Semburat sinar mentari menuntun Agil pergi ke rumah sakit. Cuaca pagi itu masih dingin, sementara embun di atas rumput dan dedaunan tampak indah berkilau seperti mutiara di pelataran rumah sakit. Langkah pria itu tegap dan senyumnya mengembang, dari jauh dia melihat Chandra sudah rapi di depan kamarnya bersama Tante Mirna. Dia melambaikan tangannya, gadis itu membalasnya.
“Eh… kok pagi-pagi sudah ke sini? Apa kamu tidak bekerja?” tanyanya ramah. Dia senang dengan kedatangan pria itu. Agil kelihatan perlente dengan jeans biru dan kemeja putih yang lengannya digulung ke dalam, serta parfumnya yang beraroma kayu, aroma yang mengingatkan Chandra pada bau hutan pinus di desanya. Ia menghirupnya kuat-kuat memenuhi rongga dadanya.
Agil hendak memarkir motornya di depan kantor iNiRice ketika sebuah mobil Lexus masuk danAgil” tanya berhenti di dekatnya. Seorang perempuan setengah baya turun, kemudian dengan tergesa-gesa membuka pintu belakang mobil sebelah kiri.“Hati-hati kepalanya Nyonya…”Kali ini yang keluar adalah wanita cantik dengan penampilan jetset. Sepatu high heels hitam dengan gelang kaki mutiara yang menampakkan kemewahan dan keanggunan menghiasi kakinya yang panjang dan putih. Dia langsung masuk ke kantor iNiRice diikuti oleh perempuan yang terlihat seperti asistennya.“Di mana kantor Pak wanita cantik itu sambil berkacak pinggang.“Sebentar lagi beliau datang, Bu. Ibu silahkan duduk dulu di sini?” jawab Pak Maman menghentikan pekerjaannya.“Eh… berani sekali kamu menyuruh saya duduk. Apa kamu tidak tahu siapa saya?!” kata perempuan itu ketus dan matanya mendelik menguliti
Agil baru saja selesai meeting dengan Ibu Silvia dan 3 teman sosialitanya, mereka tertarik untuk menanamkan modal di iNiRice. Agil menceritakan kabar gembira ini pada Arif. Bukannya bahagia, pria itu malah menanyakan hal lain yang tak ada kaitan sama sekali dengan perusahaan. “Apa kamu sudah menyimpan barang-barangku dengan baik? Tolong jauhkan dari Mamaku,” pintanya setengah berbisik, Agil nyaris tak bisa mendengarnya. Ia melihat ke arah lemari besi. “Ah… untung saja!” gumam pria berbahu lebar itu lega. Kemarin Ibu Silvia telah meminta barang-barang Arif, tapi karena Agil sibuk, dia lupa memberikan padanya. Barang Arif sebenarnya tak banyak, ada beberapa binder, buku catatan, beberapa buku marketing dan IT. Pria itu menjadi penasaran, kenapa Arif memintanya untuk menyimpannya baik-baik? Kenapa pula Ibu Sil
Mirna menghentikan mobilnya di depan rumah bercat putih. Dia mengambil remot dan menekannya, pintu pagar rumah terbuka sendiri. Chandra takjub! Mulutnya melongo, seumur- umur baru kali ini melihat pintu pagar seperti punya Tante Mirna. ”Wow keren!” celetuknya tak sadar. Haji Komar, orang terkaya di desanya pagar rumahnya biasa saja. Mirna hanya tersenyum mendengar celetukan gadis itu. “Ayo masuk,” ajaknya sambil membuka pintu rumah, gadis itu mengikutinya. Chandra melayangkan pandang, rumah bergaya minimalis dengan taman kecil itu kelihatan sunyi dan muram. Sisa-sisa rintik hujan tadi pagi masih terasa basah pada daun-daun bunga kamboja, bougenvile yang berserakan menutupi rumput yang mulai meninggi. Sedangkan bunga gantung yang berderet indah di teras sebagian layu dan kering. Gadis itu merasakan ketidaknyamanan, ada hawa dingin menyapu wajahnya saat memasuki rumah Tante Mirna. ia percaya takhayul, kematian Bulan yang tidak wajar membuat bulu kudukny
Agil masih terjaga, meski malam mulai tadi merambat naik. Mata pria itu masih sibuk menelusuri rekapan laporan delivery oder iNiRice. Ada sesuatu yang menarik hatinya, di sana tertera sepuluh kali pengiriman barang hampir setiap minggu ke Jalan Kenanga 9 yang ditujukan pada Dewi atas perintah Arif. Kening pemuda itu mengernyit, siapakah Dewi? Pria itu melirik ponsel yang tergeletak di atas meja. Agil mengambilnya, seketika ia teringat Chandra, bukankah gadis itu tinggal bersama Tante Mirna hari ini dan dia tinggal di Jalan Kenanga. Untuk membuktikan dia tidak salah, Agil membuka kembali percakapannya dengan gadis itu tadi sore. Benar! Alamat Tante Mirna sama dengan yang tertulis pada delivery order. Aneh! Melihat Chandra masih online, Agil menelponnya.”Halo, Can… kenapa kamu belum tidur?” 
