“Ini gak masuk akal sama sekali! Bagaimana mungkin Bik Eha meninggal dunia diterkam buaya? Sementara rumah Silvia berada kawasan elit. Kelihatan sekali Eha mengada-ngada soal kematian ibunya! Jangan-jangan yang dia maksud buaya darat!” Agil langsung menggerutu di depan pondok.
“Ssst… jangan keras-keras bicaranya. Nanti didengar orang!” tegur Chandra mengingatkan.
Agil langsung sadar, dadanya naik turun menahan emosi. Pikirannya semakin kalut memikirkan Bik Eha.
Chandra mengambil minum dan memberikannya pada Agil. “Minumlah.” Dia lalu melihat ke langit. Hujan gerimisnya telah berhenti. “Sudah sore, aku mau pulang dulu.”
&
“Baru pulang?” tanya Mirna yang sedang menonton Netflix. Ia melihat Chandra membawa tas kain di tangannya. “Wah, bawa apa itu?” “Owh ini pemberian ibunya Agil buat Tante. Ada pisang susu, nasi jagung, sayur, ikan asin dan sambel terasi. Kalau Tante mau, Chandra hangatkan dulu di microwave.” Perut Mirna langsung keroncongan. Lidahnya rindu dengan masakan desa. “Boleh, boleh, Tante sudah bertahun-tahun gak makan itu.” Chandra tersenyum. Dia langsung pergi ke dapur, menghangatkan makanan, menaruhnya di piring- piring lalu dia menata meja untuk Mirna. Tak lupa dia membuatkan teh hangat dan menaruh setoples besar krupuk untuknya. 10 menit kemudian dia sudah
Pandangan Agil masih terpaku pada amplop coklat dari Mirna. Dia ragu untuk membukanya. Permintaan wanita itu membuatnya didera perasaan dilematis. Ia tak bisa menampik ingin mengetahui siapa dalang pembakaran rumahnya dan ia mau membebaskan Arif dari rumah sakit jiwa. Namun, perasaan takut menggerogoti sanubarinya. Dia tidak tahu berhadapan dengan siapa nanti di sana. Rasanya tak masuk akal kalau dia menumbalkan dirinya sendiri sementara masih banyak tanggung jawabnya sebagai anak manusia, menafkahi Ibu dan pekerja yang bekerja dengannya. Dia tak bisa gegabah memutuskan. Lama pemuda itu mematung, memilah baik buruk langkah mana yang hendak ia lakukan. Dia memejamkan mata menimbang semua resiko. Setelah mantap, barulah dia berani membuka amplop coklat itu.&nb
Agil mengendarai mobil HRV putih terbaru pemberian Pak Hasan menerobos padatnya jalan raya. Mobil itu berjalan mulus membelah jalanan. Sementarat itu sepeda motornya di bawa Kusno ke garasi mobil yang dia sewa bulanan. Pemuda itu tidak mau membawa mobilnya ke pondok. Dia enggan membuat kehebohan di Curah Urip. Orang-orang Curah Urip tahu pekerjaan Agil sebagai petani dan cleaning service freelance. Apa jadinya bila dia membawa mobil keluaran baru ke pondoknya. Bukan hanya gunjingan yang ia dapatkan, kemungkinan besar gossip pesugihan seperti yang pernah ia alami sebelumnya akan terulang lagi. Pria itu memang masih menyembunyikan identitasnya termasuk pekerjaannya sebagai seorang konsultan pajak di sebuah perusahaan ternama. Biarlah mereka tahu sebatas luarnya. Selai
Pada saat kaca mobil diturunkan, Farida langsung menyunggingkan seulas senyum pada Agil. “Mas Agil, apa boleh kami numpang sampai ke belokan depan?” katanya dengan lagak aleman. Agil sebenarnya malas untuk menjawab, dia tahu Farida sedang melancarkan aksi untuk mendekatinya. “Mmm… bagaimana ya, soalnya saya sedang keburu-buru nih,” elaknya. “Eh, bukankah kita lewat sana Gil, sekalian aja kita ajak Kakak ini?” Tanpa diduga, Chandra mencubit tangannya. Gerakannya sangat cepat tanpa sepengetahuan Farida. Pria itu meringis kesakitan. Dengan perasaan dongkol yang disembunyikan, Agil turun dan membukakan pintu belakang mobil. Du
