Miskin itu Memalukan 4
Mamaku yang ….“Ma, mau ke sini jam berapa?” Tanyaku via telepon pada mama. Ini adalah hari di mana acara lamaran sekaligus pertunangan aku digelar.“Sebentar lagi berangkat, Fi,” sahut mama.“Naik apa?”“Naik motor diantar Om Arif,” jawab mama dari seberang.Diantar Om Arif? Dih! Jangan-jangan lelaki itu ikut mama datang ke acaraku? Padahal aku kan tidak mengundangnya? Aku hanya mengundang mama doang. Keluarga dari Budhe Lies sudah cukup menjadi wakil keluarga, ngapain Om Arif ngikut. Aku harus mencegahnya.“Om Arif nggak usah datang, Ma … nanti aja kalau hari H. Ini cuma acara keluarga aja jadi terbatas,” kataku sedikit kesal.“Nggak kok, Fi, Om Arif cuma ngantar aja,” bantah mama cepat.“Anu aja, mama ke sini naik grab, biar aku pesankan sekarang. Nggak usah diantar Om Arif.”Segera aku menutup telepon dan membuka aplikasi taksi online. Lebih baik bayarin mama naik grab dari pada suaminya hadir di acaraku![sudah aku pesankan grab. Mama tunggu depan gang, mobilnya udah jalan] kukirim pesan WA untuk mama.“Mbak Ufi, dandan sekarang, ya?” Ujar Putri MUA yang aku pesan. Aku mengangguk. Ternyata private room yang dibooking Ruly ini cukup luas dan lengkap. Ada kamar make up, ruang istirahat pengantin dan sebuah mini hall yang cukup untuk menampung sekitar 50 orang.Sudah jam sebelas siang, Mbak Putri masih sibuk merias wajahku. Aku mendapatkan no kontak Mbak Putri ini dari teman kerjaku. Dulu dia waktu menikah memakai jasa Mbak Putri ini. Bagus katanya. Harganya memang di atas rata-rata MUA yang lainnya. Gapapa, yang penting hasilnya memuaskan. Masalah uang aku tidak begitu peduli, ada Ruly.“Sebelah sini, Bu,”Aku melihat dari cermin. Seseorang membuka pintu ruang rias ini, ternyata mama yang datang. Mama tersenyum padaku. Dia memakai baju dan tas baru yang aku belikan. Kerudungnya mama jelek banget, segiempat rawis polos. Huh! Tahu gitu kemarin aku belikan gamis yang set kerudung. Wajah mama juga cuma bedakan tipis dan bibirnya disapu lipstik berwarna agak oren.“Mama nggak punya kerudung yang lain?” Tanyaku sambil melirik. Mbak Putri tertangkap melihat mamaku dari cermin. Pasti Mbak Putri juga lagi membatin, jeleknya kerudung mama. Ah! Malu maluin mama ini.“Ada sih, Fi, tapi, yang warnanya sesuai dengan baju ya cuma ini,” sahut mama masih dengan tersenyum. Aku memutar bola mata, mbok iya beli gitu … baju sudah aku beliin, cuma beli kerudung yang agak bagusan masak nggak punya uang? Apa mama ini tidak ingin menaikkan harga diriku di hadapan orang-orang?“Sudah selesai Mbak Ufi,” Mbak Putri menyodorkan cermin seukuran telapak tangan padaku. “Coba dilihat kurang apa?” Tanyanya.Aku melihat dengan seksama gradasi warna hasil polesan tangan terampil Mbak Putri yang terlukis di wajahku. Sempurna! Wajahku terlihat lebih tirus, riasan mata yang apik membuat wajahku terlihat segar dan bercahaya. Kalau kata orang Jawa ‘manglingi’. Tatanan rambut yang dikerjakan oleh asisten Mbak Putri juga tidak mengecewakan. Penampilanku terlihat semakin anggun dengan balutan kebaya berwarna biru muda warna favorit aku.