“Kamu dari mana, heh!” Mirna langsung menjambak rambut panjang Chandra saat gadis itu membuka pintu. ”Bukankah sudah kuminta kamu tidak boleh ke mana-mana. Sekarang kamu malah berani mengelabuiku!”
Gadis itu menjerit kesakitan.” Ampun Te! Lepaskan… lepaskan, ini sakit!” Ia memegangi tangan Mirna.
Namun, wanita paruh baya itu tak mau melepaskan cengkramannya, dia malah membabi buta menyeret gadis itu ke kamarnya dan memaksanya masuk ke kamar mandi.
Mirna berubah menjadi monster cantik. Mata perempuan itu merah, wajahnya bengis, tangannya meraih gunting yang ada di rak gantung lalu memotong rambut Chandra seperti orang kesetanan. Chandra histeris dan berontak. “Ampun Te… ampun!” Ia ketakutan setengah mati.
Semakin gadis itu berteriak Mirna semakin sadis menggunduli
Setelah lama arwah Bulan tak menampakkan diri. Malam itu dia datang ke kamar Agil. Wajahnya kelihatan kuyu dan lusuh.“Kenapa kamu murung?” Agil memandang Bulan curiga. Tak biasanya sikap gadis itu dingin, tatapannya kosong dan tidak ada senyum secuil pun yang menghiasi wajahnya. ”Apakah kamu kangen nasi gorengku?” canda lelaki itu menarik perhatian.Bulan bergeming.Agil mulai gelisah ketika Bulan tidak menjawab pertanyaannya. Lelaki itu mendekatkan kursinya dekat Bulan. Bulan menyingkir dan mengalihkan pandangannya ke jendela. “Kasihan Chandra…” katanya pendek kemudian dia pergi menghilang begitu saja. Pemuda manis itu termenung. Kenapa Chandra? Agil mengernyitkan keningnya. Apakah dia ada masalah? L
“Apa kamu bilang?” Senyum manis yang tadi menghiasi wajah Mirna sontak hilang. Roman mukanya berubah kaku, dia tak menyukai jawaban Chandra. “Saya mau pulang kampung,” ucap Chandra sekali lagi. Gadis itu merogoh saku celana, memegang benda yang terlipat rapi dengan ujung tajam di dalamnya. Jantungnya menggerisik. Mendengar jawaban gadis itu, seketika Mirna mengamuk. Kelembutan perempuan itu telah sirna dalam sekejap. “Kamu gak boleh pulang kampung! Kamu harus tetap di sini bersamaku!” Dia berdiri dan mencengkeram lengan Chandra kuat. Chandra berusaha bersikap tenang dan menatap Mirna dengan tatapan meledek. Meski hatinya akan meledak karena ketakutan. Dia tak boleh kalah dan takut dengan Mirna. Ia harus bisa menaklukan perempuan
Hati Chandra tidak tenang, dia ingin menemui Agil, tapi dia bingung bagaimana bisa keluar rumah dengan aman tanpa diketahui oleh Tante Mirna. Gadis itu mondar-mandir di kamar dengan satu tangan menopang dagu. Gerak-geriknya kini tak leluasa setelah Tante Mirna memasang CCTV. “Pasti ada jalan,” katanya dengan semangat. Matanya mengerling melihat sprei yang terbentang di atas kasur. Tengah malam, Chandra mengulurkan sprei yang telah dirangkainya menjadi tali hingga ke bawah dan mengikatnya kuat ke pagar besi teras kamarnya. Dengan menahan napas, gadis itu turun perlahan-lahan lalu naik ke pohon mangga yang cabangnya menjulur ke luar pagar. Ternyata dia masih lincah naik pohon. Hup! Kaki Chandra lentur menjejakkan kaki ke tanah, gadis itu tersenyum lebar karena sudah berada di luar rumah. Dia berjalan beberapa langkah dan menemui
“Hmmm… apa tujuan Mirna mengakui Chandra sebagai anaknya?” gumam Agil pelan. Apakah ini cara dia untuk menjebak gadis itu? Pemuda itu tak percaya dengan keterangan Pak Maman setelah dia melihat kekejaman Mirna pada Chandra. Bermacam pertanyaan berseliweran di kepalanya. Detik jam telah berlalu, tapi Agil masih belum beranjak dari tempat duduknya. Kening lelaki berkerut, ia telah berjanji pada Ibu untuk tidak turut campur masalah keluarga Mirna tetapi dia tak tega membiarkan Chandra mengorbankan hidupnya untuk menelusuri pembunuhan Bulan. Agil tahu gadis itu kuat, tapi dia luruh melihat kerapuhan dan kehampaan dalam mata Chandra. Pria itu ingin melindunginya. Astaga! Mungkin dia terlalu berlebihan, tapi dia tak rela gadis itu tersakiti.“Mas… menunggu siapa, dari tadi terlihat gelisah?” tanya B
