Yuda telah melewati mada kritisnya. Keadaannya sudah stabil, namun Yuda belum sadar. Semua yang ada dirumah sakit sangat lega mendengar informasi dari dokter.Dokter hanya mengizinkan satu orang untuk masuk kedalam ruangan. Heru kemudian mnyuruh Kanaya masuk kedalam ruangan Yuda dirawat. Heru sadar selama ini Yuda sangat kacau hidup tanpa Kanaya.Kanaya masuk kedalam ruangan Yuda dengan menggunaka baju khusus, kemudian dia duduk disamping Yuda. Menggenggam tangan yang selama ini menjadi penguatnya. Tak bisa dipungkiri jika selama berada di Jogja, Kanaya tak mampu sedikitpun tak memikirkan Yuda. Namun ucapan Hilma sangat membayangi. "Sayang, bangun! Aku disini, bersamamu, bangunlah!" ucap Kanaya sambil terisak."Maafkan aku yang selama ini egois, bisakah kita hidup bersama-sama lagi? Dirumah kita?""Sayang, aku punya anak angkat disana, dia lucu, namany Letisya, sekarang sementara aku titipkan sama bunda Halimah, dia menjadi semangatku ketika aku menyerah.""Sayang, bangunlah!"Gengga
Yuda tak mampu menahan air matanya, ketika melihat keadaan Kanaya yang sangat memprihatikan. Rambutnya yang dulu panjang hitam dan berkilau, kini semakin menipis. Badannya yang dulu berisi, kini kurus hingga dibeberapa tempat, tulangnya terlihat menonjol.Proses kemoterapi pasca operasi yang membuat keadaannya seperti sekarang. Rambut ya rontok bahkan sakrang sudah nyaris botak.Kedua tangan Yuda membingkai wajah Kanaya yang masih terlihat ayu, walaupun keadaannya tak sesehat dulu.Kanaya tak mampu menatap mata tajam suaminya. Pandangannya memindai ujung jilbabnya yang sudah dilepas Yuda."Apa karena ini kamu tak mau bertemu denganku sayang?"Kanaya mengangguk, kemudian menunduk semakin dalam, "aku takau kamu repot mengurusku! Setiap hari harus berjibaku dengan cariran yang keluar dari dalam perutku akibat obat-obatan itu.""Nay, aku tidak sepicik itu, taukah kamu betapa menderitanya aku jauh darimu, bahkan ketika aku menemuimu kesana, kamu tak mau bertemu dengaku, aku dekat denganmu
Yuda mengingat-ingat, ada masalah apa dia dengan Andi? Selama ini dia tak oernah ounya masalah apapun, bahakn bertemupun jarang."Andi? Bukannya dia ayah dari bayi yang dikandung Anisa Tam?" celetuk Hilma."Anisa? Siapa Anisa pak Yuda?" tanya Darma. Informsi baru, sekecil apapun sangat berguna untuk proses penyelidikan."Anisa itu istri saya yang lain pak Darma, tetapi saya menikah dengan dia karena dipaksa mama saya, namun baru satu bulan saya menikah dengannya, dia sudah mengandung salama 6 minggu, bahkan saya belum pernah menyentuhnya sama sekali, karena janji sapa sama Kanaya." jelas Yuda, yang membuat Hikma menunduk malu."Jadi status pernikahan anda sekarang bagaimana?" Tanya Darma lagi."Status pernikahan kami memang siri, tidak tercatat di KUA, dan sekarang kami pisah, karena orang tuanya membawa Anisa pulang. Setelah bayinya lahir nanti, jatuh talak saya padanya pak.""Baik, mungkin saja ada hubungannya dengan ibu Anisa.""Sekarang mereka pindah, saya tidak tahu kemana, karen
Yuda dan Kanaya memulai kehidupan baru di Jogja. Yuda memutuskan untuk resign dari kantornya agar bisa fokus dengan kesembuhan Kanaya.Kanaya melamun disudut kamar, tatapannya lurus keluar jendela kaca dihadapannya. Pesan dari dokter Maria dia abaikan, semangatnya untuk sembuh luntur ketika sederet pesan dari seseorang yang membuat mentalnya down.[Kamu tak perlu sembuh, relakan Yuda untukku]Nomor tak dikenal tiba-tiba masuk tanpa permisi, hati Kanaya sempat membenarkan apa yang isi pesan dikirim nomor itu.Bagi penderita kanker sepertinya, tidak pantas menyandang sebagai istri Yuda, laki-laki gagah, tampan dan mapan. Terlebih dirinya kini sudah tak memiliki rahim. Bagaimana dia bisa melengkapi kebahagiaan Yuda jika dia tak mampu menghadirkan buah dalam pernikahannya.Hari ini jadwal kemoterapi Kanaya yang lakukan sebelumnya setelah beberapa minggu dia behenti kemo.Rasa enggan menyapa dirinya, namun Yuda tak oatah semngat, dia membujuk Kanaya untuk melanjutkan pengobatannya."Apa M