“Sini, Bu, saya bedakin sedikit.”Tiba-tiba Mbak Putri mendekati mama dengan alat make up nya.“Nggak usah, Mbak,” geleng mama.“Gapapa, Ma, dandan aja, ntar aku tang bayar,” ucapku dengan menatap mama. Mama balas menatap degan sedikit takut. Takut dikasih tagihan mungkin.“Mbak Putri, dandanin mamaku, nanti masukkan tagihannya aja,” ujarku sambil berdiri.“Nggak usah, Fi, ini free,” sahut Mbak Putri tersenyum manis.“Jangan lah, kan make up mu berkurang?” Selorohku.“Bonus ini,” Mvak Putri menjawab santai dan mulai membedaki wajah mama.“Ya sudah, aku keluar dulu.”Aku pun berjalan keluar. Ternyata di hall sudah temanku Weni, suami dan anaknya yang masih balita. Mereka ditemani Ruly mengobrol.“Heii!” Aku berteriak menyambut. Weni bergegas berdiri dan mencium pipiku.“Cantik banget!” Serunya dengan pandangan kagum.“Iya dong, calon istrinya siapa dulu, Boss Ruly,” candaku sembari mengerling pada Ruly yang tersenyum simpul.Menoleh ke sudut ruangan ada kesibukan petugas catering yang sedang menata hidangan. Aku melihat jam, sudah jam satu lebih. Mengambil ponsel, akupun menelepon Budhe Lies.“Budhe sampai mana?” Tanyaku.“Baru keluar tol, Fi, macet nih soalnya weekend, hujan deras lagi,” katanya.Aku melihat ke luar, sampai nggak tahu kalau turun hujan.“Ya udah, hati-hati, Budhe.” Telepon aku matikan.“Budhe sudah keluar tol,” kataku pada Ruly.“Sebentar lagi paling. Mama sama papa juga sudah otewe dari tadi kok,” jawab Ruly. Kemudian aku dan Ruly mengobrol bersama Weni dan Hanif, suaminya. Sesekali kami tertawa lepas soalnya anaknya Weni ini lucu banget … celotehnya macam-macam, bikin gemes.Suara langkah kaki mendekat. Itu mama aku yang datang. Mama sudah cantik sekarang, terlihat bulu mata palsu yang lentik bertengger di buku matanya, menjadikan matanya terlihat indah. Kerudung mama juga sudah bergantu dengan kerudung bagus, berpayet dan tampak mewah. Rupanya Mbak Putri meminjamkan propertinya untuk mama. Ya lah, siapapun pasti kasihan melihat penampilan mamaku tadi. Datang ke acara lamaran anaknya memakai kerudung rawis model anak sekolahan. Mama ini memang sengaja menjatuhkan martabat aku!“Duduk sini, Ma.”Ruly langsung mengambilkan kursi untuk mama. Weni dan suaminya bersalaman dengan mamaku. Mereka baru pertama kali ini melihat mamaku.“Mirip banget sama Ufi, tante, cantik.” Puji Weni pada mamaku. Aku tersenyum tipis. Aslinya mamaku ini cantik, hidungnya aja mancung dan bibirnya tipis. Berhubung tidak keurus dan tidak ada uang buat perawatan jadinya buluk. Wajah mama terlihat lebih tua karena flek dan kerutan.Suara ramai terdengar dari pintu masuk. Rupanya rombongan Pakdhe dan Budhe sudah datang. Aku segera berdiri dan menyambut dengan antusias.“Alhamdulillah, sampai juga,ucap Budhe Lies dengan wajah lega. Budhe menyalami satu persatu tang ada di sini.“Eh, ada Hana!” Aku memekik senang, sepupuku datang rupanya. Hana mendekat dan mencium pipiku.“Toni, mana?”“Nggak bisa datang, masih berlayar. Nanti mau VC katanya.” Jelas Hana.Aku dan Ruly menyalami semua tamu dari rombongan Budhe. Ada Pakdhe, Om Anwar, Budhe Sri, MbahYanto, Bulik Menur dan lainnya. Senang sekali melihat mereka, perasaanku lega.