Share

5. Keputusan

Author: Ervin Warda
last update Last Updated: 2021-10-26 19:11:58

"Gimana gue bisa nilai ini penting atau enggak, kalau artinya aja gue enggak tau," gerutu Luna yang diangguki Maya.

"Lah, kalian enggak tau kalau ini sandi?" tanya Galih menaikkan sebelah alisnya.

"Enggak, gue enggak paham soal sandi-sandi gitu," jawab Maya jujur.

"Gue nemu kertas ini tuh di cermin kamar mandi. Oke, sekarang gue jelasin ya. Ini namanya sandi merah putih, gue mulai dari kertas pertama," ucap Bella mengambil kertas sebelah kanan, kemudian meletakkannya semakin ke tangah.

"AP - AU - MP - EP - MP - EU - MP - AU - MT - MP - AT - MI - MP - AT - EU - HP - RI - MP - AT."

"MT - HP - RI - MP - RT - MP - RU - MP - AT - AP - MP - AT - MT - HP - MI - AU - AT - HI - MP - RI - MP - AT - AT - HH - EP - HP - EU - AU - HI - MH - ET - MH - MP - RI - EP - AU - MP - AI - MP."

"MP - MT - MH - AI - MP - ET - MH - HI - HI - MP - MI - AU - MP - MT - MH - EP - HP - AT - RP - AU."

"RU - AU - AT - EU - EU - MP - AP - AU - EP - MP - RH - MP - RU - AI - AU - AT - MP - RI - RI - HP - RT - EP - MH - ET - MP - AT."

"AP - MP - RI - MP - RU - AT - HH - MP - RT - HP - AT - EU - MP - ET - AU - RI - AP - MP - RI - AU - MI - HP - RI - EU - HP - ET - MP - AT - EU - MP - AT - AT - HH - MP."

"Gue langsung bacain artinya aja ya, daripada kalian kalian pusing dan akan makan banyak waktu kalau diartikan satu-persatu." Bella menatap sahabatnya serius, lalu beralih pada kertas merah itu.

"Dia bagaikan pangeran. Keramahan dan kepintarannya begitu luar biasa. Aku salut, tapi aku benci. Hingga di bawah sinar rembulan, darahnya mengalir dari pergelangan tangannya," ujar Bella membaca isi kertasnya.

Melihat semua sahabatnya terdiam, Bella melanjutkan pada kertas kedua.

"AI - AU - RT - MI - MP - AT - AI - HP - RT - MH - MP - MT - HP - AT - MP - AT - EU - MP - AT - HI - HP - AT - HI - MP - AT - EU - AT - HH - MP."

"MT - MP - RI - HP - AT - MP - AP - AU - MP - AI - MH - AP - MP - RU - HI - AU - MP - AP - MP."

"MP - MT - MH - MP - MT - MP - AT - RT - HP - AT - RP - MP - RI - AU - MT - MP - AT - HI - HP - RT - MP - AT."

"Simpan semua kenangan tentangnya, karena dia sudah tiada, aku akan mencarikan teman," lanjut Bella.

"Gue merinding," celetuk Luna memeluk lengan Bella erat. Jika tau artinya seperti ini, dia tidak akan mau mendengarkan. Lebih baik dia menjadi anak bodoh yang tidak paham tentang sandi, daripada membaca hal mengerikan seperti ini.

"Kalau dilihat dari artinya, ini benar-benar mengarah ke Alvin. Dia pintar dan ramah, dia juga tipe laki-laki idaman. Fiks sih ini kalau Alvin bukan bunuh diri," ucap Maya serius. "Terus maksudnya mencari teman itu apa?"

"Sepertinya teman untuk Alvin. Guys, apa mungkin ini pembunuhan dan akan ada korban selanjutnya?" Bella menatap kedua kertas itu bergantian. Tulisannya sangat rapi, membuat dia sulit menebak siapa yang menulis ini. Meskipun dia tidak mengetahui gaya tulisan satu-persatu mahasiswa di kampus ini, tetapi untuk serapi ini rasanya mustahil.

"Gue juga ngerasa gitu, tetapi lebih baik kita pura-pura enggak tau aja," sahut Galih menghela napas pelan.

