“Sial!” rutuk Agil, saat mengetahui ban motor belakangnya kempes. Ada paku besar menancap disitu. Matahari sudah mulai turun, sebentar lagi gelap dan posisinya berada di tengah persawahan. jauh dari pemukiman penduduk.
Ini sepenuhnya kesalahannya. Waktu berangkat tadi. Ia sudah tahu bannya agak kempes tapi ia tak peduli dan malas untuk mengecek. Agil memegang lehernya gelisah, sambil berpikir bagaimana membawa motor Yamahanya. Situasi begini, ia sangat mengharapkan kehadiran seseorang.
“Perlu bantuan?”
Pertanyaan yang entah darimana datangnya. Sepertinya datang dari arah belakang. Ia terperanjat hingga membuatnya hilang keseimbangan dan jatuh terperosok ke parit. Sepatu ketsnya basah. Pria itu geram, merasakan air merembes di celana dalam dan blue jeans yang ia pakai. Konyolnya sekarang ia kelihatan seperti mengompol. Agil semakin kesal dengan kesialan yang menimpa dirinya.
“Hihihi… kamu lucu,” kata seorang gadis yang berdiri dengan angkuh di sampingnya. Memandangnya dari atas ke bawah, seperti melihat sebuah badut yang sedang bermain-main dalam di parit. Gelak tawanya berderai hingga keluar air mata.
“Bukannya minta maaf dan menolong, kamu malah menertawakanku,” ucapnya dengan nada dongkol. Dia mengibas-ngibaskan sisa air yang menempel. Untung smartphonenya tidak terkena air, bisa repot dia.
“Ngapain aku membantumu, kamu kan bisa berdiri dan tidak kenapa-kenapa.” Gadis itu masih tertawa.
“Sialan!” rutuknya lagi. Setelah beberapa saat, Agil baru sadar siapa gadis yang sudah membuatnya terjatuh ke dalam parit. Bulan! Darimana ia datang? Tak ada motor lewat maupun jejak orang datang. Ia hanya sendirian disitu dari tadi. Sekuat hati ia berusaha mengendalikan dirinya.
Pakaian Bulan masih sama. Blouse coklat panjang selutut dengan gaya seperti mantel dan sepatu boots warna merah. Rambut terurai panjang serta parfum beraroma melati. Aroma soft yang selalu dirindukan Agil setiap malam. Ia menghirup wanginya kuat-kuat, memenuhi rongga dadanya. Seribu pertanyaan muncul, Mungkinkah Bulan, hanya punya satu model baju? Sepertinya tak mungkin! Gaya Bulan modis, dan terlihat dari caranya memadu padankan warna. Enak dipandang mata.
“Kamu datang dan pergi seenak hatimu, seperti hantu.” Agil ingin menarik ucapannya. Tapi terlambat. Ia menunggu jawaban Bulan dengan hati berdebar.
“Aku memang hantu,” jawab Bulan santai. “Apa kamu takut?”
“Nggak.” Gantian Agil yang tertawa terbahak-bahak, teringat kecupan lembut dibibirnya. Kecupan yang membuatnya susah tidur. Bulan cantik, senyum dan mata beningnya telah menghipnotis dirinya sejak awal jumpa. “Ngomong-ngomong, apa kamu mengikutiku?”
Mata Bulan membulat, memberikan senyum manisnya. “Well, agak rumit menjelaskannya. Intinya aku punya radar. Soal motormu, jangan khawatir, aku yang akan mendorongnya, kamu naik saja.”
“Bagaimana mungkin kamu kuat mendorong motor, badanmu kecil,” ejek Agil tak percaya.
“Hey, apa kamu lupa Bung, aku seorang hantu.” Bulan mengedipkan matanya. “Cepat naiklah! Sebelum aku berubah pikiran.”
Agil mengangguk. Tak ada salahnya menerima bantuan Bulan. Meskipun ia hantu sekalipun. Lelaki itu bersyukur ada teman menemaninya mengobrol saat ini. Setela itu wusss… ia dan motornya seperti terbang.
Sekejap kemudian, mereka sudah sampai di depan Tukang Tambal Ban Kang Rois. “Wow, keren!” katanya takjub. “Bulan, jangan pergi. Tunggu aku,” pinta Agil, tangannya memberi isyarat.
“Mas, bicara sama siapa?”