“Fi, ini Budhe bawa oleh-oleh buat calon besan, taruh mana?” Tunjuk Budhe pada beberapa bingkisan yang dibawa rombongan.“Sana aja, Budhe.” Aku menunjuk meja panjang di belakang kursi yang tertata berjajar.Belum sempat mengobrol, tiba-tiba rombongan dari keluarga Ruly datang. Wah! Ramai sekali, bakal meriah acaranya. Bu Rosita dan Pak Wondo berjalan di depan. Diikuti oleh keluarga yang lain yang masing-masing membawa buah tangan dibungkus parcel menarik. Itu pasti oleh-oleh untuk ditukar. Untung Budhe bawa juga.Setelah bersalam salaman, saling berkenalan dan berbasa basi, acara pun di mulai. Kursi ditata berhadapan agar terpisah antara keluarga aku dan keluarga Ruly. Kulihat tadi Ruly menaruh kotak perhiasan berisi cincin yang diberikan Bu Rosita padanya dan menaruhnya di meja kecil depan dekorasi mini yang ada dua buah kursi mantennya. Itu untuk acara tukar cincin.Aku duduk di deretan depan bersama Pakdhe sus dan Budhe Lies. Ada juga Mbah Yanto, sosok yang dituakan dalam keluarga Budhe. Di depan duduk Pak Wondo dan Bu Rosita beserta adik dan sosok yang dituakan juga, Mbah Pujo namanya. Dia seorang pemuka agama dan masih bersaudara dengan papanya Ruly.Eh, di mana mama? Ya salamm, aku baru sadar kalau mamaku nggak ada di sebelahku. Ke mana dia? Aku tengak tengok mencari.“Budhe, lihat mama?” Tanyaku berbisik di telinga Budhe.Budhe menggeleng, “nggak, tuh …”Ya Allah, ke mana lagi tuh orang? Bikin susah aja mama ini!BersambungMiskin itu memalukan 5Lamaran dan makanan sisaSetelah memutar mata ke segala sudut, akhirnya aku menemukan mama. Perempuan itu duduk di deretan belakang dan dari sini terhalang pilar sehingga aku tidak dapat segera menemukannya. Mama duduk sambil memeluk tas barunya. Sorot matanya ke bawah, kosong dan seperti melamun. “Mama!” Aku memanggil. Mama masih diam seperti tidak mendengar. Orang yang duduk tak jauh dari mama rupanya melihatku. “Mama!” Panggilku lagi sambil menunjuk sosok mama. Budhe Lies sampai ikut menoleh ke belakang. Orang di sebelah mama menyadari lalu dia mencolek tangan mama dan menunjuk padaku. Mama mengangkat sedikit kepala dan melihat padaku. Tanganku melambai. Untung saja mama mengerti, dia lalu berdiri dan berjalan ke depan.“Malah duduk di belakang, sih, Ma!?” Tanyaku gusar. Sedikit melebarkan mata aku menegur mama. Suaraku pelan namun menekan. Mama diam saja dan langsung duduk di sebelahku.“Fatma, duduk di situ, acara mau di mulai. Lihat kamu jadi perhatian
Miskin itu Memalukan 6Biaya Pernikahan“Cepetan, Ma, mobilnya udah mau datang,”kataku dengan berdiri di depan mama. Mama membungkuk mengemasi beberapa kantong plastik. Agak repot memang membawa semua berbarengan. Terpaksa aku membantunya.“Sini aku bantuin.”Memilih buntelan yang kecil-kecil aku menentengnya keluar. Total ada lima kantong plastik. Mama membawa tiga kantong gendut yang kelihatannya berisi makanan berkuah. Entah lah mungkin kuah bakso atau sambel kacang siomay. Di dalam mobil grab aku langsung me-recline sandaran kursi dan duduk santai. Pegel semua rasanya kakiku kelamaan berdiri. Mama duduk di sebelahku. Mengambil ponsel, aku segera chattingan dengan Ruly yang sedang dalam perjalanan ke Solo. Kebetulan Ruly tidak sedang menyetir. [aku nginep rumah mama] tulisku. [ya, gapapa] balas Ruly singkat. Biasa cowok malas ngetik. [nanti kalau sudah sampai rumah kabari aku] tulisku lagi. [eh, Fi, uangnya tadi nggak lupa, kan?]Uang? Oh iya, uang peningset dari keluarga Rul
