Baik Bella maupun Maya, sama-sama terdiam setelah mendapat pertanyaan dari Luna. Mereka berperang dengan hati dan pikirannya sendiri, mencoba meyakinkan diri tentang kertas tersebut. Di satu sisi, mereka tidak yakin karena bisa saja ada orang iseng yang menulis itu. Namun di sisi lain, bisa jadi Alvin memang bukan bunuh diri. Apalagi dengan ditutupnya kasus tersebut, membuat mereka merasa ada yang janggal sekaligus tertantang.
Ya, tadi sekitar jam lima sore, pihak kampus memberi informasi bahwa Alvin dinyatakan bunuh diri karena tidak ada bukti selain sayatan di pergelangan tangan. Pihak polisi pun tidak bisa melakukan penyelidikan lebih dalam, karena pihak keluarga dan kampus menutup kasus ini.
"Benar atau tidaknya kertas itu, yang penting kita sudah memiliki niat baik. Besok, kita harus memberi tau dan meminta izin ke Pak Wiyo. Bagaimana pun juga, kita masih mahasiswi dan enggak ada yang tau kedepannya akan gimana," ucap Bella panjang lebar.
Meskipun masih terselip sedikit rasa ragu, Luna tetap mengangguk setuju.
"Yaudah, sekarang kalian tidur. Ini sudah malam, tuh sudah jam 11," ujar Maya memutar kameranya ke arah jam dinding. Tidak terasa mereka sudah menghabiskan waktu beberapa jam dalam membicarakan ketakutan dan keraguannya.
"Good night, Girls," ujar mereka kompak sebelum memutuskan sambungan video callnya.
**
"Kalian yakin, mau bilang hal ini ke pak Wiyo?" tanya Davin memastikan.
Saat ini mereka berlima sedang berada di depan ruangan pak Wiyo. Mereka sengaja datang lebih pagi hanya untuk membicarakan hal ini, sebelum kelas pertama di mulai. Namun, bukannya langsung mengetuk pintu dan membicarakan sesuai apa yang direncanakan, mereka justru saling berdebat karena ragu.
"Kalau gue sih yakin. Karena kita juga enggak tau kedepannya akan gimana, jadi setidaknya harus ada satu dosen yang tau keputusan kita," ungkap Bella mencengkeram buku yang berada di tangannya. Entah kenapa, sejak memasuki area kampus perasaannya menjadi tidak enak. Mungkin karena kejadian kemarin, batinnya mencoba berpikir positif.
"Gue ikut Bella," celetuk Galih bersandar pada dinding dengan kaki kanan yang ditekuk.
"Mau enggak mau gue tetap ikut, karena ucapan Bella ada benarnya juga," kata Davin setelah bergulat dengan pikirannya.
Senyum Bella mengembang, dengan cepat dia membalikkan badannya dan mulai mengetuk pintu kayu di depannya. Tidak membutuhkan waktu lama, sudah ada sahutan dari dalam ruangan yang menyuruh mereka masuk. Setelah menghela napas panjang, Bella memutar knop dan memasuki ruangan diikuti oleh keempat sahabatnya.
Galih yang masuknya terakhir, kembali menutup pintunya rapat supaya tidak ada yang mengintip atau menguping pembicaraan mereka. Setelah memastikan bahwa benar-benar aman, dia berjalan dan berdiri di samping Davin.
"Ada apa, Nak?" tanya Pak Wiyo bingung, karena tidak biasanya mereka mendatangi ruangannya secara ramai seperti ini.
Mereka saling pandang, kemudian mengangguk pelan. Bella membuka tas selempangnya untuk mengambil kertas kemarin dan meletakkannya di meja.
"Kemarin, saya dan sahabat saya menemukan kertas itu, Pak. Di situ tertulis sebuah puisi tentang Alvin," ujar Bella saat melihat raut wajah Pak Wiyo yang kebingungan.
"Apa?!" Saking kagetnya, Pak Wiyo spontan berdiri dengan suara yang meninggi.
"Maaf, maaf," ujar Pak Wiyo kembali duduk. Dia menatap kelima muridnya dengan serius, meminta penjelasan tentang apa yang disampaikan Bella tadi.
