Safiyya keluar dari kamarnya karena ingin mengambil minum. Jam sudah menunjukan pukul dua belas ketika samar-samar ia mendengar suara benda berdenting di area dapur. Dengan ragu dan jantung yang mulai berpacu, ia mengendap ke arah sana untuk memastikan.Safiyya menautkan alis ketika mendapati lampu dapur menyala. "Siapa!" serunya kemudian. Lalu munculah Anna yang baru saja berjongkok untuk mengambil sesuatu di kulkas."Anna," gumam Safiyya heran."Hai, aku ke dapur untuk mengambil beberapa cemilan. Kamu mau?" tawar wanita itu sambil menunjukan cemilan yang kemarin ia bawa.Safiyya menggeleng lalu berjalan untuk mengambil gelas besar. "Aku hanya ingin mengambil air," ujarnya sambil menuang air dari dispenser."Oh, ya. Aku penasaran ingin menanyakan sesuatu sama kamu, An," sambung Safiyya. Ia lalu berjalan menghampiri Anna dan duduk tepat di depan wanita itu."Menanyakan apa?" Anna menjawab sambil memakan cemilannya."Kamu dan Paijo kelihatannya akrab sekali. Kamu pasti dulu sering data
Safiyya menatap bangunan pondok pesantren di depannya dengan senyum terkembang. Setelah sekian lama ia akhirnya bisa kembali lagi ke tempat ini. Walau sudah banyak yang berubah tapi suasananya masih sama seperti dulu. Ramai dengan beberapa anak didik yang tengah belajar."Assalamualaikum," sapa Nalen kemudian.Tak berapa lama, seorang wanita seumuran Gibran yang ia tahu adalah anak ustaz Halim, keluar. "Mbak Safiyya," gumam wanita berhijab itu."Hana." Safiyya tak kalah kaget, sebab dulu terakhir kali bertemu Hana ketika wanita itu masih duduk di bangku SMA."Masya Allah, kamu cantik sekali," puji Maira pada wanita berhidung mancung dengan kulit putih itu.Hana tersenyum malu lalu memeluk Safiyya. "Mbak juga cantik." Keduanya lalu sama-sama tersenyum saat mengurai pelukan."Ah, kedatangan Mbak ke sini ingin mengunjungi Ustaz Halim. Apa beliau ada?"Hana diam sejenak mendengar pertanyaan Safiyya, ia menatap sedih wanita di depannya. "Ayo masuk dulu, Mbak. Kita bicara di dalam," ujar Ha
Setelah puas mengobrol dengan Bu Tati, Safiyya dan Nalen pun memilih melanjutkan acara jalan-jalan mereka, menyusuri seluruh sudut kota Jogja dengan tangan saling bertaut hingga mereka melewati tempat ia dan Nalen pertama kali bertemu.Safiyya menghentikan langkah, ia menatap sebuah gang kecil di mana dulu Nalen menolongnya saat ia di-bully. Tempat itu memang sudah lebih ramai dibanding saat ia kecil."Ada apa, Sayang?" tegur Nalen, karena Safiyya tiba-tiba berhenti dan termenung sambil menatap ke arah gang. Nalen pun reflek mengikuti arah pandang istrinya. "Kamu ingat nggak pertama kali kita bertemu?" Safiyya bertanya tanpa mengalihkan perhatian dari gang itu. Di mana di sana ada beberapa anak sekolah tengah nongkrong."Di Rumah sakit, itu kali pertama aku melihatmu. Aku masih ingat jelas tatapan matamu yang penuh kebencian."Jawaban Nalen membuat Safiyya tersenyum samar. Ia menatap suaminya sejenak. "Kamu yakin nggak ingat pada gadis SMA yang kamu tolong saat dia di-bully di sini?"