Mendengar ucapan Galih, membuat Bella langsung menoleh dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Gue enggak setuju kalau kita harus pura-pura enggak tau. Ini penting dan gue pengen cari tau pelakunya. Bagaimana pun juga, Alvin butuh keadilan kalau memang benar dibunuh," tegas Bella dengan tangan yang terkepal erat. Dia dan Alvin sudah banyak menghabiskan waktu bersama. Entah itu belajar bersama atau sekedar jalan-jalan. Lalu sekarang, Alvin meninggal karena dibunuh dan dia diam saja? Oh no!

"Bel, lo jangan gila! Gimana kalau pembunuhnya itu seorang psyco? Akhirnya bukan cuma Alvin aja yang meninggal, tetapi kita juga!" sungut Maya menatap Bella tidak suka.

"Kalau kalian enggak mau, gue sendiri aja. Karena kalau dibiarin, akan semakin banyak korban yang berjatuhan. Gimana kalau pihak kampus dan keluarga menutup kasus ini? Dilihat dari luka Alvin tadi, mereka pasti berpikir kalau Alvin bunuh diri," ujar Bella panjang lebar.

"Lo serius? Ini bukan masalah sepele, ibaratnya main petak umpet sama seorang pembunuh. Bel, lo ... yakin mau nyari pelakunya?" tanya Davin ragu.

Bella menghela napas panjang, kemudian mengangguk mantap. Tidak ada keraguan sama sekali di matanya, karena dia sudah bertekad di dalam hati.

"Gue enggak akan ngebiarin lo sendirian, jadi gue ikut," ucap Davin tersenyum manis. Terdengar nekat memang, tetapi dia tidak bisa membiarkan seorang gadis menerjang bahaya sendiri. Lagi pula mereka bersahabat dan arti sahabat yang sesungguhnya adalah saling membantu serta selalu ada di saat susah maupun senang.

"Gue suka berpikir," sahut Galih tersenyum tipis.

Maya dan Luna saling pandang dan menghela napas, tidak lama kemudian keduanya kompak mengangguk mantap. Sejujurnya mereka takut, tentang bahaya apa yang sudah menanti di depan sana. Namun, membiarkan Bella mencari seorang diri juga bukan pilihan yang baik.

Sudut bibir Bella terangkat membentuk senyuman, hingga semakin lama semakin lebar. "Terima kasih, karena kalian sudah mau membantu gue."

"Kita sahabat," ujar mereka kompak.

**

Di sebuah kamar yang bernuansa elegan dengan warna gold, terdapat seorang gadis yang sedang duduk melamun di atas ranjang. Dia adalah Bella, gadis yang tadi siang sudah membuat sebuah keputusan besar. Sekarang, pikirannya melayang ke sana ke mari. Hatinya menjadi bimbang dan perasaannya tidak enak. Dia merasa ragu untuk menyelidiki kasus Alvin, tetapi dia juga merasa seperti memegang sebuah tanggung jawab.

"Sebenarnya, siapa yang nulis ini?" tanya Bella pada dirinya sendiri seraya menatap kedua kertas yang berada di tangannya. Jika hanya kertas ini yang menjadi bukti, lalu bagaimana cara dia menemukan sang pelaku yang sudah membunuh Alvin?

Tok! Tok!

"Masuk!" titah Bella bergegas menyimpan kertas tersebut ke dalam laci nakas yang berada di samping tempat tidurnya.

"Sayang," panggil Dion - Papa Bella.

"Iya," jawab Bella tersenyum manis, seolah dia baik-baik saja.

Papa Dion mendudukkan diri di samping Bella, tangannya terulur menggenggam tangan Putri bungsunya dengan lembut.

"Papa dengar, di kampus kamu ada mayat. Apa benar?" tanya Papa Dion lembut.

Bella menunduk sebentar, kemudian kembali menatap wajah tampan Papanya. "Benar, Pa. Dia Alvin, laki-laki yang akhir-akhir ini dekat sama Bella."

"Papa tau kamu pasti sedih, tetapi kamu harus ingat, jangan sampai kesedihan itu membuat nilai dan prestasi kamu menurun," ujar Papa Dion menatap manik mata Bella dalam.

"Enggak akan, Pa. Semuanya akan tetap sama seperti dulu dan kemarin, mendapatkan nilai yang sempurna," jawab Bella tersenyum meyakinkan. Bagaimana mungkin menomor duakan sebuah nilai? Dia memang sedih, kehilangan dan tidak rela, tetapi nilai tetap nomor satu.

