Aku beranjak dari tepi ranjang dan mendekat ke jendela pula. Tatapanku masih menelisik raut wajah yang masih menyisakan tanda kecantikan masa muda itu. Sorot mata mama tampak sayu."Ma, apa ada yang Mama sembunyikan dari Darren?""Sebenernya Mama masih belum yakin, Darren.""Yakin tentang apa?""Mama masih belum yakin kalau apa yang Mama dan Papa lakukan dulu ada hubungannya dengan semua mimpi kamu.""Memangnya dulu Mama dengan Papa melakukan apa di sana?"Kembali helaan napas panjang itu kudengar. "Dulu, Mama hampir disuruh cerai oleh Oma kamu.""Oma, ibunya Papa?""Iya. Karena pernikahan sudah hampir lima tahun tapi tak juga kunjung hamil. Beberapa kali ikut program hamil pun selalu gagal, bahkan kamu adalah bayi tabung kedua yang berhasil.""Iya, Mama sudah pernah cerita itu. Terus apa hubungannya dengan masalah Mama pergi ke Batu Seribu?""Karena Mama kalut, Mama menerima ide dari Papa kamu yang memang tak mau pisah dari Mama.""Ide? Ide apa?""Papa kamu dapat cerita dari temannya
Semakin lama goncangan semakin besar dan membuatku terpental kembali ke dunia nyata. Sontak mata ini terbuka dan posisiku masih tetap sama di atas ranjang."Aargh!!!" teriakku kesal sembari menjambak rambut.Aku sudah tak tahan dengan semua misteri ini, tak bisa dibiarkan lagi lebih lama bayangan itu menyiksa batin. Segera aku bangkit dan keluar dari kamar. Kaki ini kuayun menuju kamar mama yang berada di ujung. Dengan tak sabar kuketuk pintu dengan keras dan memanggil mama agar cepat membukakan daun pintu yang terkunci."Ada apa, Darren?" tanya mama saat melihatku yang sangat gugup."Ritual apa yang Mama dan Papa lakukan? Tolong, jujur, Ma. Bayangan itu terus menghantui Darren."Mama tampak kebingungan, kemudian papa yang mendengar percakapanku dengan mama pun muncul di belakang wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun."Ada apa, Darren?"Aku segera menerobos ke dalam dan menggenggam kuat lengan pria yang menjadi panutanku itu. "Pa, apa yang sudah Papa dan Mama lakukan saat di
Semilir angin menyapa wajahku, begitu sejuk. Saat kucoba menikmati suasana desa yang menyegarkan indera penglihatan, tetiba sebuah bayangan putih berkelebat melewati depan jendela mobil.Aku coba mengeluarkan kepala ke luar, kemudian menengok ke arah bayangan yang melintas itu. Ah ... ternyata ia bukan berkelebat, namun mobil ini yang melewatinya.Kulihat bayangan itu tertinggal jauh di belakang mobil, sekilas kulihat ia tersenyum. Saat mobil ini berbelok, masih dapat kulihat ia masih berdiri di bawah pohon yang sangat rindang.Sayang, wajahnya tak terlalu jelas. Hanya samar-samar kulihat senyum itu dan lambaian tangannya. Kurasakan ada sesuatu yang aneh, apa mungkin bayangan itu yang ada di rumah? Tapi kenapa ia sekarang ada di sini?Senyum dan lambaian tangan itu seakan menyambut bahagia kedatanganku. Ada rasa yang menelusup dalam kalbu, namun entah perasaan macam apa."Mas Darren lihat apa?""Ada gadis di bawah pohon sana, dia tersenyum dan melambaikan tangan."Meisya turut menengo