"Saya dan sahabat saya menduga kalau Alvin bukan bunuh diri, tetapi dibunuh, Pak. Jadi kami memutuskan untuk menelusuri kasus ini," papar Davin.
"Kalian yakin? Jika memang benar dibunuh, kecil kemungkinan untuk kalian tidak mengalami masalah. Bahkan nyawa kalian bisa menjadi taruhannya. Lebih baik kalian pura-pura tidak tahu, itu akan lebih aman, Nak," jelas Pak Wiyo mencoba memberi pengertian. Jelas dia tidak mau, jika anak didiknya mengalami masalah berat, apalagi sampai kehilangan nyawa.
Bella menggeleng cepat, tidak setuju dengan ucapan Pak Wiyo. Dia dan sahabatnya sudah meyakinkan diri untuk menyelidiki kasus Alvin. Bagaimana mungkin dia pura-pura tidak tahu, saat kertas aneh itu berada di tangannya?
"Maaf, Pak, kami tidak bisa berpura-pura tidak tahu. Meskipun belum jelas, tetapi kami sudah memiliki tekad dan niat baik untuk Alvin," tolak Bella halus.
"Tujuan kami ke sini hanya ingin memberi tahu, Pak. Kami ingin Bapak menjadi pemegang kunci cadangan dan biarkan hal ini menjadi rahasia kita," kata Galih datar. Jika bukan karena tidak mau berdebat dan bertele-tele, dia tidak akan mau berbicara panjang seperti ini.
Pak Wiyo memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, berusaha menenangkan diri setelah mendapat serangan mendadak. Mimpi apa dia semalam, hingga pagi-pagi seperti ini sudah mendapat kabar buruk. Ya, kabar tentang dugaan kematian Alvin dan keputusan muridnya untuk menerjang bahaya.
"Baik, bapak ijinkan, tetapi dengan satu syarat," celetuk Pak Wiyo setelah beberapa menit terdiam.
"Apa syaratnya, Pak?" tanya mereka kompak.
"Kalian harus hati-hati dan tidak boleh ada yang terluka, entah itu fisik maupun psikis. Informasi apa pun yang kalian dapat, wajib lapor ke bapak. Bagaimana, deal?" tanya Pak Wiyo mengulurkan tangannya.
Mereka saling pandang, tidak lama kemudian senyumnya mengembang, kecuali Galih yang hanya tersenyum kecil. "Deal," ujarnya serempak kemudian mencium tangan Pak Wiyo bergantian.
Bruk!
"Aaaaa!"
Mereka yang berada di ruangan Pak Wiyo tersentak kaget, saat mendengar suara sesuatu jatuh dan disambut teriakan keras.
Tanpa mengucapkan apa pun, Pak Wiyo langsung berlari keluar ruangan diikuti Bella dan sahabatnya. Di sela larinya, satu pertanyaan muncul di kepala mereka. Tentang apa yang sebenarnya terjadi, karena teriakan tadi berasal dari lapangan. Suara teriakan saling bersahutan dengan tangis histeris, hingga mereka yang jaraknya lumayan jauh bisa mendengar.
Sesampainya di lapangan, mereka langsung mencari celah untuk memasuki kerumunan. Meskipun telinga mereka terasa akan pecah, badan terhimpit dan terdorong sana-sini, tetapi mereka tidak menyerah hingga akhirnya sampai di barisan depan.
"Aaaa!" teriak Bella, Maya dan Luna kompak menutup mata. Sedangkan Galih dan Davin terdiam mematung, dengan mata melotot kaget.
Dengan napas memburu dan jantung yang masih berdebar kencang, mereka bertiga membuka matanya perlahan.
"I - ni Bi - ma bu - kan?" tanya Bella terbata-bata. Kakinya terasa lemas, seluruh aliran darahnya terasa berhenti dengan jantung yang akan lepas dari tempatnya.
Luna menutup mulut dan hidungnya karena bau darah yang menyengat, membuat perutnya bergejolak.
