“Apakah kamu menyukai Chandra?” tanya Bulan, dia berdiri dan memandang Agil penuh arti sedangkan tangannya memainkan gantungan kunci motor yang tergeletak di atas meja.
“Aku hanya mau melindunginya,” jawab Agil dan membalas tatapan Bulan. Dia tidak mau gadis itu cemburu pada Chandra seperti sebelumnya. Lucunya, pria tersebut mulai membandingkan mereka, yang satu nyata, satunya tidak nyata. Agil tersenyum kecut, betapa lucu lakon hidup hidupnya.
“Hanya itu?” Bulan menyentuh lembut jemari Agil. Dia tak suka menanyakan hal itu pada Agil, tapi dia ingin tahu.
Agil mematung, dia tak hendak mengucapkan apa pun karena khawatir jawabannya nanti takut menyinggung perasaan
Kalau seandainya hidup ini sempurna, Agil mau menolak permintaan Chandra dan membiarkan gadis itu membencinya, sayangnya dia termasuk tipe orang yang ciut mengatakan tidak, terutama pada perempuan karena alasan klise tak tega mengecewakan hati mereka. Dalam fantasi Agil, dia adalah seorang lelaki yang menyelamatkan Chandra yang terjebak dalam istana kemudian Chandra memohon-mohon padanya, meskipun resiko yang harus ia tanggung tidak menyenangkan bahkan bisa membuatnya terbunuh. Kalau sekarang ibunya marah, pria itu bisa memahami dan menerima konsekuensinya. Ia tak bisa mundur dan melepaskan apa yang telah ia sanggupi. Sama saja dirinya pecundang dan hal itu melemahkan dirinya sebagai laki-laki.“Jadi kamu gak mau dengerin perkataan Ibu lagi?” Suara perempuan itu terdengar terluka, dia kecewa dengan keputusan anak
Wangi bunga kamboja menyeruak menusuk indra penciuman Agil, kemudian terdengar suara tawa melengking yang membuat bulu kuduknya tegak. Pria itu mendongak dan di salah satu dahan bunga kamboja matanya terpaku pada sesosok kuntilanak dengan baju putih penuh bercak darah. Kaki kuntilanak tersebut berayun santai seraya tertawa mengejek kepadanya.“Busyet dah! Ini makam beneran! Gimana ceritanya aku bisa sampai ke sini?” gerutu Agil. Dia menyumpah-nyumpah sendiri. “Hihihihihi… makanya kalau naik motor jangan melamun.” Agil acuh dengan ledekan kuntilanak dan berusaha menghidupkan motor. Mati! Alisnya bertaut. Ia berusaha tetap berpikir waras. Bensin penuh dan kondisi motornya tidak ada masalah, kenapa bisa mati?Kemudian dia mendorong motornya, berat! Motor itu susah digerakkan. Berulang kali dia me
Cinta membuat kita tersenyum.Cinta juga yang membuat kita kuat dan bertahan.Cinta pula yang membuat kita menangis dan menderita PLAK! “Sadar bro! Kamu gila, buka matamu dia bukan Mirna tapi ibuku!” Agil mendorong tubuh Arif keras hingga lelaki bertubuh atletis itu terjatuh. Lelaki itu sangat kesal dan malu melihat Arif yang kini hanya memakai celana dalam di depan ibunya. Arif terlentang di lantai dia menangis meraung-raung seperti anak kecil. “Huhuhuhu… tolong aku Tante, aku tak bisa hidup tanpa Mirna.” Kegilaan apa lagi yang akan Arif tunjukkan. Agil meremas rambutnya. &l
