Hutan ajaib. Entah bagaimana orang lain merujuknya, seperti hutan aneh, hutan dengan satwa langka, hutan dengan tumbuhan beracun, atau hutan yang berbahaya, yang jelas, belum pernah ada orang yang berhasil keluar hidup-hidup dengan membawa tanaman langka dari dalamnya. Sudah sekitar lima menit yang lalu Aquila sampai pada bagian depan hutan ini, sudah sekitar lima menit pula ia melangkah masuk, mencari tanaman yang dimaksud meskipun sejauh ini belum ada kemajuan dalam pencariannya. Sejauh mata memandang, hutan ini masih nampak seperti hutan pada umumnya, tidak ada hal-hal mencolok seperti flora atau fauna yang langka, entah karena Aquila kurang dalam menjelajah, atau karena hewan-hewan itu mulai beraktivitas pada malam hari. Tapi, satu hal yang pasti, hawa di sini memang agak berbeda. Aquila mengangkat sedikit ujung pakaiannya ketika ia melihat sebuah sungai kecil terbentang, ia bergerak, kakinya bertumpu pada bebatuan besar yang memudahkannya dalam menyebrangi sungai kecil itu. I
"Lalu, seandainya kau berhasil mendapatkannya, apa kau akan memamerkan dan menunjukkan kepada manusia lainnya yang membuat mereka berbondong datang ke sini?" Tanya si pemimpin elf. "Tidak. Aku hanya ingin menyembuhkan seseorang, itu saja." Balas Aquila. "Aku akan merahasiakan isi hutan ini." Mendengar jawaban Aquila, para elf itu saling melempar pandang, seolah meminta pendapat satu sama lain. "Bagaimana menurutmu?" "Aku rasa ia jujur." "Tapi aku tetap tidak setuju jika kita harus membiarkannya. Setelah melepaskannya, pasti akan muncul kabar kalau akhirnya ada manusia yang berhasil melalui hutan ini dengan membawa tanaman langka. Kalau sudah begitu, setelahnya, pasti akan datang manusia-manusia lain yang ingin mengambil tanaman-tanaman di sini juga." "Tapi tujuan kita sejak awal adalah untuk melindungi hutan ini dari manusia-manusia jahat yang ingin mengeruk kekayaannya, bukan manusia yang ingin menyelamatkan sesama." Pemimpin kelompok elf itu berusaha menengahi. Ia telah membu
"Alaster!" "A- Aquila?!" Alaster berseru, perasaannya lega bercampur senang karena akhirnya ia bisa melihat sang adik lagi. Tapi, ada hal yang mengganggu penglihatan Alaster. Siapa makhluk-makhluk bertelinga runcing ini, lalu, kenapa salah satu dari mereka menggendong adiknya seperti ini? Satu hal yang benar-benar membuat Alaster merasa gagal menepati janjinya untuk melindungi Aquila adalah ketika ia melihat tubuh Aquila yang dipenuhi luka-luka di berbagai tempat, tidak hanya itu, pakaiannya juga sangat kotor seperti sehabis terjatuh dari suatu tempat. Apa yang terjadi pada Aquila?! Alaster tak dapat berpikir jernih, ia yang dikuasai oleh emosinya langsung menarik pedangnya dan mengarahkan pada leher elf yang menggendong Aquila. "Katakan! Apa yang terjadi pada adikku?!" Serunya. Matanya melotot begitu melihat anak panah yang masing-masing dibawa oleh makhluk-makhluk itu, ia segera mencocokkannya dengan rupa luka yang diterima adiknya. Melihat luka itu, mustahil jika disebabkan
Siang berganti malam, satu hari berlalu dengan cepat, Aquila hanya bisa termenung bersandar pada kursi di kereta kudanya, menatap ke arah jendela, menunggu untuk sampai ke tempat tujuan.Memori tentang seluruh kejadian hari ini terputar kembali di benaknya, sungguh, ini hari yang liar. Hari yang liar ini ditutup dengan peristiwa mengharukan di mana akhirnya putri Count Ares kembali membuka matanya. Sungguh, itu hal yang berhasil menyentuh hati Aquila."Tuan Ares orang yang hebat, ya?" Aquila bergumam, meminta pendapat Alaster yang duduk di seberangnya."Hm." Sahut Alaster. "Harus aku akui, dia cukup keren."Setelah menyembuhkan putrinya, Count Ares langsung mengikrarkan sumpahnya untuk menjaga kesetiaan pada keluarga Charles. Lalu, pada surat perjanjian yang mereka ikat sebelumnya, selain perjanjian untuk menjaga peristiwa hari ini agar tetap menjadi rahasia dan tidak membocorkannya pada siapapun, ada salah satu poin yang menyebutkan bahwa sebagai sebuah bentuk balas budi, Count Ares