Miskin itu Memalukan 7Mama yang malang“Dari mana, kamu?” Terdengar suara mama dengan nada tinggi. Aku menggigit bibir dan menyimak dari dalam kamar. Sepertinya akan ada keributan. Melirik pada Siva yang memejamkan mata, aku berharap anak itu beneran tidur agar tidak mendengar keributan orang dewasa. “Bukan urusanmu!”“Ini urusanku! Suami apa kamu itu, kerjanya keluyuran, mabok, nggak jelas!”“Banyak bacot lu, tua!” “Ngomong apa, kamu!?”berteriak. Srek, srek, terdengar langkah diseret menjauh dari ruang tamu. Mungkin Om Arif masuk kamar diikuti mama. Sayup aku masih mendengar perseteruan mereka. Kenapa masih ada orang yang bertahan dengan siksa batin seperti itu? Saling menyakiti tetapi tetap terikat dalam tali pernikahan. Apakah salah kalau aku menyebut mamaku orang bod oh?Melayang ke masa lalu membuat air mata ini menetes. Mamaku yang cantik, baik dan penyayang. Aku kecil selalu menunggu momen mama habis gajian. Saat itu aku merasa paling bahagia. Dengan naik angkot berwarna k
Miskin itu Memalukan 8Istri yang berbakti?“Ufi, Ufi, cepat kejar dia!” Dengan wajah panik, tangan Mama menunjuk-nunjuk ke luar rumah. Aku yang sebenarnya masih bingung berlari ke halaman tapi, terlambat. Punggung Om Arif pun sudah tak nampak. Berlari aku kembali masuk rumah, perasaanku tak karuan dan penuh tanda tanya, apa yang terjadi? “Mama ada apa?” Aku kembali dan berdiri di depan mama yang menangis. Mataku tertuju pada amplop koyak yang didekap mama. Bendelan uang merah nampak mengintip di sudut amplop yang robek. “Kenapa amplopnya koyak, Ma?” Menatap mama penuh selidik, jangan-jangan ….“Huhuhu,” mama tersedu-sedu menangis. Nafasnya sampai tersendat. “Uangmu diambil Om Arif, Fi, huhuhu,” tangis mama menjadi. Aku kaget bukan main. Uang peningsetku diambil Om Arif? Keterlaluan, kurang ajar benar orang itu. Berani sekali dia. Aku akan lapor Polisi, itu yang saat ini terlintas di pikiranku. Merebut amplop rusak dari tangan mama aku segera mengambil isinya. Tunggal tersisa empa
Miskin itu Memalukan 9Wali Nikah Aku masih bekerja seperti biasa karena pertunangan kemarin itu mengambil hari libur reguler yaitu Sabtu dan Minggu. Rencana aku akan ambil cuti tahunan untuk menikah nanti. Aku tidak tahu apakah setelah menikah masih bekerja lagi atau tidak. Pinginnya sih kerja tapi, dari gelagatnya Ruly sepertinya tidak akan mengizinkan. Gapapa sih, berani memintaku berhenti kan artinya dia mampu untuk menopang hidup dan gaya hidup aku. Hari ini sepulang kerja, Budhe Lies memintaku untuk mampir ke rumahnya. Budhe bilang akan membicarakan surat-surat dan administrasi untuk keperluan menikah. Aku memang masuk di kartu keluarganya Budhe Lies maka dari itu seluruh administrasi kependudukan di urus di sana. Karena tidak bisa libur di hari kerja, aku sudah meminta tolong Budhe jauh-jauh hari. Setengah enam sore kurang sedikit aku baru keluar dari kantor. Kerja di bank, apalagi sebagai Teller jarang pulang ontime. Harus balance dulu antara pemasukan dan pengeluaran. Bila
