Chandra dan Bik Marsinah menutup mulutnya. Ada kengerian di wajah mereka berdua. Sumpah pocong bukan main-main. Sumpah ini untuk membuktikan suatu tuduhan yang bahkan tidak ada bukti sama sekali.
Konsekuensinya bila keterangan tidak benar, maka yang bersumpah akan mendapat laknat dari Tuhan bahkan resiko kematian.
“Bu! Istighfar!” ucap Agil menenangkan ibunya.
“Apa kamu takut Le? Jika kamu benar, kenapa mesti takut? Kita harus menegakkan kebenaran supaya kita gak diinjek-injek oleh mereka!” ucap Ibu galak dan mata berapi-api. Dia kemudian mendekati Pak Efendi. “Hari ini Anda menang. Anda telah menipu anak saya! Tapi Allah mboten sare! Ingat itu!”
Pak Efendi
Agil mengambil ponsel Kusno dan melihat video viral perdebatan antara Pak Rustam dan Ustad Sodiq di warung nasi pecel pincuk, yang mengejutkan video tersebut sudah ditonton sejuta orang.Pemuda itu tercenung setelah membaca banyak komen yang menanyakan soal sumpah pocong. “Asem” gerutu Agil. Sebentar lagi hidupnya tak bakalan tenang karena wartawan pasti memburu ia dan ibunya untuk dijadikan sumber berita. “Kusno, Aku perlu bantuannmu. Tolong antarkan aku ke suatu tempat!” ajak Agil. Dia segera memakai masker dan cepat-cepat melangkahkan kakinya menuju sepeda motor bebek milik Kusno yang terparkir di bawah pohon mangga. “Kemana Pak?” Kusno setengah berlari menyusul Agil. Ia lalu mengambil motor dan menghidupkannya.&
Agil menyeka peluh yang membanjiri keningnya dengan telapak tangan sebelum masuk ke usaha penggilingan Haji Anwar. “Silahkan masuk Pak,” ajak Haji Anwar santun. Dia lalu meminta staffnya untuk membuatkan minum untuk mereka. Agil duduk dan langsung memberikan uang kepadanya. “Saya datang untuk melunasi tagihan beras yang sudah jatuh tempo, sekalian mau mengucapkan terima kasih selama kita bekerja sama. Silahkan uangnya dihitung Pak.” Agil melunasi semua hutangnya, meski tabungannya kosong, hatinya lega, dia tak punya beban. Haji Anwar tersenyum. “Saya gak masalah uang itu Bapak pakai dulu untuk buka usaha lagi karena saya percaya sama Bapak. Ngomong-ngomong kesusahan yan
“Baik Pak, saya mau,” ucap Agil percaya diri. Hatinya langsung klik melihat lelaki berdasi biru itu. Dia merasa dekat, meski baru pertama kali bertemu. “Oh ya perkenalkan nama saya Hasan.” “Saya Agil, Pak,” jawabnya santun. Setelah selesai sholat dhuhur. Hasan membawa Agil ke kantornya dengan mobil Alphard warna silvel metallic yang ia setir sendiri. Selama perjalanan ia aktif bertanya tentang kehidupan dan pekerjaan Agil. Pemuda itu menjawab dengan apa adanya tanpa embel-embel apapun. “Bapak ingin tahu kenapa kamu malah memakai seluruh tabunganmu untuk melunasi seluruh tagihanmu pada
“Ibu habis ngelayat?” tanya Agil pada Ibu yang baru memasuki rumah bersama Bik Marsinah. Wajahnya kelihatan lelah. Semalam dia mendapat telepon dari Pak Mul, tengkulak pisang langganan mereka. Dia mengabarkan kalau mertuanya meninggal dunia. “Iya, sekalian membawakan istri Pak Mul nangka dan papaya muda buat acara tahlilan,” kata Ibu. “Untung Bik Mar bisa naik motor dan akses menuju ke rumah kita sudah diperbaiki oleh desa, jadinya lebih gampang sekarang. Hidup Ibu gak merasa terisolasi lagi.” Dia tersenyum sambil menuangkan segelas air dari kendi. Air segar itu langsung meluncur di tenggorokan Ibu. Setelah mendapatkan uang 200 juta dan bekerja di kantor Pak Hasan. Agil membeli 2 motor matic bekas. Satu dipakai Bik Marsinah dan satu dip