Papa Dion tersenyum lebar, kemudian mengelus rambut Bella lembut. Anak bungsunya memang tidak pernah mengecewakan, selalu menurut dan dapat diandalkan.

"Apa kamu mau pindah kampus? Papa yakin, semua yang ada di sana akan merasa takut," ujar Papa Dion.

Dengan cepat Bella menggeleng, jika dia pindah lalu bagaimana dengan kasus Alvin?

"Kenapa? Papa bisa mengurusnya dari sekarang, kalau kamu mau ke luar negeri juga enggak masalah." Papa Dion berusaha membujuk Bella supaya mau pindah kampus. Namanya juga orang tua, pasti ada rasa khawatir dan tidak tenang jika tempat sekolah anaknya terdapat mayat.

"Enggak usah, Pa. Sayang sama uangnya, lebih baik ditabung aja. Bella enggak papa kok, sudah terlanjur nyaman juga sama kampusnya," tolak Bella halus.

"Papa khawatir," ucap Papa Dion pelan.

"Benar apa kata Papa kamu, Sayang. Kami khawatir, jadi lebih baik kamu pindah aja ya?" tanya Dea - Mama Bella yang sudah berada di ambang pintu. Perlahan kalinya melangkah, mendekati anak dan suaminya.

Bella terdiam dengan mata yang memandang Mama dan Papanya bergantian. Dia tahu, sekeras apa pun mereka dalam mendidiknya untuk menjadi nomor satu, pasti ada perasaan khawatir dan cemas sebagai mana orang tua pada umumnya. Namun, dia juga tidak bisa pindah begitu saja. Selain biaya yang sudah dikeluarkan lumayan banyak, suasana kampus dan sahabatnya juga membuat dia berat untuk pergi.

"Maaf, Ma, Pa, Bella enggak bisa pindah," ucap Bella menunduk, merasa bersalah karena tidak bisa menuruti keinginan kedua orang tuanya.

Setelah mengambil sebuah keputusan besar untuk memecahkan kasus Alvin, sangat tidak mungkin untuk dia pindah dan lepas tangan. Apalagi sekarang para sahabatnya sudah menyetujui rencananya. Akan sangat tidak etis, jika dia mundur tanpa aba-aba.

"Tadi sudah ada mayat loh, Sayang. Apa kamu enggak takut, mama khawatir kalau itu bukan bunuh diri," terang Mama Dea mendudukkan diri di sebelah kiri Bella.

Bella mengambil sebelah tangan Mama dan Papanya, kemudian menggenggamnya lembut. "Pa, Ma, Bella enggak papa. Masalah tadi benar-benar bunuh diri, lagi pula banyak sahabat Bella yang siap menjaga Bella selama di kampus. Jadi, enggak perlu khawatir lagi. Kalian harus jaga kesehatan, jangan banyak pikiran."

"Yasudah kalau itu keputusan kamu, kami hanya bisa mendukung. Jaga diri dan kalau ada yang aneh, jangan takut untuk bilang sama kami ya, Sayang" pesan Mama Dea mencium kening Bella penuh sayang, kemudian berjalan keluar kamar dan diikuti oleh Papa Dion.

"Iya, Ma," jawab Bella tersenyum manis.

Setelah kepergian kedua orang tuanya, Bella bergegas mengunci pintunya. Huft! Dia merasa lega sekarang, karena tidak disuruh untuk pindah kampus lagi.

Dia membuka laci nakasnya, melihat kertas tersebut kemudian kembali menutupnya. Merasa matanya sudah tidak bisa diajak kompromi, Bella memutuskan untuk memasuki alam mimpi. Namun yang terjadi adalah, kata-kata kertas tadi membayangi pikirannya. Dia mencoba memejamkan mata, berharap langsung terjun bebas ke alam mimpi. Lagi dan lagi kata-kata di kertas itu terbayang di pikirannya.

Merasa kesal, Bella bangkit dan bersandar pada kepala ranjang. Dilihatnya jam dinding yang menggantung, menunjukkan pukul 9 malam membuat dia menghela napas panjang. Padahal besok dia ada kelas pagi, tetapi sekarang belum tidur.

