Aku terus mengikuti pergerakan mobil mas Wira, mau kemana sebenarnya dia. Katanya tadi mau beli rok*ok.
Tiba-tiba gerimis turun lumayan deras, aku agak kesulitan mengawasi kemana arah mas Wira melaju. Na'as pas dilampu merah aku terjebak. Ketika mobil mas Wira berhasil melalui lampu hijau, pas giliraku, aku kalah cepat dan kehilangan jejak kemana perginya mas Wira."Sial." Gerutuku kesal. Pasti aku diomeli netizen karena gak dilabrak pas mas Wira menaikkan perempuan tadi.Aku cuma tidak ingin aku yang kemakansalah paham, makanya aku akan ikuti kemana mas Wira pergi. Aku putar balik, takut nanti mas Wira sampai aku belum dirumah. Bisa gawat.Hujan turun agak deras, baju yang kukenakan sudah basah karena aku lupakan membawa mantel. Seluruh tubuhku basah kuyup. Sesampainya dirumah, aku langsung diberondong banyak pertanyaan dari mbak Gita."Gimana Nay, Wira pergi kemana?" Tanya mbak Gita khawatir, ntah khawatir atau kepo. Tapi mbak Gita orangnya baik, gak mungkin hanya sekedar kepo belaka."Aku kehilangan jejak mbak, tadi pas dilampu merah, tapi aku tadi liat dia masukan perempuan." Masih kedinginan aku diintrogasi mbak Gita."Kamu ganti baju dulu deh, baru nanti cerita.""Iya mbak." Lalu aku ganti baju, baju yang basah kuyup tadi aku tarok dipaling bawah. Biar mas Wira tidak curiga.Aku kembali keruang tamu. Ternyata mbak Gita sudah membuatkanku teh hangat. Eh kok kebalik ya. Kan seharusnya aku yang membuatkan teh hangat, katena kan mbak Gita yang tamunya."Ini diminum dulu biar badannya hangat.""Makasih lho mbak, malah ngerepotin mbak gini, bentar ya aku ambil cemilan dulu." Bahkan sangking buru-burunya aku lupa mengeluarkan makanan untuk mbak Gita tadi.Aku ambil lempuk durian yang kubeli serempak mama kemaren. Akupun lupa untuk memankannya."Ini mbak dimakan, kmren aku beli sekalian pas ngantar mama beli oleh-oleh.""Wah lempuk, kesukaan mbak ini Nay." Mbak Gita mencomot lempuk dari piring. Dia ternyata sangat suka sekali lempuk durian."Eh iya gimana tadi.""Ya gitu pas dilampu merah aku kejebak. Trus hujan.ya terpaksa pulang dengan tangan kosong." Ucapku kesal."Yaudah gak usah kesal gitu, besok-besok kita kumpulkan lagi buktinya. Asal kamu tetap bersikap biasa sama Wira, mbak yakin dia belum kan berhenti tu Nay.""Iya mbak, selama ini mas Wira benar-benar rapi, gak sama sekali mencurigakan bahkan handphone-nya dia tarok disembarang tempat.""Kan suamimu hampir satu minggu diluar kota, bisa jadi mereka komitmen pas diluar kota aja mereka saling menghubungi.""Iya juga ya mbak, kok aku gak kefikiran sampai kesitu." Aku garuk-garuk kepala yang sebenarnya memang gatal, ntah ketombe mungkin. Huh...Tak lama mas Wira pulang, astaghfirullah aku lupa masukan motor, jawab apa kalau mas Wira nanya ya.Aku dan mbak Gita keluar, mbak Gita bermaksud pamit sekalian, karena mas Wira sudah pulang.Mas Wira berlari dari keteras sambil menutupi rambutnya dengan tas."Eh mbak Gita, udah lama mbak.""Iya Wir, udah habis teh satu gelas, hehehe...""Lho kamu darimana dek, kok motornya diluar?"Aku yang masih bingung mau jawab apa, mbak Gita langsung menjawan pertanyaan mas Wira."Itu tadi aku yang pinjam Wir, ke swalayan depan, eh pas pulangnya malah hujan, motor mbak lampunya putus.""Oh gitu, yaudah Wira masuk dulu ya mbak.""Iya Wir, mbak juga mau pamit, makasih ya motornya tadi.""Iya mbak sama-sama." Jawab kami bersamaan.Selamat, batinku lega. Mbak Gita