Mata Ibu langsung merah mendengar perkataan anak lelakinya. “Kamu jangan ngawur Gil! Perempuan yang di dalam itu Bik Eha! Apa kamu meragukan penglihatan ibumu sendiri!” katanya dengan suara ditekan. Ia tak habis pikir bagaimana orang yang masih segar bugar dikatakan sudah meninggal. Wanita itu menjadi gemas mendengarnya. “Tenang Ibu, aku hanya menyampaikan apa yang dikatakan oleh Dokter Runi.” Agil lalu mengajak Ibu dan Bik Marsinah pulang dengan naik taksi online. Selama perjalanan mereka diam sibuk dengan pemikiran masing-masing. Ibu sudah tak berselera makan saat Agil mengajaknya untuk mampir ke food court. Sebagai gantinya ia membeli roti favorit mereka. Setelah itu pemuda itu mengajak mereka ke toko emas. Dia ingin membelikan keduanya hadiah.
“Nah! Mungkin kamu bisa membantu kami mengurai benang kusut ini,” kata Agil sumringah ketika melihat Chandra berdiri di depan pintu. “Cepatlah duduk atau kalau mau makan langsung saja gak usah malu,” sambung Agil ketika melihat mata Chandra berbinar dengan nasi jagung dan sambal terasi dihadapannya. Chandra cengar-cengir, ia sebenarnya sungkan, tapi nasi jagung amat menggoda seleranya. “Tante, Bik Mar, saya makan dulu ya?” “Silahkan, silahkan Nak…” jawab Ibu, dia dari awal menyukai kepolosan gadis itu, Bik Marsinah ke dapur mengambilkan Chandra gelas, lalu mengambil pisang susu untuk pencuci mulut.&nbs
“Ini gak masuk akal sama sekali! Bagaimana mungkin Bik Eha meninggal dunia diterkam buaya? Sementara rumah Silvia berada kawasan elit. Kelihatan sekali Eha mengada-ngada soal kematian ibunya! Jangan-jangan yang dia maksud buaya darat!” Agil langsung menggerutu di depan pondok. “Ssst… jangan keras-keras bicaranya. Nanti didengar orang!” tegur Chandra mengingatkan. Agil langsung sadar, dadanya naik turun menahan emosi. Pikirannya semakin kalut memikirkan Bik Eha. Chandra mengambil minum dan memberikannya pada Agil. “Minumlah.” Dia lalu melihat ke langit. Hujan gerimisnya telah berhenti. “Sudah sore, aku mau pulang dulu.”&
“Baru pulang?” tanya Mirna yang sedang menonton Netflix. Ia melihat Chandra membawa tas kain di tangannya. “Wah, bawa apa itu?” “Owh ini pemberian ibunya Agil buat Tante. Ada pisang susu, nasi jagung, sayur, ikan asin dan sambel terasi. Kalau Tante mau, Chandra hangatkan dulu di microwave.” Perut Mirna langsung keroncongan. Lidahnya rindu dengan masakan desa. “Boleh, boleh, Tante sudah bertahun-tahun gak makan itu.” Chandra tersenyum. Dia langsung pergi ke dapur, menghangatkan makanan, menaruhnya di piring- piring lalu dia menata meja untuk Mirna. Tak lupa dia membuatkan teh hangat dan menaruh setoples besar krupuk untuknya. 10 menit kemudian dia sudah
Dokter Samuel membuka plester dan kain kasa yang menutupi kedua mata Chandra. “Chandra bukalah mata pelan-pelan,” suaranya sangat tenang dan hangat. Chandra membuka matanya pelan-pelan lalu mengerjap- ngerjapkan mata sebelum melihat ke sekeliling. Semua yang ada di kamar itu menahan napas. Senyum Chandra mengembang lebar ketika melihat satu persatu orang yang disayanginya berada di sisinya. Ia menyebutnya satu persatu. “Agil, Tante, Emak, Bapak, Bik Mar.” Chandra terdiam saat melihat lelaki paruh baya berada di samping Bik Mar. “Dia siapa Gil? Apakah itu suami Bik Mar” “Alhamdulillah! Chandra bisa melihat lagi,” seru Agil kemudian dia sujud syukur. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih Dokter!” Agil menyalami Dokter Samuel yang terlihat lega operasinya berhasil. “Sama-sama,” kata Dokter Samuel. Kemudian dia pamit. Ibu, Emak dan Bik Mar serentak menangis memeluk Chandra.