Tangannya terulur mengambil handphone yang berada di atas nakas. Setelah beberapa detik mengotak-atik, dia mengangkatnya sejajar dengan wajah. Tidak perlu menunggu lama, wajah kedua sahabatnya sudah muncul di layar handphonenya.

"Gue enggak bisa tidur, kalian gimana?" tanya Bella kepada Maya dan Luna.

"Gue juga enggak bisa, makanya sekarang gue alihin dengan nonton film," jawab Luna menunjukkan laptopnya yang menayangkan film komedi.

"Enggak tau kenapa, gue kepikiran sama kertas itu. Setiap nutup mata, pasti terbayang," tutur Bella lesu. Padahal dia sudah sangat mengantuk, tetapi tidak kunjung tertidur.

"Bel, gue takut. Apa keputusan kita sudah benar?" tanya Maya dengan wajah seriusnya.

"Iya, lo tau sendiri 'kan, kalau gue ini penakut. Gimana kalau nanti dia neror gue?" tanya Luna panik, bahkan dia sampai menggigit guling yang berada di pelukannya.

"Guys, tenang! Gue rasa, pilihan kita sudah tepat. Kita enggak mungkin diam aja 'kan, saat orang terdekat kita dibunuh? Berdo'a aja, semoga kedepannya kita diberi kemudahan," kata Bella tersenyum lembut. Bohong jika dia tidak merasa takut, karena sesungguhnya dia sangat-sangat takut. Namun, jika dia mengungkapkannya, bagaimana dengan kedua sahabatnya? Siapa yang akan menenangkan dan memberi keyakinan?

"Apa kertas itu bisa dipercaya?" tanya Luna ragu.

Related chapters

  • Misteri Asmara Bella   6. Jatuh Dari Rooftop

    Baik Bella maupun Maya, sama-sama terdiam setelah mendapat pertanyaan dari Luna. Mereka berperang dengan hati dan pikirannya sendiri, mencoba meyakinkan diri tentang kertas tersebut. Di satu sisi, mereka tidak yakin karena bisa saja ada orang iseng yang menulis itu. Namun di sisi lain, bisa jadi Alvin memang bukan bunuh diri. Apalagi dengan ditutupnya kasus tersebut, membuat mereka merasa ada yang janggal sekaligus tertantang.Ya, tadi sekitar jam lima sore, pihak kampus memberi informasi bahwa Alvin dinyatakan bunuh diri karena tidak ada bukti selain sayatan di pergelangan tangan. Pihak polisi pun tidak bisa melakukan penyelidikan lebih dalam, karena pihak keluarga dan kampus menutup kasus ini."Benar atau tidaknya kertas itu, yang penting kita sudah memiliki niat baik. Besok, kita harus memberi tau dan meminta izin ke Pak Wiyo. Bagaimana pun juga, kita masih mahasiswi dan enggak ada yang tau kedepannya akan gimana," ucap Bella panjang le

    Last Updated : 2021-10-26
  • Misteri Asmara Bella   7. Dimulai

    Bella menoleh, seketika dahinya mengernyit samar saat tahu bahwa yang memanggilnya adalah Pak Wiyo."Ada apa, Pak?" tanya Bella."Ajak teman kamu ke ruangan saya!" Setelah mengatakan itu, Pak Wiyo berjalan meninggalkan kerumunan.Meskipun bingung, Bella tetap memberitahu para sahabatnya. Karena tidak mau membuang waktu, akhirnya mereka bergegas menuju ruangan Pak Wiyo. Di setiap langkah, tidak ada yang membuka suara sama sekali. Pikiran mereka berkelana kemana-mana, apalagi setelah melihat kejadian barusan. Keyakinan mereka bahwa semua ini bukan bunuh diri semakin besar. Dua hari berturut-turut, kematian yang begitu mendadak membuatnya terasa janggal.Tanpa terasa, mereka sudah sampai di depan ruangan Pak Wiyo."Permisi, Pak," ujar Bella mengetuk pintu sebanyak dua kali."Masuk!" titah Pak Wiyo dari dalam ruangan.Mereka memasuki ruangan dan melihat Pak Wiyo yang berdiri dengan wajah seriusnya."Saya izinkan kalian menyelidiki

