Share

Mama yang malang

last update Last Updated: 2023-07-05 17:40:10

Miskin itu Memalukan 7

Mama yang malang

“Dari mana, kamu?” Terdengar suara mama dengan nada tinggi.

Aku menggigit bibir dan menyimak dari dalam kamar. Sepertinya akan ada keributan. Melirik pada Siva yang memejamkan mata, aku berharap anak itu beneran tidur agar tidak mendengar keributan orang dewasa.

“Bukan urusanmu!”

“Ini urusanku! Suami apa kamu itu, kerjanya keluyuran, mabok, nggak jelas!”

“Banyak bacot lu, tua!”

“Ngomong apa, kamu!?”berteriak.

Srek, srek, terdengar langkah diseret menjauh dari ruang tamu. Mungkin Om Arif masuk kamar diikuti mama. Sayup aku masih mendengar perseteruan mereka. Kenapa masih ada orang yang bertahan dengan siksa batin seperti itu? Saling menyakiti tetapi tetap terikat dalam tali pernikahan. Apakah salah kalau aku menyebut mamaku orang bod oh?

Melayang ke masa lalu membuat air mata ini menetes. Mamaku yang cantik, baik dan penyayang. Aku kecil selalu menunggu momen mama habis gajian. Saat itu aku merasa paling bahagia. Dengan naik angkot berwarna kuning, mama mengajakku ke sebuah mall tak jauh dari rumah. Aku boleh makan di McD, KFC, dan bermain di timezone sepuasnya. Setelah itu mama belanja keperluan dapur untuk sebulan di super market. Aku juga dibelikan es krim, senang sekali. Meski hanya sebulan sekali jalan-jalan tapi, itu sangat berkesan buatku. Aku ingin mengulangnya sekarang tapi, gantian aku yang akan mengajak mama, membelikan keinginan mama, menyenangkan mama. Membuat mama tertawa bahagia lagi …..

Mengusap air mata dengan punggung tangan, aku menarik nafas yang sedikit tersendat. Mamaku hanya seorang penjahit di pabrik, lebih tepatnya sebuah konveksi karena tidak begitu besar. Dengan gajinya yang tidak banyak dia pontang panting, sering lembur untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sekolahku. Mama tidak pernah mengeluh meski seorang single parent. Akupun tidak pernah merasa kekurangan. Buku, sepatu, tas sekolah, uang jajan, semuanya terpenuhi. Aku menyayangi mamaku tapi, kenapa mama tidak menyayangi dirinya sendiri?

Mama … huhuhu ….

**

Aku keluar kamar sekitar jam enam pagi dan langsung menuju kamar mandi. Terlihat mama sedang sibuk memasak di dapur mungil miliknya. Bau harum tumisan bumbu menguar diiringi suara spatula yang beradu dengan penggorengan. Mama sampai tidak menyadari aku berdiri di belakangnya.

“Ufi, sudah bangun?” Mama menoleh. Aku mengangguk.

“Di mana Siva, Ma?” Kebetulan ini hari Minggu, Siva kan libur.

“Ada di depan mungkin, dia kan sukanya nyiram tanaman.” Mama kembali sibuk memasukkan bumbu ke wajan. Aku bergegas masuk ke kamar mandi. Rencana hari ini aku akan mengajak Siva jalan-jalan dan makan di luar. Kasihan anak itu pastinya kurang piknik.

Keluar dari kamar mandi rupanya mama sudah selesai masak. Sekarang mama sibuk mencuci perabot.

“Makan dulu, Fi.”

“Nanti.”

Berjalan masuk ke kamar untuk mengambil pouch tempat make up lalu aku duduk di ruang tamu untuk berdandan. Kamar Siva agak kurang terang untuk bermake up jadi aku memilih di luar.

“Assalamuaikum.”

“WaalaikumSalaam,” jawabku menoleh ke pintu. Seorang perempuan berdaster lebar berdiri dan tersenyum.

“Ibu ada, Mbak Ufi?”

“Ada.” Aku mengangguk. Rupanya mama sedang berjalan ke mari.

“Mbak Tutik, ada apa?” Langkah mama menuju teras rumah.

“Anu, Bu Fatma nanti siang tolong ke rumah saya, gosokannya banyak, seragam juga besok buat sekolah anak-anak,” ujar Bu Tutik tetangga mama. Aku melirik mendengar omongan Bu Tutik. Jadi sekarang mama buruh gosok baju orang?