Pagi yang dingin, kabut masih menyelimuti pondok. Titik-titik embun yang menempel di daun kersen sesekali jatuh membasahi sepasang anak manusia yang bersenda gurau di bawahnya. Mereka duduk di amben. “Kita main tebak-tebakkan, yuk,” kata Agil dengan hati senang melihat Chandra ada bersamanya. Chandra menelengkan mukanya, beberapa hari tinggal di pondok membuat mukanya kian cantik berseri. “Mmmm… sepertinya menyenangkan. Kita main tebak-tebakan apa?” “Dalam permainan tebak-tebakan ini, aku ingin menguji indra penciuman dan pengecapmu. Setelah itu kamu mengatakannya kepadaku apa rasa makanan
“Kenapa tak kau tanyakan saja pada Silvia!” bentak Agil. “Sekarang aku bertanya kepadamu? Untuk apa kamu membakar rumahku, Dil?!! Untuk apa juga kamu membayar orang untuk membunuhku dan Chandra!!” dengusnya kesal. Mata Fadil terbelalak. Dia tak menyangka Agil mengetahui apa yang dia lakukan. Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Agil. Giginya gemeretuk menahan marah. “Aku ingin melenyapkanmu karena kamu tahu terlalu banyak. Bukankah sudah kukatakan jangan turut campur dengan kematian Bulan. Sayangnya kamu mengabaikan nasehatku.” Matanya menatap penuh kebencian pada Agil. “Bukankan tugas kamu sebagai penegak hukum? Kenapa kamu justru melarangku? Aku hanya mau membantunya mencari keadilan!”
“Tidak!” Jawaban singkat yang terucap dari bibir Mirna yang menyilet hati Arif. Lelaki itu mendorong pelan tubuh Mirna ke dinding. Tatapan kecewa tampak jelas dari sorot matanya.“Bukankah dulu kita saling mencintai sayang? Aku tahu kamu masih menungguku. Jika tidak kamu pasti sudah merubah password apartemen ini,” tuduh laki-laki itu membela diri. Suara Arif mulai meninggi, wajahnya menegang. Dia tetap teguh dengan keputusan ingin menikahi perempuan pujaannya itu. Mirna memejamkan mata, dan mengeluarkan napas perlahan. “Maafkan aku. Sayangnya kamu salah! Cintaku kepadamu tak sebesar cintaku pada papamu, selama ini aku hanya memanfaatkan kamu untuk mengobati rasa rinduku padanya,” kata Mirna dengan suara serak. Sepahit apap
Siang yang begitu terik, matahari semakin garang memancarkan panasnya.Mirna pasrah, saat dirinya diikat dengan rantai dan diseret seperti sebuah mainan. Seluruh badannya lebam dan luka terkena batu-batu kerikil yang tajam. Kemudian tanpa ampun perempuan bercadar itu melemparkan tubuh Mirna di atas bantalan rel kereta api dan menindih pahanya dengan sebuah batu besar. Dia tak bisa bergerak dan membiarkan kulitnya melepuh terkena panasnya landasan besi kereta api. Perempuan bercadar itu berjongkok di samping Mirna, tangannya memegang wajah Mirna dengan kasar. “Kali ini kamu pasti mampus. Sebentar lagi kereta api datang dan mencincang tubuh seksimu!” Perempuan itu tertawa terbahak-bahak lalu menangis pilu. “Sudah lama sekali aku ingin membunuhmu, tapi baru kali aku berani.” Dia mengambil jeda. “Aku sangat benc