    Last Updated : 2021-10-26
  • Misteri Asmara Bella   8. Duka Keluarga Bima

    "Untuk masalah mental gue enggak bisa ngomong apa-apa. Apalagi orang yang bersangkutan sudah meninggal. Namun, yang selama ini gue lihat sih sepertinya Bima baik-baik aja, enggak ada rumor atau perilaku dia yang aneh," sahut Bella memejamkan matanya lelah.Ada perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan kepada para sahabatnya. Dia takut jika suatu saat salah satu dari mereka atau bahkan semuanya ikut menjadi korban. Entah benar atau tidak, dia merasa mereka yang menjadi korban adalah orang yang mencintainya.Pertama Alvin, sosok laki-laki yang beberapa hari terakhir sedang dekat dengannya. Selalu datang membawakan dia makanan saat jam istirahat tiba. Mengantarkan pulang dan mengajaknya jalan-jalan untuk melepas penat.Kedua Bima, laki-laki yang beberapa hari lalu mengatakan cintanya tetapi dia tolak. Berkata bahwa sudah mencintainya sejak hari pertama ospek.Jika memang pemikirannya benar, maka akan banyak laki

    Last Updated : 2021-10-26
  • Misteri Asmara Bella   9. Berusaha Ikhlas

    Bella dan para sahabatnya terdiam kaku di depan pintu. Dari tempatnya berdiri, mereka dapat mendengar tangisan histeris dari mama Bima. Hati mereka ikut sesak, terasa begitu menyakitkan hingga tanpa sadar air mata mereka mengalir deras. "I - ni pasti mim - pi terburuk bagi mereka. Gue enggak kuat dengernya," celetuk Luna sesenggukan seraya menggenggam tangan Bella erat. "Pasti, secara Bima anak semata wayang, cowok lagi. Gue kasihan sama keluarganya," sahut Maya dengan kepala mendongak, berusaha menghentikan air mata yang ingin terus keluar. Davin mengusap bahu Bella pelan, berusaha menenangkan gadis itu yang menangis dalam diam dengan menggigit bibir bawahnya. "Ayo masuk!" Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, mereka mulai melangkah memasuki rumah Bima. Di sana, di tengah ruang tamu, tampak sebuah peti yang di kelilingi orang-orang. Mereka membaca ayat suci Al-Qur'an secar

    Last Updated : 2021-11-03
  • Misteri Asmara Bella   10. Pusing Kuadrat

    "Lo mau ngomong apa?" tanya Galih yang duduk di sofa kamar Bella.Setelah Bella mengatakan ada yang ingin dibicarakan, mereka semua memutuskan untuk mencari tempat paling aman yang sekiranya tidak terdengar orang lain. Dan ya, pilihan terbaik adalah rumah Bella. Selain tidak ada tempat lagi, orang tua Bella juga sibuk bekerja yang berarti rumahnya sepi dan hanya ada beberapa pekerja saja."Duduk di bawah aja yuk! Biar lebih enak ngomongnya, masa iya kalian pisah-pisah gitu," ujar Bella menatap sahabatnya satu-persatu. Maya yang berbaring di ranjang, Luna di depan meja rias, Galih duduk bersandar di sofa dan Davin berdiri di pintu balkon."Iya juga sih," sahut Luna berjalan menuju Bella yang sudah duduk di karpet. "Gue lagi ngaca dan ternyata mata gue sembab banget. Pantas aja kayak enggak bisa melek."Davin ikut mendudukkan diri di samping kanan Bella. "Gue pusing setelah mendengar penjelasan orang tuanya Bima.""Iya, kayak gimana gitu. Kalau emang

    Last Updated : 2021-11-04
  • Misteri Asmara Bella   11. Bujukan Orang Tua

    "Enggak mungkin lah," sanggah Luna cepat. "Apa pun bisa terjadi, siapa tau yang dibilang Maya benar. Secara dia masih pakai baju yang kemarin, kejadiannya pagi dan enggak ada yang ngelihat dia pas lewat koridor. Seharusnya, kalau emang ada yang lihat 'kan mereka udah rame," papar Bella yang membuat mereka terdiam. Di dalam hati mereka menyetujui apa yang diucapkan Bella. Semuanya masuk akal, tetapi mereka masih merasa sedikit ragu. Karena angin malam begitu dingin, apalagi berada di tempat terbuka seperti rooftop. Apa Bima sekuat itu? Galih menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Daripada nebak-nebak gini, lebih baik besok kita ke rooftop. Mungkin di sana ada petunjuk." "Petunjuk apa?" tanya seseorang yang berada di ambang pintu membuat kelima remaja itu tersentak kaget. "Mama? Mama, ngapain ke kamar aku?" tanya Bella beranjak menghampiri Mamanya. Tanpa memedulikan pertanyaan putrinya, Mama Dea berjalan menghampiri keempat

