Maya dan Luna saling pandang, bingung harus menjawab seperti apa. Karena nyatanya, mereka tidak memiliki bukti yang kuat untuk menganggap bahwa ini bukan kasus bunuh diri.
"Gue ... gue cuma ngeluarin pendapat aja," jawab Luna seadanya.
"Kalau dipikir-pikir, Alvin itu adalah sosok laki-laki idaman. Dia ramah, pintar dan segala hal baik melekat sama dia, tetapi apa terdengar masuk akal, kalau tiba-tiba dia mengakhiri hidupnya? Dia ditemukan sudah enggak bernyawa dan itu pasti sudah dari semalam, karena darah di lantai aja udah kering," sambung Maya mengeluarkan apa yang ada di pikirannya. "Emang sih, kondisi dia tadi luka di pergelangan tangan, kayak orang frustrasi karena di sana tempat termudah buat ngelakuinnya."
Air mata Bella kembali menetes, rasanya sangat sulit untuk menerima kenyataan kalau Alvin sudah tiada.
Melihat Bella menangis, membuat kedua sahabatnya kalang kabut. Mereka saling menyalahkan dengan menendang kaki satu sama lain.
"Bel, sor-"
"Enggak papa," potong Bella seraya menghapus air matanya. "Masalah dan kesedihan setiap orang itu berbeda, cara penyelesaiannya juga berbeda. Ada yang menunjukkannya secara terang-terangan dan ada juga yang tertutup, memilih menyimpannya sendiri. Apa kalian pernah dengar, kalau orang yang paling ceria dan selalu tertawa adalah orang yang memiliki luka paling dalam? Gue rasa, mungkin Alvin mengalami hal itu."
Maya dan Luna terdiam, mencerna setiap kata yang dilontarkan Bella. Mereka sama sekali tidak ada pikiran sampai sejauh itu. Karena sejujurnya, selama ini mereka melihat orang hanya dari luarnya saja.
"Maaf, Bel. Bukannya apa, gue cuma berpikir kalau orang yang tersenyum berarti hidupnya bahagia," ujar Luna menundukkan kepalanya merasa bersalah.
"Enggak papa, lihat gue!" titah Bella seraya menggenggam tangan Luna lembut. "Mulai sekarang, jangan pernah memandang orang-orang hanya dari luarnya saja. Lo harus tau, kalau setiap orang pasti memiliki masalah. Kalau lo bahagia dan bisa terbuka, jangan memukul rata semua orang. Hidup lo enggak sama dengan orang lain, begitu pula sebaliknya."
Bibir Luna melengkung ke bawah, matanya mulai berkaca-kaca. Dengan cepat dia bangkit dari duduknya dan memeluk Bella erat. Maya yang melihat itu mengulas senyum manis. Tidak lama kemudian, dia ikut bergabung memeluk kedua sahabatnya.
"Lo luar biasa, Bel. Di saat seperti ini, lo bisa menjadi seorang kakak yang memberi adiknya pesan. Padahal, lo yang paling muda di antara kita bertiga, tetapi lo lebih dewasa dan bisa membawa pengaruh baik buat gue sama Maya," ucap Luna yang sudah meneteskan air matanya. Dia mengeratkan pelukannya, menyalurkan semua rasa bahagia dan syukurnya karena bisa memiliki sahabat seperti Bella.
"Gue salut sama pemikiran lo dan gue sayang sama kalian berdua," sahut Maya mengusap rambut Bella lembut.
"Gue sayang kalian juga," balas Bella memegang kedua tangan sahabatnya yang memeluk dirinya.
**
"Biar gue sama Luna yang pesan, lo duduk manis aja di sini." Maya menekan pundak Bella pelan, mendudukkannya pada kursi kantin yang berada di bagian tengah.
Tanpa menunggu jawaban dari Bella, keduanya langsung melenggang pergi menuju stand makanan dan minuman. Berhubung dosen sedang sibuk dengan kasus Alvin, mereka memutuskan untuk ke kantin. Setidaknya bisa mengalihkan pikiran pada makanan.
