Seperti rencana pasangan itu kemarin, hari ini Safiyya dan Nalen akan berangkat ke Jogja. Tak lupa mereka juga mengajak Maira dan yang lain ke sana. Bahkan semua biaya akomodasi ditanggung oleh Nalen karena memang mereka akan menginap di rumah laki-laki itu.Safiyya terlihat cantik dengan terusan crinkle berwarna peach berpadu hijab pashmina hitam. Ia dan semua sahabatnya sedang menunggu seseorang."Ini kita nunggu siapa lagi, sih, Saf?" tanya Maira tak sabaran.Tak berapa lama Yusuf terlihat datang sambil memyeret kopernya. Kehadiran laki-laki itu membuat jantung Maira tiba-tiba berdetak."Kenapa Yusuf harus ikut, sih, Saf?" gerutu Maira kesal. Pasalnya kemarin Safiyya bilang Yusuf tak bisa pergi."Emang kenapa, Mbak? Kok kayaknya Mbak Maira ketus mulu dari kemarin sama Mas Yusuf?" ujar Gibran heran. Sebab tak sekali dua kali ia melihat mereka bertengkar.Ucapan Maira juga dihadiahi lirikan kesal Felis. "Bener kata Gibran. Kenapa sih sewot mulu sama Pak Yusuf? Toh dia ikut juga karen
Sekitar satu setengah jam, akhirnya Safiyya dan Nalen sampai di kota Jogja. Pak Paijo dan bu Sumi, sepasang suami istri yang bertugas menjaga rumah itu sudah menunggu kedatangan mereka di sana."Selamat datang di rumah ini lagi, Mas Nalen, Non Safiyya," ujar Paijo ketika Nalen dan Safiyya turun."Halo, Jo, Kalian apa kabar? Akhirnya setelah sekian lama kita bisa bertemu lagi." Nalen membalas sapaan mereka dengan perasaan bahagia, lalu memeluk Paijo yang memang seumuran dengannya. Dulu ketika Nalen kecil ia sering sekali bermain dengan Paijo."Kamu sudah menyiapkan kamar untuk mereka semua, kan?" ujar Safiyya ketika ia sudah melepas pelukan dengan Sumi."Sudah, Non. Mari silahkan masuk," ujar Sumi pada semua sahabat Safiyya.Paijo terdiam saat matanya menangkap sosok Brian ikut turun. "Mis Anna?"Anna hanya menyunggingkan senyum kaku. Ia menatap Nalen was-was, karena laki-laki itu kini tengah menatap ke arahnya penasaran."Kamu kenal Anna, Jo?"Tubuh Anna menegang saat Nalen bertanya d
Yusuf berjalan dengan gontai memasuki rumah Nalen. Begitu ia baru mencapai pintu depan, sebuah obrolan terdengar samar-samar. Ia mencari sumber suara yang ternyata berasal dari percakapan Anna dan seorang laki-laki berkulit sawo matang. Dari gesturnya Anna seperti tengah memarahi laki-laki itu. Yusuf menduga orang yang bersama Anna adalah pekerja di rumah ini.Tak ingin ikut campur, Yusuf pun akhirnya memilih masuk ke dalam rumah. Jam sudah menunjukan pukul empat sore saat ia sampai ke sana. Begitu mengucap salam, semua orang ternyata tengah berkumpul di ruang tengah."Kamu baru sampai atau mampir dulu ke rumah Maira?" tegur Safiyya."Paling juga mampir ke rumah Maira. Lihat aja tuh rantang di tangannya," timpal Nalen kemudian, sambil menunjuk rantang putih yang ditenteng Yusuf.Pasangan suami istri itu tak sadar bahwa kata-kata mereka membuat mood Felis berubah seketika. Wanita itu langsung pergi dari sana karena kesal.Safiyya yang baru menyadari itu pun merasa tak enak hati. "Fel,
"Jadi maksud kamu mengajak Anna ke Jogja adalah demi mencari tahu keterlibatannya dalam kecelakaan yang menewaskan Alice dan ayah kamu?" Maira bertanya pada Safiyya. Keduanya kini tengah bicara di taman belakang rumah keluarga Firdaus. Sedang Nalen tengah bicara bisnis dengan Hizam.Safiyya mengangguk yakin. "Ya, aku yakin sekali bahwa penyebab kecelakaan itu adalah Anna. Ia sengaja ingin membunuh Alice tanpa memprediksi bahwa Nalen akan ikut di mobilnya.""Tapi apa kamu yakin Anna ikut ke Indonesia?""Itu lah yang sedang aku cari tahu. Aku harus menemukan orang yang ditemui Anna sebelum Alice meninggal.""Kamu harus lebih berhati-hati. Aku akan berusaha membantumu juga. Semoga kedok Anna cepat terbongkar. Tapi kenapa kamu nggak memberikan saja semua bukti yang Mark serahkan?""Semuanya masih kurang, Mai. Dokumen itu hanya berisi tentang latar belakang Anna dan alasan ayah angkatnya selalu membatasi pergaulan Anna. Bahkan bersikap sangat ketat dan tak segan menghukum Anna. Semua hal y