Dari kaca spion, Agil mengamati dengan awas dua motor yang mengikutinya semenjak dari rumah Tante Mirna. Ia berusaha mengecoh mereka dengan membelokkan motornya ke mini market, membeli onigiri dan air mineral, kemudian duduk di teras mini market. Ia berusaha menenangkan diri dengan meminum beberapa teguk air, sembari memperhatikan keadaan. Ponselnya berdering, dari Ibu Silvia. Lelaki itu jengah mengangkatnya. Setelah aman, Agil melanjutkan perjalanannya ke kantor iNiRice, namun dugaannya salah. Tiba-tiba dari belakang muncul motor dan memepetnya lalu menggiringnya ke gang buntu. Empat orang laki-laki bertato dan berbadan besar turun dari motor dan tanpa kode langsung menghajarnya hingga babak belur. “Ini baru peringatan pertama!” kata salah seorang pria itu sambil menodongkan sebilah pisau ke leher Agil sebelum meninggalkan pemuda itu
“Kebakaran… kebakaran!” teriak Ibu panik, perempuan tua itu segera berlari mengambil air di sumur tak peduli pekatnya malam yang kian menggigit. Dia terus mengisi ember dengan air, bulir-bulir peluh mulai membasahi badannya. “Cepat padamkan apinya Gil!” katanya berulang kali. Kecemasan tergambar jelas dari raut mukanya. Teriakan Ibu membangunkan tetangga kiri kanan, orang-orang datang dan membantu memadamkan api. Mereka beruntung, rumahnya tidak mengalami kerusakan berarti, hanya daun jendela kamar Agil yang gosong. “Untung tadi sempat ketahuan, kalau tidak… entahlah, mungkin kami sudah mati terpanggang di sini, “kata Ibu pilu, matanya tak dapat menyembunyikan kengerian. “Terima kasih bapak-bapak sudah membantu kami,” imbuh Ibu. Dia pergi ke dapur, membuatkan minuman hangat da
Udara siang ini begitu lembab, napas Chandra pendek. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, ia duduk di teras di depan kamar, ditemani Orange kucing manis yang mendengkur di pangkuannya. Gadis itu tampak gelisah, matanya berulang kali melirik ponsel seperti mengharap sesuatu. Ia mendesah panjang, hampir seminggu ia belum menerima kabar dari Agil, semenjak Tante Mirna tak mengijinkan pria itu datang ke rumahnya, ada rasa khawatir yang menyelimuti hati Chandra. Bagaimana ini? Apakah dia marah padaku? Kenapa dia kini menjadi peduli pada Agil? Bukankah dia bukan siapa-siapa? Tapi gadis itu diam-diam sangat merindukan perhatian-perhatian kecil dari Agil terutama mata teduh dan senyum manis yang membuat hatinya meleleh. Agil berbeda dengan laki-laki yang dikenalnya. Sikap pemuda itu santun dan memandangnya sebagai perempuan utuh, apa adanya ta
Chandra sudah berganti pakaian, dia kelihatan segar dengan baju casual dan rambut yang diikat ekor kuda. Setelah itu dia memoles wajahnya dengan bedak tipis lalu mematut dirinya di depan di cermin. “Sepertinya ada yang kurang, tapi apa ya?” gumamnya pelan. Tiba-tiba lipstik pink jatuh, gadis itu memungutnya dan menyapunya di atas bibir. “Voila sempurna! Terima kasih Bulan,” katanya tertawa geli. Ia bisa merasakan Bulan sedang mengamatinya saat ini.Tak berselang lama terdengar suara tawa mengikik di belakang Chandra membuat tengkuk gadis itu meremang. Tapi dia berusaha bersikap biasa saja.”Oke-oke, sebentar lagi aku keluar bersama Agil, kamu mainlah bersama Orange di sini,” kata Chandra asal.Tak ada jawaban. Sambil menunggu Agil, Chandra mengambil novel milik Bulan yang tersusun rapi di rak, gadis itu memiliki koleksi buku menarik yang membuat Chandra bahagia.