menyelamatkanku."Ayok dek masuk, mas mau yang hangat-hangat nih." Matanya mulai menggodaku."Ih mas ni, aku buatkan kopi ya." Aku sebenarnya risih dengan rayuan mas Wira, namun aku harus pura-pura seperti biasa."Habis kopi, madinya ya. Hehehe...". Dengan tatapan menggoda mas Wira masuk kekamar mandi.Hemmm...aku mendengus kesal, gondok dalam hati, aku tarik nafas dalam-dalam biar otakku sedikit rileks. Pasalnya kalau udah begitu pasti mau minta haknya.Dan benar saja, aku tak dibuatnya tidur malam tadi. Ini yang selau membuat aku bertanya-tanya, mas Wira selau hangat denganku, kewajibannya tak pernah sedikitpun dia lewatkan baik nafkah batin maupun lahir.Tapi desas desusnya kalau mas Wira itu ganjen bahkan ada main sama salah satu temen kantornya. Perempuan yang kulihat malam tadi itu dari bodynya seperti Heni, tapi aku tidak yakin. Entahlah aku tidak mau berfikiran negatif. Sebaiknya aku cari bukti lagi.Pagi sekali aku sudah menyiapkan sarapan dan bekal untuk mas Wira keluar kota, katanya semalam dia akan berangkat pagi-pagi karena banyak tagihan.Tapi semenjak kejadian bedak dalam mobil dan malam tadi aku jadi parno sendiri. Fikiranku sudah melayang-layang memikirkan sesuatu yang buruk."Sayang kaos kaki mas dinama yang yang hitam?" Tanya lelakiku itu sambil berteriak."Ditempat biasalah mas.""Gak ada, tolong cariin dong, aku buru-buru nih.""Ih mas nih, awas ya kalau ada." Gerutuku kesal. Aku mematikan kompor dan berlari kekamar."Kalau ketemu mas kasih cium bolak-balik." Sambil mencolek daguku yang katanya runcing gitu. Menambah manisnya aku. Eh"Ini apa?" Sambil menunjukan 1 pasang kaos kaki yang memang aku simpan ditempat biasa, aku simpan bareng daleman dilaci khusus."Heheheh....sini aku kasih cium." Dan benar dia mendaratkan ciuman dipipi kanan kiriku bolak-balik."Udah mas aku mau lanjut masak." Aku tinggalkan mas Wira dikamar masih dengan cengiran kudanya.Tak habis fikir aku sama makhluk yang menyandang status suami ini, selalu tidak ketemu kalau mencari sesuatu, padahal ada didepan mata. Hemm..sebuah misteri yang tak terpecahkan.Pukul 06.30 mas Wira sudah siap, bahkan ini terlalu pagi untuk berangkat kerja. Kalaupun dia mampir kantor dulu setidaknya jam setengah delapan.Dimas sudah bangun setelah dicium mas Wira. Kami mengantar sampai didepan pintu pagar."Papa berangkat dulu ya sayang." Sambil mencium pipi gembil Dimas."Iya papa." Dimas yang biasa ditinggalkan dari bayi tak sedikitpun rewel ketika ditinggal mas Wira kerja berhari-hari."Dek hati-hati ya dirumah, kalau ada apa-apa telfon mas.""Iya mas." Mas Wira mencium keningku dan aku mengalami punggung tangannya.Gawai mas Wira tiba-tiba berbunyi, dia merogoh dari saku celananya, kulihat sekilah dilayar seperti inisial M dan hanya empat huruf. Apa itu Mila?Buru-buru mas Wira mamasukannya lagi kedalam kantong."Kok gak diangkat mas?" Tanyaku penasaran."Oh gak usah nanti aja, mas buru-buru soalnya."Mas Wira masuk kedalam mobil dan mengangkat telfon yang sedari tadi berdering."Iya sabar ini baru mau berangkat, tunggu aja." Samar kudengar mas Wira berbicara dengan sipenelfon, karena mesin mobil belum dia hidupkan jadi aku masih dengar."Siapa sih sebenarnya yang menelfon, kenapa aku jadi penasaran gini?"