Yuda tak mampu menahan air matanya, ketika melihat keadaan Kanaya yang sangat memprihatikan. Rambutnya yang dulu panjang hitam dan berkilau, kini semakin menipis. Badannya yang dulu berisi, kini kurus hingga dibeberapa tempat, tulangnya terlihat menonjol.Proses kemoterapi pasca operasi yang membuat keadaannya seperti sekarang. Rambut ya rontok bahkan sakrang sudah nyaris botak.Kedua tangan Yuda membingkai wajah Kanaya yang masih terlihat ayu, walaupun keadaannya tak sesehat dulu.Kanaya tak mampu menatap mata tajam suaminya. Pandangannya memindai ujung jilbabnya yang sudah dilepas Yuda."Apa karena ini kamu tak mau bertemu denganku sayang?"Kanaya mengangguk, kemudian menunduk semakin dalam, "aku takau kamu repot mengurusku! Setiap hari harus berjibaku dengan cariran yang keluar dari dalam perutku akibat obat-obatan itu.""Nay, aku tidak sepicik itu, taukah kamu betapa menderitanya aku jauh darimu, bahkan ketika aku menemuimu kesana, kamu tak mau bertemu dengaku, aku dekat denganmu
Yuda mengingat-ingat, ada masalah apa dia dengan Andi? Selama ini dia tak oernah ounya masalah apapun, bahakn bertemupun jarang."Andi? Bukannya dia ayah dari bayi yang dikandung Anisa Tam?" celetuk Hilma."Anisa? Siapa Anisa pak Yuda?" tanya Darma. Informsi baru, sekecil apapun sangat berguna untuk proses penyelidikan."Anisa itu istri saya yang lain pak Darma, tetapi saya menikah dengan dia karena dipaksa mama saya, namun baru satu bulan saya menikah dengannya, dia sudah mengandung salama 6 minggu, bahkan saya belum pernah menyentuhnya sama sekali, karena janji sapa sama Kanaya." jelas Yuda, yang membuat Hikma menunduk malu."Jadi status pernikahan anda sekarang bagaimana?" Tanya Darma lagi."Status pernikahan kami memang siri, tidak tercatat di KUA, dan sekarang kami pisah, karena orang tuanya membawa Anisa pulang. Setelah bayinya lahir nanti, jatuh talak saya padanya pak.""Baik, mungkin saja ada hubungannya dengan ibu Anisa.""Sekarang mereka pindah, saya tidak tahu kemana, karen
Yuda dan Kanaya memulai kehidupan baru di Jogja. Yuda memutuskan untuk resign dari kantornya agar bisa fokus dengan kesembuhan Kanaya.Kanaya melamun disudut kamar, tatapannya lurus keluar jendela kaca dihadapannya. Pesan dari dokter Maria dia abaikan, semangatnya untuk sembuh luntur ketika sederet pesan dari seseorang yang membuat mentalnya down.[Kamu tak perlu sembuh, relakan Yuda untukku]Nomor tak dikenal tiba-tiba masuk tanpa permisi, hati Kanaya sempat membenarkan apa yang isi pesan dikirim nomor itu.Bagi penderita kanker sepertinya, tidak pantas menyandang sebagai istri Yuda, laki-laki gagah, tampan dan mapan. Terlebih dirinya kini sudah tak memiliki rahim. Bagaimana dia bisa melengkapi kebahagiaan Yuda jika dia tak mampu menghadirkan buah dalam pernikahannya.Hari ini jadwal kemoterapi Kanaya yang lakukan sebelumnya setelah beberapa minggu dia behenti kemo.Rasa enggan menyapa dirinya, namun Yuda tak oatah semngat, dia membujuk Kanaya untuk melanjutkan pengobatannya."Apa M
Suara yang sangat kurindui menyapaku ketika aku terbangun dari tidur panjangku, mimpi bertemu maikat membuatku takut akan berpisah demgan lelakiku.Eantah bagaimana isi dala fikiranku, aku lupa jika apa yang ada di bumi ini oada akhirnya akan kembali padanya.Letisya gadis kecil yang belum genap tiga tahun harus merasakan ratusan tusukan jarum selama seribu hari dia dilahirkan ke dunia ini. Bagaimana dengan diriku? Jelas belum ada apa-apanya dibandingkan Letisya. Rambutnya kini botak sama sepertiku. Berbagai macam obat dengan jumlah yang tidak sesikit harus dia telan begitu saja. Masih mengeluhkan aku?Aku rasa terlalu malu jika aku harus mengeluh hanya karena isi dalam perutku keluar akibat penolakan dari dalam tubuhku. Rasanya juga terlalu malu jika aku harus menangis ketika ribuan jarum menusuk perutku secara beramaan.Letisya, gadis kecil itu hampir tak pernah menangis selama aku mengenalnya. Sembilan puluh hari bersamanya rasanya cukup bagiku untuk mengenal siapa gadis kecil itu