“Pekerjaan ini sepertinya menyenangkan,” celoteh Chandra sambil memasukkan sepotong besar roti ke dalam mulutnya. Ia dan Agil sedang mengamati rumah Silvia dari pukul 6 pagi. Selanjutnya tangannya menyuapkan roti pada mulut Agil. “Kamu harus makan juga.” Agil manggut menelan roti dengan nikmat. Chandra memang sangat perhatian. Pagi-pagi sekali Agil telah menjemput Chandra, dan anehnya dia tidak kesulitan mendapatkan ijin dari Tante Mirna. Justru Tante Mirna memberikan saran untuk menyamar. Wanita itu memberikan wig dengan model rambut keriting untuk Agil pakai dan pria itu menyukainya. Dia seperti orang berbeda. “Sssttt… lihatlah ada mobil keluar. Apa kita buntut
Agil memutar otaknya, penjagaan di kamar Arif ketat, dia ragu bisa membebaskan Arif sendirian. Pikirannya melesat pada Umar, perawat RSJ. Tidak! Dia menggunakan Umar sebagai informan saja, lagipula Agil tak mau mengorbankan pekerjaan Umar, kasihan anak itu dia masih banyak tanggungan. Dia memikirkan opsi lainnya. Cukup lama dia sibuk mengetik di ponselnya. Setelah urusannya selesai dia menoleh pada Chandra, tumben gadis itu pendiam tidak cerewet dan tidak banyak bercerita hal-ha lucu yang membuatnya tertawa. “Kamu sedang mikirin apa Nona cantik,” Agil menggerecokinya. “Hiyaa… aku mah cantik dari dulu, kamu saja yang gak sadar,” jawab Chandra terkekeh. “Gil, apa kamu pernah memikirkan Bulan?” tanyanya serius.Agil memandang
Hari sudah hampir larut malam ketika Agil dan Chandra tiba di apartemen Mirna. Agil langsung memberi tahu misi mereka gagal dan melaporkan apa yang mereka dapatkan pada Mirna.Wanita itu meremas tangannya, dia tampak terguncang setelah melihat video dan membaca hasil laboratorium yang dibawa Agil tentang Arif. Giginya gemeretuk menahan luapan amarah. “Wanita jahanam! Dia mau membunuh anaknya pelan-pelan!” rutuk Mirna. Hati Mirna seperti diremas, bagaimanapun dia pernah berhubungan dengan Arif cukup lama. Setidaknya ada memori yang telah mereka rangkai bersama. Mata Mirna berpaling pada selendang biru yang tergeletak di sampingnya. Selendang itu adalah saksi cinta antara keduanya. “Jadi apa rencana kamu selanjutnya?” tanyanya pada Agil. Sekua
Chandra mondar-mandir membuka laci di apartemen hingga tong sampah tuk mencari catatan Tante Mirna, tapi tak ada satupun jejak yang tertinggal yang mengarahkan kemana perginya wanita itu. Gadis itu terduduk lesu di sofa sambil memegang kepala dengan kedua tangan, dia tak mengira otaknya bisa setumpul itu, tatapannya begitu keruh. Chandra menarik napas panjang.Kemudian dia menenggelamkan wajahnya ke bantal yang berada di sampingnya berharap ada secercah ide yang muncul di kepalanya. Sudah berpuluh kali, Chandra memencet nomor Tante Mirna dan Agil, tapi ponsel keduanya tidak aktif. Ini sangat janggal! Setahunya Agil tak pernah mematikan telepon. Mungkinkah Tante Mirna pergi bersama Agil? Sepertinya tidak! Akalnya menelusuri kejadian semalam. Dia melihat bagaimana Agil sangat marah pada Tante Mirna sebelum dia pergi. Chandra berupaya
Dokter Samuel membuka plester dan kain kasa yang menutupi kedua mata Chandra. “Chandra bukalah mata pelan-pelan,” suaranya sangat tenang dan hangat. Chandra membuka matanya pelan-pelan lalu mengerjap- ngerjapkan mata sebelum melihat ke sekeliling. Semua yang ada di kamar itu menahan napas. Senyum Chandra mengembang lebar ketika melihat satu persatu orang yang disayanginya berada di sisinya. Ia menyebutnya satu persatu. “Agil, Tante, Emak, Bapak, Bik Mar.” Chandra terdiam saat melihat lelaki paruh baya berada di samping Bik Mar. “Dia siapa Gil? Apakah itu suami Bik Mar” “Alhamdulillah! Chandra bisa melihat lagi,” seru Agil kemudian dia sujud syukur. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih Dokter!” Agil menyalami Dokter Samuel yang terlihat lega operasinya berhasil. “Sama-sama,” kata Dokter Samuel. Kemudian dia pamit. Ibu, Emak dan Bik Mar serentak menangis memeluk Chandra.
