumah sakit saat aku dan Meisya melangkah dengan hati-hati di jalan berbatu. Matahari baru saja terbit, memancarkan cahaya oranye keemasan yang menerobos pepohonan rindang. Suara burung berkicau terdengar sayup-sayup, seolah-olah menyambut hari baru dengan harapan yang rapuh.Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menitan, langkah kami berhenti di depan sebuah rumah tua yang terletak di ujung desa. Rumah dengan atap yang mulai lapuk dan dinding-dindingnya yang dipenuhi lumut. Sejenak aku menoleh ke arah Meisya. Wajah gadis itu menyiratkan ketegangan yang mulai menghinggapi pikiran. Segera kugenggam tangannya, mencoba menguatkan keberanian ga
Dengan pertanyaan yang menggelitik pikiran dan kekhawatiran yang semakin mendalam, Darren dan Meisya memutuskan untuk mengumpulkan semua petunjuk yang mereka temukan dan menyusunnya dengan cermat. Mereka menyadari bahwa untuk mengungkap rahasia gelap yang terkubur di dalam rumah sakit itu, mereka perlu menghubungkan setiap petunjuk dan mencari pola yang tersembunyi di baliknya.Sementara itu, Pak Djata menjelaskan kepada mereka bahwa untuk menghadapi kekuatan gelap tersebut, mereka perlu memperkuat keberanian dan kesatuan mereka. Pak Djata juga menyarankan mereka untuk mencari bantuan dari orang-orang yang ahli dalam hal supranatural atau okultisme, untuk mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang kekuatan yang mereka lawan.Darren dan Meisya pun mulai mencari tahu lebih banyak tentang sejarah rumah sakit itu dan orang-orang yang pernah terlibat di dalamnya. Mereka bertemu dengan orang-orang tua di desa sekitar, yang menceritakan kisah-kisah mistis yang berkaitan dengan rumah sakit
Namun, saat kami mencoba untuk melangkah lebih jauh, terdengar suara langkah kaki yang mendekati dari arah belakang. Kami berdua menoleh cepat dan terkejut saat melihat seseorang muncul di balik lorong yang gelap. Bayangan itu semakin mendekat, dan kami bisa melihat wajah yang penuh dengan kebencian—bayangan Arda."Kalian tidak akan pergi dari sini," ucap bayangan Arda dengan suara menggema, mengirimkan getaran menakutkan ke dalam tulang kami.Meisya berpegangan pada lenganku dengan kuat, matanya memancarkan ketakutan yang tak tersembunyi. "Darren, apa yang harus kita lakukan?"Hatiku berdegup kencang, tetapi aku mencoba untuk tetap tenang. "Kita harus mencari cara untuk keluar dari sini. Ayo, kita cari pintu darurat atau jalan lain untuk melarikan diri."Namun, sebelum kami bisa bergerak lebih jauh, bayangan Arda sudah berada di depan kami, menghalangi jalan kami. Matanya memancarkan aura kegelapan yang membuat bulu kudukku merinding."Kalian tidak bisa kabur dari sini. Kalian adalah
Setelah bibir Pak Djata mengatup rapat dan kepala mengangguk, angin yang cukup keras tadi pun berhenti. Perlahan Pak Djata membuka mata.Pak Djata menarik napas pelan, lalu membuangnya perlahan juga. Dia lakukan hingga beberapa kali sampai dirasa keadaan batinnya stabil kembali.Pak Djata akhirnya membuka mata dan melanjutkan ceritanya dengan nada serius, seolah dia merasa bertanggung jawab untuk memberi tahu kami tentang kebenaran yang tersembunyi."Hanya saja, Darren dan Meisya, saat aku menurunkan jenazah Marsya dari pohon, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras dari dalam kuburannya. Suara itu begitu nyaring dan menggetarkan hati, seakan memohon agar Marsya tidak dikuburkan.""Suara apa itu, Pak?" tanyaku dengan penuh penasaran."Saya yakin itu suara Marsya sendiri, memohon agar jiwanya tidak diperlakukan secara tidak layak. Karena itulah, saya bertekad untuk memenuhi permintaannya dengan menyelidiki lebih jauh.""Apa yang Anda temukan, Pak?" Meisya ikut bertanya, wajahnya penuh