“Iya, Mbak Tutik, nanti aku ke sana,” jawab mama pelan seolah tak ingin aku mendengar. Aku heran, apa suaminya itu tak pernah memberinya uang belanja?

“Ngapain Bu Tutik, Ma?” Tanyaku saat mama melintas di ruang tamu.

“Oh, mau minta tolong gosok baju,” jawab mama. Aku menatap dan mama sepeti malu, dia berusaha menghindari sorot mataku.

“Ngobrol sini, Ma,” aku menunjuk kursi di depanku. Mama menurut, dia pun duduk. Aku meneruskan mengoles mascara di bulu mata.

“Mama kerja gosok dibayar berapa?” Mataku melirik sekilas.

“Nggak tentu, Fi, kadang 25 kadang 50, tergantung banyak sama lamanya. Mama nggak ngongso, kok, santai aja. Kalau ada yang menyuruh ya dikerjain kalau nggak ya nggak,” jawab mama dengan tertawa. Menyembunyikan perih di hatinya.

“Apa Om Arif nggak ngasih uang?” Aku memberesi alat make up ke dalam pouch. Mama terdiam.

“Ya ngasih tapi, kan, Om Arif kerjanya serabutan kadang ada kadang enggak. Mama ikut bantu cari uang kan lumayan buat jajan Siva.”

Ck! Aku menyugar rambut, lalu melihat mama. Tiap bulan aku menjatah mama 400 ribu. Itu belum termasuk permintaan mama yang mendadak seperti transfer 100, 50, bahkan pernah minta transfer 500 ribu. Semuanya habis hanya dalam hitungan hari atau mungkin jam. Aku curiga semua uang mama diminta Om Arif untuk mabok atau berjudi. Itulah makanya aku tidak pernah memberi banyak uang pada mama. Kalau dia minta baru aku kasih.

“Siva suruh mandi, Ma, aku mau mengajaknya jalan-jalan,” kataku sambil berdiri. Sedianya mama mau aku ajak tapi, mama ada kerjaan gosok. Ya sudah.

Jam setengah sembilan pagi aku dan Siva sudah naik grab. Aku mau mengajaknya ke mall. Siva sangat exited, tadi dia berjalan bersemangat dan menebar senyum saat keluar gang. Mirip seperti aku dahulu, gembira meluap luap saat mama mengajakku naik angkot ke mall.

“Makan dulu ya, Siva … pilih aja mau makan apa,” kataku saat turun dari mobil. Mall sangat ramai karena Minggu. Tubuh Siva bergoyang-goyang karena senang. Bola mata adikku berputar melihat gerai warna warni di depannya.

“Makan berger, boleh?” Ucapnya malu-malu. Aku senang sekali melihat Siva tersipu-sipu. Jarinya masuk ke mulut dan digigit pelan oleh giginya yang gugus.

“Ayo.”

Menggandeng tangan Siva aku membawanya masuk ke restoran cepat saji. Aku membolehkan Siva memilih makanan yang dia inginkan. Siva hanya memilih cheese berger, aku menambahnya dengan fried fries dan ayam goreng. Siva makan dengan lahap, kakinya bergoyang-goyang di bawah meja karena senang. Aku menatapnya terharu … hatiku seperti teriris. Meski dia adik tiriku tapi, aku menganggapnya adik kandung. Hanya Siva satu-satunya saudara yang aku miliki.

Aku temani Siva seharian. Kubiarkan Siva bermain sepuasnya di arena bermain. Habis coin banyak gapapa. Tak lupa aku belikan baju baru, sepatu, tas sekolah dan assesoris seperti jepit rambut, karet lucu-lucu dan bando.

“Siva senang?”

“Bangett!” Seru gadis cilik itu.

“Balik yuk, sudah mau sore,” kataku. Siva mengangguk, mungkin sudah capek.

Di dalam grab, Siva memeluk semua belanjaannya. Aku sampai tertawa melihatnya. Grab berhenti di ujung gang, aku dan Siva turun. Kubantu dia membawa belanjaannya yang lumayan banyak. Bergandengan tangan aku dan Siva berjalan pulang.

“Jangan, Mas, jangan, itu punyanya Ufi!“terdengar jerit suara mama dari dalam. Aku dan Siva menghentikan langkah tepat di depan pintu.