Pagi yang dingin, kabut masih menyelimuti pondok. Titik-titik embun yang menempel di daun kersen sesekali jatuh membasahi sepasang anak manusia yang bersenda gurau di bawahnya. Mereka duduk di amben. “Kita main tebak-tebakkan, yuk,” kata Agil dengan hati senang melihat Chandra ada bersamanya. Chandra menelengkan mukanya, beberapa hari tinggal di pondok membuat mukanya kian cantik berseri. “Mmmm… sepertinya menyenangkan. Kita main tebak-tebakan apa?” “Dalam permainan tebak-tebakan ini, aku ingin menguji indra penciuman dan pengecapmu. Setelah itu kamu mengatakannya kepadaku apa rasa makanan
“Kenapa tak kau tanyakan saja pada Silvia!” bentak Agil. “Sekarang aku bertanya kepadamu? Untuk apa kamu membakar rumahku, Dil?!! Untuk apa juga kamu membayar orang untuk membunuhku dan Chandra!!” dengusnya kesal. Mata Fadil terbelalak. Dia tak menyangka Agil mengetahui apa yang dia lakukan. Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Agil. Giginya gemeretuk menahan marah. “Aku ingin melenyapkanmu karena kamu tahu terlalu banyak. Bukankah sudah kukatakan jangan turut campur dengan kematian Bulan. Sayangnya kamu mengabaikan nasehatku.” Matanya menatap penuh kebencian pada Agil. “Bukankan tugas kamu sebagai penegak hukum? Kenapa kamu justru melarangku? Aku hanya mau membantunya mencari keadilan!”
“Tidak!” Jawaban singkat yang terucap dari bibir Mirna yang menyilet hati Arif. Lelaki itu mendorong pelan tubuh Mirna ke dinding. Tatapan kecewa tampak jelas dari sorot matanya.“Bukankah dulu kita saling mencintai sayang? Aku tahu kamu masih menungguku. Jika tidak kamu pasti sudah merubah password apartemen ini,” tuduh laki-laki itu membela diri. Suara Arif mulai meninggi, wajahnya menegang. Dia tetap teguh dengan keputusan ingin menikahi perempuan pujaannya itu. Mirna memejamkan mata, dan mengeluarkan napas perlahan. “Maafkan aku. Sayangnya kamu salah! Cintaku kepadamu tak sebesar cintaku pada papamu, selama ini aku hanya memanfaatkan kamu untuk mengobati rasa rinduku padanya,” kata Mirna dengan suara serak. Sepahit apap
Siang yang begitu terik, matahari semakin garang memancarkan panasnya.Mirna pasrah, saat dirinya diikat dengan rantai dan diseret seperti sebuah mainan. Seluruh badannya lebam dan luka terkena batu-batu kerikil yang tajam. Kemudian tanpa ampun perempuan bercadar itu melemparkan tubuh Mirna di atas bantalan rel kereta api dan menindih pahanya dengan sebuah batu besar. Dia tak bisa bergerak dan membiarkan kulitnya melepuh terkena panasnya landasan besi kereta api. Perempuan bercadar itu berjongkok di samping Mirna, tangannya memegang wajah Mirna dengan kasar. “Kali ini kamu pasti mampus. Sebentar lagi kereta api datang dan mencincang tubuh seksimu!” Perempuan itu tertawa terbahak-bahak lalu menangis pilu. “Sudah lama sekali aku ingin membunuhmu, tapi baru kali aku berani.” Dia mengambil jeda. “Aku sangat benc