Gibran menatap bangunan dua lantai di depannya dengan perasaan tak menentu. Ia menimang-nimang kembali apa harus mengetuk pintu rumah atau tidak. Perasaannya benar-benar kacau.Berbagai pikiran ruwet bersarang di otaknya, jika dia mengetuk pintu dan Hana ternyata sudah menikah dengan Indra, apa yang harus ia lakukan? Terakhir kali ia mendengar kabar dari temannya, Indra akan melamar Hana, sebab dari cerita teman-temannya, Indera dan Hana memang sudah berpacaran. Gibran juga tak paham apa yang sebenarnya ia lakukan di sana. Sebab setelah mendengar cerita dari kakaknya, tanpa pikir dua kali ia langsung mendatangi Hana.Ternyata benar kata orang, bahwa cinta pertama adalah cinta yang tak mudah dilupakan. Begitu pula apa yang dirasakannya pada Hana. Meski bertahun-tahun Gibran mencoba melupakan wanita berhijab itu, nyatanya ia tak bisa. Bayang-bayang Hana selalu hadir dalam ingatan. Bahkan ia masih setia memantau akun sosial media Hana hanya untuk melihat aktifitas gadis itu.Gibran akhi
Gibran keluar dari mobil dengan langkah tergesa. Tanpa menunggu lagi ia pun memilih masuk untuk menemui kakaknya."Mbak!" Suara Gibran menggema ke penjuru rumah dan mengagetkan semua orang di sana. Ia lalu menemukan semua penghuni tengah berbincang di ruang tengah termasuk Anna."Ada apa, sih, Gibran, teriak-te-""Aku ingin melamar Hana." Gibran memotong ucapan kesal Safiyya, perkataannya kontan mengagetkan semua orang."Kamu jangan bercanda, Gibran. Ini nggak lucu. Kenapa tiba-tiba seperti ini? Kami tentu nggak memiliki persiapan apapun jika harus melamar Hana dadakan seperti ini. Kita lusa sudah harus pulang." Tegas Safiyya. Ia bukan tak mau melamar Hana untuk adiknya. Ia hanya ingin mempersiapkan semuanya dengan baik."Aku hanya per-""Ayo kita bicara di ruang kerja saja," potong Nalen. Ia menyadari ini adalah masalah keluarga, jadi mereka butuh privasi untuk bicara serius dengan Gibran.Mau tak mau Gibran dan Safiyya pun mengangguk lalu mengikuti Nalen ke ruang kerja bersama Nafis
"Aku benar-benar nggak bisa berhenti tertawa saat mengingat ekspresi bapak-bapak tadi. Bisa-bisanya dia bersikap arogan di depan pemilik Akhtar Grup. Dia pasti akan pingsan kalau tahu siapa Pak Nalen sebenarnya." Silvia terkekeh geli sambil berjalan ke dalam rumah. Di sampingnya Felis hanya tersenyum samar. Mood-nya untuk sekedar tersenyum saja sungguh tak ada. Meski begitu ia sangat menghargai Silvia yang selalu berusaha menghibur sejak Yusuf menolak pernyataan cintanya."Ngomong-ngomong kenapa rumah ini sepi? Bukankah harusnya ada Paijo dan istrinya? Temanmu, Brian, juga ternyata nggak jadi ikut, kan, Ann?" tanya Maira yang berjalan di samping Anna.Mendengar pertanyaan itu, wajah Anna tiba-tiba berubah pucat. Ia seakan tak bisa menjawab pertanyaan Maira. "A-aku kurang tahu. Tadi dia bilang sedang nggak enak badan. Mungkin masih di kamarnya." Anna menjawab gugup. Melihat gelagat aneh wanita bermata tajam itu, Maira pun menautkan alis. Meski begitu ia tak ingin suudzon lebih dulu."