Miskin itu Memalukan 10Telepon nggak, ya?Bimbang“Budhe tahu di mana Papa?” Masih dengan tidak percaya aku bertanya. Ruly turut menatap Budhe dengan wajah serius. Semua ini membuatku gi-la.Budhe mengangguk, lalu menarik nafas dalam, “ya, Budhe tahu,” jawabnya pelan. Ada perasaan lega, senang bercampur aneh menggelayut hatiku. Jadi, kalau selama ini Budhe Lies tahu keberadaan Papa, kenapa tidak pernah bilang dengan mama atau denganku? Apa yang disembunyikan Budhe sebenarnya. “Berita bagus, Budhe … jujur saya kaget mendengar papanya Ufi masih ada. Di manakah dia sekarang, Budhe?” Tanya Ruly kemudian, mewakili apa yang ada di benakku. Aku juga sangat ingin tahu di mana Papa sekarang. Melihat pada Pakdhe yang tidak menampakkan keterkejutan, aku semakin yakin bahwa mereka berdua menyembunyikan sesuatu. Pakdhe terlihat tenang. “Papamu sekarang tinggal di kota Purwokerto,” sahut Budhe mengangguk. Purwokerto? Itu kan masih Jawa tengah? Lima belas tahun lebih ternyata papaku hanya bers
Miskin itu Memalukan 11Bertemu Papa setelah 15 tahunAku akan menelepon! Iya, sudah aku bulatkan hati untuk menelepon papa. Sebentar, biarkan otakku merangkai kata dulu apa yang akan kuucapkan. Lima belas tahun berjarak, membuat lidahku serasa kelu untuk menyapa. Ting!Sebuah pesan masuk di ponselku. Menunduk aku membacanya. Dari Mama.[Ufi, maaf, mama butuh banget uang tolong ditransfer 100 aja, ya]Bola mataku berputar usai membaca chat dari mama. Apa-apaan mama ini, bukannya baru seminggu lalu suaminya mencuri uangku 10 juta, sekarang mama memintaku mentransfer 100 ribu? Apa mama nggak dibagi sedikit pun uang curian itu oleh Om Arif? Rasanya tensiku naik seketika! Benar-benar marah aku kali ini. Sepuluh juta itu banyak. Sebulan aku kerja putar otak, pulang malam saja tidak sampai segitu gaji yang aku terima. Ini 10 juta sudah habis dalam seminggu saja. Bener-bener gi-la aku dibuatnya. Mama itu bukan tanggung jawabku tapi, tanggung jawab Om Arif sebagai suaminya. Aku tidak akan
Miskin itu Memalukan 12PoV Fatma 1(Mama Ufi)Gair_ah sang Berondong“Mas, mana uangnya Ufi yang kamu curi!” Kataku pada mas Arif yang sedang sibuk dengan alat pancingnya. “Sudah habis,” jawabnya singkat bahkan tidak menoleh padaku.“Habis buat apa? Cepat banget?” Mataku melebar. Kaget. Uang sepuluh juta habis dalam sekejap, padahal aku sendiri belum melihat wujudnya. Mas Arif langsung menghilang secepat kilat setelah membawa lari uang Ufi. “Ya buat macam-macam lah,” ujarnya santai sambil menghisap dalam rokoknya. “Mas, itu tuh uangnya Ufi buat menikah!” Gemas rasanya. Aku berpindah duduk di samping Mas Arif. Suamiku itu melirik sekilas. “Anakmu yang pelit itu memang pantas diambil uangnya. Masih untung aku tidak mengambil semuanya.” Lagi-lagi mas Arif menjawab dengan tidak peduli. “Pelit bagaimana, Ufi itu sering memberiku uang buat beli beras!” Aku berbicara dekat telinganya. Biar suamiku ini tahu, Ufi tidak pelit seperti yang sering dia sebutkan. “Itu kan sama kamu. Sama aku