“Ahh! Aku tidak peduli. Anakmu yang pelit itu memang harus dirampok uangnya!” Suara Om Arif.

Rampok? Uang? Apa maksudnya? Aku melihat Siva yang terpaku menatap kamar mama.

“Siva, kamu main dulu ke rumah teman, ya. Biar belanjaannya mbak Ufi simpan di kamar,” ucapku. Anak itu mengangguk lalu berlari keluar halaman.

Menaruh belanjaan di meja tamu, aku bermaksud melihat apa tang terjadi.

“Kembalikan, Mas!” Teriakan mama.

“Nggak sudi! Hahaha,” tawa Om Arif terdengar seram.

Buk, buk! ( bunyi seperti sesuatu yang terjatuh)

Lalu terdengar pintu kamar dibuka. Om Arif berjalan cepat keluar dari kamar bahkan hampir menabrakku. Lelaki itu berhenti sejenak di hadapanku. Sedetik sorot mata kami bertabrakan. Wajah Om Arif merah padam seperti sedang marah. Aku melihat di tangannya memegang segepok uang merah.

Tanpa berkata apa-apa, Om Arif berjalan cepat keluar rumah dan segera menghilang. Mama tergopoh- gopoh keluar kamar untuk mengejar. Di tangan mama ada amplop coklat yang sudah koyak.

“Ufi, hentikan dia! Om Arif mencuri uangmu!” Mama berteriak sambil menunjuk Om Arif yang sudah tak nampak. Mataku melebar seketika.

Hah? Mencuri uangku?!

Mataku terbelalak pada amplop coklat di tangan mama.

Bersambung

Related chapters

  • Miskin itu Memalukan   Istri Berbakti?

    Miskin itu Memalukan 8Istri yang berbakti?“Ufi, Ufi, cepat kejar dia!” Dengan wajah panik, tangan Mama menunjuk-nunjuk ke luar rumah. Aku yang sebenarnya masih bingung berlari ke halaman tapi, terlambat. Punggung Om Arif pun sudah tak nampak. Berlari aku kembali masuk rumah, perasaanku tak karuan dan penuh tanda tanya, apa yang terjadi? “Mama ada apa?” Aku kembali dan berdiri di depan mama yang menangis. Mataku tertuju pada amplop koyak yang didekap mama. Bendelan uang merah nampak mengintip di sudut amplop yang robek. “Kenapa amplopnya koyak, Ma?” Menatap mama penuh selidik, jangan-jangan ….“Huhuhu,” mama tersedu-sedu menangis. Nafasnya sampai tersendat. “Uangmu diambil Om Arif, Fi, huhuhu,” tangis mama menjadi. Aku kaget bukan main. Uang peningsetku diambil Om Arif? Keterlaluan, kurang ajar benar orang itu. Berani sekali dia. Aku akan lapor Polisi, itu yang saat ini terlintas di pikiranku. Merebut amplop rusak dari tangan mama aku segera mengambil isinya. Tunggal tersisa empa

    Last Updated : 2023-07-05
  • Miskin itu Memalukan   Wali Nikah

    Miskin itu Memalukan 9Wali Nikah Aku masih bekerja seperti biasa karena pertunangan kemarin itu mengambil hari libur reguler yaitu Sabtu dan Minggu. Rencana aku akan ambil cuti tahunan untuk menikah nanti. Aku tidak tahu apakah setelah menikah masih bekerja lagi atau tidak. Pinginnya sih kerja tapi, dari gelagatnya Ruly sepertinya tidak akan mengizinkan. Gapapa sih, berani memintaku berhenti kan artinya dia mampu untuk menopang hidup dan gaya hidup aku. Hari ini sepulang kerja, Budhe Lies memintaku untuk mampir ke rumahnya. Budhe bilang akan membicarakan surat-surat dan administrasi untuk keperluan menikah. Aku memang masuk di kartu keluarganya Budhe Lies maka dari itu seluruh administrasi kependudukan di urus di sana. Karena tidak bisa libur di hari kerja, aku sudah meminta tolong Budhe jauh-jauh hari. Setengah enam sore kurang sedikit aku baru keluar dari kantor. Kerja di bank, apalagi sebagai Teller jarang pulang ontime. Harus balance dulu antara pemasukan dan pengeluaran. Bila

