Lega hatiku setelah melihat Kanaya sudah ada dirumah. setelah mendekati area rumah ternyata, itu bukan Kanaya melainkan Mila. "Untuk apa lagi perempuan itu kesini". Batinku kesal.Aku mencari anak kunci yang selalu kusimpan didalam tas kerja. Setelah menemukan anak kunci, aku langsung mamebuka pintu dan langsung masuk kedalam rumah tanpa mempedulikan keberadaan Mila yang sedari tadi merengek. Namun perempuan itu justru mengikutiku sambil terus mengomel. Kututup pintu dengan sedikit membanting. Melihat reaksiku seperti ini, Mila tersulut emosi dan menggedor-gedor pintu rumahku."Mas, buka pintunya, mas." Panggilnya sambil terus menggedor pintu. Aku yamg pusing mendengar ocehannya, lantas membuka kembali pintu yang tadi kututup."Kamu bisa tida mengikutiku seperti ini?""Mas pokoknya kamu harus nikahin aku, aku gak mau tahu mas.""Selagi janin itu belum terbukti anakku maka tidak akan ada pernikahan." Ucapku penuh penekanan."Jadi kamu tega biarin anak ini tanpa ayah, oke kalau itu ma
Ada rasa sesal yang menggelayut manja dipundakku, apa langkahku sudah tepat? Melaporkan skandal mas Wira dan Mila ke pak Herman dan berujung pemecatan mereka. Mas Wira selama ini baik bahkan sangat baik, hanya saja mulai berubah ketika sepulang dari acara gathering waktu itu."Dek maafin mas." Mas Wira mendekatiku yang tengah melamun didepan mesin cuci. Aku terperanjat dan pura-pura memilah-milah baju yang akan aku cuci."Kamu melamun dek?" Tanya mas Wira."Mas, mas laki-laki kan? Mas harus bertanggung jawab atas perbuatan mas." Ucapku pelan, tak ada lagi semangat dalam hidupku. "Mas akan buktikan kalau yang dikandung Mila bukan anak mas." Mas Wira masih dengan pendiriannya."Jadi untuk apa dia minta pertanggung jawaban mas kalau mas gak tidur sama dia?""Dengerin mas dulu ya.""Oke mas, coba mas jelaskan.""Waktu acara gathering, mas dijebak, pak Herman menyuruh mas ambil sesuatu dikamar hotel, namun ketika mas sampai disana, malah ada Mila dengan pakaian yang tidak pantas, mas lang
Aku menyimpan gawai kedalam tas, dan beres-beres barang Dimas selama dua hari disini, sementara mas Wira asyik bermain dengan Dimas. Ada rasa bersalah ketika aku melihat keakraban mereka."Nay Mila tadi kesini." Ucap mbak Gita setengah berbisik."Hah Mila?" Balasku sedikit terkejut, ada apa perempuan itu datang kesini.Mas Wira dan aku saling berpandangan"Hah Mila? Ngapain dia kesini mbak?""Nyariin kamu Nay.""Mau apa dia Nyari Kanaya mbak?" Sahut mas Wira."Gak tau Wir, dia tadi tiba-tiba datang terus marah-marah, terus diusir sama petugas keamanan.""Emang stres dia mbak." Sahut mas Wira lagi.Mbak Gita hanya mengangkat kedua bahunya, setelah itu dia sibuk mengotak-atik gawainya. "Kamu sama mereka sudah selesai Nay?" Tanya mbak Gita sambil melirik kearah mas Wira."Nanti aku ceritain mbak kalau udah dirumah, panjang ceritanya, ntar terputus malah gak seru." Pungkasku sambil nyengir kuda."Aneh ini anak, rumah tangga udah diujung tanduk masih sempat-sempatnya cengir-cengir.""Buk