“Apakah kamu menyukai Chandra?” tanya Bulan, dia berdiri dan memandang Agil penuh arti sedangkan tangannya memainkan gantungan kunci motor yang tergeletak di atas meja. “Aku hanya mau melindunginya,” jawab Agil dan membalas tatapan Bulan. Dia tidak mau gadis itu cemburu pada Chandra seperti sebelumnya. Lucunya, pria tersebut mulai membandingkan mereka, yang satu nyata, satunya tidak nyata. Agil tersenyum kecut, betapa lucu lakon hidup hidupnya. “Hanya itu?” Bulan menyentuh lembut jemari Agil. Dia tak suka menanyakan hal itu pada Agil, tapi dia ingin tahu. Agil mematung, dia tak hendak mengucapkan apa pun karena khawatir jawabannya nanti takut menyinggung perasaan
Kalau seandainya hidup ini sempurna, Agil mau menolak permintaan Chandra dan membiarkan gadis itu membencinya, sayangnya dia termasuk tipe orang yang ciut mengatakan tidak, terutama pada perempuan karena alasan klise tak tega mengecewakan hati mereka. Dalam fantasi Agil, dia adalah seorang lelaki yang menyelamatkan Chandra yang terjebak dalam istana kemudian Chandra memohon-mohon padanya, meskipun resiko yang harus ia tanggung tidak menyenangkan bahkan bisa membuatnya terbunuh. Kalau sekarang ibunya marah, pria itu bisa memahami dan menerima konsekuensinya. Ia tak bisa mundur dan melepaskan apa yang telah ia sanggupi. Sama saja dirinya pecundang dan hal itu melemahkan dirinya sebagai laki-laki.“Jadi kamu gak mau dengerin perkataan Ibu lagi?” Suara perempuan itu terdengar terluka, dia kecewa dengan keputusan anak
Wangi bunga kamboja menyeruak menusuk indra penciuman Agil, kemudian terdengar suara tawa melengking yang membuat bulu kuduknya tegak. Pria itu mendongak dan di salah satu dahan bunga kamboja matanya terpaku pada sesosok kuntilanak dengan baju putih penuh bercak darah. Kaki kuntilanak tersebut berayun santai seraya tertawa mengejek kepadanya.“Busyet dah! Ini makam beneran! Gimana ceritanya aku bisa sampai ke sini?” gerutu Agil. Dia menyumpah-nyumpah sendiri. “Hihihihihi… makanya kalau naik motor jangan melamun.” Agil acuh dengan ledekan kuntilanak dan berusaha menghidupkan motor. Mati! Alisnya bertaut. Ia berusaha tetap berpikir waras. Bensin penuh dan kondisi motornya tidak ada masalah, kenapa bisa mati?Kemudian dia mendorong motornya, berat! Motor itu susah digerakkan. Berulang kali dia me
Cinta membuat kita tersenyum.Cinta juga yang membuat kita kuat dan bertahan.Cinta pula yang membuat kita menangis dan menderita PLAK! “Sadar bro! Kamu gila, buka matamu dia bukan Mirna tapi ibuku!” Agil mendorong tubuh Arif keras hingga lelaki bertubuh atletis itu terjatuh. Lelaki itu sangat kesal dan malu melihat Arif yang kini hanya memakai celana dalam di depan ibunya. Arif terlentang di lantai dia menangis meraung-raung seperti anak kecil. “Huhuhuhu… tolong aku Tante, aku tak bisa hidup tanpa Mirna.” Kegilaan apa lagi yang akan Arif tunjukkan. Agil meremas rambutnya. &l
Dokter Samuel membuka plester dan kain kasa yang menutupi kedua mata Chandra. “Chandra bukalah mata pelan-pelan,” suaranya sangat tenang dan hangat. Chandra membuka matanya pelan-pelan lalu mengerjap- ngerjapkan mata sebelum melihat ke sekeliling. Semua yang ada di kamar itu menahan napas. Senyum Chandra mengembang lebar ketika melihat satu persatu orang yang disayanginya berada di sisinya. Ia menyebutnya satu persatu. “Agil, Tante, Emak, Bapak, Bik Mar.” Chandra terdiam saat melihat lelaki paruh baya berada di samping Bik Mar. “Dia siapa Gil? Apakah itu suami Bik Mar” “Alhamdulillah! Chandra bisa melihat lagi,” seru Agil kemudian dia sujud syukur. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih Dokter!” Agil menyalami Dokter Samuel yang terlihat lega operasinya berhasil. “Sama-sama,” kata Dokter Samuel. Kemudian dia pamit. Ibu, Emak dan Bik Mar serentak menangis memeluk Chandra.