Begitu kereta kuda terparkir di tepi jalan, beberapa meter dari depan pasar, Zero membantu Aquila untuk turun lalu mereka berjalan bersama memasuki pasar.Suasana lebih ramai dari yang sebelumnya Aquila bayangkan, tapi ia tidak merasa khawatir bahwa identitas asli mereka yang merupakan seorang Putra Mahkota dan Putri dari seorang Duke akan diketahui oleh orang-orang yang berlalu lalang di sini, sebab, selain karena memakai tudung, orang-orang di sini tidak begitu mengenali wajah mereka. Mereka jarang memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan para pemimpin, yang mereka tahu hanyalah desas-desus bahwa sang putra mahkota memiliki wajah yang tampan."Menurutmu, hadiah seperti apa yang sepantasnya aku berikan untuk kakakku?" Aquila meminta pendapat. Sebenarnya, Aquila sudah memiliki bayangan mengenai apa yang akan ia hadiahkan, tapi ia hanya ingin tahu pandangan Zero."Umh, mungkin hadiah yang mahal dan jarang ditemukan, namun bisa digunakan." Zero berkata. "Mungkin seperti sarung
Untungnya, Aquila belum kehilangan jejak penculik itu. Keramaian yang begitu padat memang menyulitkan langkah Aquila untuk menjangkau mereka, tapi sama halnya dengan yang Aquila rasakan, keramaian ini juga pasti mempersulit mereka untuk bergerak. Itu dia! Dapat Aquila lihat kedua pria itu yang berbelok, masuk ke dalam sebuah gang sempit. "Permisi, ugh! Maafkan aku!" Aquila berusaha melewati beberapa orang yang berjalan berlawanan, beberapa kali ia menabrak dan tertabrak bahu orang-orang itu. Tapi, fokusnya sekarang adalah jangan sampai ia kehilangan jejak mereka. Akhirnya. Aquila telah sampai pada depan gang sempit yang para penculik itu lalui. Aquila melangkah maju, ugh! Ini benar-benar gang yang kumuh, dipenuhi dengan berbagai sampah dan makanan sisa, aroma tak sedap langsung menyerangnya begitu ia melangkahkan kaki. Ketemu! Hal pertama yang Aquila lihat adalah kedua pria yang berusaha memasukkan anak kecil itu ke dalam kereta kuda, mulut anak itu disumpal sebuah kain sehingga
Aquila baru memiliki kesempatan untuk bicara berdua dengan Alaster pada malam hari.Bukan karena mereka sama sekali tidak berpapasan pada hari ini, bukan pula karena Aquila sengaja menundanya, tapi karena Aquila sedang mencari celah untuk bisa berbicara berdua tanpa diketahui Zero. Karena asal mula perdebatan mereka adalah disebabkan oleh Alaster yang melarang Aquila menepati janjinya untuk menyelamatkan elf itu."Kau terlihat nyaman sekali membalikkan punggungmu setiap kali berpapasan denganku pada hari ini." Terdengar suara Alaster dari arah belakangnya, membuyarkan lamunan Aquila yang sedang bersandar pada sebuah pilar, memandangi langit malam yang indah. "Kau juga terlihat nyaman sekali membiarkan hubungan kita sedikit berjarak." lanjutnya.Aquila menoleh pada Alaster di belakangnya, ia mengulas senyuman. "Oh, percayalah, aku yang paling tersiksa atas jarak yang tercipta."Alaster memberikan tatapan sangsi, baginya, ucapan Aquila hanya terdengar manis di mulut saja, tapi kalau Aqu
Waktu berlalu dengan cepat, lima hari empat malam sudah mereka lalui bersama pada Villa itu. Ketika hari pertama Aquila sampai di rumahnya, ia benar-benar tidak bisa bangkit dari ranjangnya karena tubuhnya merasa kelelahan. Malam nanti adalah saat di mana Alaster akan pergi untuk menyertai acara perdagangan itu, akses masuk dan topeng beserta jubah sudah ia siapkan. Aquila sempat berpikir bahwa semuanya dapat berjalan lancar, tapi tiba-tiba rasa keraguan itu muncul ketika secara mendadak Zero datang berkunjung. Ada apa ini? Apakah Zero mengendus hal-hal yang mencurigakan darinya? "Selamat pagi, Yang Mulia." Aquila menyapa dengan senyuman, ia menunduk hormat lalu menghampiri Zero yang nampaknya sudah menunggu di ruang tamu. "Kau pasti terkejut, ya, atas kehadiranku yang tiba-tiba?" Zero mengangkat sebelah alisnya, mengulas senyuman yang memberi kesan rasa kepercayaan diri yang tinggi. Entah kenapa Aquila rasa ada maksud tersirat dari kalimatnya itu. Senyum yang Zero ulas, memberik