"Wira Keluar kamu, jangan jadi pengecut!".Dor...dor...dor...Suara memekakan telinga itu terdengar lagi. Dimas yang masih ketakutan aku larikan kekamar, sedangkan mas Wira, Kang Dani dan bapak menemui tamu yang tak tahu diri.Kusibakkan horden untuk melihat siapa yang berteriak-teriak diluar. Tampak diluar pria paruh baya dan seorang perempuan."Itu kan bapak ya Mila, tapi perempuan itu siapa ya? Apa Mila?" BatinkuAku tak ingin Dimas melihat kegaduhan ini, akhirnya ku ungsikan Dimas kerumah mbak Gita, aku tidak ingin nantinya Dimas melihat dan mendengar orang itu berbicara kasar, karena dari kedatangannya saja sudah tidak ada adab.Aku keluar dari pintu belakang dan berlari menuju rumah mbak Gita."Assalamualaikum mbak.""Walaikumsalam, Nay, Dimas ada pada kok panik gitu?" Mbak Gita menyambut Kami dengan wajah khawatir kemudian mengambil alih menggedong Dimas."Ada bapaknya Mila dirumah, dia teriak-teriak kayak orang kesurupan mbak, aku nitip Dimas dulu ya.""Iya Nay, kalau ada apa-
Sudah satu minggu aku dirumah ibu, selama disini aku tetap menjalankan bisnis online. Mas Wira hampir setiap hari menanyakan kabar Dimas. Hari itu aku sedang membabat rumput yang sudah tumbuh subur di halaman rumah ibu. Sesekali ngobrol dengan ibu-ibu yang lewat didepan rumah, sedangkan ibu dan bapak sudah berangkat kekebun. Dimas tengah bermain tanah disamping rumah. Aku sengaja membiarkan dia bermain di alam. Sementara Maya, adik perempuanku satu-satunya masih sekolah. Terdengar bunyi gawaiku yang kuletak diruang tamu. Ada panggilan tak terjawab dari mas Wira dan satu pesan. [Dek Alhamdulillah rumah kita sudah laku, hasil penjualan sudah mas transfer ke rekening kamu ya, besok mas antar barang-barang sisa yang kemaren belum sempat di bawa][Alhamdulillah makasih banyak mas][Iya dek, sebenarnya mas berat mau ngelepas rumah itu, banyak kenangan disana, tapi mas butuh modal untuk buka usaha][Gak apa-apa mas, nanti beli lagi kalau sudah ada rejeki] Jawabku lagi.Kemudian aku cek m-
Jantungku hampir meloncat ketika membaca pesan dari perempuan sint*ng itu, bisa-bisanya aku yang dibilang kegatelan, gak sadar dia seperti apa.[Maaf ya mbak aku gak ada waktu ngurusin kamu][Eh jangan sombong kamu, sekarang aku yang menang, mas Wira sudah menceraikanmu dan akan menikahiku][Pernikahan bukan ajang untuk mencari pemenang, kalau mas Wira menceraikanku, memang itu aku yang minta] send lalu blokir, aku tak mau berurusan dengan perempuan itu lagi.Dulu aku sangat dekat dengannya bahkan aku sering menginap dirumahnya, karena aku dulu waktu SMA sudah tinggal dikostan, sedangkan Mila tidak, rumahnya dengan sekolah relatif dekat.Jika weekend aku sering nginap dirumahnya ketika tidak pulang kerumah ibu dan sesekali Mila aku ajak nginap dirumahku, karena aku memang jarang pulang. Kadang kalau aku tidak pulang dikosan sendiri tak ayal Mila ikut nginap dikostanku, pak Nurdin juga sangat baik, tapi setelah lulus SMA, aku aku melanjutk
[Assalamualaikum mas] kukirim pesan melalui aplikasi berlogo gagang telfon."[Walaikumsalam dek, udah dapat rukonya][Belum mas, masih keliling, maaf mas, aku mau kirim sesuatu, siapa tau nanti bisa menjadi bukti][Apa Nay?]Kemudian kukirim foto yang barusan ku ambil, gambar seorang pria berumur dengan gadis muda yang katanya kini tengan mengandung anaknya mas Wira.Ck, miris sekali, bisa-bisanya dia jalan dengan pak Herman, padahal sebentar lagi akan menikah dengan Mas Wira.[Makasih banyak ya dek, ini bisa membatu dan menambah bukti][Sama-sama mas]Akupun meneruskan makanku bersama mbak Gita sambil sesekali memyuapi Dimas. "Ada apa Nay, kok ku kayak sembunyi-sembunyi gitu? Mbak Gita penasaran."Lihat kearah pukul sembilan mbak, coba tebak siapa mereka?""Astaghfirullah, itu kan.""Ssttt... jangan keras-keras, nanti mereka lihat kita." Mbak Gita mengangguk."Foto Nay, kirim ke Wira!""Udah mbak aman."Aku terus memperhatikan mereka, sayangnya obrolan mereka tak terdengar, kalau ak