    Last Updated : 2021-11-05
  • Misteri Asmara Bella   12. Meyakinkan Mereka

    "Yah, kita boleh berunding dulu enggak di kamar Bella?" tanya Davin menatap menatap Ayah penuh harap. Ayah Shafi menatap orang tua Bella dengan alis terangkat, meminta persetujuan sebagai pemilik rumah. "Boleh, lima belas menit," ujar Papa Dion mengizinkan. "Terima kasih, Pa. Kita ke kamar dulu," pamit Bella yang langsung bangkit dari duduknya dengan senyum lebar. Setelah itu, dia berlari kecil menuju kamarnya diikuti para sahabatnya. Sesampainya di kamar, Maya langsung mengunci pintu karena takut hal seperti tadi kembali terulang. Di mana saat mereka membicarakan hal penting dipergoki oleh orang tua Bella. "Gimana nih, Guys? Gue enggak mau pindah. Sekalipun enggak ada masalah ini, gue juga enggak akan pindah. Gue udah terlalu nyaman, apalagi ada kalian." Luna menatap sahabatnya dengan wajah yang menahan tangis. Di dalam benaknya, dia sama sekali tidak ada pikiran untuk pindah kampus. Bukan masalah uang yang sudah dikeluarkan, tetapi s

    Last Updated : 2021-11-07
  • Misteri Asmara Bella   13. Ketakutan Bella

    Bella terenyuh mendengar ucapan Mamanya. Dia semakin merasa bersalah karena sudah melakukan dua kesalahan. Yang pertama, tidak menuruti permintaan kedua orang tuanya dan yang kedua, membuat mereka khawatir. Argh! Kenapa dia harus terjebak di situasi yang membuat hatinya dilema? "Tante, enggak usah khawatir, Davin sama yang lain pasti jagain Bella," ucap Davin meyakinkan. Ayah Shafi menatap anaknya dengan sorot mata yang menajam. "Harus! Kalian berdua, Davin dan Galih wajib jagain yang cewek. Anggap aja kalian lagi menjaga bunda." Kedua laki-laki itu mengangguk tegas. Ini sudah menjadi tugas mereka, apalagi keadaan sekarang sedang tidak baik. Tidak ada yang tahu kedepannya akan seperti apa. Entah mereka semua ikut menjadi korban atau hanya salah satu. Namun yang pasti, untuk saat ini mereka harus saling menjaga dari segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. "Ma, maafin Bella." Bella

    Last Updated : 2021-11-09

Latest chapter

  • Misteri Asmara Bella   59. Gue Khawatir, Bella

    "Gue ngga pernah nyangka bakal ngalamin hal kayak gini," celetuk Bella memecah keheningan di antara dirinya dan Davin. Saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah Bella. Duduk berdua di atas rumput dengan memandang ribuan bintang yang menghiasi langit malam.Tadinya, Davin merasa sangat khawatir kepada Bella. Mengingat wajah gadis itu yang berubah pucat setelah keluar dari rumah nomor dua puluh itu. Hatinya sedikit lega saat melihat wajah Sahabatnya yang jauh lebih baik.Namun, hal itu tidak mengurungkan niat Davin yang akan mengajak Bella mencari ketenangan. Terlebih dia sendiri sudah membawa gitar."Semuanya emang ngga bisa diprediksi," sahut Davin menunduk, menata kedua tangannya yang saling memilin. "Bohong kalau semua ini ga bikin gue takut. Orang gila yang sedang kita cari itu bisa ada di mana aja. Karena nyatanya, kita ngga punya petunjuk penting yang mengarah ke ciri fisik dia."Bella memutar duduknya hingga menghadap ke arah Davin. "Maafin gue. Setelah kejadian t