Hari menjelang sore ketika Agil tiba di rumah Chandra di Desa Wengen, rumah asri yang terletak di pinggir hutan pinus, jauh dari rumah penduduk lainnya. Cahaya matahari sore dan kicauan burung hangat menyapa. Kehidupan di situ begitu tenang. Rumah Chandra asri, ada banyak tanaman buah dan bunga di halamannya. Rumahnya berlantai tanah dan berdinding bambu. Walapun begitu, suasana di dalamnya resik, tertata rapi, adem dan bikin betah. Bapak Muji dan istrinya yang merupakan orang tua Chandra menyambut Agil dengan bahagia. Mereka bercengkrama di ruang tamu mungil di temani singkong, ubi rebus dan kopi yang mengepul panas.“Saya ke sini bermaksud memberikan titipan Chandra,” kata Agil membuka percakapan lalu menyerahkan bungkusan yang dia simpan di dalam tas
Di sebuah rumah sakit jiwa. Sore yang cerah, di tengah gerombolan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang tengah duduk bersantai di pinggir lapangan. Sebagian mereka ada yang memakai kaos warna hijau dan sebagian lainnya biru. Ada yang menyanyi, menari, ada pula yang bercengkrama dengan pasien lainnya. Diantara mereka ada seorang perempuan, rambutnya dipotong pendek sedang menggendong boneka kumal. Dia tampak kesal dan terganggu dengan perempuan yang sedang bernyanyi keras di sampingnya “Berisik! Jangan nyanyi di sini! Kamu mengganggu tidur anakku!” tegur Bik Eha galak.Namun, perempuan berkuncir yang di tegurnya itu tidak terima dan merebut boneka digendongan Bik Eha lalu ia berla
“Mirna… keluarlah sayang, mari kita menikah.” Arif masih berteriak-teriak sambil menggedor-gedor pintu pagar rumah Mirna, suaranya mulai serak. Sedangkan di dalam rumah Bik Ami gelisah menunggu ketua RT untuk membantunya mengusir Arif. Hari ini Silvia dan Chandra datang dari liburan dan Pak Maman dalam perjalanan ke airport menjemput mereka ketika Bik Ami menelponnya dan memberi tahu soal Arif. Melalui layar CCTV Bik Ami merekam sikap edan lelaki itu dan mengirimkannya pada Pak Maman dan Silvia. Pak Maman maunya tak peduli karena dia masih sakit hati dan ingin balas dendam dengan Silvia dan Arif. Akan tetapi dia tak tega melihat laki-laki itu dijadikan tontonan orang-orang. Bagaimanapun Arif adalah mantan atasannya yang pernah memberinya pekerjaan. Meski
Atas perintah majikannya, Pak Maman membelokkan mobilnya ke hotel. Mirna tak mau menemui Arif, meski Bik Ami telah memohon-mohon padanya untuk kembali dan menemui laki-laki itu. Bik Ami membujuk Chandra dan memintanya untuk merayu Mirna. “Tante, apa Tante gak kasihan sama laki-laki itu?” tanya Chandra, dia jatuh iba setelah mendengar cerita dan video yang dikirim oleh Bik Ami. Arif pasti sangat mencintai Tante Mirna sehingga dia mau berbuat nekat seperti itu. Mirna melihat Chandra dingin. “Kamu gak usah sok ikut-ikut ngatur saya!” jelasnya jengkel. “Tapi apa Tante mau melihat dia mati di depan rumah dan menjadi berita viral nantinya? Tahulah masyarakat kita giman
“Lho… udah lama di sini?” tanya Agil ketika melihat Chandra berdiri di depan terasnya. Rumahnya memang sepi, karena Ibu dan Bik Marsinah sedang pergi menengok Bik Eha. Chandra mengangguk, hampir 30 menit dia menunggu dan pundaknya pegal karena beratnya bobot tas ransel yang ia bawa. Agil mengamati wajah gadis itu yang muram. Mungkinkah dia kabur dari rumah Mirna? Tanyanya dalam hati. “Masuk yuk,” ajaknya kalem. Chandra menggeleng, air mata mulai menggenang di sudut matanya. Dia benci mengatakan ini. “A-aku mau p-pamit, a-aku m-mau pulang… ke d-desa,” jawabnya dengan tersendat-sendat.