***Part 6Seharian aku tidak konsentrasi dengan pekerjaan rumahku, dikit-dikit aku baper dengan sikap mas Wira tadi. Aku berfikir untuk menyadap Wa mas Wira. Apa apa gak terlalu berlebihan ya. Nanti coba aku minta pendapat mbak Gita dulu deh.Sesudah memandikan Dimas aku berencana mau antar paket, sore nanti ada acara arisan ibu-ibu RT dirumah bu Julia. Sekalian nanti mampir kerumah mbak Gita.Sambil nunggu waktu arisan aku selonjoran sambil upload foto jualan. Aku scroll beranda aplikasi berlogo F itu. Ada status yang menyita perhatianku.[Pagi-pagi udah ada malaikat bawain nasi uduk]Mana ada malaikat bawa nasi uduk, aneh ini orang.Aku kepo donk siapa pemilik akun, nama akun tersebut "myla chayang wr"Eh kok namanya kayak gak asing gitu. Jiwa kepoku meronta-ronta. Banyak status bucin disana.[Makasih sayang udah anterin ke klinik]Lho lho lho ini kayak akun Mila, apa dia punya pacar. Kok statusnya bucin gitu.Eh sebentar bukannya dia kemaren dianterin mas Wira. Tapi itu status beber
Baju kemeja warna abu-abu polos melekat dibubuh kekar suamiku. Baju yang kemren Mila pilih-pilih ketika belanja denganku. Otakku benar-benar sakit harus memikirkan hal ini. Mas wira makin mendekat, aroma parfum laundry semerbak menggelitik hidungku. "Sayang, mas kangen". Seraya memelukku dan mendaratkan ciuman manis dikeningku. Dan beralih mencium Dimas."Baju baru mas? Tumbeh beli baju sendiri, biasanya nyeret-nyeret istri dulu kalau mau beli baju". Cecarku penuh rasa penasaran.Begitulah mas Wira tidak pernah mau beli baju sendiri, pasti dia akan mengajakku ketika dia suka baju yang dia lihat. Walaupun dia lihat itu ketika dia sendiri, tapi tidak langsung dia beli. Ntah besoknya dia mengajakku untuk membeli baju itu. Aneh bukan?"Eh ini kemarin mas lupa taroh laundryan, alhasih baju mas habis, kebetulan bener temen mas yang baru belajar jualan bawa sampel nya kekosan mas kemaren, jadi mas beli". Mas Wira menjelaskan namun tak mampu memandang mataku, dia berbicara sambil menggoda D
Aku tak bisa diam saja memunggu kabar mas Wira, aku harus ke apotek membeli obat untuk Dimas, kulihat Dimas dikamar sudah tertidur, aku berlari kerumah mbak Gita untuk minta tolong jaga Dimas."Mbak, assalamualaikum." Panggilku, ketika sudah berdiri didepan pintu rumah mbak Gita."Walaikumsalam, ada apa Nay?""Mbak tolong jagain Dimas sebentar ya, dia demam, sedangkan obatnya habis, aku mau ke apotek dulu.""Lho, Dimas demam? Kapan mulai demam Nay?""Tadi pagi mbak, yaudah aku ke apotek dulu ya mbak, nitip Dimas sebentar.""Iya Nay."Tanpa fikir panjang aku langsung melajukan motorku ke ATM terdekat, karena aku sama sekali tidak memegang uang barang sepeserpun, nasib baik, isi bensin dalam motor masih full.Sesampainya di ATM, ada beberpa orang yang tengah mengantre. Sambil menunggu, kau terus mencoba menghubungi mas Wira, namun tetap tak diangkat. Sampai pada giliranku masuk ke bilik ber Ac itu. Kumasukan selembar kartu kedalam mesin, setelah menekan beberapa nomor pin, aku langsung
Aku mondar-mandir menunggu kabar dari lab, mbak Gita terus menguatkanku, Setelah 30 menit berlalu hasil lab akhirnya keluar. Dan benar Dimas terkana DBD. Namun belum cukup parah, karena langsung dibawa ke rumah sakit, jadi bisa langsung ditangani.Setelah Dimas masuk ruang rawat inap Bu Julia izin pamit pulang dan diantar mas Sigit sekalian mengembalikan mobil. Sedangkan mbak Gita tetap menemaniku di rumah sakit."Nay kamu gak ngasih tau Wira kalian disini?"."Gak mbak, biar mas Wira cari tahu sendiri".Aku sengaja mematikan handphone agar aku bisa fokus mengurus Dimas dan melupakan kekesalanku pada mas Wira. Mas Wira benar-benar keterlaluan, sama sekali dia tak menghiraukan anaknya yang tengah sakit."Mbak kalau mbak mau pulang dulu gak apa-apa, mas Sigit pasti belum makan dari tadi mbak, mbak urus dulu mas Sigit".""Kamu gak apa-apa sendirian Nay?" Mbak Gita tampak khawatir. Dia tau aku sedang tidak baik-baik saja."Gak apa-apa mbak"."Yaudah kalau gitu mbak pulang dulu ya, sesuda