  • Misteri Asmara Bella   58. Kamar Nayya

    Hal yang mereka lihat kali ini bukan lagi sebuah foto, melainkan seorang mayat yang digantung dalam keadaan terbalik. Tentu, siapa yang tidak akan terkejut dan takut saat melihat pemandangan itu begitu membuka pintu?Yuda, orang pertama yang bisa menetralkan degup jantungnya mencoba melangkah pelan agar lebih masuk ke ruangan itu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tidak ada apa pun di sana selain mayat itu dan berbagai macam senjata tajam.Tunggu, senjata tajam? Jantung Yuda yang tadinya sudah berdetak normal kini kembali berdetak kencang, bahkan jauh lebih kencang daripada tadi.Jadi, rumah ini sudah sering dipakai untuk mengeksekusi seseorang. Entah musuhnya atau bagaimana, Yuda tidak bisa berpikir jernih.Perlahan kakinya melangkah mundur lalu berbalik sambil mendorong Galih yang menghalangi pintu. Kemudian dia menutup pintunya."Ke ruangan lain aja," ucap Yuda pelan.Dia menggeleng lalu melangkah mendahului yang lain. Entah dosa apa yang dia perbuat sampai bisa berakhir di

  • Misteri Asmara Bella   57. Puluhan Foto

    "Kenapa kalian bisa di sini?" tanya seseorang itu lagi. Galih adalah orang pertama yang menoleh, diikuti yang lain tetapi dengan mata yang tertutup rapat. Tanpa sadar Galih menelan salivanya kasar saat melihat sosok di depannya. Seorang pria tua dengan rambut gimbal gondrong dan baju lusuh yang sudah sobek-sobek. Kakinya pun tidak memakai alas, sangat kotor. Mirip seperti orang gila. "Hei!" sentak pria tua. Matanya melotot, membuat kelima remaja yang menutup mata di depannya terkejut. Sedangkan Galih menggigit pipi bagian dalamnya untuk tidak mengumpat. "Anu ... ehem, kami nyari rumah, Kek," jawab Yuda gugup. "Rumah siapa?" tanya pria tua dengan wajah seramnya. "Kalau dilihat dari pakaian kalian, sepertinya kalian bukan orang sini. Apalagi tempat ini jarang dikunjungi orang, meskipun di sini ada saudara atau rumah dulu mereka tinggal." Bella yang tadinya takut kini melangkah lebih ke depan. Merasa ada yang aneh dengan kalimat yang dilontarkan

  • Misteri Asmara Bella   56. Mencari Rumah

    "Gery, lo ngapain di sini?" tanya Davin sesaat setelah Gery selesai bernyanyi dan semua orang pergi, menyisakan dirinya bersama sahabatnya serta Gery.Gery meletakkan gitarnya di atas kursi yang tadi dia duduki. Melangkah mendekati keenam remaja yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Senyum ramah dia lemparkan untuk menyapa."Aku udah biasa main ke sini sejak kecil. Kayak yang kalian lihat tadi, aku ngehibur pengunjung taman dengan bernyanyi," jawab Gery dengan nada lembut seperti biasanya.Mendengar jawaban Gery, mata Maya, Galih dan Davin tidak bisa untuk tidak memicing curiga."Emangnya rumah lo di sekitar sini?" tanya Bella setelah tersadar dari kekagumannya. Matanya menjelajah ke sekitar taman yang sangat berbeda dengan taman bermain lainnya.Masih dengan senyum ramahnya, Gery menggeleng. "Enggak. Rumah aku satu komplek sama Maya."

  • Misteri Asmara Bella   55. Cemburu

    "Jebakan atau bukan, yang penting besok kita ke sana," putus Maya tegas."Mending sekarang kita makan," celetuk Davin yang memang sudah merasa sangat lapar. Tatapannya beralih kepada Bella yang terlihat melamun. "Bel, lo mau mandi dulu apa makan?"Sedangkan yang diberi pertanyaan tetap diam dengan pikiran yang ke mana-mana. Jangankan menjawab, Bella saja tidak mendengarkan apa yang dibicarakan sahabat-sahabatnya.Luna yang berada di samping Bella pun menggoyang lengannya pelan. "Bel!"Bella tersadar dan menatap linglung sekitarnya. Setelah beberapa detik, dia menormalkan ekspresinya saat merasa banyak pasang mata yang menatap dirinya bingung."Lo kenapa? Ada yang lo pikirin? Apa orang itu bukan cuma nyuruh kita ke taman, tapi juga ngancem elo?" tanya Maya khawatir. Galih tersebut miring samar melihat itu. Kemudian melenggang pergi, kembali ke meja makan. Me