Di depan mereka terdapat mayat Bima - mahasiswa ekonomi yang merupakan teman sekelas Alvin dalam keadaan berlumur darah, bahkan sampai menggenang di lantai lapangan.
"Bel!" seru Davin memeluk punggung Bella dari belakang, saat gadis cantik itu hampir terhuyung.
"Lo enggak papa?" tanya Galih saat melihat wajah Bella yang begitu pucat.
Bella menggeleng pelan, kemudian mengambil napas dan mengembuskannya perlahan. Setelah merasa lebih baik, dia kembali berdiri tegak. Semua ini sangat-sangat mengejutkan, membuat dia hampir kehilangan kesadaran. Dia ingin menangis keras, tetapi air matanya tidak bisa keluar. Bima adalah laki-laki humoris yang dua hari lalu menyatakan cinta padanya. Namun, karena tidak memiliki perasaan yang lebih dari sekedar teman, dia menolaknya. Apa mungkin Bima sakit hati hingga melakukan ini?
"Dia jatuh dari rooftop," ujar Galih menatap rooftop dan mayat Bima bergantian.
"Bel, apa dia sakit hati karena lo enggak nerima cintanya?" tanya Maya serius.
"Gue juga enggak tau," sahut Bella menggeleng pelan. Jika memang benar, maka dia akan terus dihantui rasa bersalah yang begitu besar.
"Minggir, minggir! Petugas rumah sakit dan polisi sudah datang!" teriak salah satu dosen memberi jalan untuk ambulance membawa jenazah Bima. Sedangkan para polisi meneliti sekitar dan mulai memberi batas.
Saat akan diangkat, tangan Bima tidak sengaja menjatuhkan sesuatu. Bella yang memang berada di depan bergegas mengambil dan memasukkannya ke tas selempangnya, sebelum ada yang melihat.
"Bel." Bisikan seseorang yang memanggil namanya dari arah belakang membuat bulu kuduknya berdiri.
Bella menoleh, seketika dahinya mengernyit samar saat tahu bahwa yang memanggilnya adalah Pak Wiyo."Ada apa, Pak?" tanya Bella."Ajak teman kamu ke ruangan saya!" Setelah mengatakan itu, Pak Wiyo berjalan meninggalkan kerumunan.Meskipun bingung, Bella tetap memberitahu para sahabatnya. Karena tidak mau membuang waktu, akhirnya mereka bergegas menuju ruangan Pak Wiyo. Di setiap langkah, tidak ada yang membuka suara sama sekali. Pikiran mereka berkelana kemana-mana, apalagi setelah melihat kejadian barusan. Keyakinan mereka bahwa semua ini bukan bunuh diri semakin besar. Dua hari berturut-turut, kematian yang begitu mendadak membuatnya terasa janggal.Tanpa terasa, mereka sudah sampai di depan ruangan Pak Wiyo."Permisi, Pak," ujar Bella mengetuk pintu sebanyak dua kali."Masuk!" titah Pak Wiyo dari dalam ruangan.Mereka memasuki ruangan dan melihat Pak Wiyo yang berdiri dengan wajah seriusnya."Saya izinkan kalian menyelidiki
"Untuk masalah mental gue enggak bisa ngomong apa-apa. Apalagi orang yang bersangkutan sudah meninggal. Namun, yang selama ini gue lihat sih sepertinya Bima baik-baik aja, enggak ada rumor atau perilaku dia yang aneh," sahut Bella memejamkan matanya lelah.Ada perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan kepada para sahabatnya. Dia takut jika suatu saat salah satu dari mereka atau bahkan semuanya ikut menjadi korban. Entah benar atau tidak, dia merasa mereka yang menjadi korban adalah orang yang mencintainya.Pertama Alvin, sosok laki-laki yang beberapa hari terakhir sedang dekat dengannya. Selalu datang membawakan dia makanan saat jam istirahat tiba. Mengantarkan pulang dan mengajaknya jalan-jalan untuk melepas penat.Kedua Bima, laki-laki yang beberapa hari lalu mengatakan cintanya tetapi dia tolak. Berkata bahwa sudah mencintainya sejak hari pertama ospek.Jika memang pemikirannya benar, maka akan banyak laki