Ya motor metik itu tak lain tak bukan milik Hermila Mutiara, nama yang cantik namun sayang kelakuannya tak secantik namanya.Aku sengaja berhenti cukup jauh dari rumahku, agar aku bisa diam-diam memasuki rumah lewat pintu samping.Sekuat tenaga aku menahan emosiku agar tak meledak, karena aku tidak suka ribut-ribut atau semacamnya.Aku berjalan perlahan dengan kamera mode on, siap merekam setiap kejadian yang akan terjadi nanti."Pulanglah Mil, aku akan cari istri dan anakku". Bentak mas Wira."Gak mas, sebelum kamu berjanji akan menikahiku, biarlah mereka pergi atau mat* sekalian agar gak ada lagi pengganggu!"."Jaga ucapanmu Mil, aku tidak akan menikahimu"."Mas ini anakmu, dia harus punya ayah"."Aku tak yakin itu anakku""Tega kamu ngomong gitu mas".Dadaku naik turun menahan amarah, butiran bening seketika luruh tak terkendali. Kututup mulutku agar tak mengeluarkan suara. Masih kugenggam erat handphone yang masih merekam itu agar tak terjatuh.Pembicaraan macam apa ini, Mila hamil
Mereka berdua sangat terkejut melihatku ada diruangan pak Herman. Terlebih si gund*k itu. "Dek kok kmau disini, mas tadi pagi kerumah sakit kamu gak ada"."Sengaja mau kasih kejutan buat kalian"."Kejutan apa?" Tanyanya heranAku hanya memutar bola mata malas, malas melihat dua penghianat itu. Sebelum mereka datang pak Herman sudah menyiapkan proyektor untuk memutar video yang aku kirim. Pasti mereka sangat terkejut."Disini kejutannya". Kata pak Herman sambil menunjuk kearah layar."Pulanglah Mil, aku akan cari istri dan anakku." Bentak mas Wira."Gak mas, sebelum kamu berjanji akan menikahiku, biarlah mereka pergi atau mat* sekalian agar gak ada lagi pengganggu!""Jaga ucapanmu Mil, aku tidak akan menikahimu"."Mas ini anakmu, dia harus punya ayah"."Aku tak yakin itu anakku""Tega kamu ngomong gitu mas".Suara mereka terdengar begitu jelas. Semua kejadian malam tadi terekam walaupun tidak begitu sempurna.Mas Wira tampak emosi melihatku. Aku tak takut dengan apa yang akan dia laku
Pov WiraAku Wiranata Prayoga seorang suami yang sangat beruntung beristrikan Kanaya Amelia, dia wanita tangguh, penyayang dan penurut. Rumah tanggaku berjalan mulus bahkan tanpa celah, sudah hampir empat tahun menikah.Kebahagiaan kami makin bertambah ketika Kanaya melahirkan bayi laki-laki mungil yang aku bernama Dimas Aksara Prayoga. Hubungan Kanaya dan semua keluargaku juga sangat baik terlebih dengan adik perempuanku Gina, mereka sangat dekat, walaupun keluargaku tinggal di Provinsi yang berbeda.Kanaya sangat memanjakanku dan juga Dimas, disamping menjalankan bisnis online-nya, namun tak mengurangi sedikitpun perhatiannya untukku dan anakku. Dia perempuan sempurna dimataku, tak ada satu alasanpun untukku meninggalkannya. Urusan kantorpun tak pernah ada masalah yang berarti, bahkan omset penjualan makin naik, tak ayal bonus penjualankupun makin bertambah.Setiap kali aku mendapatkan bonus tak lupa aku membelikan hadiah kecil untuk Kanaya dan Dimas. Mereka adalah belahan jiwaku.