  • Misteri Asmara Bella   54. Mimpi

    Di tengah ramainya taman bermain, terdapat anak perempuan berusia enam tahun sedang menangis dengan mata yang mengedar ke seluruh taman. Dia terpisah dari kakaknya.Tadinya, dia terlalu antusias melihat badut-badut yang sedang dikelilingi anak seumurannya. Hingga tanpa sadar telah melepaskan tautan tangannya dengan sang kakak.Air matanya semakin mengalir deras. Teriakannya yang memanggil-manggil kakaknya tidak mampu menumbuhkan rasa iba orang-orang yang berlalu lalang. Semuanya hanya menoleh tanpa bertanya apalagi membantu."Jangan nangis, ada aku di sini. Semuanya baik-baik aja." Secara tiba-tiba tangan mungilnya digenggam oleh anak laki-laki seumurannya.Tangis yang awalnya kencang perlahan berhenti, terganti dengan senyum lebar penuh kelegaan dan kebahagiaan. Apalagi saat matanya menangkap keberadaan dua anak kecil yang berdiri di samping anak yang menggenggam tangannya.

  • Misteri Asmara Bella   53. Taruhan

    "What? Ini serius?" Luna menatap isi ponselnya tidak percaya. "Woi, cepet lihat ini! Ayo cepet ke sini!" Maya dan Bella yang sibuk membaca buku berdecak pelan. Namun tak ayal mengikuti perintah Luna untuk mendekat. Begitu juga dengan Davin, Galih dan Yuda yang berbincang santai di balkon, menikmati udara pagi. Mereka melingkar mengelilingi Luna yang masih heboh dengan ponselnya. "Ada apa?" tanya Davin merangkul Yuda yang berada di sampingnya. "Ini, lihat ini! Tiga orang yang kebakar kemarin ternyata taruhan sama Iko!" seru Luna heboh menunjukkan ponselnya kepada mereka. Bella merampas pelan ponsel Luna karena tidak dapat melihat dengan jelas. Ternyata sebuah postingan dari i*******m seseorang yang katanya teman ketiga laki-laki kemarin. Seseorang itu menulis bahwa ketiga temannya itu sempat taruhan dengan Iko untuk mendapatkan Bella. Di sana juga ditulis permintaan maaf kepada Bella karena keempat laki-laki itu sudah meninggal. "Taruha

  • Misteri Asmara Bella   52. Saling Melindungi

    Di rumahnya masing-masing tampak keenam remaja yang sama-sama fokus pada ponselnya. Mereka sedang membicarakan sesuatu melalui grup yang mereka buat. Bella yang sedang duduk di meja belajar menatap ponselnya serius. Dia sedang berpikir apakah harus bercerita kepada sahabatnya tentang Gery kemarin atau tidak. Setelah lumayan lama bergelut dengan pikirannya, akhirnya Bella memutuskan untuk memberi tahu saja. Mencari Pelaku. Sorry karena kemarin gue pergi gitu aja. Sebenarnya gue ke taman dan di sana ketemu Gery. Mayaa.Tapi lo nggak papa 'kan, Bel? Gery ada nyakitin lo nggak?

  • Misteri Asmara Bella   51. Butuh Ketenangan

    Masih dalam keadaan terkejut, mereka berlima membalikkan badan menghadap gerbang. Di sana sudah ramai dengan mahasiswa lain yang berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi. Kelimanya saling pandang sejenak lalu mulai melangkah mengikuti yang lain. Sesampainya di tempat yang sudah ramai dengan kerumunan mahasiswa dan warga sekitar, mereka tidak dapat menyembunyikan wajah terkejutnya. Bahkan Luna sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekitar lima belas langkah di depan mereka, terdapat sebuah mobil yang terbakar. Posisinya yang berada di pinggir jalan memudahkan para warga untuk memadamkan apinya. Galih mempertajam penglihatannya saat merasa tidak asing dengan mobil yang sedang dilahap kobaran api tersebut. Setelahnya, dia melebarkan matanya sejenak saat melihat sesuatu yang menempel di bagian belakang mobil yang tidak terdapat api. "Shit! Itu mobil mereka!" pekiknya tertahan. Bella menoleh cepat dengan wajah takut dan juga

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status