    Last Updated : 2023-07-05
  • Miskin itu Memalukan   Bimbang

    Miskin itu Memalukan 10Telepon nggak, ya?Bimbang“Budhe tahu di mana Papa?” Masih dengan tidak percaya aku bertanya. Ruly turut menatap Budhe dengan wajah serius. Semua ini membuatku gi-la.Budhe mengangguk, lalu menarik nafas dalam, “ya, Budhe tahu,” jawabnya pelan. Ada perasaan lega, senang bercampur aneh menggelayut hatiku. Jadi, kalau selama ini Budhe Lies tahu keberadaan Papa, kenapa tidak pernah bilang dengan mama atau denganku? Apa yang disembunyikan Budhe sebenarnya. “Berita bagus, Budhe … jujur saya kaget mendengar papanya Ufi masih ada. Di manakah dia sekarang, Budhe?” Tanya Ruly kemudian, mewakili apa yang ada di benakku. Aku juga sangat ingin tahu di mana Papa sekarang. Melihat pada Pakdhe yang tidak menampakkan keterkejutan, aku semakin yakin bahwa mereka berdua menyembunyikan sesuatu. Pakdhe terlihat tenang. “Papamu sekarang tinggal di kota Purwokerto,” sahut Budhe mengangguk. Purwokerto? Itu kan masih Jawa tengah? Lima belas tahun lebih ternyata papaku hanya bers

    Last Updated : 2023-07-05
  • Miskin itu Memalukan   Bertemu Papa kandung

    Miskin itu Memalukan 11Bertemu Papa setelah 15 tahunAku akan menelepon! Iya, sudah aku bulatkan hati untuk menelepon papa. Sebentar, biarkan otakku merangkai kata dulu apa yang akan kuucapkan. Lima belas tahun berjarak, membuat lidahku serasa kelu untuk menyapa. Ting!Sebuah pesan masuk di ponselku. Menunduk aku membacanya. Dari Mama.[Ufi, maaf, mama butuh banget uang tolong ditransfer 100 aja, ya]Bola mataku berputar usai membaca chat dari mama. Apa-apaan mama ini, bukannya baru seminggu lalu suaminya mencuri uangku 10 juta, sekarang mama memintaku mentransfer 100 ribu? Apa mama nggak dibagi sedikit pun uang curian itu oleh Om Arif? Rasanya tensiku naik seketika! Benar-benar marah aku kali ini. Sepuluh juta itu banyak. Sebulan aku kerja putar otak, pulang malam saja tidak sampai segitu gaji yang aku terima. Ini 10 juta sudah habis dalam seminggu saja. Bener-bener gi-la aku dibuatnya. Mama itu bukan tanggung jawabku tapi, tanggung jawab Om Arif sebagai suaminya. Aku tidak akan

    Last Updated : 2023-07-06
  • Miskin itu Memalukan   Gairah sang Brondong

    Miskin itu Memalukan 12PoV Fatma 1(Mama Ufi)Gair_ah sang Berondong“Mas, mana uangnya Ufi yang kamu curi!” Kataku pada mas Arif yang sedang sibuk dengan alat pancingnya. “Sudah habis,” jawabnya singkat bahkan tidak menoleh padaku.“Habis buat apa? Cepat banget?” Mataku melebar. Kaget. Uang sepuluh juta habis dalam sekejap, padahal aku sendiri belum melihat wujudnya. Mas Arif langsung menghilang secepat kilat setelah membawa lari uang Ufi. “Ya buat macam-macam lah,” ujarnya santai sambil menghisap dalam rokoknya. “Mas, itu tuh uangnya Ufi buat menikah!” Gemas rasanya. Aku berpindah duduk di samping Mas Arif. Suamiku itu melirik sekilas. “Anakmu yang pelit itu memang pantas diambil uangnya. Masih untung aku tidak mengambil semuanya.” Lagi-lagi mas Arif menjawab dengan tidak peduli. “Pelit bagaimana, Ufi itu sering memberiku uang buat beli beras!” Aku berbicara dekat telinganya. Biar suamiku ini tahu, Ufi tidak pelit seperti yang sering dia sebutkan. “Itu kan sama kamu. Sama aku

