Gibran menatap bangunan dua lantai di depannya dengan perasaan tak menentu. Ia menimang-nimang kembali apa harus mengetuk pintu rumah atau tidak. Perasaannya benar-benar kacau.Berbagai pikiran ruwet bersarang di otaknya, jika dia mengetuk pintu dan Hana ternyata sudah menikah dengan Indra, apa yang harus ia lakukan? Terakhir kali ia mendengar kabar dari temannya, Indra akan melamar Hana, sebab dari cerita teman-temannya, Indera dan Hana memang sudah berpacaran. Gibran juga tak paham apa yang sebenarnya ia lakukan di sana. Sebab setelah mendengar cerita dari kakaknya, tanpa pikir dua kali ia langsung mendatangi Hana.Ternyata benar kata orang, bahwa cinta pertama adalah cinta yang tak mudah dilupakan. Begitu pula apa yang dirasakannya pada Hana. Meski bertahun-tahun Gibran mencoba melupakan wanita berhijab itu, nyatanya ia tak bisa. Bayang-bayang Hana selalu hadir dalam ingatan. Bahkan ia masih setia memantau akun sosial media Hana hanya untuk melihat aktifitas gadis itu.Gibran akhi
Gibran keluar dari mobil dengan langkah tergesa. Tanpa menunggu lagi ia pun memilih masuk untuk menemui kakaknya."Mbak!" Suara Gibran menggema ke penjuru rumah dan mengagetkan semua orang di sana. Ia lalu menemukan semua penghuni tengah berbincang di ruang tengah termasuk Anna."Ada apa, sih, Gibran, teriak-te-""Aku ingin melamar Hana." Gibran memotong ucapan kesal Safiyya, perkataannya kontan mengagetkan semua orang."Kamu jangan bercanda, Gibran. Ini nggak lucu. Kenapa tiba-tiba seperti ini? Kami tentu nggak memiliki persiapan apapun jika harus melamar Hana dadakan seperti ini. Kita lusa sudah harus pulang." Tegas Safiyya. Ia bukan tak mau melamar Hana untuk adiknya. Ia hanya ingin mempersiapkan semuanya dengan baik."Aku hanya per-""Ayo kita bicara di ruang kerja saja," potong Nalen. Ia menyadari ini adalah masalah keluarga, jadi mereka butuh privasi untuk bicara serius dengan Gibran.Mau tak mau Gibran dan Safiyya pun mengangguk lalu mengikuti Nalen ke ruang kerja bersama Nafis
"Aku benar-benar nggak bisa berhenti tertawa saat mengingat ekspresi bapak-bapak tadi. Bisa-bisanya dia bersikap arogan di depan pemilik Akhtar Grup. Dia pasti akan pingsan kalau tahu siapa Pak Nalen sebenarnya." Silvia terkekeh geli sambil berjalan ke dalam rumah. Di sampingnya Felis hanya tersenyum samar. Mood-nya untuk sekedar tersenyum saja sungguh tak ada. Meski begitu ia sangat menghargai Silvia yang selalu berusaha menghibur sejak Yusuf menolak pernyataan cintanya."Ngomong-ngomong kenapa rumah ini sepi? Bukankah harusnya ada Paijo dan istrinya? Temanmu, Brian, juga ternyata nggak jadi ikut, kan, Ann?" tanya Maira yang berjalan di samping Anna.Mendengar pertanyaan itu, wajah Anna tiba-tiba berubah pucat. Ia seakan tak bisa menjawab pertanyaan Maira. "A-aku kurang tahu. Tadi dia bilang sedang nggak enak badan. Mungkin masih di kamarnya." Anna menjawab gugup. Melihat gelagat aneh wanita bermata tajam itu, Maira pun menautkan alis. Meski begitu ia tak ingin suudzon lebih dulu."
