Kuletakkan tas di atas meja samping kotak kayu tempat penyimpanan semua barang milik Arda. Langkahku kemudian menuju ke jendela kayu dan membuka kedua daun jendela lebar-lebar.Baru kusadari, ternyata rumah Eyang Uti ini dikelilingi tembok tinggi semua. Pantas saja mendapat julukan orang paling kaya di desanya, ternyata memang benar. Untuk ukuran rumah di desa, bangunan ini jauh lebih besar meski terlihat kesan kuno yang jelas melekat.Merasa percuma karena tak dapat melihat pemandangan di luar rumah, jendela kembali kututup. Kini pandanganku ke arah kotak kayu.Perlahan langkah kaki ini mendekat dan mulai meraih kotak kayu yang masih tergelatak di atas meja, membawanya duduk di tepi ranjang."Itu apa, Den?" tanya Pak Jo yang ternyata sejak tadi memperhatikan tingkahku."Pak Jo, tutup lagi pintunya!" pintaku."Iya, Den." Dengan tergesa-gesa Pak Jo menutup daun pintu yang sedari tadi masih terbuka."Sini, Pak Jo. Pak Jo lihat foto ini baik-baik, bener mirip aku dan Meisya nggak?" Kuulu
Perlahan kututup kembali surat itu. Kurasakan keromantisan yang teramat sangat. Kurasa mereka saling mencintai dan bukan cinta biasa. Terlihat dari cara Marsya memanggil Arda dengan panggilan Dewa Amor.Dewa Amor dan Dewi Aphrodite merupakan simbol dewa dan dewi cinta. Begitu indah kisah romantisme asmara mereka.Baik, sekarang sudah kutemukan titik terang hubungan mereka. Aku yakin dalam waktu cepat semua misteri akan terungkap.Besok pagi sudah kurencanakan untuk ke tebing Batu Seribu, memastikan tentang ukiran nama dalam batu itu dan mencari rumah pohon itu."Den Darren, itu masih ada surat lagi. Nggak dibaca semua?""Nanti aja, Pak Jo. Aku capek banget dan pengen istirahat," jawabku seraya menutup dan mengembalikan kotak kayu itu."Tapi jangan tidur, ya, Den. Karena ini sudah hampir magrib," saran Pak Jo yang melihatku hendak merebahkan tubuh ke kasur."Iya. Aku hanya ingin rebahan sebentar karena badanku beneran capek banget, Pak Jo.""Ya sudah, kalau begitu Pak Jo keluar dulu, y
Aku semakin tak mengerti harus dengan cara apa menjelaskannya. Apalagi gadis yang ada di hadapanku ini mulai memperlihatkan kemarahannya.Dengan ekspresi penuh kekecewaan gadis itu berpaling, kemudian melangkah menjauh dari tempatku berdiri. Dengan susah payah aku mencoba mengejarnya agar tetap bisa berusaha melanjutkan perbincangan yang telah berlangsung cukup lama.Arwah Marsya tak menghiraukan panggilanku, ia terus berjalan dan menghilang di balik pagar besi. Sejenak aku terpaku, menyadari tempat yang sekarang kupijak. Bola mata segera mengedar untuk mengenali tempat tersebut.Ya, Marsya menghilang di makam balik pagar besi ini. Kuberanikan untuk melangkah mendekati tempat tersebut, namun entah kenapa kakiku terasa begitu berat seakan ada yang menggelayut di betisku."Den, Den Darren. Bangun!" Ternyata Pak Jo yang membangunkan aku dengan menggoyang kakiku, membuatku menggeragap.Aku membuka mata dan menggeliatkan badan yang kurasakan sedikit kaku. Entah sudah berapa lama aku tertid