Bella menghela napas saat melihat antrian kedua sahabatnya sangat panjang. "Duh, gue udah enggak tahan," ujar Bella kemudian lari terbirit-birit menuju kamar mandi. Dia menggigit bibir bawahnya keras, karena merasa airnya akan keluar.
Sesampainya di kamar mandi, Bella langsung memasuki salah satu bilik untuk menuntaskan panggilan alamnya. Beberapa menit kemudian, dia keluar dengan wajah yang lebih cerah. Rasanya begitu lega bisa mengeluarkan air yang sedari tadi dia tahan.
Kakinya melangkah mendekati wastafel untuk mencuci tangan. Namun, matanya tidak sengaja melihat ke arah kertas yang tertempel pada cermin di depannya. Dia melihat ke kanan dan ke kiri, memastikan apakah ada orang lain atau tidak. Kemudian tangannya terulur mengambil kertas tersebut dan membacanya. Tubuhnya mendadak kaku, lalu dengan cepat dia memasukkannya ke dalam saku. Setelah selesai, dia merapikan pakaiannya dan keluar kamar mandi, seolah tidak terjadi apa-apa.
"Gue harus kasih tau mereka," gumam Bella mempercepat langkah kakinya.
"Guys," panggil Bella setelah sampai di meja yang terdapat sahabatnya.
"Lo dari mana aja?" tanya Luna kesal. Dia sudah mengantri panjang, rela berdesak-desakan supaya bisa cepat melahap pesannya. Namun Bella yang hilang begitu saja membuat dia dan Maya harus menunggu sampai makannya menjadi dingin.
"Maaf, gue tadi ke kamar mandi. Kenapa kalian enggak makan duluan aja?" tanya Bella merasa bersalah. Dia menyentuh mangkok mie ayam yang ada di depannya, tidak ada rasa panas atau pun hangat.
"Kita nungguin lo, rasanya kurang lengkap kalau cuma makan berdua. Berhubung lo sudah ada, jadi ayo kita makan!" ajak Maya yang mulai meracik mie ayamnya.
Bella menatap kedua sahabatnya bergantian, tanpa sadar senyumnya mengembang. Dia mulai melahap makanannya tanpa menambahkan apa pun lagi, karena rasanya lebih enak yang original.
"Tadi gue nemuin kertas di kamar mandi," ucap Bella saat dia dan kedua sahabatnya sudah selesai makan.
Luna yang sedang bersandar sontak menyemburkan tawanya. "Lo orang kaya, ngapain ngambil kertas? Di kamar mandi pula."
"Bukan kertas buku, tetapi kertas note," ungkap Bella seraya merogoh saku celananya. Setelah menemukan apa yang dicari, dia meletakkannya di tengah meja.
"Sini gue aja yang baca," ujar Maya mengambil kertas tersebut dan membuka lipatannya. Seketika dahinya mengernyit bingung, merasa tidak paham dengan apa yang tertulis pada kertas yang dia pegang. Beberapa kali dia mengerjap, siapa tahu salah lihat. Namun tetap saja, tulisannya tidak berubah.
"Lun, coba lo yang baca. Mungkin mata gue lagi bermasalah, jadi enggak bisa baca dengan jelas," ucap Maya menyodorkan kertasnya kepada Luna dan diterima dengan senang hati.
"Ehem, gue baca nih ya." Luna berdeham untuk mencoba suaranya dengan senyum mengembang, seolah meledek Maya yang tidak bisa membaca. Namun setelah melihat isi kertasnya, alisnya menyatu bingung. Dia mendekatkan kertas tersebut ke matanya, kemudian kembali menjauhkannya.
Bibir Maya berkedut menahan tawa, saat melihat wajah kebingungan Luna. "Bisa enggak?" tanyanya bersedekap dada.