Dokter Samuel membuka plester dan kain kasa yang menutupi kedua mata Chandra. “Chandra bukalah mata pelan-pelan,” suaranya sangat tenang dan hangat. Chandra membuka matanya pelan-pelan lalu mengerjap- ngerjapkan mata sebelum melihat ke sekeliling. Semua yang ada di kamar itu menahan napas. Senyum Chandra mengembang lebar ketika melihat satu persatu orang yang disayanginya berada di sisinya. Ia menyebutnya satu persatu. “Agil, Tante, Emak, Bapak, Bik Mar.” Chandra terdiam saat melihat lelaki paruh baya berada di samping Bik Mar. “Dia siapa Gil? Apakah itu suami Bik Mar” “Alhamdulillah! Chandra bisa melihat lagi,” seru Agil kemudian dia sujud syukur. Matanya berkaca-kaca. “Terima kasih Dokter!” Agil menyalami Dokter Samuel yang terlihat lega operasinya berhasil. “Sama-sama,” kata Dokter Samuel. Kemudian dia pamit. Ibu, Emak dan Bik Mar serentak menangis memeluk Chandra.
Pagi yang dingin, kabut masih menyelimuti pondok. Titik-titik embun yang menempel di daun kersen sesekali jatuh membasahi sepasang anak manusia yang bersenda gurau di bawahnya. Mereka duduk di amben. “Kita main tebak-tebakkan, yuk,” kata Agil dengan hati senang melihat Chandra ada bersamanya. Chandra menelengkan mukanya, beberapa hari tinggal di pondok membuat mukanya kian cantik berseri. “Mmmm… sepertinya menyenangkan. Kita main tebak-tebakan apa?” “Dalam permainan tebak-tebakan ini, aku ingin menguji indra penciuman dan pengecapmu. Setelah itu kamu mengatakannya kepadaku apa rasa makanan
“Kenapa tak kau tanyakan saja pada Silvia!” bentak Agil. “Sekarang aku bertanya kepadamu? Untuk apa kamu membakar rumahku, Dil?!! Untuk apa juga kamu membayar orang untuk membunuhku dan Chandra!!” dengusnya kesal. Mata Fadil terbelalak. Dia tak menyangka Agil mengetahui apa yang dia lakukan. Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Agil. Giginya gemeretuk menahan marah. “Aku ingin melenyapkanmu karena kamu tahu terlalu banyak. Bukankah sudah kukatakan jangan turut campur dengan kematian Bulan. Sayangnya kamu mengabaikan nasehatku.” Matanya menatap penuh kebencian pada Agil. “Bukankan tugas kamu sebagai penegak hukum? Kenapa kamu justru melarangku? Aku hanya mau membantunya mencari keadilan!”
“Tidak!” Jawaban singkat yang terucap dari bibir Mirna yang menyilet hati Arif. Lelaki itu mendorong pelan tubuh Mirna ke dinding. Tatapan kecewa tampak jelas dari sorot matanya.“Bukankah dulu kita saling mencintai sayang? Aku tahu kamu masih menungguku. Jika tidak kamu pasti sudah merubah password apartemen ini,” tuduh laki-laki itu membela diri. Suara Arif mulai meninggi, wajahnya menegang. Dia tetap teguh dengan keputusan ingin menikahi perempuan pujaannya itu. Mirna memejamkan mata, dan mengeluarkan napas perlahan. “Maafkan aku. Sayangnya kamu salah! Cintaku kepadamu tak sebesar cintaku pada papamu, selama ini aku hanya memanfaatkan kamu untuk mengobati rasa rinduku padanya,” kata Mirna dengan suara serak. Sepahit apap