Meisya terdiam, ia tak menanggapi apa yang kusampaikan. Tatapannya kembali ke langit yang berhias bintang gemintang."Ngomongin Marsya, dia adalah arwah yang mengikuti kamu selama ini. Kamu jadi bisa mendengarkan suara hatiku juga karena dia. Selama ini dia sering duduk di ayunan itu," tuturku seraya menunjuk ke arah yang kumaksud.Srrrttt ....Tetiba ada angin yang berdesir saat tangan ini menunjuk ke arah ayunan yang tergantung di pohon besar dekat sudut pagar. Aku yakin, saat ini pasti ada Marsya yang sedang mengawasi kami. Ia pun tak suka jika aku dekat dengan Meisya. Selama ini ia hanya memanfaatkan gadis belia yang memang wajahnya mirip dengannya."Mas Darren tahu dari mana?""Tadi pas hampir maghrib aku ketiduran, nah saat itulah seperti biasa Marsya datang ke dalam alam bawah sadarku."Meisya menoleh ke arahku dan memicingkan mata, aku tahu ia pasti tak akan percaya dengan apa yang kujelaskan. Entah harus dengan cara apa aku menunjukkan ke dia bahwa Marsya itu selalu hadir dal
Eyang Uti kembali protes, Meisya yang sedari tadi disebut sebagai cewek nakal makin cemberut. Sepertinya aku memang harus meyakinkan dia bahwa itu bukan salah Eyang Uti yang berpikir dia adalah Marsya."Biyung, hari ini aku dan Meisya, eh ... maksudku Marsya mau pergi jalan-jalan.""Ke mana?""Mau cari udara segar, Biyung. Arda udah lama nggak jalan-jalan di kampung ini. Boleh, ya?"Eyang Uti tampak berpikir, sepertinya ada yang ia pertimbangkan. "Tapi sebelum Ashar kalian sudah pulang."Yes! Akhirnya kudapatkan ijin langsung dari Eyang Uti, jadi tak perlu menjawab pertanyaan yang pastinya akan dilontarkan oleh Pak Joyo."Iya, Biyung. Arda janji sebelum Ashar kami sudah pulang." Aku mengurai senyum."Sya, ingat apa yang menjadi larangan Bapak." Pak Joyo mencoba mengingatkan Meisya bahwa ia tak boleh berkunjung ke daerah tebing Batu Seribu dan juga telaga keramat itu.Aku dan Meisya saling bersitatap, melalui isyarat mata kuhantarkan kode agar ia mengiyakan saja. Seperti rencana yang t
Peristiwa aneh yang baru saja terjadi membuat jantung ini berpacu lebih kencang. Rasa cemas dan khawatir sungguh menyelimuti hati dan pikiran.Jujur, tangan dan kaki ini bergetar karena ketakutan yang teramat sangat. Kusadari betul bahwa apa yang aku hadapi bukanlah sesuatu yang wajar, melainkan sesuatu yang tak kasat mata.Berulang kali kuusap wajah dan menghempaskan napas dengan kasar. Aku yakin saat ini arwah Marsya mengikuti kami karena beberapa kali desir angin itu kurasakan menghembus ke tengkuk.Dengan diam-diam tanganku meraih ponsel dari dalam tas dan menyalakan kamera, kuarahkan ke belakang untuk melihat apakah ada sesuatu di belakang aku duduk. Dan ternyata ....Sontak aku terperanjat. Meisya yang melihat ekspresi terkejut luar biasa yang keluar dari diriku segera menoleh ke arahku dengan pandangan heran."Kamu kenapa, Mas?"Kuangsurkan kepala mendekat ke telinga Meisya dan mencoba membisikkan sesuatu. "Dia ada di jok belakang.""Siapa?" tanya gadis di sampingku yang belum