    Last Updated : 2023-07-06
  • Miskin itu Memalukan   Kenyataan Pahit

    Miskin itu Memalukan 13POV Fatma 2(Mama Uvi)Kenyataan Pahit“Siva, ayo, itu bisnya sudah datang.” Menggandeng Siva, anak bungsuku dan mengajaknya agak mendekat ke badan jalan raya. Bis antar kota antar provinsi yang kunanti selama hampir 15 menit sudah datang. “Agak ke sini, Siva.” Menarik pelan badan gadis mungil itu merapat ke dekat kursi penumpang. Bis penuh hari ini terpaksa aku, Siva dan beberapa orang lainnya berdiri. Siva tidak rewel, dia berdiri diam dengan berpegangan pada kakiku. Demi menuruti kemauan Mbak Lies, aku berangkat jam 7 pagi dari rumah agar bisa sampai sana sebelum jam sembilan. “Duduk sini, dek.” Seorang cewek cantik dengan tas punggung bertengger di punggung memberikan tempat duduk kepada Siva. Aku tersenyum padanya. Dari penampilannya sepertinya gadis baik hati itu seorang Pelajar atau Mahasiswi. “Terima kasih. Siva ayo duduk cepat,” kataku mendorong Siva masuk. Siva duduk dengan menatapku, mungkin takut karena duduk sendiri sedangkan aku tetap berdiri.

    Last Updated : 2023-07-06
  • Miskin itu Memalukan   Apa salahku?

    Miskin itu Memalukan 14Apa salahku?“Budhe mau perawatan yang mana, pilih aja,” kataku sambil menunjukkan menu treatment kepada Budhe Lies. Hari Minggu ini aku mengajak Budhe untuk melakukan perawatan bersama di sebuah Spa langgananku. Aku memang sudah mengambil program perawatan pengantin di sini. Perawatan untukku sudah dijadwalkan seminggu sekali dan harus selesai sebelum hari H. Treatment meliputi kaki sampai kepala agar aku terlihat glowing dan manglingi saat menikah. Hari ini aku dapat jadwal facial, massage, lulur dan ratus rambut. “Budhe mau yang ada pijetnya, Fi, pegel badan soalnya,” kata Budhe sembari membuka lembaran buku menu. “Massage sama luluran, Budhe?” “Yo wes gapapa,” sahut Budhe Lies menutup buku menu dan menaruhnya kembali di meja resepsionis.“Mbak, minta kamar dobel, ya?” Kataku pada resepsionis. “Iya, mbak.” Kamar dobel artinya dengan dua dipan treatment bersebelahan, agar aku bisa mengobrol dengan Budhe. Sering aku jalan berdua dengan Budhe Lies untuk se

    Last Updated : 2023-07-06
  • Miskin itu Memalukan   Hubungan Toxic

    Miskin itu Memalukan 15Hubungan toxic“Mama nanti datang ke Hotel pagi, ya, kan didandani dulu,” ucapku, “kainnya sudah dijahit?”“Sudah.”TapTapTapSuara langkah kaki cepat terdengar mendekat. Tanpa ucap salam Om Arif memasuki rumah. Aku dan Ruly yang duduk di dekat pintu menoleh. Om alif berhenti sejenak menatap kami dengan tatapan tak menyenangkan. “Om ….” Ruly menganggukkan kepala dan beringsut untuk berdiri untuk memberi salam.Aku menahan dengan memegang tangannya. ‘Nggak usah’ begitu isyarat yang kutunjukkan pada Ruly. Kekasihku itu menatapku tidak mengerti tapi, dia membatalkan niatnya mencium tangan Bapak tiriku. Om Arif sering menghina mamaku, tak layak dihormati.Om Arif mendengus kesal lantas bergegas meninggalkan tuang tamu. Sempat tertangkap olehku tatapannya beringas kepada mama. Manusia tak punya adab. Prang! Prang!Seperti suara benda-benda yang sengaja dibanting terdengar dari dalam. Jantungku berdegup kencang, apa lagi yang akan dilakukan oleh ba ji ngan itu. Ma