Miskin itu Memalukan 62EndBahagia abadi untuk mama“Selamat, ya, Rul …”“Makasih, makasih.”Wajah suamiku semringah menerima ucapan selamat dari sahabat dan kerabat yang datang menjenguk ataupun menelepon. Aku kembali melahirkan seorang bayi laki-laki. Alhamdulillah kali ini sehat wal afiat tak kurang satu apapun. Aku dan Ruly menjadi pasangan yang sangat berbahagia saat ini.Sayangnya tidak ada mama yang hadir menunggui proses persalinanku kemaren. Tapi tak apa, ada mama dan papa mertua yang selalu menunggu sampai cucunya lahir, mereka juga orang tuaku. “Nanti fotonya tunjukkan ke mama, ya, mas,” ucapku pada Ruly. Di Lapas mama tidak boleh menggunakan ponsel tapi, aku boleh mengirim foto anakku ke petugas Lapas yang baik hati untuk menunjukkan foto anakku pada mama. Tentu saja aku masih menyuruh Ruly untuk datang menemui mama juga. Setelah melahirkan dan selama masa nifas aku tidak mengunjungi mama. Bukan apa-apa, mama mertua punya kepercayaan kalau wanita setelah melahirkan dan
Miskin itu Memalukan 61Aku bangga dengan mamakuBerita pem bu nuhan yang dilakukan mama dengan cepat tersebar dan menggegerkan kota. Semua orang membicarakannya. Sampai-sampai aku tidak berani ke toko. Kerjaku hanya melamun, diam, bahkan aku tidak merasa lapar sama sekali selama berhari-hari semenjak kejadian. Ruly dengan sabar menemani dan menyuapi aku makan. “Kamu harus makan, Ufi,” ucap Ruly berkali-kali. “Aku tidak lapar “ sahutku sambil menatap jauh ke luar jendela. “Nanti kamu sakit,” ujar Ruly lagi. Aku tidak menjawab, masih juga menatap hijaunya dedaunan yang terpampang di luar jendela. Terdengar Ruly menghela nafas. Dia menghampiri dan duduk di sampingku. “Aku kerja dulu,” ucapnya sambil memegang tanganku sebentar. Aku mengangguk samar. Ruly pun berjalan ke luar kamar dan meninggalkan aku seorang diri. Ruly tetap harus bekerja. Bagaimanapun dia harus mengurus ke lima toko miliknya. Tetapi, Ruly tidak full bekerja, dia hanya ngecek-ngecek saja dan pulang setengah hari
Miskin itu Memalukan 60Kejadian malam itu(Seperti yang diceritakan mama padaku)Om Arif datang ke toko mama dalam keadaan mabok berat malam itu sekitar pukul dua belas an. Mama bercerita, dia memang sudah jarang tidur nyenyak minggu-minggu terakhir itu karena stres. Mama merasa begitu ketakutan hingga badannya sering gemetaran sendiri seperti menggigil. Semua itu gara-gara Om Arif yang menerornya. “Fatma! Fatma!” Dengan sempoyongan dan berantakan Om Arif membuka pintu kamar dan berteriak memanggil manggil mama. Meski takut setengah mati, mama berusaha tenang. Mama hanya melirik dan berpura-pura sibuk dengan ponselnya. “Fatma!”Sekonyong-konyong Om Arif merebut ponsel mama dan membantingnya kuat hingga hancur berkeping-keping. Mamaku kaget dong, dia langsung bereaksi dengan mendorong kuat tubuh Om Arif menjauh darinya. Mama segera berjongkok dan mengambil kepingan ponselnya yang berserakan di lantai. Mama sangat marah, karena itu adalah ponsel baru. Aku tahu, karena mama bercerita