Dengan hati kesal aku turun dari mobil dan menggendong ransel kembali. Rasa kecewa karena gagal menjalankan rencana hari ini membuat hati ini sangat mendongkol."Lho, belum juga Dzuhur kalian sudah pulang? Nggak jadi jalan-jalannya?" tanya Pak Joyo yang melihat kedatangan kami."Nggak, Pak. Tadi hanya pengen lihat alam sekitar sini saja. Tapi Mas Darren minta balik karena kepalanya sakit lagi." Meisya mencoba mencari alasan."Eh, iya, Pak. Kepala saya sakit, mungkin butuh istirahat karena kecapaian perjalanan kemarin." Aku sengaja mendukung kebohongan Meisya."Apa mau ke dokter, Nak Darren?""Nggak usah, Pak. Saya hanya butuh istirahat saja.""Ya, sudah ... Nak Darren istirahat dulu. Nanti biar Meisya buatkan wedang jahe alang-alang untuk menyegarkan tubuh Nak Darren"Aku hanya mengangguk dan berpamitan untuk masuk ke dalam rumah. Begitu pun Pak Jo, ia langsung ikut berpamitan untuk menyusulku ke kamar dengan alasan ingin merawatku.Padahal aku tahu, ia sebenarnya sedang takut dengan
Seperti rencana yang telah tersusun rapi dari kemarin, maka pagi ini aku dan Meisya meminta ijin untuk pamit jalan-jalan lagi. Kali ini Pak Joyo tak tampak khawatir, mungkin karena kemarin aku pulang lebih cepat dari rencana semula.Hari ini tujuan pertama kami adalah Sekolah Menengah Pertama tempat Marsya dan Arda pernah satu sekolahan. Pak Jo kali ini aku tugaskan untuk berperan sebagai paman atau kerabat dari keluarga Marsya.Sedangkan aku dan Meisya akan berperan sebagai Arda dan Marsya, dandanan yang sengaja kami buat agar terlihat lebih dewasa telah kami persiapkan saat tadi di mobil. Beruntung Meisya kemarin telah menghubungi Mbak Tuti, perias yang cukup terkenal di wilayah sini."Mas, apa rencana kita ini akan berhasil? Bagaimana kalau mereka tahu cerita Marsya yang sudah meninggal?" tanya Meisya yang sepertinya belum yakin."Gimana, Pak Jo? Apa perlu kita ubah rencana?" Aku coba minta pertimbangan dengan pria paruh baya yang duduk di belakang kemudi.Tampak ia berpikir, dahi
Aku mendekat untuk melihat. Di peta itu, ada ruangan kecil yang belum pernah kami temukan sebelumnya. Di sampingnya tertulis dengan tinta merah yang memudar, “Di sini disimpan jantung dan hati korban ritual.”Hatiku berdegup kencang. “Jadi, ini tempat di mana Marsya dan korban lainnya dijadikan tumbal,” gumamku, suaraku serak. Pikiran tentang Marsya, yang telah lama meninggal namun tubuhnya masih dimanfaatkan dalam ritual keji, membuat seluruh tubuhku menegang. Kami sudah berhasil mengalahkan penjaga bayangan, tetapi perjalanan ini jelas belum berakhir. Sesuatu yang lebih gelap dan jahat masih mengintai, dan kami harus segera menemukannya sebelum terlambat.Meisya memandangku dengan mata yang berkaca-kaca. "Darren, kita harus segera mengakhiri ini. Kita tidak bisa membiarkan warisan kegelapan ini terus berlanjut."Aku mengangguk, merasa semangat baru berkobar dalam diriku. "Kita harus menghentikan mereka. Apa pun yang terjadi."Pak Djata mendekat, memperhatikan peta itu dengan tajam.