Srrrttt ....Tetiba sebuah bayangan muncul. Belaian lembut tangan ini pernah aku rasakan, tapi di mana? "Arda, anakku. Kamu sudah kembali, Nak?"Belum sempat aku menemukan jawaban, ucapan Eyang Uti justru terasa bak sengatan listrik. Baru saja ia menyebutku sebagai anak. Aku masih belum mengerti, namun perlahan mulai kusadari sesuatu. Ya ... sepertinya kunci pembuka semua misteri adalah neneknya Meisya."Arda, akhirnya kembali, Nak. Biyung kangen, kenapa kamu lama sekali perginya." Eyang Uti memelukku yang masih bergeming, tercenung dengan semua yang terjadi.Tangis Eyang Uti pecah, ia seolah tengah menumpahkan sejuta kerinduan yang telah ia pendam bertahun-tahun lamanya. Kubiarkan wanita senja ini meluapkan segala rasa yang mungkin telah menyiksanya selama ini.Sungguh aku tak tega untuk menolak sikap Eyang Uti, karena dapat kurasakan sebuah perasaan kehilangan yang teramat sangat. Aku sendiri pun masih belum mengerti, kenapa semua serasa dejavu. Ya, aku merasa pelukan ini pernah ku
Seketika aku menoleh ke arah Meisya. "Sya, kamu lihat dia?" tanyaku seraya menunjuk ke arah ayunan, namun saat itu pula bayangan yang mirip Meisya menghilang tanpa jejak."Dia, tadi dia di sini. Di ayunan ini.""Siapa, Mas?""Wanita yang kamu bilang mengakhiri hidup di pohon besar itu.""Maksudnya?""Dia, dia mirip kamu ... dan aku pikir dia itu Marsya, wanita yang ada di foto itu."Meisya tampak kebingungan dengan penjelasanku, begitu pun aku yang masih tak campur aduk tak karuan rasanya. Perasaan takut dan cemas menyatu menjadi paduan kegundahan yang teramat sangat."Mas Arda, ehm ... maksud aku, Nak Darren." Tetiba suara Pak Joyo menghentikan kesibukan pikiran yang terus penuh duga.Aku menoleh ke arahnya. "Pak Joyo, aku butuh Bapak untuk mengurai benang kusut ini.""Masuklah dulu, Nak. Istirahat dan tenangkan dirimu.""Aku nggak bisa tenang, Pak, sebelum semua hal yang aneh ini terungkap.""Nak Darren, kamu terlihat sangat lelah. Istirahat atau makan dulu, nanti setelah itu akan B
Kuhentikan langkah dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Di langit matahari mulai bergeser ke arah barat. Azan waktu Ashar pun telah berkumandang.Hembusan angin sore semakin membuat aroma bunga kantil itu kian menggelitik indera pembau. Pak Jo yang sedari tadi berdiri di sampingku masih tampak ragu untuk masuk.Pak Jo memandang ke arahku, seakan ia sedang menunggu persetujuan dariku untuk tetap masuk atau tidak. "Gimana, Den? Mau tetap tidur di kamar ini atau minta kamar lain?""Sebentar, Pak Jo." Kuangkat tangan kananku untuk melarangnya membuka pintu."Kenapa, Den? Den Darren merasakan ada sesuatu?""Iya, Pak Jo mencium bau bunga kantil, nggak?"Tampak Pak Jo mencoba mengendus udara, namun sesaat kemudian ia mengedikkan bahu. "Nggak ada bau sama sekali, Den. Lagi pula, di sini Pak Jo nggak melihat ada pohon kembang kantil." Mata Pak Jo mengedar ke seluruh taman yang terdapat tepat di seberang kamar ini."Sebelah gazebo itu malah yang ada bunga kamboja, Den. Apa mungkin bau bunga i
Kuletakkan tas di atas meja samping kotak kayu tempat penyimpanan semua barang milik Arda. Langkahku kemudian menuju ke jendela kayu dan membuka kedua daun jendela lebar-lebar.Baru kusadari, ternyata rumah Eyang Uti ini dikelilingi tembok tinggi semua. Pantas saja mendapat julukan orang paling kaya di desanya, ternyata memang benar. Untuk ukuran rumah di desa, bangunan ini jauh lebih besar meski terlihat kesan kuno yang jelas melekat.Merasa percuma karena tak dapat melihat pemandangan di luar rumah, jendela kembali kututup. Kini pandanganku ke arah kotak kayu.Perlahan langkah kaki ini mendekat dan mulai meraih kotak kayu yang masih tergelatak di atas meja, membawanya duduk di tepi ranjang."Itu apa, Den?" tanya Pak Jo yang ternyata sejak tadi memperhatikan tingkahku."Pak Jo, tutup lagi pintunya!" pintaku."Iya, Den." Dengan tergesa-gesa Pak Jo menutup daun pintu yang sedari tadi masih terbuka."Sini, Pak Jo. Pak Jo lihat foto ini baik-baik, bener mirip aku dan Meisya nggak?" Kuulu