Kejutan luar biasa! “Tapi… bagaimana bisa dan kenapa Silvia ingin membunuh Bik Eha?” tanya Agil tak mengerti. Tak mudah bagi Agil untuk mempercayai penjelasan Bik Eha. Semua terlihat tak masuk akal. Bagaimana mungkin Bik Eha dapat memerankan aktingnya, berpura-pura gila begitu sempurna selama belasan tahun? Bik Eha tertawa kecil. “Bisa saja Mas, karena tidak ada yang peduli dengan orang gila.” Penyamaran jenius! Agil manggut-manggut mengagumi Bik Eha dalam mempertahankan hidupnya. Bik Ehan benar. Siapa yang perduli dengan orang gila. Sebagian besar masyarakat menganggap orang gila negatif, bukan hanya dikucilkan mereka juga dijauhi. Agil menelan kekecewaan sekaligus ke
Atas persetujuan Dokter Runi, Agil membawa Bik Eha berlibur. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di RSJ Kenanga. Dari jauh Agil melihat Bik Eha duduk di depan kamarnya, dia memakai celana kulot hitam dan kaos warna ungu. Rambutnya diikat satu. “Pagi, Bibik apa sudah sarapan?”“Sudah.” Bik Eha kelihatan senang sekali, matanya berpendar indah saat melihat Agil datang.“Hari ini Agil mau mengajak Bik Eha bersenang-senang. Kita ke salon, beli baju, makan dan jalan-jalan sepuasnya. Bik Eha sudah siap kan?” tanya Agil.“He-eh.” Bik Eha girang, dia langsung mengamit tangan Agil.Agil membukakan pintu mobil untuk Bik Eha, dan membantu mengenakan seat belt untuknya. Perempuan itu duduk anteng di sebelah Agil.Pemuda itu mengetik pesan di messanger sebelum naik ke mobil. &ld
Jam 4 sore Agil menemui Frans di rumahnya yang asri. Di sana sudah ada AKP Ajun yang hari itu memakai kaos polo warna tosca dan jeans hitam. Dia kelihatan santai sambil menikmati wine dan kue keju. Menilik dari bentuk dan aromanya, Agil bisa menebak kue keju itu kiriman dari Tante Mirna. Frans baru selesai mandi ketika Agil datang. Rambutnya masih basah dan wangi sabun menyeruak dari badannya. “Duduklah dulu, kamu minum apa? Kopi atau wine? “Air putih saja, Om,” jawab Agil. Dia tidak terbiasa minum wine. AKP Ajun tertawa, “Ayolah man, apa salahnya mencicipi sedikit wine, supaya badan hangat dikit.” Dia menepuk bahu Agil.
Seminggu berlalu dengan lambat. Setelah urusan kantor selesai, Agil bergegas pergi menemui Chandra di apartemen Tante Mirna. Rasa kangennya pada gadis itu membuncah. Agil mampir ke toko bunga yang berdampingan dengan toko coklat membelikan Chandra bunga lavender serta sekotak coklat kesukaannya. Pria itu berjalan riang naik lift menuju tempat tinggal Tante Mirna. Imajinasinya melayang Chandra akan menyambutnya hangat. Tante Mirna membuka pintu, apron yang dipakainya belepotan tepung, dia mengajak Agil masuk. Rupanya Tante Mirna sedang membuat. Aroma harum menyebar membuat pria itu penasaran apa yang dibuat oleh Tante Mirna. Penampilan perempuan itu kini berubah drastis. Yang dulunya suka pake baju ketat, kini lebih suka memakai daster bila di rumah. Ia juga amat sabar mer