“Ups, maaf Kang. Saya sedang latihan theater.” Pria itu nyengir. “Oh ya Kang, maaf, ban motor saya kena paku. Apa Kang Rois bisa bantu saya?” tanyanya berharap.
“Iya, bisa! Silahkan duduk dulu Mas.” Lelaki berperawakan gempal itu gesit menyiapkan peralatan.
Agil menunggu di bangku kayu yang disediakan. Bulan telah menghilang. Lelaki itu tersenyum kecut. “Dasar hantu cantik, sesukanya datang dan pergi”
***
Tok.... tok… tok
“Buka jendelanya, Gil.”
Jam 12 malam, Agil masih terjaga. Keningnya berkerut menekuri deretan laporan di laptopnya. Dalam kurun waktu kurang dari setahun, iNiRice berkembang pesat. Agil dan Arif yang berbeda karakter, sepakat berbagi pekerjaan. Agil luwes dan tidak betah bekerja dalam ruangan. Sehingga pekerjaannya lebih banyak di luar, bertemu petani, investor atau mencari lahan baru untuk mereka garab. Sedangkan Arif yang jago IT, Ia lebih nyaman bekerja dalam ruangan yang tenang dan dingin di kantornya.
Tok… tok… tok
Agil mendengar suara ketukan lagi di jendelanya. Ia acuh. Seseorang menjitak kepalanya. “Aduh!” Agil memegang kepalanya.
“Sombong!” kata Bulan langsung duduk di tempat tidur. Aroma melati memenuhi kamarnya.
Agil diam, matanya masih asyik menatap layar laptop. Sudut matanya sesekali memperhatikan Bulan. Jantungnya berdegup kencang. Sebagai lelaki normal, daya tarik Bulan nyata.
Gadis itu memiliki lekuk tubuh ideal, wajah cantik, bibir penuh serta senyum yang sering membingkai wajahnya. Ia yakin banyak lelaki yang jatuh hati padanya. “Sayang, ia hantu. Aku tak boleh jatuh cinta padanya,” ucapnya dalam hati.
“Hihihi… aku bisa membaca pikiranmu.” Bulan melirik manja. Tangannya memainkan ujung bantal.
“Nggak percaya?”
“Kamu jatuh cinta kepadaku, kan?” Bulan mengerling manja.
“Wkwkwkw…. impossible, bagaimana mungkin aku bisa mencintai hantu?” katanya. Lelaki itu menyembunyikan kegugupannya.
“Cieee, kenapa harus malu! Bilang juga nggak ada yang tahu, kok! Sekarang aku nanya, emang ada undang-undang yang melarang manusia jatuh cinta sama hantu?”
“Hmm, setahuku nggak ada, Non. Tapi, manusia menganggap itu aneh. Kita berbeda alam,” balas Agil pongah.
“Hush, stop!” Tangan Bulan mengusap wajah Agil dan berhenti di bibir lelaki itu, perlahan tangannya membelainya lembut lalu menempelkan bibirnya pasrah di mulut Agil yang reflek melumatnya dengan gugup. Wangi melati membuat kesadaran Agil terhenti beberapa waktu. Dia memeluk perempuan itu erat. “Persetan dengan hantu,” desahnya dalam hati.
“Aku cinta kamu, Bulan,” bisik Agil lirih di telinga Bulan.
Bulan menyorongkan badan Agil. Raut mukanya berubah tak berdaya, “Aku perlu bantuanmu,” katanya melas.
“Maksudmu? Apakah kamu di kejar-kejar pinjol,” tanya Agil. Napasnya memburu, Ia masih ingin mengulang ciumannya dengan Bulan.
Bulan memukul lengan Agil. “Huh, kamu pikir di dunia perhantuan ada debt collector begitu?”
“Ya siapa tahu, pinjol juga ngetrend disana.” Agil terkekeh. Dia mematikan laptop. “Katakan saja. Jika aku bisa, pasti aku membantumu. Hmmm… apakah kamu lama di sini? Aku sudah mengantuk.” Dia menguap beberapa kali. Badannya meronta ingin tidur.
“Kamu mengusirku?” tanya Bulan nakal.
Agil menggeleng. “Aku suka kamu disini, tapi badanku lelah. Aku perlu istirahat. Tolong, kalau pergi, pamit dulu, jangan asal kabur.”
“Aku suka memberimu kejutan.”
“Nggak lucu! Apa kamu suka, orang mengangapku gila karena melihatku bicara sendiri.”