Mila mengajaku liburan ke Curup, Curup merupakan daerah di kabupaten Rejang Lebong. Banyak sekali destinasi wisata disana.Salah satunya adalah Danau Mas Harun Bastari, disisi danau sebelah kiri ada villa yang view-nya langsung mengarah ke danau. Mila mengajakku kesana, untah untuk apa.Rencanaya aku akan mengajak Kanaya dan Dimas liburan. Tapi karena foto itu akhirnya aku menyetujui ajakan Mila.Selama di Curup Mila selalu menggodaku, tapi aku tak gentar, ketika malam aku sengaja pergi mencari angin malam dan aku memutuskan untuk tidur dimobil. Rasanya ingin sekali aku meninggalkan perempuan gil* itu di Villa, dan pulang memeluk Kanaya dan Dimas, namum foto itu."Mas kemana sih kok semalam tinggalin Mila sendiri". "Kan sudah aku bilang aku tidak mau"."Mas aku hamil". Mila menyodorkan tespect bergaris dua."Kenapa kamu kasih ke aku? aku bukan suamimu, akupun bukan kekasihmu!""Ini akibat perbuatanmu waktu dihotel beberapa minggu yang lalu mas.""Aku tidak yakin itu anakku, aku tidak
Beberapa bulan kemudian, setelah kegagalan Maya ber-taaruf dengan Kahfi, pemuda itu di kembalikan ke Palembang, ke tempat asalnya. Kiayi Abdurrahman sangat syok dan kecewa dengan perilaku Kahfi. Beliau tak menyangka jika anak asuhnya mempunyai prilaku seperti itu.Hatiku merasa lega, karena Lia akhirnya angakat suara tentang latar belakang Kahfi yang sebenarnya. Hampir saja Maya tertajuh ke dalam Pelukan laki-laki berprilaku menyimpang itu. Tidak bisa dibayangkan jika Lia sebagai mantan istirnya dulu tidak oernah menceritakan kisah kelamnya, sudah oasti Maya akan menjadi korban ke dua.Siang itu aku akan melakukan check di laboratorium mengenai penyakitku. Menurut dokter, pengobatan yang aku lakukan selama ini menunjukkan perkembangan yang begitu besar. Dan kemungkinan sel kanker itu sudah tidak ada di dalam tubuhku.Dengan harinyang sedikit cemas, aku mwnunggu Yuda mengantre untuk memgambil hasil cek laboratorium, setelah setengah jam memunggu, Yuda berlari tergopoh-gopoh mendekatik
Maya tak menghiraukan keberakan ustadz Kahfi disana. Gadis itu masih begitu saja menuju ruang tengah bersama Gina dan juga Dimas. Sementara Wira ikut duduk dengan Abdul Gani di ruang tamu.Harni tak melepaskan Dimas sedikitpun hingga mereka sampai di ruang tengah."Kangen beratkah, Oma?" ledek Dimas, laki-laki kecil itu mencium pipi omamya yang sudah mulai mengeriput."Tentu saja, anak baik." Harni menjawil hidung bangir milik Dimas."Sama aku gak rindukah?" Maya merajuk, bibirnya dimajukannya cukup panjang."Dikit," kata hari sambi membuat gerakan pada telunjuk dan jempolnya."Ih, ibu." Maya makin merajuk."MasyaaAllah, ada Gina." Harni baru sadar jika da sepasang mata yang memperhatikannya."Hehehe ... Ibu sehat?" ucao Gina kemudian."Alhamdulillah. Sini duduk dulu. Ibu buatkan teh hangat dulu ya."Harni bergegas ke belakang untuk membuatkan tamunya minuman hangat. Gina dan Maya mengekor wanita setengah baya itu. Sementara Dimas sudah sibuk dengan Cimoi--kucing kesayangan Kanaya."B