Hari ini, hari pernikahan mas Wira dengan Mila, aku masih ragu untuk datang atau tidak, pasalnya aku masih memendam perasaan yang begitu besar terhadap mas Wira. Jauh dalam lubuk hatiku, sebenarnya aku hancur.Setelah menimbang hingga berjam-jam, akhirnya aku memutuskan untuk datang diacara pernikahan mas Wira dan Mila, aku akan pergi bersama mbak Gita. Kami hanya berdua, Dimas aku titipkan dengan bik Yuli. Aku tak ingin Dimas bingung, anak baik itu masih terlalu kecil untuk memahami situasi saat ini.Polesan make up tipis kusapu setiap centi wajahku. Gamis warna pink soft kupadukan dengan pasmina grey menambah kesan natural make up - ku.Tas tangan berwarna abu-abu kujinjing serta high heels berwarna hitam kukenakan untuk menambah tinggi badannku yang hanya 150cm. Bisa dibayangkan dulu jika jalan beriringan dengan mas Wira aku terlihat seperti anak kecil dan bapaknya. Tinggi mas Wira yang mencapai 172 cm membuat aku tenggelam diketiaknya. Dulu dadanya yang tidak begitu bidang menjad
Beberapa bulan kemudian, setelah kegagalan Maya ber-taaruf dengan Kahfi, pemuda itu di kembalikan ke Palembang, ke tempat asalnya. Kiayi Abdurrahman sangat syok dan kecewa dengan perilaku Kahfi. Beliau tak menyangka jika anak asuhnya mempunyai prilaku seperti itu.Hatiku merasa lega, karena Lia akhirnya angakat suara tentang latar belakang Kahfi yang sebenarnya. Hampir saja Maya tertajuh ke dalam Pelukan laki-laki berprilaku menyimpang itu. Tidak bisa dibayangkan jika Lia sebagai mantan istirnya dulu tidak oernah menceritakan kisah kelamnya, sudah oasti Maya akan menjadi korban ke dua.Siang itu aku akan melakukan check di laboratorium mengenai penyakitku. Menurut dokter, pengobatan yang aku lakukan selama ini menunjukkan perkembangan yang begitu besar. Dan kemungkinan sel kanker itu sudah tidak ada di dalam tubuhku.Dengan harinyang sedikit cemas, aku mwnunggu Yuda mengantre untuk memgambil hasil cek laboratorium, setelah setengah jam memunggu, Yuda berlari tergopoh-gopoh mendekatik
Maya tak menghiraukan keberakan ustadz Kahfi disana. Gadis itu masih begitu saja menuju ruang tengah bersama Gina dan juga Dimas. Sementara Wira ikut duduk dengan Abdul Gani di ruang tamu.Harni tak melepaskan Dimas sedikitpun hingga mereka sampai di ruang tengah."Kangen beratkah, Oma?" ledek Dimas, laki-laki kecil itu mencium pipi omamya yang sudah mulai mengeriput."Tentu saja, anak baik." Harni menjawil hidung bangir milik Dimas."Sama aku gak rindukah?" Maya merajuk, bibirnya dimajukannya cukup panjang."Dikit," kata hari sambi membuat gerakan pada telunjuk dan jempolnya."Ih, ibu." Maya makin merajuk."MasyaaAllah, ada Gina." Harni baru sadar jika da sepasang mata yang memperhatikannya."Hehehe ... Ibu sehat?" ucao Gina kemudian."Alhamdulillah. Sini duduk dulu. Ibu buatkan teh hangat dulu ya."Harni bergegas ke belakang untuk membuatkan tamunya minuman hangat. Gina dan Maya mengekor wanita setengah baya itu. Sementara Dimas sudah sibuk dengan Cimoi--kucing kesayangan Kanaya."B