"Aku minta maaf, Fel, kalau lagi-lagi menyakitimu. Kamu tahu aku nggak pernah bermaksud seperti ini." Maira berkata dari ambang pintu. Sedang Felis sudah duduk di tepi ranjangnya dengan kepala tertunduk sedih. Wanita itu mengusap sudut matanya yang berair ketika mendapati Maira di sana."Aku yang harusnya minta maaf, karena sikap egois dan kekanakan ku persahabatan kita harus renggang seperti ini. Harusnya aku nggak pernah memaksakan perasaan ini. Sudah tahu Pak Yusuf nggak menyukai aku." Felis tersenyum miris lalu menatap Maira yang masih berdiri di ambang pintu.Tatapan terlukanya membuat Maira merasa sangat bersalah. Wanita berhijab tersebut akhirnya memberanikan diri menghampiri Felis. Ia duduk di samping wanita dengan pama tidur tersebut. Tanpa menunggu persetujuan Felis, Maira pun memeluk sang sahabat."Maaf karena aku nggak memiliki kuasa untuk mengatur perasaan orang lain. Seandainya bisa aku pasti nggak akan mau ini terjadi. Aku sangat memahami perasaanmu, Fel. Karena aku jug
Safiyya menatap bagunan sederhana bercat warna krem di depannya. Berkali-kali ia mengetuk pintu rumah, tapi tak ada siapa pun yang menjawab. Padahal baru kemarin Paijo menghubungi Nalen untuk meminta izin menggunakan sepeda motornya di rumah. Sekarang tiba-tiba laki-laki berkepala botak itu seakan menghilang di telan bumi."Paijo, buka pintunya! Kita perlu bicara!" Nalen berseru sekali lagi. Ia menggedor pintu cukup keras hingga membuat beberapa orang tetanganga Paijo keluar."Mas, Mbak, si Paijo ndak di rumah. Dia sama istri dan anaknya tiba-tiba pamit pergi ke Surabaya, ke kampung halaman istrinya," ujar salah satu ibu dengan perawakan gemuk.Safiyya dan Nalen saling berpandangan. Kemudian keduanya mengalihkan perhatian pada ibu yang tadi bicara."Kalau boleh tahu, sejak kapan mereka pergi dan kenapa? Karena dua hari yang lalu dia masih datang ke rumah saya.""Sejak semalam, Pak. Saya kurang tahu alasan mereka pergi, karena terlihat tergesa-gesa. Tapi sebelumnya ada seorang laki-lak
Tiga bulan berlalu dari semua kekacauan hidup yang Safiyya alami. Wanita itu kini tengah menikmati kebahagiaan berlimpah. Terlebih keadaan Nalen pulih dengan cepat setelah melakukan banyak terapi. Kini keduanya tengah berbahagia untuk menanti kelahiran buah hati. Usia kandungan Safiyya kini sudah berusia enam bulan.Safiyya menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Gaun putih brokat dengan detail payet nan mewah bermodel mengembang, membalut tubuh Safiyya dengan pas. Hijab putihnya dipercantik dengan mahkota kecil di atas kepala. Penampilannya hari ini sungguh sangat menakjubkan.Safiyya tersenyum lebar lalu menarik nafas untuk menghilangkan kegugupan, mengingat hari ini acar resepsi pernikahannya akan segera digelar. Keduanya memang sepakat untuk mengundur rencana peresmian pernikahan mereka sampai Nalen benar-benar pulih. Seperti rencana terakhir kemarin, acara itu benar-benar digelar di Bali. Tepatnya di belakang cafe Nalen dengan latar danau Baratan dan pure-pure nan megah."Sayan
Safiyya menatap gundukan tanah merah di depannya dengan perasaan tak menentu. Di sampingnya Maira terus menenangkan wanita itu yang tampak sudah kelelahan. Pemakaman tersebut hanya dihadiri beberapa rekan kantor dan orang-orang yang kenal baik dengan Anna. Sedangkan Brian dikuburkan di samping makam Anna. Keduanyya meninggal dalam waktu bersamaan. Meski dengan kematian keduanya kasus kecelakaan Alice akhirnya tak diusut, Safiyya tetap merasa bersyukur. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah.Ya, hari ini Safiyya tengah berada di depan makam Anna dan Brian untuk mengantarkan mereka ke peristirahatan terakhir. Setelah perjuangan Anna selama beberapa hari, wanita itu akhirnya menyerah.Bersamaan dengan itu, Nalen juga dirawat di ruang ICU. Suaminya masih belum bangun hingga detik ini setelah menjalani oprasi."Ayo kita pulang. Anna sudah tenang di alam sana bersama Brian," ujar Maira sambil menuntun Safiyya menjauh dari pemakaman.Safiyya tak banyak bicara, sejak semua kejadian itu ia me