Perlahan kututup kembali surat itu. Kurasakan keromantisan yang teramat sangat. Kurasa mereka saling mencintai dan bukan cinta biasa. Terlihat dari cara Marsya memanggil Arda dengan panggilan Dewa Amor.Dewa Amor dan Dewi Aphrodite merupakan simbol dewa dan dewi cinta. Begitu indah kisah romantisme asmara mereka.Baik, sekarang sudah kutemukan titik terang hubungan mereka. Aku yakin dalam waktu cepat semua misteri akan terungkap.Besok pagi sudah kurencanakan untuk ke tebing Batu Seribu, memastikan tentang ukiran nama dalam batu itu dan mencari rumah pohon itu."Den Darren, itu masih ada surat lagi. Nggak dibaca semua?""Nanti aja, Pak Jo. Aku capek banget dan pengen istirahat," jawabku seraya menutup dan mengembalikan kotak kayu itu."Tapi jangan tidur, ya, Den. Karena ini sudah hampir magrib," saran Pak Jo yang melihatku hendak merebahkan tubuh ke kasur."Iya. Aku hanya ingin rebahan sebentar karena badanku beneran capek banget, Pak Jo.""Ya sudah, kalau begitu Pak Jo keluar dulu, y
Aku mendekat untuk melihat. Di peta itu, ada ruangan kecil yang belum pernah kami temukan sebelumnya. Di sampingnya tertulis dengan tinta merah yang memudar, “Di sini disimpan jantung dan hati korban ritual.”Hatiku berdegup kencang. “Jadi, ini tempat di mana Marsya dan korban lainnya dijadikan tumbal,” gumamku, suaraku serak. Pikiran tentang Marsya, yang telah lama meninggal namun tubuhnya masih dimanfaatkan dalam ritual keji, membuat seluruh tubuhku menegang. Kami sudah berhasil mengalahkan penjaga bayangan, tetapi perjalanan ini jelas belum berakhir. Sesuatu yang lebih gelap dan jahat masih mengintai, dan kami harus segera menemukannya sebelum terlambat.Meisya memandangku dengan mata yang berkaca-kaca. "Darren, kita harus segera mengakhiri ini. Kita tidak bisa membiarkan warisan kegelapan ini terus berlanjut."Aku mengangguk, merasa semangat baru berkobar dalam diriku. "Kita harus menghentikan mereka. Apa pun yang terjadi."Pak Djata mendekat, memperhatikan peta itu dengan tajam.
Aku, Meisya, dan Pak Djata berdiri di tengah ruangan yang nyaris tenggelam dalam kegelapan. Lilin-lilin kecil di sekeliling kami sudah hampir habis, hanya menyisakan nyala lemah yang tak mampu mengusir seluruh kegelapan. Di hadapan kami, bayangan samar bergerak mendekat, mendesis seperti ular yang mengintai mangsanya. Ruangan ini tiba-tiba terasa semakin sempit, udara menebal, dan jantungku berdetak kencang.“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku lagi, meskipun suaraku hampir tenggelam oleh ketegangan yang menggulung di udara.Bayangan itu berhenti beberapa langkah dari kami, perlahan-lahan berubah menjadi lebih jelas, lebih nyata. Wujudnya tertutup jubah hitam panjang, matanya merah menyala seperti bara api yang mengintip dari balik tudung yang menutupi wajahnya.“Aku adalah penjaga terakhir rahasia Dr. Wirawan,” suaranya dingin, mengalir seperti angin malam yang membawa ancaman. “Kalian tak seharusnya berada di sini.”Pak Djata, meskipun sudah berusia lanjut, berdiri tegak di depan kami, t