Pagi yang dingin, kabut masih menyelimuti pondok. Titik-titik embun yang menempel di daun kersen sesekali jatuh membasahi sepasang anak manusia yang bersenda gurau di bawahnya. Mereka duduk di amben. “Kita main tebak-tebakkan, yuk,” kata Agil dengan hati senang melihat Chandra ada bersamanya. Chandra menelengkan mukanya, beberapa hari tinggal di pondok membuat mukanya kian cantik berseri. “Mmmm… sepertinya menyenangkan. Kita main tebak-tebakan apa?” “Dalam permainan tebak-tebakan ini, aku ingin menguji indra penciuman dan pengecapmu. Setelah itu kamu mengatakannya kepadaku apa rasa makanan
“Kenapa tak kau tanyakan saja pada Silvia!” bentak Agil. “Sekarang aku bertanya kepadamu? Untuk apa kamu membakar rumahku, Dil?!! Untuk apa juga kamu membayar orang untuk membunuhku dan Chandra!!” dengusnya kesal. Mata Fadil terbelalak. Dia tak menyangka Agil mengetahui apa yang dia lakukan. Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Agil. Giginya gemeretuk menahan marah. “Aku ingin melenyapkanmu karena kamu tahu terlalu banyak. Bukankah sudah kukatakan jangan turut campur dengan kematian Bulan. Sayangnya kamu mengabaikan nasehatku.” Matanya menatap penuh kebencian pada Agil. “Bukankan tugas kamu sebagai penegak hukum? Kenapa kamu justru melarangku? Aku hanya mau membantunya mencari keadilan!”
“Tidak!” Jawaban singkat yang terucap dari bibir Mirna yang menyilet hati Arif. Lelaki itu mendorong pelan tubuh Mirna ke dinding. Tatapan kecewa tampak jelas dari sorot matanya.“Bukankah dulu kita saling mencintai sayang? Aku tahu kamu masih menungguku. Jika tidak kamu pasti sudah merubah password apartemen ini,” tuduh laki-laki itu membela diri. Suara Arif mulai meninggi, wajahnya menegang. Dia tetap teguh dengan keputusan ingin menikahi perempuan pujaannya itu. Mirna memejamkan mata, dan mengeluarkan napas perlahan. “Maafkan aku. Sayangnya kamu salah! Cintaku kepadamu tak sebesar cintaku pada papamu, selama ini aku hanya memanfaatkan kamu untuk mengobati rasa rinduku padanya,” kata Mirna dengan suara serak. Sepahit apap
Siang yang begitu terik, matahari semakin garang memancarkan panasnya.Mirna pasrah, saat dirinya diikat dengan rantai dan diseret seperti sebuah mainan. Seluruh badannya lebam dan luka terkena batu-batu kerikil yang tajam. Kemudian tanpa ampun perempuan bercadar itu melemparkan tubuh Mirna di atas bantalan rel kereta api dan menindih pahanya dengan sebuah batu besar. Dia tak bisa bergerak dan membiarkan kulitnya melepuh terkena panasnya landasan besi kereta api. Perempuan bercadar itu berjongkok di samping Mirna, tangannya memegang wajah Mirna dengan kasar. “Kali ini kamu pasti mampus. Sebentar lagi kereta api datang dan mencincang tubuh seksimu!” Perempuan itu tertawa terbahak-bahak lalu menangis pilu. “Sudah lama sekali aku ingin membunuhmu, tapi baru kali aku berani.” Dia mengambil jeda. “Aku sangat benc