“Ih, itu salah kamu, mestinya kamu yang harus bisa membaca situasi” Bulan berkelit. “Aku lapar, pingin makan nasi goreng di ujung gang sana. Kita pergi keluar makan yuk!” ajaknya manja. Ia merebahkan kepalanya di dada Agil.
Hati pria itu makin tak karuan. Ia tak mampu menolak permintaanya. “Sudah larut, bagaimana kalau aku masak nasi goreng buat kamu.”
Bulan mengangguk, membiarkan Agil sibuk sendiri membuatkan nasi goreng untuknya.
Bunyi peralatan makan beradu, membuat ibu terbangun. Ia heran menemukan anaknya di dapur dengan setumpuk piring dengan sisa nasi goreng di hadapannya. Tergopoh-gopoh, ia menghampirinya. “Kamu kenapa, Nak?”
“Makan nasi goreng,” jawab Agil kekenyangan. Perutnya membuncit. Tadi, Ia seperti kerasukan dan tak sadar makan 5 piring nasi goreng.
“Hah, sebanyak itu?” Ibu jadi khawatir. “Kamu tadi dari mana?”
“Biasalah Bu, ngecek lahan baru untuk digarap.”
“Duh, jangan-jangan ada jin yang menempel di badanmu, Nak.” Ibu mengambil segelas air, mulutnya komat kamit membaca doa, sebagian diberikan kepada Agil.“Minumlah, biar jinnya pergi.” Sisanya ia percikkan ke badan Agil.
“Ibu ada-ada saja. Agil tidak kenapa – kenapa kok, Ibu saja yang kebanyakan nonton sinetron azab.” Padahal Ibu benar. Ada Bulan yang duduk disampingnya. Gadis itu senyum-senyum melihatnya.
“Apa yang dibaca Ibu? Kenapa Bulan tidak pergi,” ucap Agil membatin.
“Ibu sepertinya harus ke Ustad Sodiq supaya meruqyah rumah ini,” tutur Ibu gamblang.
Rumor teror hantu, rupanya telah menyebar di kantor iNiRice. Desas-desus miring adanya permintaan tumbal, membuat suasana mencekam. Produktivitas kerja menjadi lebih lamban, karena ada beberapa staff wanita yang kerasukan. Setelah itu mereka bersama-sama mengundurkan diri dengan alasan takut. Kejadian yang bertubi-tubi membuat emosi Arif naik. Kesalahan sepele bisa membuat amarah pria itu meledak.Sore itu, Agil hendak masuk ke ruangannya setelah seharian keliling melihat proyek pertanian yang mereka garap. Di depan pintu dia tercekat ketika mendengar suara tinggi Arif sedang memarahi seseorang. “Kenapa kopinya pahit? You punya telinga nggak?” Belum hilang kekagetannya. Dia menden
“Di sini pengap, aku kedinginan dan ketakutan, Gil.” Gadis itu menangis dan berjalan tertatih-tatih berusaha meraih Agil. Wajahnya kesi, sebagian daging pipinya terkelupas memperlihatkan tulang di dalamnya.“Tidak! Tidak! Aku tak bisa membantumu, Bulan!” teriak Agil histeris. Teriakannya membangunkan Ibu, Ibu menggoncang-goncangkan tubuh Agil. “Bangun Gil!” Keringat dingin membasahi tubuhnya, mimpinya tadi seperti nyata. Beberapa kali pria itu menarik napas dalam-dalam, Ibu mengambilkan segelas air dan memberikannya pada Agil. “Maukah kamu menceritakan mimpimu pada Ibu?” kata Ibu. Dia bisa merasakan keresahan hati anaknya.
Agil merasakan perutnya melilit ketika melihat Arif berdiri di samping Ibu. Penampilan pria itu amat payah, baju kumal, muka brewok, mata kuyu serta rambut acak-acakan seperti zombie. Pemuda itu enggan bertemu Arif yang telah melecehkannya. Kakinya gelenyar, ia hendak menghindar, tapi tak enak dengan tatapan Ibu. Ketegangan mulai menyusup mengaliri darahnya. Tetapi dia paksakan untuk bersikap biasa saja. “Hi… apa kabar?” tanyanya basa basi. Agil menarik mulutnya ke atas membentuk senyum palsu. Arif tampak canggung, badannya kaku. Pria itu lebih banyak menunduk, seperti pesakitan menunggu vonis mati. “Maafkan kesalahanku Gil. Tolong kembalilah bekerja denganku, aku tak sanggup menangani iNiRice sendirian,” jawab pemuda itu terbata-bata, egonya runtuh berceceran. Kemudian dia menceritakan semua masalahnya. Lelaki itu tertegun, dia tak menyangka problem iNiRice separah itu sejak kepergiannya. Ada 200 orang lebih yang menyandarkan hidupnya di sana.