Pintu ruangan terbuka dengan sendirinya, seolah-olah kekuatan yang menghalanginya telah lenyap. Kami melangkah keluar, disambut oleh pria yang tadi mengabari kami. Raut wajahnya memperlihatkan ketidaktenangan, ternyata ia menunggu dengan cemas di luar."Apa yang terjadi di dalam?" tanyanya dengan nada khawatir.Aku tersenyum lelah. "Kami berhasil mengusir bayangan Dr. Wirawan," jawabku dengan semangat yang terpancar dari suaraku.Mendengar perkataanku, lelaki itu menghela napas lega. Kulit wajahnya yang tadi tegang mulai melonggar, dan matanya yang sebelumnya suram kini berbinar dengan cahaya harapan yang sudah lama hilang. Rasanya seperti aku bisa melihat beban bertahun-tahun yang perlahan terangkat dari pundaknya."Syukurlah ... akhirnya masa kelam rumah sakit ini akan berakhir," ujarnya, suaranya bergetar. "Sudah lebih dari dua puluh tahun kami hidup dalam ketakutan."Namun, di tengah kelegaan yang kami rasakan, ada perasaan ganjil yang tak bisa kuabaikan. Meski bayangan gelap itu
"Kalian pikir ini sudah berakhir?" katanya dengan suara dingin yang membuat darahku membeku.Aku dan Meisya saling pandang dengan cemas. Pria itu adalah Dr. Wirawan, atau setidaknya bayangannya yang masih tersisa di tempat ini. "Kalian berhasil mengusir bayangan gelap, tapi tidak mengusirku," lanjut Dr. Wirawan, suaranya penuh kebencian. "Aku adalah bagian dari rumah sakit ini. Selama rahasiaku belum terungkap sepenuhnya, aku akan terus ada."Aku menatap Dr. Wirawan dengan tegang. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyaku, mencoba mencari cara untuk mengatasi situasi ini.Dr. Wirawan tersenyum dingin, senyum yang penuh dengan kepuasan jahat. "Aku ingin melanjutkan apa yang telah kumulai. Kalian tidak bisa menghentikan aku."Meisya, dengan keteguhan yang luar biasa, melangkah maju. "Kita sudah datang sejauh ini. Kami tidak akan mundur."Pak Djata yang telah berdiri di belakang kami, maju ke depan. "Kalian tidak sendirian," katanya dengan suara tegas. "Kami akan melawan ini bersama."
Nyai Kambang mengangguk pelan. "Aku tahu apa yang kalian hadapi. Dr. Wirawan adalah musuh lama. Dia menggunakan ritual-ritual kuno untuk menguasai kekuatan gelap. Tapi ada cara untuk menyibak misterinya." Dia kemudian berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah rak kayu tua berdiri. Rak itu penuh dengan benda-benda yang tampak antik: botol-botol kaca berisi ramuan, patung-patung kecil dari kayu, dan beberapa gulungan kain yang tampak sudah berusia puluhan tahun. Nyai Kambang menarik napas dalam-dalam sebelum meraih sebuah buku tua yang tergeletak di rak paling atas. Buku itu tampak sangat tua, dengan sampul kulit yang sudah mengelupas dan tepi-tepi halaman yang menguning. Ada simbol-simbol aneh yang terukir di sampulnya, dan begitu Nyai Kambang menyentuhnya, ruangan seakan dipenuhi energi mistis. Cahaya lilin di ruangan itu bergetar, dan aroma dupa semakin menyengat. "Ini," kata Nyai Kambang dengan suara yang lebih lembut, "ini adalah buku yang berisi mantra-mantra dan petunjuk untu
Dengan tekad yang semakin kuat setelah mengalahkan bayangan gelap itu, aku dan Meisya melanjutkan pencarian. Aku tahu bahwa pertempuran yang baru saja kami menangkan hanyalah permulaan dari misteri yang lebih dalam, selebihnya adalah sesuatu yang mungkin saja jauh lebih mengerikan.*Keesokan paginya, kabut tipis masih menyelimuti desa di sekitar rumah sakit saat aku dan Meisya melangkah dengan hati-hati di jalan berbatu. Matahari baru saja terbit, memancarkan cahaya oranye keemasan yang menerobos pepohonan rindang. Suara burung berkicau terdengar sayup-sayup, seolah-olah menyambut hari baru dengan harapan yang rapuh.Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menitan, langkah kami berhenti di depan sebuah rumah tua yang terletak di ujung desa. Rumah dengan atap yang mulai lapuk dan dinding-dindingnya yang dipenuhi lumut. Sejenak aku menoleh ke arah Meisya. Wajah gadis itu menyiratkan ketegangan yang mulai menghinggapi pikiran. Segera kugenggam tangannya, mencoba menguatkan keberanian ga