"Nay, Yuda ...." Wira menjeda ucapannya, dia mengatur nafas berkali-kali."Wira ada apa?" Yuda mengambil alih kamera."Tadi di toko bakery, kami ketemu dengan Anisa. Dia mengatakan hal buruk tentg Kanaya, yang membuat Dimas ketakutan.""Astaghfirullah," Kanaya membekap mulutnya."Terus gimana Wir?" Sambung Yuda tak kalah khawatir."Tadi Dimas sedikit ketakutan, tapi sekarang sudah ceria lagi." "Wir, tolong kalau Dimas audah di pesantren, sering-sering kamu jenguk ya." Ada rasa nyeri dalam hari Wira ketika mendengar perhatian Yuda yang begitu dalam terhadap Dimas, seandainya Lely pun begitu terhadap Dimas, mungkin Dimas tidak akan ketakutan seperti tadi, ketika bertemu dengan Lely."Sudah pasti, "ucap Wira."Anisa dan ibunya itu bisa dikatakan berhabaya Wir, beberapa kali Anisa mengirimkan oesan untuk Kanaya yang berisi ancaman.""Sampai separah itu?" Wira menanggapi."Aku tak tahu pasti bagaimana mereka, tapi dari cara ibunya Anisa membujuk ibuku agar aku bisa menikah dengan Anisa,
Dimas semakin dakam bersembunyi dibalik tubuh Gina yang tinggi. Sementara Wira membawa istrinya masuk kedalam kamar. Laki-laki yang selalu rapi itu tak habis pikir dengan tikah istrinya yang keterlaluan."Kamu bisa gak, jangan ngomong kasar begitu. Dari awal sebelum kita menikah, aku sudah kasih tahu kamu status aku. Aku punya anak, dan kamu setuju untuk mengganggap Dimas sebagai anak kamu sendiri, tapi kenapa sekarang begini?" ujar Wira dengan nada tinggi."Mas, itu dulu sebelum aku melihat wajah Kanaya, tapi setelah melohat wajah Kanaya, aku jadi merasa kalau kamu menikahiku karena aku mirip dengan Kanaya." Suara Lely tak kalah tinggi."Jadi apa mau kamu, hah?" Wira tak mampu menahan emosi."Aku mau bocah itu tidak pernah datang kesini, aku anggap kamu duda tanpa anak!""Lely ...." Wira mengangkat tangannya dan hampir menampar waja Lely, namun dengan sekuat tenaga dia menahan amarahnya."Apa mas? Mau nampar aku? Tapar aja!""Oke, aku akan bawa Dimas pergi, tapi jangan harap kamu aka
Maya masih syok dengan pengakuan Lia, dia kini terbaring didalam kamar yang ada di toko Kanaya. Lia kembali turun untuk bergabung dengan karyawan lainnya.Pemandangan aneh terlihat ketika Lia sampai di anak tangga dituruninya satu persatu. Dimas yang tengah merajuk sedang dibujuk olelh Wira."Mas Wira," panggil Lia seraya mendekat."Eh ... Lia. Mana Maya?" tanya Wira."Istirahat diatas Mas, mas Wira mau ngajak Dimas keluar?" "Iya, mau aku ajak nginap di rumah, tapi sepertinya dia sedang merajuk karena aku telat jemputnya," ucap WiraSebenarnya Wira sempat ke bandara, tetapi sampai disana Dimas dan Maya sudah tidak ada. Ternyata dari tadi dia mengabaikan pesan Kanaya, jika Dimas dan Maya sudah dijemput Lia."Papa ingkar janji!" desis Dimas. Mukannya ditekuk. Wira kembali mendekati Dimas yang duduk di sofa."Maaf ya sayang, tadi kerjaan papa gak bisa ditinggal," bujuk Wira."Dimas mau popcorn?" Sepertinya pertahanan Dimas mulai runtuh ketika mendengar makanan kesukaannya disebut."