Dokter Samuel membuka plester dan kain kasa yang menutupi kedua mata Chandra. “Chandra bukalah mata pelan-pelan,” suaranya sangat tenang dan hangat. Chandra membuka matanya pelan-pelan lalu mengerjap- ngerjapkan mata sebelum melihat ke sekeliling. Semua yang ada di kamar itu menahan napas. Senyum Chandra mengembang lebar ketika melihat satu persatu orang yang disayanginya berada di sisinya. Ia menyebutnya satu persatu. “Agil, Tante, Emak, Bapak, Bik Mar.” Chandra terdiam saat melihat lelaki paruh baya berada di samping Bik Mar. “Dia siapa Gil? Apakah itu suami Bik Mar” “Alhamdulillah! Chandra bisa melihat lagi,” seru Agil kemudian dia sujud syukur. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih Dokter!” Agil menyalami Dokter Samuel yang terlihat lega operasinya berhasil. “Sama-sama,” kata Dokter Samuel. Kemudian dia pamit. Ibu, Emak dan Bik Mar serentak menangis memeluk Chandra.
Pagi yang dingin, kabut masih menyelimuti pondok. Titik-titik embun yang menempel di daun kersen sesekali jatuh membasahi sepasang anak manusia yang bersenda gurau di bawahnya. Mereka duduk di amben. “Kita main tebak-tebakkan, yuk,” kata Agil dengan hati senang melihat Chandra ada bersamanya. Chandra menelengkan mukanya, beberapa hari tinggal di pondok membuat mukanya kian cantik berseri. “Mmmm… sepertinya menyenangkan. Kita main tebak-tebakan apa?” “Dalam permainan tebak-tebakan ini, aku ingin menguji indra penciuman dan pengecapmu. Setelah itu kamu mengatakannya kepadaku apa rasa makanan
“Kenapa tak kau tanyakan saja pada Silvia!” bentak Agil. “Sekarang aku bertanya kepadamu? Untuk apa kamu membakar rumahku, Dil?!! Untuk apa juga kamu membayar orang untuk membunuhku dan Chandra!!” dengusnya kesal. Mata Fadil terbelalak. Dia tak menyangka Agil mengetahui apa yang dia lakukan. Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Agil. Giginya gemeretuk menahan marah. “Aku ingin melenyapkanmu karena kamu tahu terlalu banyak. Bukankah sudah kukatakan jangan turut campur dengan kematian Bulan. Sayangnya kamu mengabaikan nasehatku.” Matanya menatap penuh kebencian pada Agil. “Bukankan tugas kamu sebagai penegak hukum? Kenapa kamu justru melarangku? Aku hanya mau membantunya mencari keadilan!”