Bella dan para sahabatnya terdiam kaku di depan pintu. Dari tempatnya berdiri, mereka dapat mendengar tangisan histeris dari mama Bima. Hati mereka ikut sesak, terasa begitu menyakitkan hingga tanpa sadar air mata mereka mengalir deras. "I - ni pasti mim - pi terburuk bagi mereka. Gue enggak kuat dengernya," celetuk Luna sesenggukan seraya menggenggam tangan Bella erat. "Pasti, secara Bima anak semata wayang, cowok lagi. Gue kasihan sama keluarganya," sahut Maya dengan kepala mendongak, berusaha menghentikan air mata yang ingin terus keluar. Davin mengusap bahu Bella pelan, berusaha menenangkan gadis itu yang menangis dalam diam dengan menggigit bibir bawahnya. "Ayo masuk!" Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, mereka mulai melangkah memasuki rumah Bima. Di sana, di tengah ruang tamu, tampak sebuah peti yang di kelilingi orang-orang. Mereka membaca ayat suci Al-Qur'an secar
"Lo mau ngomong apa?" tanya Galih yang duduk di sofa kamar Bella.Setelah Bella mengatakan ada yang ingin dibicarakan, mereka semua memutuskan untuk mencari tempat paling aman yang sekiranya tidak terdengar orang lain. Dan ya, pilihan terbaik adalah rumah Bella. Selain tidak ada tempat lagi, orang tua Bella juga sibuk bekerja yang berarti rumahnya sepi dan hanya ada beberapa pekerja saja."Duduk di bawah aja yuk! Biar lebih enak ngomongnya, masa iya kalian pisah-pisah gitu," ujar Bella menatap sahabatnya satu-persatu. Maya yang berbaring di ranjang, Luna di depan meja rias, Galih duduk bersandar di sofa dan Davin berdiri di pintu balkon."Iya juga sih," sahut Luna berjalan menuju Bella yang sudah duduk di karpet. "Gue lagi ngaca dan ternyata mata gue sembab banget. Pantas aja kayak enggak bisa melek."Davin ikut mendudukkan diri di samping kanan Bella. "Gue pusing setelah mendengar penjelasan orang tuanya Bima.""Iya, kayak gimana gitu. Kalau emang
"Enggak mungkin lah," sanggah Luna cepat. "Apa pun bisa terjadi, siapa tau yang dibilang Maya benar. Secara dia masih pakai baju yang kemarin, kejadiannya pagi dan enggak ada yang ngelihat dia pas lewat koridor. Seharusnya, kalau emang ada yang lihat 'kan mereka udah rame," papar Bella yang membuat mereka terdiam. Di dalam hati mereka menyetujui apa yang diucapkan Bella. Semuanya masuk akal, tetapi mereka masih merasa sedikit ragu. Karena angin malam begitu dingin, apalagi berada di tempat terbuka seperti rooftop. Apa Bima sekuat itu? Galih menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Daripada nebak-nebak gini, lebih baik besok kita ke rooftop. Mungkin di sana ada petunjuk." "Petunjuk apa?" tanya seseorang yang berada di ambang pintu membuat kelima remaja itu tersentak kaget. "Mama? Mama, ngapain ke kamar aku?" tanya Bella beranjak menghampiri Mamanya. Tanpa memedulikan pertanyaan putrinya, Mama Dea berjalan menghampiri keempat