"He he ini tulisan apa ya? Lebih baik Bella aja yang baca, rasanya kepala gue mau meledak," ujar Luna menyerahkan kertas tersebut kepada Bella.
Bella yang memang sudah tahu isi kertas tersebut hanya bisa menghela napas. Dia mengambil kertas itu dan membacanya ulang. Maya dan Luna saling tatap saat melihat wajah Bella yang tetap santai, tidak ada kebingungan sama sekali.
"Bel, lo tau artinya?" tanya Maya penasaran.
Anggukan kepala Bella, membuat mereka spontan bertepuk tangan. Merasa begitu bangga karena memiliki sahabat yang bisa membaca dan mengartikan tulisan aneh seperti itu.
Setelah selesai membaca, Bella kembali menyimpan kertasnya di saku celana. Dia memajukan badannya, kemudian menatap kedua sahabatnya bergantian.
"Tulisan di kertas ini adalah sebuah puisi tentang ... Alvin," ucap Bella dengan suara yang begitu pelan, takut jika ada yang mendengar ucapannya.
Di taman belakang, terdapat seorang laki-laki yang sedang membaca buku di bawah pohon mangga. Dia adalah Galih, mahasiswa yang menyukai tempat sepi dan juga buku. Setelah melihat mayat Alvin tadi, dia langsung melangkah ke sini. Bohong jika dia tidak merasa kehilangan, karena semua yang berada di kampus ini sudah dia anggap saudaranya. Dia hanya bisa berharap, semoga Alvin tenang di alam sana dan semoga seberat apa pun masalah yang akan menimpanya, dia tidak sampai melakukan hal seperti itu.Merasa sudah tidak fokus lagi, dia menutup bukunya pelan dan bersandar pada pohon yang berada di belakangnya. Pandangannya mengarah pada bunga-bunga yang tumbuh subur. Namun, yang menjadi fokusnya bukanlah bunga tersebut, melainkan kertas yang terikat di tangkainya."Iseng banget, kasihan bunganya jadi sesak," gumamnya seraya membereskan bukunya, kemudian melangkah mendekati kertas tersebut. Dia berniat melepaskan tali yang mengikatnya.
"Gimana gue bisa nilai ini penting atau enggak, kalau artinya aja gue enggak tau," gerutu Luna yang diangguki Maya."Lah, kalian enggak tau kalau ini sandi?" tanya Galih menaikkan sebelah alisnya."Enggak, gue enggak paham soal sandi-sandi gitu," jawab Maya jujur."Gue nemu kertas ini tuh di cermin kamar mandi. Oke, sekarang gue jelasin ya. Ini namanya sandi merah putih, gue mulai dari kertas pertama," ucap Bella mengambil kertas sebelah kanan,kemudian meletakkannya semakin ke tangah."AP - AU - MP - EP - MP - EU - MP - AU - MT - MP - AT - MI - MP - AT - EU - HP - RI - MP - AT.""MT - HP - RI - MP - RT - MP - RU - MP - AT - AP - MP - AT - MT - HP - MI - AU - AT - HI - MP - RI - MP - AT - AT - HH - EP - HP - EU - AU - HI - MH - ET - MH - MP - RI - EP - AU - MP - AI - MP."