"Aku minta maaf, Fel, kalau lagi-lagi menyakitimu. Kamu tahu aku nggak pernah bermaksud seperti ini." Maira berkata dari ambang pintu. Sedang Felis sudah duduk di tepi ranjangnya dengan kepala tertunduk sedih. Wanita itu mengusap sudut matanya yang berair ketika mendapati Maira di sana."Aku yang harusnya minta maaf, karena sikap egois dan kekanakan ku persahabatan kita harus renggang seperti ini. Harusnya aku nggak pernah memaksakan perasaan ini. Sudah tahu Pak Yusuf nggak menyukai aku." Felis tersenyum miris lalu menatap Maira yang masih berdiri di ambang pintu.Tatapan terlukanya membuat Maira merasa sangat bersalah. Wanita berhijab tersebut akhirnya memberanikan diri menghampiri Felis. Ia duduk di samping wanita dengan pama tidur tersebut. Tanpa menunggu persetujuan Felis, Maira pun memeluk sang sahabat."Maaf karena aku nggak memiliki kuasa untuk mengatur perasaan orang lain. Seandainya bisa aku pasti nggak akan mau ini terjadi. Aku sangat memahami perasaanmu, Fel. Karena aku jug
Safiyya menatap bagunan sederhana bercat warna krem di depannya. Berkali-kali ia mengetuk pintu rumah, tapi tak ada siapa pun yang menjawab. Padahal baru kemarin Paijo menghubungi Nalen untuk meminta izin menggunakan sepeda motornya di rumah. Sekarang tiba-tiba laki-laki berkepala botak itu seakan menghilang di telan bumi."Paijo, buka pintunya! Kita perlu bicara!" Nalen berseru sekali lagi. Ia menggedor pintu cukup keras hingga membuat beberapa orang tetanganga Paijo keluar."Mas, Mbak, si Paijo ndak di rumah. Dia sama istri dan anaknya tiba-tiba pamit pergi ke Surabaya, ke kampung halaman istrinya," ujar salah satu ibu dengan perawakan gemuk.Safiyya dan Nalen saling berpandangan. Kemudian keduanya mengalihkan perhatian pada ibu yang tadi bicara."Kalau boleh tahu, sejak kapan mereka pergi dan kenapa? Karena dua hari yang lalu dia masih datang ke rumah saya.""Sejak semalam, Pak. Saya kurang tahu alasan mereka pergi, karena terlihat tergesa-gesa. Tapi sebelumnya ada seorang laki-lak
"Bagaimana dengan Nalen dan Safiyya? Apa mereka berhasil menemukan Paijo?" Anna bertanya dengan nada setengah berbisik pada Brian yang baru saja kembali dari luar."Seperti perintahmu, aku membuat Paijo pergi jauh dari sini agar mereka tak menemukannya. Pria kampungan itu memang benar-benar pergi."Anna menatap Brian sejenak. Laki-laki yang dulu culun ini sekarang memang sudah banyak berubah. Jika bukan karena Anna memiliki kartu As laki-laki ini, Brian pasti akan menolak perintahnya. Belum lagi kenyataan bahwa Brian masih saja mencintainya bahkan meski wanita itu bilang bahwa ia masih mencintai orang lain."Apa kamu yakin?" Anna sedikit ragu karena pria ini kadang kurang teliti."Ya, tentu saja aku yakin. Aku sudah memastikannya tadi.""Baguslah, itu berarti kamu benar-benar tak ingin masuk penjara." Anna sedikit mengancam Brian lalu pergi begitu saja.Brian menatap Anna dengan ekspresi penuh kemarahan. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Seandainya ia tak mengikuti keinginan gila A
Brian mengakhiri lamunan ketika Silvia tiba-tiba menepuk pundaknya."Mister, apa Anda mendengar perkataan saya?" Silvia terpaksa menyadarkan Brian dengan menepuk pundaknya karena laki-laki itu hanya melamun sedari tadi. Bahkan ketika Silvi bicara dan menyuruh laki-laki itu cepat berkemas."Ah, ada apa?" tanya Brian menatap Silvi bingung.Silvi memutar mata bosan. "Anda tampan, tapi sayang lola. Saya sudah bilang agar Anda mulai berkemas. Kita semua akan berangkat ke Jakarta sebentar lagi." Silvi menjelaskan, lalu pergi setelahnya.Terlalu asyik melamun membuat Brian tak sadar kalau Nalen dan Safiyya sudah pulang tak lama setelah ia masuk rumah."Brian, kamu dari mana saja tadi? Satpam bilang kamu keluar rumah hari ini? Katanya kamu sakit?"Kehadiran Nalen sama sekali di luar dugaan. Belum lagi pertanyaan laki-laki itu yang seolah menjebaknya. Brian menatap Nalen sejenak. Ia berpikir keras untuk mencari jawaban yang logis agar laki-laki di depanya percaya."Ah, aku tadi habis membeli o
"Kenapa, Mas? Kok mukanya ditekuk gitu?" Safiyya bertanya pada suaminya seperti itu karena melihat Nalen seperti orang bingung.Nalen mengangkat wajah dan menatap istrinya lama. "Papa yang ternyata membebaskan Anna dari penjara."Safiyya terdiam. Ia sedikit tak menyangka Aidan melakukan itu, kejujuran Nalen membuatnya berpikir bahwa sang ayah mertua memang masih membencinya."Aku harap kamu jangan berpikir macam-macam tentang Papa. Aku yakin dia melakukan itu benar-benar murni karena ingin membantu kita." Nalen memohon. Ia menatap istrinya dengan rasa bersalah yang sangat kentara. Nalen pun sejujurnya sempat berpikir buruk pada Aidan, bahwa laki-laki itu memang sengaja ingin memisahkan Safiyya dengannya.Safiyya tersenyum samar, ia mengusap bahu suaminya menenangkan. "Nggak pa-pa, Mas. Aku akan coba berpikir positif pada Papa. Lagi pula berkat itu, hikamhnya kita jadi memperoleh informasi penting tentang Anna."Nalen tersenyum, karena ternyata Safiyya sepemikiran dengannya. Laki-laki