"Yah, kita boleh berunding dulu enggak di kamar Bella?" tanya Davin menatap menatap Ayah penuh harap. Ayah Shafi menatap orang tua Bella dengan alis terangkat, meminta persetujuan sebagai pemilik rumah. "Boleh, lima belas menit," ujar Papa Dion mengizinkan. "Terima kasih, Pa. Kita ke kamar dulu," pamit Bella yang langsung bangkit dari duduknya dengan senyum lebar. Setelah itu, dia berlari kecil menuju kamarnya diikuti para sahabatnya. Sesampainya di kamar, Maya langsung mengunci pintu karena takut hal seperti tadi kembali terulang. Di mana saat mereka membicarakan hal penting dipergoki oleh orang tua Bella. "Gimana nih, Guys? Gue enggak mau pindah. Sekalipun enggak ada masalah ini, gue juga enggak akan pindah. Gue udah terlalu nyaman, apalagi ada kalian." Luna menatap sahabatnya dengan wajah yang menahan tangis. Di dalam benaknya, dia sama sekali tidak ada pikiran untuk pindah kampus. Bukan masalah uang yang sudah dikeluarkan, tetapi s
Bella terenyuh mendengar ucapan Mamanya. Dia semakin merasa bersalah karena sudah melakukan dua kesalahan. Yang pertama, tidak menuruti permintaan kedua orang tuanya dan yang kedua, membuat mereka khawatir. Argh! Kenapa dia harus terjebak di situasi yang membuat hatinya dilema? "Tante, enggak usah khawatir, Davin sama yang lain pasti jagain Bella," ucap Davin meyakinkan. Ayah Shafi menatap anaknya dengan sorot mata yang menajam. "Harus! Kalian berdua, Davin dan Galih wajib jagain yang cewek. Anggap aja kalian lagi menjaga bunda." Kedua laki-laki itu mengangguk tegas. Ini sudah menjadi tugas mereka, apalagi keadaan sekarang sedang tidak baik. Tidak ada yang tahu kedepannya akan seperti apa. Entah mereka semua ikut menjadi korban atau hanya salah satu. Namun yang pasti, untuk saat ini mereka harus saling menjaga dari segala kemungkinan buruk yang akan terjadi. "Ma, maafin Bella." Bella
Galih menggeleng pelan. "Gue pusing," jawabnya singkat. Mau tidak mau Davin mengambil kertas yang disodorkan Galih. Dia bisa apa, jika para sahabatnya saja tidak ada yang mau. Jika bukan karena penasaran dengan isinya, dia tidak akan mau. Karena dia sendiri juga merasa cukup pusing. "Hai-hai, aku harap kalian masih sehat sampai permainanku selesai," ucap Davin membaca kalimat yang menjadi pembuka. "Halo, Orang Gila," balas Luna yang balik menyapa dengan wajah malasnya. Davin hanya bisa mengusap dadanya sabar dengan tingkah sahabatnya itu. Ingin sekali dia memukul kepala Luna yang tidak pernah benar. Dia sudah memasang wajah serius dan ditambah dengan suasana yang menegang, eh dengan bodohnya Luna malah membalas sapaan si pelaku. "DIa memang pandai menyembuhkan rasa sakit yang dirasakan Orang lain, tetapi tidak dengan aku. Tidak terlalu terkenal bukan berarti anak baik. Aku membencinya, karena tidak ada kata teman di antara kami," lanjut Davin
"Gue ngga pernah nyangka bakal ngalamin hal kayak gini," celetuk Bella memecah keheningan di antara dirinya dan Davin. Saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah Bella. Duduk berdua di atas rumput dengan memandang ribuan bintang yang menghiasi langit malam.Tadinya, Davin merasa sangat khawatir kepada Bella. Mengingat wajah gadis itu yang berubah pucat setelah keluar dari rumah nomor dua puluh itu. Hatinya sedikit lega saat melihat wajah Sahabatnya yang jauh lebih baik.Namun, hal itu tidak mengurungkan niat Davin yang akan mengajak Bella mencari ketenangan. Terlebih dia sendiri sudah membawa gitar."Semuanya emang ngga bisa diprediksi," sahut Davin menunduk, menata kedua tangannya yang saling memilin. "Bohong kalau semua ini ga bikin gue takut. Orang gila yang sedang kita cari itu bisa ada di mana aja. Karena nyatanya, kita ngga punya petunjuk penting yang mengarah ke ciri fisik dia."Bella memutar duduknya hingga menghadap ke arah Davin. "Maafin gue. Setelah kejadian t