"Nay, Yuda ...." Wira menjeda ucapannya, dia mengatur nafas berkali-kali."Wira ada apa?" Yuda mengambil alih kamera."Tadi di toko bakery, kami ketemu dengan Anisa. Dia mengatakan hal buruk tentg Kanaya, yang membuat Dimas ketakutan.""Astaghfirullah," Kanaya membekap mulutnya."Terus gimana Wir?" Sambung Yuda tak kalah khawatir."Tadi Dimas sedikit ketakutan, tapi sekarang sudah ceria lagi." "Wir, tolong kalau Dimas audah di pesantren, sering-sering kamu jenguk ya." Ada rasa nyeri dalam hari Wira ketika mendengar perhatian Yuda yang begitu dalam terhadap Dimas, seandainya Lely pun begitu terhadap Dimas, mungkin Dimas tidak akan ketakutan seperti tadi, ketika bertemu dengan Lely."Sudah pasti, "ucap Wira."Anisa dan ibunya itu bisa dikatakan berhabaya Wir, beberapa kali Anisa mengirimkan oesan untuk Kanaya yang berisi ancaman.""Sampai separah itu?" Wira menanggapi."Aku tak tahu pasti bagaimana mereka, tapi dari cara ibunya Anisa membujuk ibuku agar aku bisa menikah dengan Anisa,
Dimas semakin dakam bersembunyi dibalik tubuh Gina yang tinggi. Sementara Wira membawa istrinya masuk kedalam kamar. Laki-laki yang selalu rapi itu tak habis pikir dengan tikah istrinya yang keterlaluan."Kamu bisa gak, jangan ngomong kasar begitu. Dari awal sebelum kita menikah, aku sudah kasih tahu kamu status aku. Aku punya anak, dan kamu setuju untuk mengganggap Dimas sebagai anak kamu sendiri, tapi kenapa sekarang begini?" ujar Wira dengan nada tinggi."Mas, itu dulu sebelum aku melihat wajah Kanaya, tapi setelah melohat wajah Kanaya, aku jadi merasa kalau kamu menikahiku karena aku mirip dengan Kanaya." Suara Lely tak kalah tinggi."Jadi apa mau kamu, hah?" Wira tak mampu menahan emosi."Aku mau bocah itu tidak pernah datang kesini, aku anggap kamu duda tanpa anak!""Lely ...." Wira mengangkat tangannya dan hampir menampar waja Lely, namun dengan sekuat tenaga dia menahan amarahnya."Apa mas? Mau nampar aku? Tapar aja!""Oke, aku akan bawa Dimas pergi, tapi jangan harap kamu aka
Maya masih syok dengan pengakuan Lia, dia kini terbaring didalam kamar yang ada di toko Kanaya. Lia kembali turun untuk bergabung dengan karyawan lainnya.Pemandangan aneh terlihat ketika Lia sampai di anak tangga dituruninya satu persatu. Dimas yang tengah merajuk sedang dibujuk olelh Wira."Mas Wira," panggil Lia seraya mendekat."Eh ... Lia. Mana Maya?" tanya Wira."Istirahat diatas Mas, mas Wira mau ngajak Dimas keluar?" "Iya, mau aku ajak nginap di rumah, tapi sepertinya dia sedang merajuk karena aku telat jemputnya," ucap WiraSebenarnya Wira sempat ke bandara, tetapi sampai disana Dimas dan Maya sudah tidak ada. Ternyata dari tadi dia mengabaikan pesan Kanaya, jika Dimas dan Maya sudah dijemput Lia."Papa ingkar janji!" desis Dimas. Mukannya ditekuk. Wira kembali mendekati Dimas yang duduk di sofa."Maaf ya sayang, tadi kerjaan papa gak bisa ditinggal," bujuk Wira."Dimas mau popcorn?" Sepertinya pertahanan Dimas mulai runtuh ketika mendengar makanan kesukaannya disebut."