Safiyya terbangun subuh hari karena suara putrinya yang memanggil. Gadis kecil itu naik ke kasur empuk dimana di sana ada ibunya yang masih terlelap."Bunda, Papa pergi." Tiba-tiba Nafis berkata seperti itu sambil mengguncang tubuh Safiyya. Mendengar ucapan putri nya, Safiyya reflek bangun, ia mendapati tempat tidur di sampingnya sudah kosong. Wanita itu menundukkan kepala karena sedih. Firasatnya ternyata benar, Nalen pergi setelah mengucap salam perpisahan padanya semalam."Permisi, Bu."Bu Anni menginterupsi obrolan Safiyya dan putrinya, lalu masuk ke kamar. "Ada apa, Bu Ani?" tanya Safiyya dengan nada lemah, wajahnya terlihat pucat dan sembab karena terus menangis sejak malam tadi."Pak Nalen semalam menitipkan ini pada saya. Dia bilang maaf karena pergi dengan cara diam-diam. Beliau nggak mau melihat Ibu sedih dan menangis lagi." Bu Ani lalu menyodorkan sebuah surat pada Safiyya."Ibu tolong bawa Nafis keluar dulu, ya."Bu Ani pun mengangguk lalu membawa gadis kecil itu keluar ka
Seperti rencana kemarin, hari ini Nalen dan keluarga kecilnya berangkat lebih dulu ke Bali. Ia berusaha melakukan yang terbaik untuk melindungi keluarganya. Bukan tanpa alasan mengapa Nalen merasa khawatir dengan belum tertangkapnya Brian.Mark mengatakan pada Nalen beberapa minggu lalu, bahwa Brian pernah memiliki catatan buruk masalah kesehatan mental yang dia derita. Laki-laki itu meski lahir dari keluarga kaya, tapi keluarganya terlalu misterius untuk ditelusuri. Kemungkinan alasan Brian tinggal bersama neneknya di Australia, adalah karena latar belakang keluarganya.Mark hanya bisa membantu Nalen untuk menyelidiki sebatas itu. Dia bilang terlalu berisoko menelusuri lebih jauh keluarga Brian. Sebab Brian sudah lama memilih tinggal terpisah dengan keluarganya yang kaya dengan alasan penyembuhan. Neneknya lah yang mengasuh Brian sejak dia duduk di bangku sekolah menengah.Kenyataan itu semakin membuat Nalen ketakutan setiap hari. Terlebih ia pernah memiliki masalah dengan laki-laki
Safiyya menatap kondisi Anna dari jendela kaca besar di sebuah kamar rumah sakit. Wanita itu masih terbaring lemah di ruang ICU setelah dua hari ini dirawat. Safiyya kembali mengingat perkataan dokter yang menangani Anna waktu itu. Sebuah kalimat yang membuat hatinya seakan ikut tersayat."Wanita ini telah mengalami pemerkosaan yang sangat parah. Sekujur tubuhnya mengalami luka memar akibat pukulan yang sangat keras. Organ vitalnya pun telah dihancurkan dengan cara paling tak manusiawi. Saya tak yakin dia akan sadar dalam waktu dekat setelah siksaan yang ia terima. Beruntung dia masih kuat pergi jauh ke rumah Anda untuk meminta pertolongan. Jiak tidak saya tak yakin dia mampu bertahan dalam waktu tiga hari saja dengan kondisinya yang seperti ini."Dada Safiyya sesak membayangkan apa yang menimpanya dulu harus dialami pula oleh Anna. Meski Anna begitu jahat padanya, tapi hati nuraninya sebagai sesama wanita yang pernah mengalami nasib tragis itu, benar-benar ikut merasa sakit. Butuh wa