Suara yang sangat kurindui menyapaku ketika aku terbangun dari tidur panjangku, mimpi bertemu maikat membuatku takut akan berpisah demgan lelakiku.Eantah bagaimana isi dala fikiranku, aku lupa jika apa yang ada di bumi ini oada akhirnya akan kembali padanya.Letisya gadis kecil yang belum genap tiga tahun harus merasakan ratusan tusukan jarum selama seribu hari dia dilahirkan ke dunia ini. Bagaimana dengan diriku? Jelas belum ada apa-apanya dibandingkan Letisya. Rambutnya kini botak sama sepertiku. Berbagai macam obat dengan jumlah yang tidak sesikit harus dia telan begitu saja. Masih mengeluhkan aku?Aku rasa terlalu malu jika aku harus mengeluh hanya karena isi dalam perutku keluar akibat penolakan dari dalam tubuhku. Rasanya juga terlalu malu jika aku harus menangis ketika ribuan jarum menusuk perutku secara beramaan.Letisya, gadis kecil itu hampir tak pernah menangis selama aku mengenalnya. Sembilan puluh hari bersamanya rasanya cukup bagiku untuk mengenal siapa gadis kecil itu
"Syaaa ...," teriakku, seraya mendekati tubuh mungil Letisya yang tak bergerak.Yuda langsung membopong tubuh mungil itu, "Sya bangun." Yuda mencoba membangun Letisya."Deri, siapakan ambulan!" Teriakku.Deri dan bunda Halimah tergopoh menyambut tubuh Letisya dari gendongan Yuda, kemudian meletakannya diatas strecer dalam ambulan.Aku dan Yuda duduk dipinggir tubuh Letisya yang terkulai, sementara Deri mengendarai ambulan ini dengan kecepatan tinggi. Tak sampai sepuluh menit, ambulan sudah sampai didepan ruang UGD.Yuda turun dari ambulan, diluar sudah disambut dengan beberapa perawat yang membawa strecer, dengan sigap Letisya dibawa masuk kedalam ruang tindakan.Aku, Yuda dan Deri menunggu di luar ruangan dengan perasaan cemas, Yuda memeluk erat, tangisku pecah didalam dada bidangnya."Sabar ya sayang, Letisya naaknyang kuat, pasti dia mampu melanwan penyakitnya." Aku hanya mengangguk.Ingatanku melayang beberapa bulan yang lalu ketika Letisya memelukku erat, suara guntur bersahutan
Tubuh ini terlalu lemah jika ingin mengarungi samudara, bagaimana aku bisa menjalani bahtera rumah tangga jika berjalanpun kaki terasa melayang.Sayup terdengar seseorang berbicara dengan suara yang keras. Siluet bayangan dari balik pintu bisa kulihat samar."Sudah, jangan hubungi aku lagi, aku sudah muak!"Sosok sangat kucintai itu muncul dari balik pintu, wajahnya menyiratkan kekacaun yang luar biasa."Ada apa?" tanyaku lirih."Tidak, hanya masalah kecil," sahut laki-laki yang masih bergelar suamiku saat ini.Aku membuang muka, mengalihkan pandangannya ketembok bercat putih yang tak menarik untuk diperhatikan. Itu lebih baik jika harus menatap manik matanya yang berkata bohong.Tangan kekar membelai pipi kiriku dengan lembut, kemudian beralih kerambutku yang hanya tinggal beberapa helai. Aku dapat merasakan pergerakan sesorang disampingku ini berbaring. Menempelkan dagunya dipundakku."Aku gak mau kamu ikut memikirkan apa yang harus aku lalui, aku tidak mau kamu terbebani dengan ba
"Jangan ngaco May, Lia tahu darimana?""Aku juga gak tahu mbak, kemarin kan aku telfon mbak Lia, mau kasih tau dia kalau minggu depan aku mau pulang, terus minta tolong jemput di bandara, terus dia kan nanya-nanya tu, mau apa pulang. Ya Kau ceritakan kalau mau ketmeu ustat Kahfi. Terus tiba-tiba dia nanya, di cv ustadz kahfi statusnya apa? Gitu, y aaku jawab single." Maya manaruk nafas panjang dan membenarkan posisi duduknya."Terus apa lagi kata Lia?" Aku makin penasaran dengan cerita Maya tetang ustadz Kahfi."Mbak Lia bilang kalau sebenarnya ustadz kahfi udah pernah menikah.""Kamu percaya begitu aja dengan Lia?""Lho, bukannya selama ini Mbak Lia jadi orang kepercayaan Mbak dalam ngurusin toko, mada iya dia bohong mbak. Apa motivasinya coba dia bohongin aku."Kau berfikir sejenak, "iya juga ya May, atau mungkin kerabatnya Lia kenal siapa ustadz Kahfi. Tapi kan dia putranya kiayi Abdurrahman."Aku bingun sendiri dengan penuturan Maya. Kiyai Abdurrahman setahuku mempunyai empat anak