Lianita alnama yang diberikan kedua orang tuaku, aku asli Palembang, dan merantau ke Bengkulu karena suatu hal yang mengharuskanku menjauh dari tempat yang sudah menorehkan luka menganga dihatiku. Luka itu bahkan hingga saat ini masih terasa sakit Aku menghubungi ayuk Gita--kerabat jauh mama, untuk mencari informasi pekerjaan di Bengkulu. Ayuk merupakan panggilan seperti mbak bagi orang Sumatra.Ayuk Gita sudah lama tinggal di Bengkulu ikut suaminya. Nasib baik tengah menghampiriku, ayuk Gita mempunyai sahabat bernama mbak Kanaya. Mbak Kanaya mempunyai toko baju yang sedang membutuhkan karyawan untuk tokonya.Dulu toko itu jaga sendiri oleh mbak Kanaya, karena semkain hari tokonya semakin ramai, makan dia memutuskan untuk mencari karyawan. Bukan karyawan sebenarnya, patner kerja kebih tepatnya. Karena mbak Kanaya tidak memperlakukan karyawannya seperti karyawan, tetapi seperti teman kerja. Tak segan-segan mbak Kanaya meminta pendapat kami jika mengalami masalah.Berkat rekomendasi da
Dimas berkali-kali menoleh kebelakang demi melihat Kanaya yang masih melambaikan tangan. Bocah yang kini sudah beranjak besar itu rasanya tak ingin lagi pisah dari Kanaya--ibunya, namun apalah daya, Kanaya harus menjalani pengobatan secara rutin karena sel kanker yang kemarin sudah diangkat, kini tumbuh lagi dan harus dilakukan kemoterapi.Kini Dimas dan Maya memasuki bandara, mwnuju pintu masuk pesawat, Dimas menggenggam erat tangan Maya, seoalh takut terpisah diataran ratusan orang yang tengah berdesakan."Tante, apa di pesantren Al Mukmin akan sama kayak di pesantren yang kemarin?" Dimas merasa cemas dan trauma atas apa yang menimpa diririnya beberapa bulan terakhir. Awalnya Dimas memang sekolah di SD berbasis Islam, namun karena keterbatasan penjagaan akhirnya Dimas dimasukkan ke pesantren, selain bisa belajar agama lebih dalam, tentunya Kanaya merasa aman karena tinggal di pesantren, ada yg mengawasinya.Sungguh malang yang menimpa Dimas, anak baik itu harus menerima perundungan
Tangisku kembali pecah ketika mendengar pengakuannya selama di pesantren. Hal yang paling menyedihkan ketika Dimas bilang dia tidak diizinkan tidur dikasur.Jadi selama ini Dimas hanya tidur dilantai beralaskan kain sarung. Bisa dibayangkan bagaimana dinginnya cuaca disana. Kembali kupeluk erat tubuh kurus anak baikku ini, aku baru sadar jika tubuhnya kini kurus. Aku terlalu memikirkan diriku sendiri. "Kenapa Dimas tidak cerita?""Karena Dimas tidak mau Mama sedih, apalagi Mama sedang saki," jawabnya polos."Sayang, maafin Mama ya! Besok mama sama ayah ke pesantren untuk mengurus kepindah Dimas. Untuk sementara Dimas sekolah didekat oma gak apa-apa kan?""Iya Ma, Dimas lebih senang dekat dengan oma.""Atau mau sekolah dekat papa?" tanyaku memberi pilihan. Bagaimanapun Dimas sudah besar, dia sudah mampu berpikir mana yang baik mana yang tidak.Dimas menggeleng, "deket sama oma aja Ma, Dimas gak tinggal sama tante Lely.""Iya gak apa-apa, besok kalau tante Maya pulang, Dimas sekalian
"Jangan ngaco May, Lia tahu darimana?""Aku juga gak tahu mbak, kemarin kan aku telfon mbak Lia, mau kasih tau dia kalau minggu depan aku mau pulang, terus minta tolong jemput di bandara, terus dia kan nanya-nanya tu, mau apa pulang. Ya Kau ceritakan kalau mau ketmeu ustat Kahfi. Terus tiba-tiba dia nanya, di cv ustadz kahfi statusnya apa? Gitu, y aaku jawab single." Maya manaruk nafas panjang dan membenarkan posisi duduknya."Terus apa lagi kata Lia?" Aku makin penasaran dengan cerita Maya tetang ustadz Kahfi."Mbak Lia bilang kalau sebenarnya ustadz kahfi udah pernah menikah.""Kamu percaya begitu aja dengan Lia?""Lho, bukannya selama ini Mbak Lia jadi orang kepercayaan Mbak dalam ngurusin toko, mada iya dia bohong mbak. Apa motivasinya coba dia bohongin aku."Kau berfikir sejenak, "iya juga ya May, atau mungkin kerabatnya Lia kenal siapa ustadz Kahfi. Tapi kan dia putranya kiayi Abdurrahman."Aku bingun sendiri dengan penuturan Maya. Kiyai Abdurrahman setahuku mempunyai empat anak