"Syaaa ...," teriakku, seraya mendekati tubuh mungil Letisya yang tak bergerak.Yuda langsung membopong tubuh mungil itu, "Sya bangun." Yuda mencoba membangun Letisya."Deri, siapakan ambulan!" Teriakku.Deri dan bunda Halimah tergopoh menyambut tubuh Letisya dari gendongan Yuda, kemudian meletakannya diatas strecer dalam ambulan.Aku dan Yuda duduk dipinggir tubuh Letisya yang terkulai, sementara Deri mengendarai ambulan ini dengan kecepatan tinggi. Tak sampai sepuluh menit, ambulan sudah sampai didepan ruang UGD.Yuda turun dari ambulan, diluar sudah disambut dengan beberapa perawat yang membawa strecer, dengan sigap Letisya dibawa masuk kedalam ruang tindakan.Aku, Yuda dan Deri menunggu di luar ruangan dengan perasaan cemas, Yuda memeluk erat, tangisku pecah didalam dada bidangnya."Sabar ya sayang, Letisya naaknyang kuat, pasti dia mampu melanwan penyakitnya." Aku hanya mengangguk.Ingatanku melayang beberapa bulan yang lalu ketika Letisya memelukku erat, suara guntur bersahutan
Tubuh ini terlalu lemah jika ingin mengarungi samudara, bagaimana aku bisa menjalani bahtera rumah tangga jika berjalanpun kaki terasa melayang.Sayup terdengar seseorang berbicara dengan suara yang keras. Siluet bayangan dari balik pintu bisa kulihat samar."Sudah, jangan hubungi aku lagi, aku sudah muak!"Sosok sangat kucintai itu muncul dari balik pintu, wajahnya menyiratkan kekacaun yang luar biasa."Ada apa?" tanyaku lirih."Tidak, hanya masalah kecil," sahut laki-laki yang masih bergelar suamiku saat ini.Aku membuang muka, mengalihkan pandangannya ketembok bercat putih yang tak menarik untuk diperhatikan. Itu lebih baik jika harus menatap manik matanya yang berkata bohong.Tangan kekar membelai pipi kiriku dengan lembut, kemudian beralih kerambutku yang hanya tinggal beberapa helai. Aku dapat merasakan pergerakan sesorang disampingku ini berbaring. Menempelkan dagunya dipundakku."Aku gak mau kamu ikut memikirkan apa yang harus aku lalui, aku tidak mau kamu terbebani dengan ba
"Jangan ngaco May, Lia tahu darimana?""Aku juga gak tahu mbak, kemarin kan aku telfon mbak Lia, mau kasih tau dia kalau minggu depan aku mau pulang, terus minta tolong jemput di bandara, terus dia kan nanya-nanya tu, mau apa pulang. Ya Kau ceritakan kalau mau ketmeu ustat Kahfi. Terus tiba-tiba dia nanya, di cv ustadz kahfi statusnya apa? Gitu, y aaku jawab single." Maya manaruk nafas panjang dan membenarkan posisi duduknya."Terus apa lagi kata Lia?" Aku makin penasaran dengan cerita Maya tetang ustadz Kahfi."Mbak Lia bilang kalau sebenarnya ustadz kahfi udah pernah menikah.""Kamu percaya begitu aja dengan Lia?""Lho, bukannya selama ini Mbak Lia jadi orang kepercayaan Mbak dalam ngurusin toko, mada iya dia bohong mbak. Apa motivasinya coba dia bohongin aku."Kau berfikir sejenak, "iya juga ya May, atau mungkin kerabatnya Lia kenal siapa ustadz Kahfi. Tapi kan dia putranya kiayi Abdurrahman."Aku bingun sendiri dengan penuturan Maya. Kiyai Abdurrahman setahuku mempunyai empat anak
Tangisku kembali pecah ketika mendengar pengakuannya selama di pesantren. Hal yang paling menyedihkan ketika Dimas bilang dia tidak diizinkan tidur dikasur.Jadi selama ini Dimas hanya tidur dilantai beralaskan kain sarung. Bisa dibayangkan bagaimana dinginnya cuaca disana. Kembali kupeluk erat tubuh kurus anak baikku ini, aku baru sadar jika tubuhnya kini kurus. Aku terlalu memikirkan diriku sendiri. "Kenapa Dimas tidak cerita?""Karena Dimas tidak mau Mama sedih, apalagi Mama sedang saki," jawabnya polos."Sayang, maafin Mama ya! Besok mama sama ayah ke pesantren untuk mengurus kepindah Dimas. Untuk sementara Dimas sekolah didekat oma gak apa-apa kan?""Iya Ma, Dimas lebih senang dekat dengan oma.""Atau mau sekolah dekat papa?" tanyaku memberi pilihan. Bagaimanapun Dimas sudah besar, dia sudah mampu berpikir mana yang baik mana yang tidak.Dimas menggeleng, "deket sama oma aja Ma, Dimas gak tinggal sama tante Lely.""Iya gak apa-apa, besok kalau tante Maya pulang, Dimas sekalian