    Last Updated : 2023-07-06

Latest chapter

  • Miskin itu Memalukan   End/ Bahagia untuk Mama

    Miskin itu Memalukan 62EndBahagia abadi untuk mama“Selamat, ya, Rul …”“Makasih, makasih.”Wajah suamiku semringah menerima ucapan selamat dari sahabat dan kerabat yang datang menjenguk ataupun menelepon. Aku kembali melahirkan seorang bayi laki-laki. Alhamdulillah kali ini sehat wal afiat tak kurang satu apapun. Aku dan Ruly menjadi pasangan yang sangat berbahagia saat ini.Sayangnya tidak ada mama yang hadir menunggui proses persalinanku kemaren. Tapi tak apa, ada mama dan papa mertua yang selalu menunggu sampai cucunya lahir, mereka juga orang tuaku. “Nanti fotonya tunjukkan ke mama, ya, mas,” ucapku pada Ruly. Di Lapas mama tidak boleh menggunakan ponsel tapi, aku boleh mengirim foto anakku ke petugas Lapas yang baik hati untuk menunjukkan foto anakku pada mama. Tentu saja aku masih menyuruh Ruly untuk datang menemui mama juga. Setelah melahirkan dan selama masa nifas aku tidak mengunjungi mama. Bukan apa-apa, mama mertua punya kepercayaan kalau wanita setelah melahirkan dan

  • Miskin itu Memalukan   Bangga dengan Mama

    Miskin itu Memalukan 61Aku bangga dengan mamakuBerita pem bu nuhan yang dilakukan mama dengan cepat tersebar dan menggegerkan kota. Semua orang membicarakannya. Sampai-sampai aku tidak berani ke toko. Kerjaku hanya melamun, diam, bahkan aku tidak merasa lapar sama sekali selama berhari-hari semenjak kejadian. Ruly dengan sabar menemani dan menyuapi aku makan. “Kamu harus makan, Ufi,” ucap Ruly berkali-kali. “Aku tidak lapar “ sahutku sambil menatap jauh ke luar jendela. “Nanti kamu sakit,” ujar Ruly lagi. Aku tidak menjawab, masih juga menatap hijaunya dedaunan yang terpampang di luar jendela. Terdengar Ruly menghela nafas. Dia menghampiri dan duduk di sampingku. “Aku kerja dulu,” ucapnya sambil memegang tanganku sebentar. Aku mengangguk samar. Ruly pun berjalan ke luar kamar dan meninggalkan aku seorang diri. Ruly tetap harus bekerja. Bagaimanapun dia harus mengurus ke lima toko miliknya. Tetapi, Ruly tidak full bekerja, dia hanya ngecek-ngecek saja dan pulang setengah hari

  • Miskin itu Memalukan   Kejadian Malam itu

    Miskin itu Memalukan 60Kejadian malam itu(Seperti yang diceritakan mama padaku)Om Arif datang ke toko mama dalam keadaan mabok berat malam itu sekitar pukul dua belas an. Mama bercerita, dia memang sudah jarang tidur nyenyak minggu-minggu terakhir itu karena stres. Mama merasa begitu ketakutan hingga badannya sering gemetaran sendiri seperti menggigil. Semua itu gara-gara Om Arif yang menerornya. “Fatma! Fatma!” Dengan sempoyongan dan berantakan Om Arif membuka pintu kamar dan berteriak memanggil manggil mama. Meski takut setengah mati, mama berusaha tenang. Mama hanya melirik dan berpura-pura sibuk dengan ponselnya. “Fatma!”Sekonyong-konyong Om Arif merebut ponsel mama dan membantingnya kuat hingga hancur berkeping-keping. Mamaku kaget dong, dia langsung bereaksi dengan mendorong kuat tubuh Om Arif menjauh darinya. Mama segera berjongkok dan mengambil kepingan ponselnya yang berserakan di lantai. Mama sangat marah, karena itu adalah ponsel baru. Aku tahu, karena mama bercerita

  • Miskin itu Memalukan   Pengorbanan Seorang Ibu

    Miskin itu Memalukan 59Pengorbanan seorang ibuMembuka mata aku merasa berada di tempat yang asing. Mataku mengedar di setiap sudut. Ada meja dengan komputer di atasnya, tembok bercat putih dihiasi bingkai foto orang berseragam polisi tergantung. Tubuhku tergeletak di sofa berwarna biru gelap, baru aku menyadari, ini masih di kantor polisi. Uuh … aku melenguh dan menggerakkan anggota badan, berusaha untuk bangkit. “Ufi ….”Aah … mataku sayu menatap. Ruly mendekat dengan segelas air di tangannya. “Minum dulu,” ucapnya dengan menopang separuh tubuhku. Aku mengangguk dan menyedu gelas yang disodorkan Ruly. “Aku mau duduk,” pintaku. Suamiku degan sabar membantu menyandarkan tubuh lemahku dan menata kedua kakiku ke bawah. Derit kursi roda datang mendekat, aku melempar pandangan. Pak Artha dengan kursi rodanya yang didorong supir, menuju kemari. “Sudah sadar, Ufi?” Tanyanya. Aku mengangguk.Ruly duduk di sampingku pada sofa panjang ini. Lelah hayati rasanya, aku menyandarkan kepala y