Miskin itu Memalukan 59Pengorbanan seorang ibuMembuka mata aku merasa berada di tempat yang asing. Mataku mengedar di setiap sudut. Ada meja dengan komputer di atasnya, tembok bercat putih dihiasi bingkai foto orang berseragam polisi tergantung. Tubuhku tergeletak di sofa berwarna biru gelap, baru aku menyadari, ini masih di kantor polisi. Uuh … aku melenguh dan menggerakkan anggota badan, berusaha untuk bangkit. “Ufi ….”Aah … mataku sayu menatap. Ruly mendekat dengan segelas air di tangannya. “Minum dulu,” ucapnya dengan menopang separuh tubuhku. Aku mengangguk dan menyedu gelas yang disodorkan Ruly. “Aku mau duduk,” pintaku. Suamiku degan sabar membantu menyandarkan tubuh lemahku dan menata kedua kakiku ke bawah. Derit kursi roda datang mendekat, aku melempar pandangan. Pak Artha dengan kursi rodanya yang didorong supir, menuju kemari. “Sudah sadar, Ufi?” Tanyanya. Aku mengangguk.Ruly duduk di sampingku pada sofa panjang ini. Lelah hayati rasanya, aku menyandarkan kepala y
Miskin itu Memalukan 58MamaMelangkah lunglai aku menaiki tangga ke atas menuju kamarku. Pelan aku membuka dan menutup kembali pintu kamar. Aduh! Kaget aku ternyata Ruly tidak tidur. Suamiku itu duduk dan bersandar di tempat tidur dengan kaki selonjor. Dia menatapku. “Dari mana, sih, lama banget?” Tanyanya cemberut. Ruly ini jarang kesal sama aku, hanya saja kalau sakit dia lebih manja dan minta ditungguin. “Nemenin Siva belajar,” jawabku.“Aku mau minum,” katanya menunjuk botol minuman berwarna hijau di meja. Eh, ternyata habis, aku lupa mengisinya. Ruly aku suruh minum banyak-banyak tadi soalnya diare. “Bentar aku isi dulu.” Aku lalu keluar kamar lagi setelah mengambil ponselku di meja. Menuruni tangga ke lantai bawah untuk mengisi botol dengan air putih. Sebenarnya aku ingin mengajak Ruly untuk menjemput mama di toko sekarang juga sebab aku khawatir. Mama pasti belum tahu kalau sebenarnya Om Arif tidak meninggal dan sekarang menjadi buron. Sayangnya aku tidak tega memaksa Ru
Miskin itu Memalukan 57Kabar Buruk“Sudah baikan?” Tanyaku pada Ruly saat dia kelua dari kamar mandi untuk ke sekian kali. Suamiku menggeleng dan langsung tengkurap di tempat tidur. Ruly sakit perut dari tadi sore. Aku sudah membawanya ke dokter dan diberikan obat. Meski belum sembuh benar tapi, setidaknya Ruly sudah tidak kesakitan lagi. Mungkin salah makan atau apa, karena tadi siang dia tidak makan siang denganku. Ruly makan siang bersama rekan kerja. Suamiku ini tidak terbiasa makanan pedas soalnya. “Minum obatnya lagi,” kataku sambil menyodorkan beberapa butir obat kepada suamiku. Ruly menghela nafas kemudian melahap semua obat dengan bantuan air putih. “Istirahat, ya.” Aku mengusap dahi Ruly yang sedikit berkeringat. Suamiku mengangguk dengan mata terpejam. Aku berjalan ke kamar Siva untuk mengajaknya makan malam bersama. Tampak Siva sedang memeluk boneka besar Teddy Bear warna coklat miliknya. Aku membelikan boneka itu supaya Siva berani tidur di kamar sendiri. Aku bilang