Aku, Meisya, dan Pak Djata berdiri di tengah ruangan yang nyaris tenggelam dalam kegelapan. Lilin-lilin kecil di sekeliling kami sudah hampir habis, hanya menyisakan nyala lemah yang tak mampu mengusir seluruh kegelapan. Di hadapan kami, bayangan samar bergerak mendekat, mendesis seperti ular yang mengintai mangsanya. Ruangan ini tiba-tiba terasa semakin sempit, udara menebal, dan jantungku berdetak kencang.“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku lagi, meskipun suaraku hampir tenggelam oleh ketegangan yang menggulung di udara.Bayangan itu berhenti beberapa langkah dari kami, perlahan-lahan berubah menjadi lebih jelas, lebih nyata. Wujudnya tertutup jubah hitam panjang, matanya merah menyala seperti bara api yang mengintip dari balik tudung yang menutupi wajahnya.“Aku adalah penjaga terakhir rahasia Dr. Wirawan,” suaranya dingin, mengalir seperti angin malam yang membawa ancaman. “Kalian tak seharusnya berada di sini.”Pak Djata, meskipun sudah berusia lanjut, berdiri tegak di depan kami, t
Pintu ruangan terbuka dengan sendirinya, seolah-olah kekuatan yang menghalanginya telah lenyap. Kami melangkah keluar, disambut oleh pria yang tadi mengabari kami. Raut wajahnya memperlihatkan ketidaktenangan, ternyata ia menunggu dengan cemas di luar."Apa yang terjadi di dalam?" tanyanya dengan nada khawatir.Aku tersenyum lelah. "Kami berhasil mengusir bayangan Dr. Wirawan," jawabku dengan semangat yang terpancar dari suaraku.Mendengar perkataanku, lelaki itu menghela napas lega. Kulit wajahnya yang tadi tegang mulai melonggar, dan matanya yang sebelumnya suram kini berbinar dengan cahaya harapan yang sudah lama hilang. Rasanya seperti aku bisa melihat beban bertahun-tahun yang perlahan terangkat dari pundaknya."Syukurlah ... akhirnya masa kelam rumah sakit ini akan berakhir," ujarnya, suaranya bergetar. "Sudah lebih dari dua puluh tahun kami hidup dalam ketakutan."Namun, di tengah kelegaan yang kami rasakan, ada perasaan ganjil yang tak bisa kuabaikan. Meski bayangan gelap itu
"Kalian pikir ini sudah berakhir?" katanya dengan suara dingin yang membuat darahku membeku.Aku dan Meisya saling pandang dengan cemas. Pria itu adalah Dr. Wirawan, atau setidaknya bayangannya yang masih tersisa di tempat ini. "Kalian berhasil mengusir bayangan gelap, tapi tidak mengusirku," lanjut Dr. Wirawan, suaranya penuh kebencian. "Aku adalah bagian dari rumah sakit ini. Selama rahasiaku belum terungkap sepenuhnya, aku akan terus ada."Aku menatap Dr. Wirawan dengan tegang. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyaku, mencoba mencari cara untuk mengatasi situasi ini.Dr. Wirawan tersenyum dingin, senyum yang penuh dengan kepuasan jahat. "Aku ingin melanjutkan apa yang telah kumulai. Kalian tidak bisa menghentikan aku."Meisya, dengan keteguhan yang luar biasa, melangkah maju. "Kita sudah datang sejauh ini. Kami tidak akan mundur."Pak Djata yang telah berdiri di belakang kami, maju ke depan. "Kalian tidak sendirian," katanya dengan suara tegas. "Kami akan melawan ini bersama."
Nyai Kambang mengangguk pelan. "Aku tahu apa yang kalian hadapi. Dr. Wirawan adalah musuh lama. Dia menggunakan ritual-ritual kuno untuk menguasai kekuatan gelap. Tapi ada cara untuk menyibak misterinya." Dia kemudian berjalan ke sudut ruangan, tempat sebuah rak kayu tua berdiri. Rak itu penuh dengan benda-benda yang tampak antik: botol-botol kaca berisi ramuan, patung-patung kecil dari kayu, dan beberapa gulungan kain yang tampak sudah berusia puluhan tahun. Nyai Kambang menarik napas dalam-dalam sebelum meraih sebuah buku tua yang tergeletak di rak paling atas. Buku itu tampak sangat tua, dengan sampul kulit yang sudah mengelupas dan tepi-tepi halaman yang menguning. Ada simbol-simbol aneh yang terukir di sampulnya, dan begitu Nyai Kambang menyentuhnya, ruangan seakan dipenuhi energi mistis. Cahaya lilin di ruangan itu bergetar, dan aroma dupa semakin menyengat. "Ini," kata Nyai Kambang dengan suara yang lebih lembut, "ini adalah buku yang berisi mantra-mantra dan petunjuk untu