Hal yang mereka lihat kali ini bukan lagi sebuah foto, melainkan seorang mayat yang digantung dalam keadaan terbalik. Tentu, siapa yang tidak akan terkejut dan takut saat melihat pemandangan itu begitu membuka pintu?Yuda, orang pertama yang bisa menetralkan degup jantungnya mencoba melangkah pelan agar lebih masuk ke ruangan itu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tidak ada apa pun di sana selain mayat itu dan berbagai macam senjata tajam.Tunggu, senjata tajam? Jantung Yuda yang tadinya sudah berdetak normal kini kembali berdetak kencang, bahkan jauh lebih kencang daripada tadi.Jadi, rumah ini sudah sering dipakai untuk mengeksekusi seseorang. Entah musuhnya atau bagaimana, Yuda tidak bisa berpikir jernih.Perlahan kakinya melangkah mundur lalu berbalik sambil mendorong Galih yang menghalangi pintu. Kemudian dia menutup pintunya."Ke ruangan lain aja," ucap Yuda pelan.Dia menggeleng lalu melangkah mendahului yang lain. Entah dosa apa yang dia perbuat sampai bisa berakhir di
"Kenapa kalian bisa di sini?" tanya seseorang itu lagi. Galih adalah orang pertama yang menoleh, diikuti yang lain tetapi dengan mata yang tertutup rapat. Tanpa sadar Galih menelan salivanya kasar saat melihat sosok di depannya. Seorang pria tua dengan rambut gimbal gondrong dan baju lusuh yang sudah sobek-sobek. Kakinya pun tidak memakai alas, sangat kotor. Mirip seperti orang gila. "Hei!" sentak pria tua. Matanya melotot, membuat kelima remaja yang menutup mata di depannya terkejut. Sedangkan Galih menggigit pipi bagian dalamnya untuk tidak mengumpat. "Anu ... ehem, kami nyari rumah, Kek," jawab Yuda gugup. "Rumah siapa?" tanya pria tua dengan wajah seramnya. "Kalau dilihat dari pakaian kalian, sepertinya kalian bukan orang sini. Apalagi tempat ini jarang dikunjungi orang, meskipun di sini ada saudara atau rumah dulu mereka tinggal." Bella yang tadinya takut kini melangkah lebih ke depan. Merasa ada yang aneh dengan kalimat yang dilontarkan
"Gery, lo ngapain di sini?" tanya Davin sesaat setelah Gery selesai bernyanyi dan semua orang pergi, menyisakan dirinya bersama sahabatnya serta Gery.Gery meletakkan gitarnya di atas kursi yang tadi dia duduki. Melangkah mendekati keenam remaja yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Senyum ramah dia lemparkan untuk menyapa."Aku udah biasa main ke sini sejak kecil. Kayak yang kalian lihat tadi, aku ngehibur pengunjung taman dengan bernyanyi," jawab Gery dengan nada lembut seperti biasanya.Mendengar jawaban Gery, mata Maya, Galih dan Davin tidak bisa untuk tidak memicing curiga."Emangnya rumah lo di sekitar sini?" tanya Bella setelah tersadar dari kekagumannya. Matanya menjelajah ke sekitar taman yang sangat berbeda dengan taman bermain lainnya.Masih dengan senyum ramahnya, Gery menggeleng. "Enggak. Rumah aku satu komplek sama Maya."