“Kamu sudah jadi milikku, cantik, tak usah malu-malu ayo lepaskan pakaianmu!” bujuk Ronald penuh nafsu. Matanya liar menelusuri tiap jengkal tubuh montok di hadapannya. “Sabar dulu, Om, bukankah kita baru sampai, bagaimana kalau kita melakukan permainan dulu,” ucap Chandra menolak membuka bajunya. “Em, misalnya foreplay.” Bah! Memangnya permainan foreplay seperti apa? Apakah semacam permainan kartu, tebak-tebakan atau gundu… entahlah! Ia tidak tahu. Gadis itu menguping dan meniru apa yang di katakan Mba Sri dengan teman lelakinya. Mba Sri adalah saudara jauhnya yang mengajaknya mencari pekerjaan di kota. Sebagai gadis dusun, Chandra mengagumi penampilan Mba Sri yang wah. Ia seperti artis, kulit Mba Sri terawat dan selalu memakai bedak, make up tebal serta bulu mata lentik yang membuat mata
Mata Chandra lelah setelah memainkan hape pemberian Agil. Gadis itu menoleh ke samping ke ranjang teman sekamarnya. “Halo Tante,” sapa Chandra ramah ketika melihat tangan perempuan itu merapikan selendang biru yang dipakainya. Perempuan itu menoleh, wajahnya amat pucat dan badannya kurus. Mata mereka bertemu. Tanpa di duga wanita itu histeris saat melihat Chandra. Dalam hitungan detik perempuan itu sudah berada di sampingnya dan merengkuh kepala Chandra, lalu mendekapnya erat hingga membuat gadis itu susah bernapas.Jantung Chandta terkesiap. Perempuan itu menciumi Chandra dengan terus meratap. “
Sepulangnya dari rumah sakit, Agil melepas dan menendang sepatunya ke sudut kamar. Romannya murung, kedua alisnya menyatu menandakan ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Dia lantas membaringkan tubuhnya ke pembaringan di atas tumpukan koran yang baru dibelinya tadi pagi. Ingatannya melayang-layang tak tentu arah, pertemuan yang tak sengaja dengan Chandra, Mirna, dan kemunculan Bulan di samping ranjang Mirna membuat otaknya berpacu keras. “Apakah antara mereka memiliki ikatan keluarga?” gumamnya lirih. Lelaki itu menghembuskan napas berat ke udara. Adalah Bulan, hantu cantik yang diam-diam mencuri hatinya dan menyiksanya dengan kerinduan. Ini pertama kalinya dalam hidupnya ia menyayangi seorang wanita selain ibunya. Kebalikan dari sifat Agil, Bu
Semburat sinar mentari menuntun Agil pergi ke rumah sakit. Cuaca pagi itu masih dingin, sementara embun di atas rumput dan dedaunan tampak indah berkilau seperti mutiara di pelataran rumah sakit. Langkah pria itu tegap dan senyumnya mengembang, dari jauh dia melihat Chandra sudah rapi di depan kamarnya bersama Tante Mirna. Dia melambaikan tangannya, gadis itu membalasnya. “Eh… kok pagi-pagi sudah ke sini? Apa kamu tidak bekerja?” tanyanya ramah. Dia senang dengan kedatangan pria itu. Agil kelihatan perlente dengan jeans biru dan kemeja putih yang lengannya digulung ke dalam, serta parfumnya yang beraroma kayu, aroma yang mengingatkan Chandra pada bau hutan pinus di desanya. Ia menghirupnya kuat-kuat memenuhi rongga dadanya.