Lianita alnama yang diberikan kedua orang tuaku, aku asli Palembang, dan merantau ke Bengkulu karena suatu hal yang mengharuskanku menjauh dari tempat yang sudah menorehkan luka menganga dihatiku. Luka itu bahkan hingga saat ini masih terasa sakit Aku menghubungi ayuk Gita--kerabat jauh mama, untuk mencari informasi pekerjaan di Bengkulu. Ayuk merupakan panggilan seperti mbak bagi orang Sumatra.Ayuk Gita sudah lama tinggal di Bengkulu ikut suaminya. Nasib baik tengah menghampiriku, ayuk Gita mempunyai sahabat bernama mbak Kanaya. Mbak Kanaya mempunyai toko baju yang sedang membutuhkan karyawan untuk tokonya.Dulu toko itu jaga sendiri oleh mbak Kanaya, karena semkain hari tokonya semakin ramai, makan dia memutuskan untuk mencari karyawan. Bukan karyawan sebenarnya, patner kerja kebih tepatnya. Karena mbak Kanaya tidak memperlakukan karyawannya seperti karyawan, tetapi seperti teman kerja. Tak segan-segan mbak Kanaya meminta pendapat kami jika mengalami masalah.Berkat rekomendasi da
Dimas berkali-kali menoleh kebelakang demi melihat Kanaya yang masih melambaikan tangan. Bocah yang kini sudah beranjak besar itu rasanya tak ingin lagi pisah dari Kanaya--ibunya, namun apalah daya, Kanaya harus menjalani pengobatan secara rutin karena sel kanker yang kemarin sudah diangkat, kini tumbuh lagi dan harus dilakukan kemoterapi.Kini Dimas dan Maya memasuki bandara, mwnuju pintu masuk pesawat, Dimas menggenggam erat tangan Maya, seoalh takut terpisah diataran ratusan orang yang tengah berdesakan."Tante, apa di pesantren Al Mukmin akan sama kayak di pesantren yang kemarin?" Dimas merasa cemas dan trauma atas apa yang menimpa diririnya beberapa bulan terakhir. Awalnya Dimas memang sekolah di SD berbasis Islam, namun karena keterbatasan penjagaan akhirnya Dimas dimasukkan ke pesantren, selain bisa belajar agama lebih dalam, tentunya Kanaya merasa aman karena tinggal di pesantren, ada yg mengawasinya.Sungguh malang yang menimpa Dimas, anak baik itu harus menerima perundungan
Tangisku kembali pecah ketika mendengar pengakuannya selama di pesantren. Hal yang paling menyedihkan ketika Dimas bilang dia tidak diizinkan tidur dikasur.Jadi selama ini Dimas hanya tidur dilantai beralaskan kain sarung. Bisa dibayangkan bagaimana dinginnya cuaca disana. Kembali kupeluk erat tubuh kurus anak baikku ini, aku baru sadar jika tubuhnya kini kurus. Aku terlalu memikirkan diriku sendiri. "Kenapa Dimas tidak cerita?""Karena Dimas tidak mau Mama sedih, apalagi Mama sedang saki," jawabnya polos."Sayang, maafin Mama ya! Besok mama sama ayah ke pesantren untuk mengurus kepindah Dimas. Untuk sementara Dimas sekolah didekat oma gak apa-apa kan?""Iya Ma, Dimas lebih senang dekat dengan oma.""Atau mau sekolah dekat papa?" tanyaku memberi pilihan. Bagaimanapun Dimas sudah besar, dia sudah mampu berpikir mana yang baik mana yang tidak.Dimas menggeleng, "deket sama oma aja Ma, Dimas gak tinggal sama tante Lely.""Iya gak apa-apa, besok kalau tante Maya pulang, Dimas sekalian
"Jangan ngaco May, Lia tahu darimana?""Aku juga gak tahu mbak, kemarin kan aku telfon mbak Lia, mau kasih tau dia kalau minggu depan aku mau pulang, terus minta tolong jemput di bandara, terus dia kan nanya-nanya tu, mau apa pulang. Ya Kau ceritakan kalau mau ketmeu ustat Kahfi. Terus tiba-tiba dia nanya, di cv ustadz kahfi statusnya apa? Gitu, y aaku jawab single." Maya manaruk nafas panjang dan membenarkan posisi duduknya."Terus apa lagi kata Lia?" Aku makin penasaran dengan cerita Maya tetang ustadz Kahfi."Mbak Lia bilang kalau sebenarnya ustadz kahfi udah pernah menikah.""Kamu percaya begitu aja dengan Lia?""Lho, bukannya selama ini Mbak Lia jadi orang kepercayaan Mbak dalam ngurusin toko, mada iya dia bohong mbak. Apa motivasinya coba dia bohongin aku."Kau berfikir sejenak, "iya juga ya May, atau mungkin kerabatnya Lia kenal siapa ustadz Kahfi. Tapi kan dia putranya kiayi Abdurrahman."Aku bingun sendiri dengan penuturan Maya. Kiyai Abdurrahman setahuku mempunyai empat anak