Kejutan luar biasa! “Tapi… bagaimana bisa dan kenapa Silvia ingin membunuh Bik Eha?” tanya Agil tak mengerti. Tak mudah bagi Agil untuk mempercayai penjelasan Bik Eha. Semua terlihat tak masuk akal. Bagaimana mungkin Bik Eha dapat memerankan aktingnya, berpura-pura gila begitu sempurna selama belasan tahun? Bik Eha tertawa kecil. “Bisa saja Mas, karena tidak ada yang peduli dengan orang gila.” Penyamaran jenius! Agil manggut-manggut mengagumi Bik Eha dalam mempertahankan hidupnya. Bik Ehan benar. Siapa yang perduli dengan orang gila. Sebagian besar masyarakat menganggap orang gila negatif, bukan hanya dikucilkan mereka juga dijauhi. Agil menelan kekecewaan sekaligus ke
Atas persetujuan Dokter Runi, Agil membawa Bik Eha berlibur. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di RSJ Kenanga. Dari jauh Agil melihat Bik Eha duduk di depan kamarnya, dia memakai celana kulot hitam dan kaos warna ungu. Rambutnya diikat satu. “Pagi, Bibik apa sudah sarapan?”“Sudah.” Bik Eha kelihatan senang sekali, matanya berpendar indah saat melihat Agil datang.“Hari ini Agil mau mengajak Bik Eha bersenang-senang. Kita ke salon, beli baju, makan dan jalan-jalan sepuasnya. Bik Eha sudah siap kan?” tanya Agil.“He-eh.” Bik Eha girang, dia langsung mengamit tangan Agil.Agil membukakan pintu mobil untuk Bik Eha, dan membantu mengenakan seat belt untuknya. Perempuan itu duduk anteng di sebelah Agil.Pemuda itu mengetik pesan di messanger sebelum naik ke mobil. &ld
Jam 4 sore Agil menemui Frans di rumahnya yang asri. Di sana sudah ada AKP Ajun yang hari itu memakai kaos polo warna tosca dan jeans hitam. Dia kelihatan santai sambil menikmati wine dan kue keju. Menilik dari bentuk dan aromanya, Agil bisa menebak kue keju itu kiriman dari Tante Mirna. Frans baru selesai mandi ketika Agil datang. Rambutnya masih basah dan wangi sabun menyeruak dari badannya. “Duduklah dulu, kamu minum apa? Kopi atau wine? “Air putih saja, Om,” jawab Agil. Dia tidak terbiasa minum wine. AKP Ajun tertawa, “Ayolah man, apa salahnya mencicipi sedikit wine, supaya badan hangat dikit.” Dia menepuk bahu Agil.
Seminggu berlalu dengan lambat. Setelah urusan kantor selesai, Agil bergegas pergi menemui Chandra di apartemen Tante Mirna. Rasa kangennya pada gadis itu membuncah. Agil mampir ke toko bunga yang berdampingan dengan toko coklat membelikan Chandra bunga lavender serta sekotak coklat kesukaannya. Pria itu berjalan riang naik lift menuju tempat tinggal Tante Mirna. Imajinasinya melayang Chandra akan menyambutnya hangat. Tante Mirna membuka pintu, apron yang dipakainya belepotan tepung, dia mengajak Agil masuk. Rupanya Tante Mirna sedang membuat. Aroma harum menyebar membuat pria itu penasaran apa yang dibuat oleh Tante Mirna. Penampilan perempuan itu kini berubah drastis. Yang dulunya suka pake baju ketat, kini lebih suka memakai daster bila di rumah. Ia juga amat sabar mer