Anna membanting pintu dengan keras begitu ia masuk ke dalam rumah. Tatapan matanya menyiratkan kebencian dan amarah. "Hah, Brengsek! Bisa-bisanya mereka mentertawakan aku seperti tadi. Awas saja kalian, tunggu pembalasanku." Napas Anna naik turun karena teriakan itu. Bukan saja marah karena lelucon sahabat Safiyya. Ia juga marah karena wanita itu akhirnya mengandung anak Nalen. Jika sudah begitu semuanya akan semakin sulit."HAAAAAH!" Terlalu kuat teriakan itu hingga membuat nafas Anna kembali naik turun. Merasa sudah tak sanggup lagi menghadapi kesedihan dan rasa putus asa, Anna jatuh terduduk lalu suara tangisnya mulai terdengar memenuhi rumah itu.Haruskah ia menyerah sekarang atau berjuang hingga titik darah penghabisan? Kenapa cinta Nalen begitu sulit untuk digapai? Mengapa perjuangannya tak pernah sedikitpun dilihat olehnya? Memikirkan semua itu, mata Anna tiba-tiba menggelap karena dendam. "Jika aku tak bisa memilikimu, maka kamu tak akan bisa menjadi milik orang lain," ujarnya
Safiyya melangkahkan kaki memasuki kantor dengan langkah ringan. Sepanjang jalan ia tiba-tiba merasa semua orang memperhatikan dirinya."Mereka semua kenapa, Mas?" tanya Safiyya heran sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantor. Dimana orang-orang tengah memperhatikan dirinya dan Nalen.Mendengar ucapan istrinya, Nalen pun tersenyum. "Mereka pasti sudah tahu berita bahagia tentang kamu."Safiyya menautkan Alis mendengar ucapan suaminya. Ia masih tak paham karena Safiyya memang sudah dua hari ini tak berangkat ke kantor. Nalen terus memaksanya istirahat. Bahkan hari ini juga Nalen ingin Safiyya keluar dari kantor demi kesehatan bayinya sekaligus menjaga dari kemungkinan terburuk. Nalen khawatir kalau Anna bisa saja merencanakan mencelakakan dia dan bayinya di kantor ini. Mempertimbangkan semua itu Safiyya pun akhirnya setuju. Dan hari ini dia akan berpamitan pada semua teman baiknya di sini."Selamat, Bu Safiyya, atas kehamilannya," ucap seorang karyawan yang berpapasan dengan
Safiyya keluar dari ruang dokter dengan perasaan tak menentu. Ia menatap lagi kertas putih yang ia bawa dan membaca setiap huruf bertuliskan kalimat 'positiv' dengan seksama. Senyum Safiyya merekah kala mengingat Nalen pasti akan sangat bahagia jika tahu bahwa ia kini tengah mengandung anaknya.Maira yang melihat tingkah aneh sang sahabat akhirnya ikut mendekat. Ia pun penasaran. "Gimana hasilnya, Saf? Apa kata dokter?" Maira sungguh penasaran.Safiyya menatap Maira sejenak sebelum menjawab pertanyaannya, senyumnya merekah. "Aku hamil, Mai. Aku hamil!" seru Safiyya bahagia. Ia langsung memeluk Maira antusias. Bahkan sangking bahagianya ia seolah tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sana.Senyum Maira pun mengembang mendengar kabar itu. Ia ikut senang dengan kabar baik ini. "Selamat, Saf. Aku ikut bahagia mendengarnya. Nalen pasti seneng banget kalau tahu," ujar Maira tulus. Ia mengurai pelukan dan menatap Safiyya yang kini menitikan air mata karena terharu."Ayo kita pulang d
"Lepas, brengsek!" Anna berteriak pada beberapa orang yang coba menghajarnya ketika ia di jalan menuju rumah. Mereka terdiri dari dua orang laki laki dan dua perempuan.Mereka semua adalah teman-temannya yang hidup di jalanan dan bernasib kurang beruntung sepertinya. "Heh Anna, sekarang kau sombong sekali. Mentang-mentang bisa sekolah di tempat orang kaya!" Seru salah satu dari mereka. Sementara dua yang lain memegangi tangan wanita itu."Kalau kau ingin seperti aku, belajarlah agar otakmu bisa cerdas sepertiku, dasar sampah!" Balas Anna arogan.Mendengar hinaan itu, perempuan di depan Anna pun marah. Tanpa pikir dua kali mereka bergantian memukuli Anna. Ia sudah akan menyerah ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar menginterupsi."Apa yang kalian lakukan!" seru suara itu mendekat. Kehadirannya membuat anak-anak itu pun ketakutan, lalu membubarkan diri.Nalen mengalihkan perhatian pada Anna yang sekarang kondisinya sudah babak belur. "Kau tak apa?" tanya Nalen sambil membantu Anna ber