"Jebakan atau bukan, yang penting besok kita ke sana," putus Maya tegas."Mending sekarang kita makan," celetuk Davin yang memang sudah merasa sangat lapar. Tatapannya beralih kepada Bella yang terlihat melamun. "Bel, lo mau mandi dulu apa makan?"Sedangkan yang diberi pertanyaan tetap diam dengan pikiran yang ke mana-mana. Jangankan menjawab, Bella saja tidak mendengarkan apa yang dibicarakan sahabat-sahabatnya.Luna yang berada di samping Bella pun menggoyang lengannya pelan. "Bel!"Bella tersadar dan menatap linglung sekitarnya. Setelah beberapa detik, dia menormalkan ekspresinya saat merasa banyak pasang mata yang menatap dirinya bingung."Lo kenapa? Ada yang lo pikirin? Apa orang itu bukan cuma nyuruh kita ke taman, tapi juga ngancem elo?" tanya Maya khawatir. Galih tersebut miring samar melihat itu. Kemudian melenggang pergi, kembali ke meja makan. Me
Di tengah ramainya taman bermain, terdapat anak perempuan berusia enam tahun sedang menangis dengan mata yang mengedar ke seluruh taman. Dia terpisah dari kakaknya.Tadinya, dia terlalu antusias melihat badut-badut yang sedang dikelilingi anak seumurannya. Hingga tanpa sadar telah melepaskan tautan tangannya dengan sang kakak.Air matanya semakin mengalir deras. Teriakannya yang memanggil-manggil kakaknya tidak mampu menumbuhkan rasa iba orang-orang yang berlalu lalang. Semuanya hanya menoleh tanpa bertanya apalagi membantu."Jangan nangis, ada aku di sini. Semuanya baik-baik aja." Secara tiba-tiba tangan mungilnya digenggam oleh anak laki-laki seumurannya.Tangis yang awalnya kencang perlahan berhenti, terganti dengan senyum lebar penuh kelegaan dan kebahagiaan. Apalagi saat matanya menangkap keberadaan dua anak kecil yang berdiri di samping anak yang menggenggam tangannya.
"What? Ini serius?" Luna menatap isi ponselnya tidak percaya. "Woi, cepet lihat ini! Ayo cepet ke sini!" Maya dan Bella yang sibuk membaca buku berdecak pelan. Namun tak ayal mengikuti perintah Luna untuk mendekat. Begitu juga dengan Davin, Galih dan Yuda yang berbincang santai di balkon, menikmati udara pagi. Mereka melingkar mengelilingi Luna yang masih heboh dengan ponselnya. "Ada apa?" tanya Davin merangkul Yuda yang berada di sampingnya. "Ini, lihat ini! Tiga orang yang kebakar kemarin ternyata taruhan sama Iko!" seru Luna heboh menunjukkan ponselnya kepada mereka. Bella merampas pelan ponsel Luna karena tidak dapat melihat dengan jelas. Ternyata sebuah postingan dari i*******m seseorang yang katanya teman ketiga laki-laki kemarin. Seseorang itu menulis bahwa ketiga temannya itu sempat taruhan dengan Iko untuk mendapatkan Bella. Di sana juga ditulis permintaan maaf kepada Bella karena keempat laki-laki itu sudah meninggal. "Taruha
Di rumahnya masing-masing tampak keenam remaja yang sama-sama fokus pada ponselnya. Mereka sedang membicarakan sesuatu melalui grup yang mereka buat. Bella yang sedang duduk di meja belajar menatap ponselnya serius. Dia sedang berpikir apakah harus bercerita kepada sahabatnya tentang Gery kemarin atau tidak. Setelah lumayan lama bergelut dengan pikirannya, akhirnya Bella memutuskan untuk memberi tahu saja. Mencari Pelaku. Sorry karena kemarin gue pergi gitu aja. Sebenarnya gue ke taman dan di sana ketemu Gery. Mayaa.Tapi lo nggak papa 'kan, Bel? Gery ada nyakitin lo nggak?
Masih dalam keadaan terkejut, mereka berlima membalikkan badan menghadap gerbang. Di sana sudah ramai dengan mahasiswa lain yang berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi. Kelimanya saling pandang sejenak lalu mulai melangkah mengikuti yang lain. Sesampainya di tempat yang sudah ramai dengan kerumunan mahasiswa dan warga sekitar, mereka tidak dapat menyembunyikan wajah terkejutnya. Bahkan Luna sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekitar lima belas langkah di depan mereka, terdapat sebuah mobil yang terbakar. Posisinya yang berada di pinggir jalan memudahkan para warga untuk memadamkan apinya. Galih mempertajam penglihatannya saat merasa tidak asing dengan mobil yang sedang dilahap kobaran api tersebut. Setelahnya, dia melebarkan matanya sejenak saat melihat sesuatu yang menempel di bagian belakang mobil yang tidak terdapat api. "Shit! Itu mobil mereka!" pekiknya tertahan. Bella menoleh cepat dengan wajah takut dan juga