Baik Bella maupun Maya, sama-sama terdiam setelah mendapat pertanyaan dari Luna. Mereka berperang dengan hati dan pikirannya sendiri, mencoba meyakinkan diri tentang kertas tersebut. Di satu sisi, mereka tidak yakin karena bisa saja ada orang iseng yang menulis itu. Namun di sisi lain, bisa jadi Alvin memang bukan bunuh diri. Apalagi dengan ditutupnya kasus tersebut, membuat mereka merasa ada yang janggal sekaligus tertantang.Ya, tadi sekitar jam lima sore, pihak kampus memberi informasi bahwa Alvin dinyatakan bunuh diri karena tidak ada bukti selain sayatan di pergelangan tangan. Pihak polisi pun tidak bisa melakukan penyelidikan lebih dalam, karena pihak keluarga dan kampus menutup kasus ini."Benar atau tidaknya kertas itu, yang penting kita sudah memiliki niat baik. Besok, kita harus memberi tau dan meminta izin ke Pak Wiyo. Bagaimana pun juga, kita masih mahasiswi dan enggak ada yang tau kedepannya akan gimana," ucap Bella panjang le
Bella menoleh, seketika dahinya mengernyit samar saat tahu bahwa yang memanggilnya adalah Pak Wiyo."Ada apa, Pak?" tanya Bella."Ajak teman kamu ke ruangan saya!" Setelah mengatakan itu, Pak Wiyo berjalan meninggalkan kerumunan.Meskipun bingung, Bella tetap memberitahu para sahabatnya. Karena tidak mau membuang waktu, akhirnya mereka bergegas menuju ruangan Pak Wiyo. Di setiap langkah, tidak ada yang membuka suara sama sekali. Pikiran mereka berkelana kemana-mana, apalagi setelah melihat kejadian barusan. Keyakinan mereka bahwa semua ini bukan bunuh diri semakin besar. Dua hari berturut-turut, kematian yang begitu mendadak membuatnya terasa janggal.Tanpa terasa, mereka sudah sampai di depan ruangan Pak Wiyo."Permisi, Pak," ujar Bella mengetuk pintu sebanyak dua kali."Masuk!" titah Pak Wiyo dari dalam ruangan.Mereka memasuki ruangan dan melihat Pak Wiyo yang berdiri dengan wajah seriusnya."Saya izinkan kalian menyelidiki
"Untuk masalah mental gue enggak bisa ngomong apa-apa. Apalagi orang yang bersangkutan sudah meninggal. Namun, yang selama ini gue lihat sih sepertinya Bima baik-baik aja, enggak ada rumor atau perilaku dia yang aneh," sahut Bella memejamkan matanya lelah.Ada perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan kepada para sahabatnya. Dia takut jika suatu saat salah satu dari mereka atau bahkan semuanya ikut menjadi korban. Entah benar atau tidak, dia merasa mereka yang menjadi korban adalah orang yang mencintainya.Pertama Alvin, sosok laki-laki yang beberapa hari terakhir sedang dekat dengannya. Selalu datang membawakan dia makanan saat jam istirahat tiba. Mengantarkan pulang dan mengajaknya jalan-jalan untuk melepas penat.Kedua Bima, laki-laki yang beberapa hari lalu mengatakan cintanya tetapi dia tolak. Berkata bahwa sudah mencintainya sejak hari pertama ospek.Jika memang pemikirannya benar, maka akan banyak laki
Bella dan para sahabatnya terdiam kaku di depan pintu. Dari tempatnya berdiri, mereka dapat mendengar tangisan histeris dari mama Bima. Hati mereka ikut sesak, terasa begitu menyakitkan hingga tanpa sadar air mata mereka mengalir deras. "I - ni pasti mim - pi terburuk bagi mereka. Gue enggak kuat dengernya," celetuk Luna sesenggukan seraya menggenggam tangan Bella erat. "Pasti, secara Bima anak semata wayang, cowok lagi. Gue kasihan sama keluarganya," sahut Maya dengan kepala mendongak, berusaha menghentikan air mata yang ingin terus keluar. Davin mengusap bahu Bella pelan, berusaha menenangkan gadis itu yang menangis dalam diam dengan menggigit bibir bawahnya. "Ayo masuk!" Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, mereka mulai melangkah memasuki rumah Bima. Di sana, di tengah ruang tamu, tampak sebuah peti yang di kelilingi orang-orang. Mereka membaca ayat suci Al-Qur'an secar