Siang yang begitu terik, matahari semakin garang memancarkan panasnya.Mirna pasrah, saat dirinya diikat dengan rantai dan diseret seperti sebuah mainan. Seluruh badannya lebam dan luka terkena batu-batu kerikil yang tajam. Kemudian tanpa ampun perempuan bercadar itu melemparkan tubuh Mirna di atas bantalan rel kereta api dan menindih pahanya dengan sebuah batu besar. Dia tak bisa bergerak dan membiarkan kulitnya melepuh terkena panasnya landasan besi kereta api. Perempuan bercadar itu berjongkok di samping Mirna, tangannya memegang wajah Mirna dengan kasar. “Kali ini kamu pasti mampus. Sebentar lagi kereta api datang dan mencincang tubuh seksimu!” Perempuan itu tertawa terbahak-bahak lalu menangis pilu. “Sudah lama sekali aku ingin membunuhmu, tapi baru kali aku berani.” Dia mengambil jeda. “Aku sangat benc
Kejutan luar biasa! “Tapi… bagaimana bisa dan kenapa Silvia ingin membunuh Bik Eha?” tanya Agil tak mengerti. Tak mudah bagi Agil untuk mempercayai penjelasan Bik Eha. Semua terlihat tak masuk akal. Bagaimana mungkin Bik Eha dapat memerankan aktingnya, berpura-pura gila begitu sempurna selama belasan tahun? Bik Eha tertawa kecil. “Bisa saja Mas, karena tidak ada yang peduli dengan orang gila.” Penyamaran jenius! Agil manggut-manggut mengagumi Bik Eha dalam mempertahankan hidupnya. Bik Ehan benar. Siapa yang perduli dengan orang gila. Sebagian besar masyarakat menganggap orang gila negatif, bukan hanya dikucilkan mereka juga dijauhi. Agil menelan kekecewaan sekaligus ke
Atas persetujuan Dokter Runi, Agil membawa Bik Eha berlibur. Pagi-pagi sekali dia sudah berada di RSJ Kenanga. Dari jauh Agil melihat Bik Eha duduk di depan kamarnya, dia memakai celana kulot hitam dan kaos warna ungu. Rambutnya diikat satu. “Pagi, Bibik apa sudah sarapan?”“Sudah.” Bik Eha kelihatan senang sekali, matanya berpendar indah saat melihat Agil datang.“Hari ini Agil mau mengajak Bik Eha bersenang-senang. Kita ke salon, beli baju, makan dan jalan-jalan sepuasnya. Bik Eha sudah siap kan?” tanya Agil.“He-eh.” Bik Eha girang, dia langsung mengamit tangan Agil.Agil membukakan pintu mobil untuk Bik Eha, dan membantu mengenakan seat belt untuknya. Perempuan itu duduk anteng di sebelah Agil.Pemuda itu mengetik pesan di messanger sebelum naik ke mobil. &ld
Jam 4 sore Agil menemui Frans di rumahnya yang asri. Di sana sudah ada AKP Ajun yang hari itu memakai kaos polo warna tosca dan jeans hitam. Dia kelihatan santai sambil menikmati wine dan kue keju. Menilik dari bentuk dan aromanya, Agil bisa menebak kue keju itu kiriman dari Tante Mirna. Frans baru selesai mandi ketika Agil datang. Rambutnya masih basah dan wangi sabun menyeruak dari badannya. “Duduklah dulu, kamu minum apa? Kopi atau wine? “Air putih saja, Om,” jawab Agil. Dia tidak terbiasa minum wine. AKP Ajun tertawa, “Ayolah man, apa salahnya mencicipi sedikit wine, supaya badan hangat dikit.” Dia menepuk bahu Agil.
Seminggu berlalu dengan lambat. Setelah urusan kantor selesai, Agil bergegas pergi menemui Chandra di apartemen Tante Mirna. Rasa kangennya pada gadis itu membuncah. Agil mampir ke toko bunga yang berdampingan dengan toko coklat membelikan Chandra bunga lavender serta sekotak coklat kesukaannya. Pria itu berjalan riang naik lift menuju tempat tinggal Tante Mirna. Imajinasinya melayang Chandra akan menyambutnya hangat. Tante Mirna membuka pintu, apron yang dipakainya belepotan tepung, dia mengajak Agil masuk. Rupanya Tante Mirna sedang membuat. Aroma harum menyebar membuat pria itu penasaran apa yang dibuat oleh Tante Mirna. Penampilan perempuan itu kini berubah drastis. Yang dulunya suka pake baju ketat, kini lebih suka memakai daster bila di rumah. Ia juga amat sabar mer