Safiyya keluar dari kamarnya karena ingin mengambil minum. Jam sudah menunjukan pukul dua belas ketika samar-samar ia mendengar suara benda berdenting di area dapur. Dengan ragu dan jantung yang mulai berpacu, ia mengendap ke arah sana untuk memastikan.Safiyya menautkan alis ketika mendapati lampu dapur menyala. "Siapa!" serunya kemudian. Lalu munculah Anna yang baru saja berjongkok untuk mengambil sesuatu di kulkas."Anna," gumam Safiyya heran."Hai, aku ke dapur untuk mengambil beberapa cemilan. Kamu mau?" tawar wanita itu sambil menunjukan cemilan yang kemarin ia bawa.Safiyya menggeleng lalu berjalan untuk mengambil gelas besar. "Aku hanya ingin mengambil air," ujarnya sambil menuang air dari dispenser."Oh, ya. Aku penasaran ingin menanyakan sesuatu sama kamu, An," sambung Safiyya. Ia lalu berjalan menghampiri Anna dan duduk tepat di depan wanita itu."Menanyakan apa?" Anna menjawab sambil memakan cemilannya."Kamu dan Paijo kelihatannya akrab sekali. Kamu pasti dulu sering data
Safiyya menatap bangunan pondok pesantren di depannya dengan senyum terkembang. Setelah sekian lama ia akhirnya bisa kembali lagi ke tempat ini. Walau sudah banyak yang berubah tapi suasananya masih sama seperti dulu. Ramai dengan beberapa anak didik yang tengah belajar."Assalamualaikum," sapa Nalen kemudian.Tak berapa lama, seorang wanita seumuran Gibran yang ia tahu adalah anak ustaz Halim, keluar. "Mbak Safiyya," gumam wanita berhijab itu."Hana." Safiyya tak kalah kaget, sebab dulu terakhir kali bertemu Hana ketika wanita itu masih duduk di bangku SMA."Masya Allah, kamu cantik sekali," puji Maira pada wanita berhidung mancung dengan kulit putih itu.Hana tersenyum malu lalu memeluk Safiyya. "Mbak juga cantik." Keduanya lalu sama-sama tersenyum saat mengurai pelukan."Ah, kedatangan Mbak ke sini ingin mengunjungi Ustaz Halim. Apa beliau ada?"Hana diam sejenak mendengar pertanyaan Safiyya, ia menatap sedih wanita di depannya. "Ayo masuk dulu, Mbak. Kita bicara di dalam," ujar Ha
Setelah puas mengobrol dengan Bu Tati, Safiyya dan Nalen pun memilih melanjutkan acara jalan-jalan mereka, menyusuri seluruh sudut kota Jogja dengan tangan saling bertaut hingga mereka melewati tempat ia dan Nalen pertama kali bertemu.Safiyya menghentikan langkah, ia menatap sebuah gang kecil di mana dulu Nalen menolongnya saat ia di-bully. Tempat itu memang sudah lebih ramai dibanding saat ia kecil."Ada apa, Sayang?" tegur Nalen, karena Safiyya tiba-tiba berhenti dan termenung sambil menatap ke arah gang. Nalen pun reflek mengikuti arah pandang istrinya. "Kamu ingat nggak pertama kali kita bertemu?" Safiyya bertanya tanpa mengalihkan perhatian dari gang itu. Di mana di sana ada beberapa anak sekolah tengah nongkrong."Di Rumah sakit, itu kali pertama aku melihatmu. Aku masih ingat jelas tatapan matamu yang penuh kebencian."Jawaban Nalen membuat Safiyya tersenyum samar. Ia menatap suaminya sejenak. "Kamu yakin nggak ingat pada gadis SMA yang kamu tolong saat dia di-bully di sini?"
Gibran menatap bangunan dua lantai di depannya dengan perasaan tak menentu. Ia menimang-nimang kembali apa harus mengetuk pintu rumah atau tidak. Perasaannya benar-benar kacau.Berbagai pikiran ruwet bersarang di otaknya, jika dia mengetuk pintu dan Hana ternyata sudah menikah dengan Indra, apa yang harus ia lakukan? Terakhir kali ia mendengar kabar dari temannya, Indra akan melamar Hana, sebab dari cerita teman-temannya, Indera dan Hana memang sudah berpacaran. Gibran juga tak paham apa yang sebenarnya ia lakukan di sana. Sebab setelah mendengar cerita dari kakaknya, tanpa pikir dua kali ia langsung mendatangi Hana.Ternyata benar kata orang, bahwa cinta pertama adalah cinta yang tak mudah dilupakan. Begitu pula apa yang dirasakannya pada Hana. Meski bertahun-tahun Gibran mencoba melupakan wanita berhijab itu, nyatanya ia tak bisa. Bayang-bayang Hana selalu hadir dalam ingatan. Bahkan ia masih setia memantau akun sosial media Hana hanya untuk melihat aktifitas gadis itu.Gibran akhi