"Lo mau ngomong apa?" tanya Galih yang duduk di sofa kamar Bella.Setelah Bella mengatakan ada yang ingin dibicarakan, mereka semua memutuskan untuk mencari tempat paling aman yang sekiranya tidak terdengar orang lain. Dan ya, pilihan terbaik adalah rumah Bella. Selain tidak ada tempat lagi, orang tua Bella juga sibuk bekerja yang berarti rumahnya sepi dan hanya ada beberapa pekerja saja."Duduk di bawah aja yuk! Biar lebih enak ngomongnya, masa iya kalian pisah-pisah gitu," ujar Bella menatap sahabatnya satu-persatu. Maya yang berbaring di ranjang, Luna di depan meja rias, Galih duduk bersandar di sofa dan Davin berdiri di pintu balkon."Iya juga sih," sahut Luna berjalan menuju Bella yang sudah duduk di karpet. "Gue lagi ngaca dan ternyata mata gue sembab banget. Pantas aja kayak enggak bisa melek."Davin ikut mendudukkan diri di samping kanan Bella. "Gue pusing setelah mendengar penjelasan orang tuanya Bima.""Iya, kayak gimana gitu. Kalau emang
"Enggak mungkin lah," sanggah Luna cepat. "Apa pun bisa terjadi, siapa tau yang dibilang Maya benar. Secara dia masih pakai baju yang kemarin, kejadiannya pagi dan enggak ada yang ngelihat dia pas lewat koridor. Seharusnya, kalau emang ada yang lihat 'kan mereka udah rame," papar Bella yang membuat mereka terdiam. Di dalam hati mereka menyetujui apa yang diucapkan Bella. Semuanya masuk akal, tetapi mereka masih merasa sedikit ragu. Karena angin malam begitu dingin, apalagi berada di tempat terbuka seperti rooftop. Apa Bima sekuat itu? Galih menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Daripada nebak-nebak gini, lebih baik besok kita ke rooftop. Mungkin di sana ada petunjuk." "Petunjuk apa?" tanya seseorang yang berada di ambang pintu membuat kelima remaja itu tersentak kaget. "Mama? Mama, ngapain ke kamar aku?" tanya Bella beranjak menghampiri Mamanya. Tanpa memedulikan pertanyaan putrinya, Mama Dea berjalan menghampiri keempat
"Gue ngga pernah nyangka bakal ngalamin hal kayak gini," celetuk Bella memecah keheningan di antara dirinya dan Davin. Saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah Bella. Duduk berdua di atas rumput dengan memandang ribuan bintang yang menghiasi langit malam.Tadinya, Davin merasa sangat khawatir kepada Bella. Mengingat wajah gadis itu yang berubah pucat setelah keluar dari rumah nomor dua puluh itu. Hatinya sedikit lega saat melihat wajah Sahabatnya yang jauh lebih baik.Namun, hal itu tidak mengurungkan niat Davin yang akan mengajak Bella mencari ketenangan. Terlebih dia sendiri sudah membawa gitar."Semuanya emang ngga bisa diprediksi," sahut Davin menunduk, menata kedua tangannya yang saling memilin. "Bohong kalau semua ini ga bikin gue takut. Orang gila yang sedang kita cari itu bisa ada di mana aja. Karena nyatanya, kita ngga punya petunjuk penting yang mengarah ke ciri fisik dia."Bella memutar duduknya hingga menghadap ke arah Davin. "Maafin gue. Setelah kejadian t
Hal yang mereka lihat kali ini bukan lagi sebuah foto, melainkan seorang mayat yang digantung dalam keadaan terbalik. Tentu, siapa yang tidak akan terkejut dan takut saat melihat pemandangan itu begitu membuka pintu?Yuda, orang pertama yang bisa menetralkan degup jantungnya mencoba melangkah pelan agar lebih masuk ke ruangan itu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tidak ada apa pun di sana selain mayat itu dan berbagai macam senjata tajam.Tunggu, senjata tajam? Jantung Yuda yang tadinya sudah berdetak normal kini kembali berdetak kencang, bahkan jauh lebih kencang daripada tadi.Jadi, rumah ini sudah sering dipakai untuk mengeksekusi seseorang. Entah musuhnya atau bagaimana, Yuda tidak bisa berpikir jernih.Perlahan kakinya melangkah mundur lalu berbalik sambil mendorong Galih yang menghalangi pintu. Kemudian dia menutup pintunya."Ke ruangan lain aja," ucap Yuda pelan.Dia menggeleng lalu melangkah mendahului yang lain. Entah dosa apa yang dia perbuat sampai bisa berakhir di