Agil hendak memarkir motornya di depan kantor iNiRice ketika sebuah mobil Lexus masuk danAgil” tanya berhenti di dekatnya. Seorang perempuan setengah baya turun, kemudian dengan tergesa-gesa membuka pintu belakang mobil sebelah kiri.“Hati-hati kepalanya Nyonya…”Kali ini yang keluar adalah wanita cantik dengan penampilan jetset. Sepatu high heels hitam dengan gelang kaki mutiara yang menampakkan kemewahan dan keanggunan menghiasi kakinya yang panjang dan putih. Dia langsung masuk ke kantor iNiRice diikuti oleh perempuan yang terlihat seperti asistennya.“Di mana kantor Pak wanita cantik itu sambil berkacak pinggang.“Sebentar lagi beliau datang, Bu. Ibu silahkan duduk dulu di sini?” jawab Pak Maman menghentikan pekerjaannya.“Eh… berani sekali kamu menyuruh saya duduk. Apa kamu tidak tahu siapa saya?!” kata perempuan itu ketus dan matanya mendelik menguliti
Dokter Samuel membuka plester dan kain kasa yang menutupi kedua mata Chandra. “Chandra bukalah mata pelan-pelan,” suaranya sangat tenang dan hangat. Chandra membuka matanya pelan-pelan lalu mengerjap- ngerjapkan mata sebelum melihat ke sekeliling. Semua yang ada di kamar itu menahan napas. Senyum Chandra mengembang lebar ketika melihat satu persatu orang yang disayanginya berada di sisinya. Ia menyebutnya satu persatu. “Agil, Tante, Emak, Bapak, Bik Mar.” Chandra terdiam saat melihat lelaki paruh baya berada di samping Bik Mar. “Dia siapa Gil? Apakah itu suami Bik Mar” “Alhamdulillah! Chandra bisa melihat lagi,” seru Agil kemudian dia sujud syukur. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih Dokter!” Agil menyalami Dokter Samuel yang terlihat lega operasinya berhasil. “Sama-sama,” kata Dokter Samuel. Kemudian dia pamit. Ibu, Emak dan Bik Mar serentak menangis memeluk Chandra.
Pagi yang dingin, kabut masih menyelimuti pondok. Titik-titik embun yang menempel di daun kersen sesekali jatuh membasahi sepasang anak manusia yang bersenda gurau di bawahnya. Mereka duduk di amben. “Kita main tebak-tebakkan, yuk,” kata Agil dengan hati senang melihat Chandra ada bersamanya. Chandra menelengkan mukanya, beberapa hari tinggal di pondok membuat mukanya kian cantik berseri. “Mmmm… sepertinya menyenangkan. Kita main tebak-tebakan apa?” “Dalam permainan tebak-tebakan ini, aku ingin menguji indra penciuman dan pengecapmu. Setelah itu kamu mengatakannya kepadaku apa rasa makanan
“Kenapa tak kau tanyakan saja pada Silvia!” bentak Agil. “Sekarang aku bertanya kepadamu? Untuk apa kamu membakar rumahku, Dil?!! Untuk apa juga kamu membayar orang untuk membunuhku dan Chandra!!” dengusnya kesal. Mata Fadil terbelalak. Dia tak menyangka Agil mengetahui apa yang dia lakukan. Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Agil. Giginya gemeretuk menahan marah. “Aku ingin melenyapkanmu karena kamu tahu terlalu banyak. Bukankah sudah kukatakan jangan turut campur dengan kematian Bulan. Sayangnya kamu mengabaikan nasehatku.” Matanya menatap penuh kebencian pada Agil. “Bukankan tugas kamu sebagai penegak hukum? Kenapa kamu justru melarangku? Aku hanya mau membantunya mencari keadilan!”