Dengan tekad yang semakin kuat setelah mengalahkan bayangan gelap itu, aku dan Meisya melanjutkan pencarian. Aku tahu bahwa pertempuran yang baru saja kami menangkan hanyalah permulaan dari misteri yang lebih dalam, selebihnya adalah sesuatu yang mungkin saja jauh lebih mengerikan.*Keesokan paginya, kabut tipis masih menyelimuti desa di sekitar rumah sakit saat aku dan Meisya melangkah dengan hati-hati di jalan berbatu. Matahari baru saja terbit, memancarkan cahaya oranye keemasan yang menerobos pepohonan rindang. Suara burung berkicau terdengar sayup-sayup, seolah-olah menyambut hari baru dengan harapan yang rapuh.Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menitan, langkah kami berhenti di depan sebuah rumah tua yang terletak di ujung desa. Rumah dengan atap yang mulai lapuk dan dinding-dindingnya yang dipenuhi lumut. Sejenak aku menoleh ke arah Meisya. Wajah gadis itu menyiratkan ketegangan yang mulai menghinggapi pikiran. Segera kugenggam tangannya, mencoba menguatkan keberanian ga
Dengan pertanyaan yang menggelitik pikiran dan kekhawatiran yang semakin mendalam, Darren dan Meisya memutuskan untuk mengumpulkan semua petunjuk yang mereka temukan dan menyusunnya dengan cermat. Mereka menyadari bahwa untuk mengungkap rahasia gelap yang terkubur di dalam rumah sakit itu, mereka perlu menghubungkan setiap petunjuk dan mencari pola yang tersembunyi di baliknya.Sementara itu, Pak Djata menjelaskan kepada mereka bahwa untuk menghadapi kekuatan gelap tersebut, mereka perlu memperkuat keberanian dan kesatuan mereka. Pak Djata juga menyarankan mereka untuk mencari bantuan dari orang-orang yang ahli dalam hal supranatural atau okultisme, untuk mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang kekuatan yang mereka lawan.Darren dan Meisya pun mulai mencari tahu lebih banyak tentang sejarah rumah sakit itu dan orang-orang yang pernah terlibat di dalamnya. Mereka bertemu dengan orang-orang tua di desa sekitar, yang menceritakan kisah-kisah mistis yang berkaitan dengan rumah sakit
Namun, saat kami mencoba untuk melangkah lebih jauh, terdengar suara langkah kaki yang mendekati dari arah belakang. Kami berdua menoleh cepat dan terkejut saat melihat seseorang muncul di balik lorong yang gelap. Bayangan itu semakin mendekat, dan kami bisa melihat wajah yang penuh dengan kebencian—bayangan Arda."Kalian tidak akan pergi dari sini," ucap bayangan Arda dengan suara menggema, mengirimkan getaran menakutkan ke dalam tulang kami.Meisya berpegangan pada lenganku dengan kuat, matanya memancarkan ketakutan yang tak tersembunyi. "Darren, apa yang harus kita lakukan?"Hatiku berdegup kencang, tetapi aku mencoba untuk tetap tenang. "Kita harus mencari cara untuk keluar dari sini. Ayo, kita cari pintu darurat atau jalan lain untuk melarikan diri."Namun, sebelum kami bisa bergerak lebih jauh, bayangan Arda sudah berada di depan kami, menghalangi jalan kami. Matanya memancarkan aura kegelapan yang membuat bulu kudukku merinding."Kalian tidak bisa kabur dari sini. Kalian adalah
Setelah bibir Pak Djata mengatup rapat dan kepala mengangguk, angin yang cukup keras tadi pun berhenti. Perlahan Pak Djata membuka mata.Pak Djata menarik napas pelan, lalu membuangnya perlahan juga. Dia lakukan hingga beberapa kali sampai dirasa keadaan batinnya stabil kembali.Pak Djata akhirnya membuka mata dan melanjutkan ceritanya dengan nada serius, seolah dia merasa bertanggung jawab untuk memberi tahu kami tentang kebenaran yang tersembunyi."Hanya saja, Darren dan Meisya, saat aku menurunkan jenazah Marsya dari pohon, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras dari dalam kuburannya. Suara itu begitu nyaring dan menggetarkan hati, seakan memohon agar Marsya tidak dikuburkan.""Suara apa itu, Pak?" tanyaku dengan penuh penasaran."Saya yakin itu suara Marsya sendiri, memohon agar jiwanya tidak diperlakukan secara tidak layak. Karena itulah, saya bertekad untuk memenuhi permintaannya dengan menyelidiki lebih jauh.""Apa yang Anda temukan, Pak?" Meisya ikut bertanya, wajahnya penuh