"Kenapa kalian bisa di sini?" tanya seseorang itu lagi. Galih adalah orang pertama yang menoleh, diikuti yang lain tetapi dengan mata yang tertutup rapat. Tanpa sadar Galih menelan salivanya kasar saat melihat sosok di depannya. Seorang pria tua dengan rambut gimbal gondrong dan baju lusuh yang sudah sobek-sobek. Kakinya pun tidak memakai alas, sangat kotor. Mirip seperti orang gila. "Hei!" sentak pria tua. Matanya melotot, membuat kelima remaja yang menutup mata di depannya terkejut. Sedangkan Galih menggigit pipi bagian dalamnya untuk tidak mengumpat. "Anu ... ehem, kami nyari rumah, Kek," jawab Yuda gugup. "Rumah siapa?" tanya pria tua dengan wajah seramnya. "Kalau dilihat dari pakaian kalian, sepertinya kalian bukan orang sini. Apalagi tempat ini jarang dikunjungi orang, meskipun di sini ada saudara atau rumah dulu mereka tinggal." Bella yang tadinya takut kini melangkah lebih ke depan. Merasa ada yang aneh dengan kalimat yang dilontarkan
"Gery, lo ngapain di sini?" tanya Davin sesaat setelah Gery selesai bernyanyi dan semua orang pergi, menyisakan dirinya bersama sahabatnya serta Gery.Gery meletakkan gitarnya di atas kursi yang tadi dia duduki. Melangkah mendekati keenam remaja yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Senyum ramah dia lemparkan untuk menyapa."Aku udah biasa main ke sini sejak kecil. Kayak yang kalian lihat tadi, aku ngehibur pengunjung taman dengan bernyanyi," jawab Gery dengan nada lembut seperti biasanya.Mendengar jawaban Gery, mata Maya, Galih dan Davin tidak bisa untuk tidak memicing curiga."Emangnya rumah lo di sekitar sini?" tanya Bella setelah tersadar dari kekagumannya. Matanya menjelajah ke sekitar taman yang sangat berbeda dengan taman bermain lainnya.Masih dengan senyum ramahnya, Gery menggeleng. "Enggak. Rumah aku satu komplek sama Maya."
"Jebakan atau bukan, yang penting besok kita ke sana," putus Maya tegas."Mending sekarang kita makan," celetuk Davin yang memang sudah merasa sangat lapar. Tatapannya beralih kepada Bella yang terlihat melamun. "Bel, lo mau mandi dulu apa makan?"Sedangkan yang diberi pertanyaan tetap diam dengan pikiran yang ke mana-mana. Jangankan menjawab, Bella saja tidak mendengarkan apa yang dibicarakan sahabat-sahabatnya.Luna yang berada di samping Bella pun menggoyang lengannya pelan. "Bel!"Bella tersadar dan menatap linglung sekitarnya. Setelah beberapa detik, dia menormalkan ekspresinya saat merasa banyak pasang mata yang menatap dirinya bingung."Lo kenapa? Ada yang lo pikirin? Apa orang itu bukan cuma nyuruh kita ke taman, tapi juga ngancem elo?" tanya Maya khawatir. Galih tersebut miring samar melihat itu. Kemudian melenggang pergi, kembali ke meja makan. Me
Di tengah ramainya taman bermain, terdapat anak perempuan berusia enam tahun sedang menangis dengan mata yang mengedar ke seluruh taman. Dia terpisah dari kakaknya.Tadinya, dia terlalu antusias melihat badut-badut yang sedang dikelilingi anak seumurannya. Hingga tanpa sadar telah melepaskan tautan tangannya dengan sang kakak.Air matanya semakin mengalir deras. Teriakannya yang memanggil-manggil kakaknya tidak mampu menumbuhkan rasa iba orang-orang yang berlalu lalang. Semuanya hanya menoleh tanpa bertanya apalagi membantu."Jangan nangis, ada aku di sini. Semuanya baik-baik aja." Secara tiba-tiba tangan mungilnya digenggam oleh anak laki-laki seumurannya.Tangis yang awalnya kencang perlahan berhenti, terganti dengan senyum lebar penuh kelegaan dan kebahagiaan. Apalagi saat matanya menangkap keberadaan dua anak kecil yang berdiri di samping anak yang menggenggam tangannya.