“Tidak!” Jawaban singkat yang terucap dari bibir Mirna yang menyilet hati Arif. Lelaki itu mendorong pelan tubuh Mirna ke dinding. Tatapan kecewa tampak jelas dari sorot matanya.“Bukankah dulu kita saling mencintai sayang? Aku tahu kamu masih menungguku. Jika tidak kamu pasti sudah merubah password apartemen ini,” tuduh laki-laki itu membela diri. Suara Arif mulai meninggi, wajahnya menegang. Dia tetap teguh dengan keputusan ingin menikahi perempuan pujaannya itu. Mirna memejamkan mata, dan mengeluarkan napas perlahan. “Maafkan aku. Sayangnya kamu salah! Cintaku kepadamu tak sebesar cintaku pada papamu, selama ini aku hanya memanfaatkan kamu untuk mengobati rasa rinduku padanya,” kata Mirna dengan suara serak. Sepahit apap
Siang yang begitu terik, matahari semakin garang memancarkan panasnya.Mirna pasrah, saat dirinya diikat dengan rantai dan diseret seperti sebuah mainan. Seluruh badannya lebam dan luka terkena batu-batu kerikil yang tajam. Kemudian tanpa ampun perempuan bercadar itu melemparkan tubuh Mirna di atas bantalan rel kereta api dan menindih pahanya dengan sebuah batu besar. Dia tak bisa bergerak dan membiarkan kulitnya melepuh terkena panasnya landasan besi kereta api. Perempuan bercadar itu berjongkok di samping Mirna, tangannya memegang wajah Mirna dengan kasar. “Kali ini kamu pasti mampus. Sebentar lagi kereta api datang dan mencincang tubuh seksimu!” Perempuan itu tertawa terbahak-bahak lalu menangis pilu. “Sudah lama sekali aku ingin membunuhmu, tapi baru kali aku berani.” Dia mengambil jeda. “Aku sangat benc
Kejutan luar biasa! “Tapi… bagaimana bisa dan kenapa Silvia ingin membunuh Bik Eha?” tanya Agil tak mengerti. Tak mudah bagi Agil untuk mempercayai penjelasan Bik Eha. Semua terlihat tak masuk akal. Bagaimana mungkin Bik Eha dapat memerankan aktingnya, berpura-pura gila begitu sempurna selama belasan tahun? Bik Eha tertawa kecil. “Bisa saja Mas, karena tidak ada yang peduli dengan orang gila.” Penyamaran jenius! Agil manggut-manggut mengagumi Bik Eha dalam mempertahankan hidupnya. Bik Ehan benar. Siapa yang perduli dengan orang gila. Sebagian besar masyarakat menganggap orang gila negatif, bukan hanya dikucilkan mereka juga dijauhi. Agil menelan kekecewaan sekaligus ke
Atas persetujuan Dokter Runi, Agil membawa Bik Eha berlibur. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di RSJ Kenanga. Dari jauh Agil melihat Bik Eha duduk di depan kamarnya, dia memakai celana kulot hitam dan kaos warna ungu. Rambutnya diikat satu. “Pagi, Bibik apa sudah sarapan?”“Sudah.” Bik Eha kelihatan senang sekali, matanya berpendar indah saat melihat Agil datang.“Hari ini Agil mau mengajak Bik Eha bersenang-senang. Kita ke salon, beli baju, makan dan jalan-jalan sepuasnya. Bik Eha sudah siap kan?” tanya Agil.“He-eh.” Bik Eha girang, dia langsung mengamit tangan Agil.Agil membukakan pintu mobil untuk Bik Eha, dan membantu mengenakan seat belt untuknya. Perempuan itu duduk anteng di sebelah Agil.Pemuda itu mengetik pesan di messanger sebelum naik ke mobil. &ld
Jam 4 sore Agil menemui Frans di rumahnya yang asri. Di sana sudah ada AKP Ajun yang hari itu memakai kaos polo warna tosca dan jeans hitam. Dia kelihatan santai sambil menikmati wine dan kue keju. Menilik dari bentuk dan aromanya, Agil bisa menebak kue keju itu kiriman dari Tante Mirna. Frans baru selesai mandi ketika Agil datang. Rambutnya masih basah dan wangi sabun menyeruak dari badannya. “Duduklah dulu, kamu minum apa? Kopi atau wine? “Air putih saja, Om,” jawab Agil. Dia tidak terbiasa minum wine. AKP Ajun tertawa, “Ayolah man, apa salahnya mencicipi sedikit wine, supaya badan hangat dikit.” Dia menepuk bahu Agil.
Seminggu berlalu dengan lambat. Setelah urusan kantor selesai, Agil bergegas pergi menemui Chandra di apartemen Tante Mirna. Rasa kangennya pada gadis itu membuncah. Agil mampir ke toko bunga yang berdampingan dengan toko coklat membelikan Chandra bunga lavender serta sekotak coklat kesukaannya. Pria itu berjalan riang naik lift menuju tempat tinggal Tante Mirna. Imajinasinya melayang Chandra akan menyambutnya hangat. Tante Mirna membuka pintu, apron yang dipakainya belepotan tepung, dia mengajak Agil masuk. Rupanya Tante Mirna sedang membuat. Aroma harum menyebar membuat pria itu penasaran apa yang dibuat oleh Tante Mirna. Penampilan perempuan itu kini berubah drastis. Yang dulunya suka pake baju ketat, kini lebih suka memakai daster bila di rumah. Ia juga amat sabar mer