Dengan pertanyaan yang menggelitik pikiran dan kekhawatiran yang semakin mendalam, Darren dan Meisya memutuskan untuk mengumpulkan semua petunjuk yang mereka temukan dan menyusunnya dengan cermat. Mereka menyadari bahwa untuk mengungkap rahasia gelap yang terkubur di dalam rumah sakit itu, mereka perlu menghubungkan setiap petunjuk dan mencari pola yang tersembunyi di baliknya.Sementara itu, Pak Djata menjelaskan kepada mereka bahwa untuk menghadapi kekuatan gelap tersebut, mereka perlu memperkuat keberanian dan kesatuan mereka. Pak Djata juga menyarankan mereka untuk mencari bantuan dari orang-orang yang ahli dalam hal supranatural atau okultisme, untuk mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang kekuatan yang mereka lawan.Darren dan Meisya pun mulai mencari tahu lebih banyak tentang sejarah rumah sakit itu dan orang-orang yang pernah terlibat di dalamnya. Mereka bertemu dengan orang-orang tua di desa sekitar, yang menceritakan kisah-kisah mistis yang berkaitan dengan rumah sakit
Namun, saat kami mencoba untuk melangkah lebih jauh, terdengar suara langkah kaki yang mendekati dari arah belakang. Kami berdua menoleh cepat dan terkejut saat melihat seseorang muncul di balik lorong yang gelap. Bayangan itu semakin mendekat, dan kami bisa melihat wajah yang penuh dengan kebencian—bayangan Arda."Kalian tidak akan pergi dari sini," ucap bayangan Arda dengan suara menggema, mengirimkan getaran menakutkan ke dalam tulang kami.Meisya berpegangan pada lenganku dengan kuat, matanya memancarkan ketakutan yang tak tersembunyi. "Darren, apa yang harus kita lakukan?"Hatiku berdegup kencang, tetapi aku mencoba untuk tetap tenang. "Kita harus mencari cara untuk keluar dari sini. Ayo, kita cari pintu darurat atau jalan lain untuk melarikan diri."Namun, sebelum kami bisa bergerak lebih jauh, bayangan Arda sudah berada di depan kami, menghalangi jalan kami. Matanya memancarkan aura kegelapan yang membuat bulu kudukku merinding."Kalian tidak bisa kabur dari sini. Kalian adalah
Setelah bibir Pak Djata mengatup rapat dan kepala mengangguk, angin yang cukup keras tadi pun berhenti. Perlahan Pak Djata membuka mata.Pak Djata menarik napas pelan, lalu membuangnya perlahan juga. Dia lakukan hingga beberapa kali sampai dirasa keadaan batinnya stabil kembali.Pak Djata akhirnya membuka mata dan melanjutkan ceritanya dengan nada serius, seolah dia merasa bertanggung jawab untuk memberi tahu kami tentang kebenaran yang tersembunyi."Hanya saja, Darren dan Meisya, saat aku menurunkan jenazah Marsya dari pohon, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras dari dalam kuburannya. Suara itu begitu nyaring dan menggetarkan hati, seakan memohon agar Marsya tidak dikuburkan.""Suara apa itu, Pak?" tanyaku dengan penuh penasaran."Saya yakin itu suara Marsya sendiri, memohon agar jiwanya tidak diperlakukan secara tidak layak. Karena itulah, saya bertekad untuk memenuhi permintaannya dengan menyelidiki lebih jauh.""Apa yang Anda temukan, Pak?" Meisya ikut bertanya, wajahnya penuh