Miskin itu memalukan 56PoV FatmaAntisipasiAku benar-benar tertekan dan ketakutan. Jantungku selalu berdebar tak menentu bila malam menjelang. Badanku sampai gemetar bila mendengar derit pintu belakang yang didorong dari luar. Itu tandanya Mas Arif datang. Iya, dia selalu datang seperti teror mengerikan dalam hidupku. Apa yang harus kulakukan? Dia membungkam mulutku dengan ancaman. Sekarang ini aku serasa menjadi binatang. Menjadi sapi yang diperah seluruh hartaku dan juga menjadi kuda tunggangan gratis hampir setiap malam. Aku benar-benar berada di puncak stres. Kebencianku menumpuk hingga aku berpikir untuk melenyapkan ba ji ngan itu. Bagaimana caranya? Kalau berduel Face to face dengannya sudah pasti aku yang keok dan aku tidak mau mengambil resiko itu. Mas Arif akan semakin brut-al menindas aku apa bila aku gagal mengeksekusi. Sebilah pisau dapur runcing sudah beberapa hari aku simpan di bawah tempat tidur. Untuk apa aku juga tidak tahu. Untuk membu Nuh mas Arif? Haha, sayan
Miskin itu Memalukan 55Sabotase CCTVAku kok curiga mama memasukkan laki-laki ke dalam rumah toko. Apa mama itu belum kapok juga dengan kegagalan rumah tangganya dulu? Jangan-jangan mama main back street gara-gara aku melarangnya menikah lagi? Aduh, konyol banget sih, kalau memang begitu. Mama itu sudah tua kok main petak umpet kek abege saja. Sebaiknya aku memeriksa rekaman CCTV saja. Dari kemarin aku batal terus melihatnya karena sibuk. Mumpung masih jam delapan malam aku lalu mengambil laptop dan mulai membuka laman sekuriti sistem yang terkoneksi dengan tokonya mama. Layar laptop terbagi menjadi empat bagian. Dua bagian memperlihatkan suasana dalam toko, yaitu menunjukkan gudang dan area meja kasir. Semuanya terlihat tenang dan aman-aman saja. Mataku melihat sisi hambar yang lain. Ini kenapa buram? Mataku memicing dan memperhatikan dengan seksama gambar ketiga. Kenapa rekaman kamera depan toko blank, nggak bisa dilihat? Apa rusak? Biasanya kamera di depan toko memperlihatkan a
Miskin itu Memalukan 54Siapa berbohong“Ufi, ini mama ganti uang setoran yang kemaren dipakai mama.” Mama menyodorkan beberapa gepok uang tunai padaku. Aku menatap tumpukan uang di meja. Mama dapat uang dari mana, kok bisa secepat itu?“Sudah punya uang, Ma?” Tanyaku melihat mama yang lalu menghempaskan bobot di kursi depanku. Teras rumah Ruly ini unik. Terlalu sempit ya kalau aku bilang teras. Mungkin ini yang disebut serambi. Tiga bangku kayu besar model kuno berpelitur coklat tua mengkilap ditata berjajar menghadap meja-meja kayu pendek. Di seberangnya bukan bangku tetapi sofa. Aneh, kan? Dua akuarium berukuran besar terpajang masing-masing di belakang bangku dan sofa, isinya ikan Arwana dan satunya berisi ikan cana. Belum lagi halaman luas yang mengelilingi. Masih ada 4 kolam ikan berukuran besar juga. Pepohonannya rindang dan tertata apik, membuat semilir angin terasa sejuk dirasakan. Terkadang juga bikin ngantuk. “Alhamdulillah, sudah, Fi,” sahut mama dengan tersenyum. “Da