“Tidak!” Jawaban singkat yang terucap dari bibir Mirna yang menyilet hati Arif. Lelaki itu mendorong pelan tubuh Mirna ke dinding. Tatapan kecewa tampak jelas dari sorot matanya.“Bukankah dulu kita saling mencintai sayang? Aku tahu kamu masih menungguku. Jika tidak kamu pasti sudah merubah password apartemen ini,” tuduh laki-laki itu membela diri. Suara Arif mulai meninggi, wajahnya menegang. Dia tetap teguh dengan keputusan ingin menikahi perempuan pujaannya itu. Mirna memejamkan mata, dan mengeluarkan napas perlahan. “Maafkan aku. Sayangnya kamu salah! Cintaku kepadamu tak sebesar cintaku pada papamu, selama ini aku hanya memanfaatkan kamu untuk mengobati rasa rinduku padanya,” kata Mirna dengan suara serak. Sepahit apap
Siang yang begitu terik, matahari semakin garang memancarkan panasnya.Mirna pasrah, saat dirinya diikat dengan rantai dan diseret seperti sebuah mainan. Seluruh badannya lebam dan luka terkena batu-batu kerikil yang tajam. Kemudian tanpa ampun perempuan bercadar itu melemparkan tubuh Mirna di atas bantalan rel kereta api dan menindih pahanya dengan sebuah batu besar. Dia tak bisa bergerak dan membiarkan kulitnya melepuh terkena panasnya landasan besi kereta api. Perempuan bercadar itu berjongkok di samping Mirna, tangannya memegang wajah Mirna dengan kasar. “Kali ini kamu pasti mampus. Sebentar lagi kereta api datang dan mencincang tubuh seksimu!” Perempuan itu tertawa terbahak-bahak lalu menangis pilu. “Sudah lama sekali aku ingin membunuhmu, tapi baru kali aku berani.” Dia mengambil jeda. “Aku sangat benc
Kejutan luar biasa! “Tapi… bagaimana bisa dan kenapa Silvia ingin membunuh Bik Eha?” tanya Agil tak mengerti. Tak mudah bagi Agil untuk mempercayai penjelasan Bik Eha. Semua terlihat tak masuk akal. Bagaimana mungkin Bik Eha dapat memerankan aktingnya, berpura-pura gila begitu sempurna selama belasan tahun? Bik Eha tertawa kecil. “Bisa saja Mas, karena tidak ada yang peduli dengan orang gila.” Penyamaran jenius! Agil manggut-manggut mengagumi Bik Eha dalam mempertahankan hidupnya. Bik Ehan benar. Siapa yang perduli dengan orang gila. Sebagian besar masyarakat menganggap orang gila negatif, bukan hanya dikucilkan mereka juga dijauhi. Agil menelan kekecewaan sekaligus ke
Atas persetujuan Dokter Runi, Agil membawa Bik Eha berlibur. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di RSJ Kenanga. Dari jauh Agil melihat Bik Eha duduk di depan kamarnya, dia memakai celana kulot hitam dan kaos warna ungu. Rambutnya diikat satu. “Pagi, Bibik apa sudah sarapan?”“Sudah.” Bik Eha kelihatan senang sekali, matanya berpendar indah saat melihat Agil datang.“Hari ini Agil mau mengajak Bik Eha bersenang-senang. Kita ke salon, beli baju, makan dan jalan-jalan sepuasnya. Bik Eha sudah siap kan?” tanya Agil.“He-eh.” Bik Eha girang, dia langsung mengamit tangan Agil.Agil membukakan pintu mobil untuk Bik Eha, dan membantu mengenakan seat belt untuknya. Perempuan itu duduk anteng di sebelah Agil.Pemuda itu mengetik pesan di messanger sebelum naik ke mobil. &ld
Jam 4 sore Agil menemui Frans di rumahnya yang asri. Di sana sudah ada AKP Ajun yang hari itu memakai kaos polo warna tosca dan jeans hitam. Dia kelihatan santai sambil menikmati wine dan kue keju. Menilik dari bentuk dan aromanya, Agil bisa menebak kue keju itu kiriman dari Tante Mirna. Frans baru selesai mandi ketika Agil datang. Rambutnya masih basah dan wangi sabun menyeruak dari badannya. “Duduklah dulu, kamu minum apa? Kopi atau wine? “Air putih saja, Om,” jawab Agil. Dia tidak terbiasa minum wine. AKP Ajun tertawa, “Ayolah man, apa salahnya mencicipi sedikit wine, supaya badan hangat dikit.” Dia menepuk bahu Agil.
Seminggu berlalu dengan lambat. Setelah urusan kantor selesai, Agil bergegas pergi menemui Chandra di apartemen Tante Mirna. Rasa kangennya pada gadis itu membuncah. Agil mampir ke toko bunga yang berdampingan dengan toko coklat membelikan Chandra bunga lavender serta sekotak coklat kesukaannya. Pria itu berjalan riang naik lift menuju tempat tinggal Tante Mirna. Imajinasinya melayang Chandra akan menyambutnya hangat. Tante Mirna membuka pintu, apron yang dipakainya belepotan tepung, dia mengajak Agil masuk. Rupanya Tante Mirna sedang membuat. Aroma harum menyebar membuat pria itu penasaran apa yang dibuat oleh Tante Mirna. Penampilan perempuan itu kini berubah drastis. Yang dulunya suka pake baju ketat, kini lebih suka memakai daster bila di rumah. Ia juga amat sabar mer