"What? Ini serius?" Luna menatap isi ponselnya tidak percaya. "Woi, cepet lihat ini! Ayo cepet ke sini!" Maya dan Bella yang sibuk membaca buku berdecak pelan. Namun tak ayal mengikuti perintah Luna untuk mendekat. Begitu juga dengan Davin, Galih dan Yuda yang berbincang santai di balkon, menikmati udara pagi. Mereka melingkar mengelilingi Luna yang masih heboh dengan ponselnya. "Ada apa?" tanya Davin merangkul Yuda yang berada di sampingnya. "Ini, lihat ini! Tiga orang yang kebakar kemarin ternyata taruhan sama Iko!" seru Luna heboh menunjukkan ponselnya kepada mereka. Bella merampas pelan ponsel Luna karena tidak dapat melihat dengan jelas. Ternyata sebuah postingan dari i*******m seseorang yang katanya teman ketiga laki-laki kemarin. Seseorang itu menulis bahwa ketiga temannya itu sempat taruhan dengan Iko untuk mendapatkan Bella. Di sana juga ditulis permintaan maaf kepada Bella karena keempat laki-laki itu sudah meninggal. "Taruha
Di rumahnya masing-masing tampak keenam remaja yang sama-sama fokus pada ponselnya. Mereka sedang membicarakan sesuatu melalui grup yang mereka buat. Bella yang sedang duduk di meja belajar menatap ponselnya serius. Dia sedang berpikir apakah harus bercerita kepada sahabatnya tentang Gery kemarin atau tidak. Setelah lumayan lama bergelut dengan pikirannya, akhirnya Bella memutuskan untuk memberi tahu saja. Mencari Pelaku. Sorry karena kemarin gue pergi gitu aja. Sebenarnya gue ke taman dan di sana ketemu Gery. Mayaa.Tapi lo nggak papa 'kan, Bel? Gery ada nyakitin lo nggak?
Masih dalam keadaan terkejut, mereka berlima membalikkan badan menghadap gerbang. Di sana sudah ramai dengan mahasiswa lain yang berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi. Kelimanya saling pandang sejenak lalu mulai melangkah mengikuti yang lain. Sesampainya di tempat yang sudah ramai dengan kerumunan mahasiswa dan warga sekitar, mereka tidak dapat menyembunyikan wajah terkejutnya. Bahkan Luna sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekitar lima belas langkah di depan mereka, terdapat sebuah mobil yang terbakar. Posisinya yang berada di pinggir jalan memudahkan para warga untuk memadamkan apinya. Galih mempertajam penglihatannya saat merasa tidak asing dengan mobil yang sedang dilahap kobaran api tersebut. Setelahnya, dia melebarkan matanya sejenak saat melihat sesuatu yang menempel di bagian belakang mobil yang tidak terdapat api. "Shit! Itu mobil mereka!" pekiknya tertahan. Bella menoleh cepat dengan wajah takut dan juga