Kejutan luar biasa! “Tapi… bagaimana bisa dan kenapa Silvia ingin membunuh Bik Eha?” tanya Agil tak mengerti. Tak mudah bagi Agil untuk mempercayai penjelasan Bik Eha. Semua terlihat tak masuk akal. Bagaimana mungkin Bik Eha dapat memerankan aktingnya, berpura-pura gila begitu sempurna selama belasan tahun? Bik Eha tertawa kecil. “Bisa saja Mas, karena tidak ada yang peduli dengan orang gila.” Penyamaran jenius! Agil manggut-manggut mengagumi Bik Eha dalam mempertahankan hidupnya. Bik Ehan benar. Siapa yang perduli dengan orang gila. Sebagian besar masyarakat menganggap orang gila negatif, bukan hanya dikucilkan mereka juga dijauhi. Agil menelan kekecewaan sekaligus ke
Atas persetujuan Dokter Runi, Agil membawa Bik Eha berlibur. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di RSJ Kenanga. Dari jauh Agil melihat Bik Eha duduk di depan kamarnya, dia memakai celana kulot hitam dan kaos warna ungu. Rambutnya diikat satu. “Pagi, Bibik apa sudah sarapan?”“Sudah.” Bik Eha kelihatan senang sekali, matanya berpendar indah saat melihat Agil datang.“Hari ini Agil mau mengajak Bik Eha bersenang-senang. Kita ke salon, beli baju, makan dan jalan-jalan sepuasnya. Bik Eha sudah siap kan?” tanya Agil.“He-eh.” Bik Eha girang, dia langsung mengamit tangan Agil.Agil membukakan pintu mobil untuk Bik Eha, dan membantu mengenakan seat belt untuknya. Perempuan itu duduk anteng di sebelah Agil.Pemuda itu mengetik pesan di messanger sebelum naik ke mobil. &ld
Jam 4 sore Agil menemui Frans di rumahnya yang asri. Di sana sudah ada AKP Ajun yang hari itu memakai kaos polo warna tosca dan jeans hitam. Dia kelihatan santai sambil menikmati wine dan kue keju. Menilik dari bentuk dan aromanya, Agil bisa menebak kue keju itu kiriman dari Tante Mirna. Frans baru selesai mandi ketika Agil datang. Rambutnya masih basah dan wangi sabun menyeruak dari badannya. “Duduklah dulu, kamu minum apa? Kopi atau wine? “Air putih saja, Om,” jawab Agil. Dia tidak terbiasa minum wine. AKP Ajun tertawa, “Ayolah man, apa salahnya mencicipi sedikit wine, supaya badan hangat dikit.” Dia menepuk bahu Agil.
Seminggu berlalu dengan lambat. Setelah urusan kantor selesai, Agil bergegas pergi menemui Chandra di apartemen Tante Mirna. Rasa kangennya pada gadis itu membuncah. Agil mampir ke toko bunga yang berdampingan dengan toko coklat membelikan Chandra bunga lavender serta sekotak coklat kesukaannya. Pria itu berjalan riang naik lift menuju tempat tinggal Tante Mirna. Imajinasinya melayang Chandra akan menyambutnya hangat. Tante Mirna membuka pintu, apron yang dipakainya belepotan tepung, dia mengajak Agil masuk. Rupanya Tante Mirna sedang membuat. Aroma harum menyebar membuat pria itu penasaran apa yang dibuat oleh Tante Mirna. Penampilan perempuan itu kini berubah drastis. Yang dulunya suka pake baju ketat, kini lebih suka memakai daster bila di rumah. Ia juga amat sabar mer