  • Miskin itu Memalukan   Mama

    Miskin itu Memalukan 58MamaMelangkah lunglai aku menaiki tangga ke atas menuju kamarku. Pelan aku membuka dan menutup kembali pintu kamar. Aduh! Kaget aku ternyata Ruly tidak tidur. Suamiku itu duduk dan bersandar di tempat tidur dengan kaki selonjor. Dia menatapku. “Dari mana, sih, lama banget?” Tanyanya cemberut. Ruly ini jarang kesal sama aku, hanya saja kalau sakit dia lebih manja dan minta ditungguin. “Nemenin Siva belajar,” jawabku.“Aku mau minum,” katanya menunjuk botol minuman berwarna hijau di meja. Eh, ternyata habis, aku lupa mengisinya. Ruly aku suruh minum banyak-banyak tadi soalnya diare. “Bentar aku isi dulu.” Aku lalu keluar kamar lagi setelah mengambil ponselku di meja. Menuruni tangga ke lantai bawah untuk mengisi botol dengan air putih. Sebenarnya aku ingin mengajak Ruly untuk menjemput mama di toko sekarang juga sebab aku khawatir. Mama pasti belum tahu kalau sebenarnya Om Arif tidak meninggal dan sekarang menjadi buron. Sayangnya aku tidak tega memaksa Ru

  • Miskin itu Memalukan   Kabar Buruk

    Miskin itu Memalukan 57Kabar Buruk“Sudah baikan?” Tanyaku pada Ruly saat dia kelua dari kamar mandi untuk ke sekian kali. Suamiku menggeleng dan langsung tengkurap di tempat tidur. Ruly sakit perut dari tadi sore. Aku sudah membawanya ke dokter dan diberikan obat. Meski belum sembuh benar tapi, setidaknya Ruly sudah tidak kesakitan lagi. Mungkin salah makan atau apa, karena tadi siang dia tidak makan siang denganku. Ruly makan siang bersama rekan kerja. Suamiku ini tidak terbiasa makanan pedas soalnya. “Minum obatnya lagi,” kataku sambil menyodorkan beberapa butir obat kepada suamiku. Ruly menghela nafas kemudian melahap semua obat dengan bantuan air putih. “Istirahat, ya.” Aku mengusap dahi Ruly yang sedikit berkeringat. Suamiku mengangguk dengan mata terpejam. Aku berjalan ke kamar Siva untuk mengajaknya makan malam bersama. Tampak Siva sedang memeluk boneka besar Teddy Bear warna coklat miliknya. Aku membelikan boneka itu supaya Siva berani tidur di kamar sendiri. Aku bilang

  • Miskin itu Memalukan   Antisipasi

    Miskin itu memalukan 56PoV FatmaAntisipasiAku benar-benar tertekan dan ketakutan. Jantungku selalu berdebar tak menentu bila malam menjelang. Badanku sampai gemetar bila mendengar derit pintu belakang yang didorong dari luar. Itu tandanya Mas Arif datang. Iya, dia selalu datang seperti teror mengerikan dalam hidupku. Apa yang harus kulakukan? Dia membungkam mulutku dengan ancaman. Sekarang ini aku serasa menjadi binatang. Menjadi sapi yang diperah seluruh hartaku dan juga menjadi kuda tunggangan gratis hampir setiap malam. Aku benar-benar berada di puncak stres. Kebencianku menumpuk hingga aku berpikir untuk melenyapkan ba ji ngan itu. Bagaimana caranya? Kalau berduel Face to face dengannya sudah pasti aku yang keok dan aku tidak mau mengambil resiko itu. Mas Arif akan semakin brut-al menindas aku apa bila aku gagal mengeksekusi. Sebilah pisau dapur runcing sudah beberapa hari aku simpan di bawah tempat tidur. Untuk apa aku juga tidak tahu. Untuk membu Nuh mas Arif? Haha, sayan

  • Miskin itu Memalukan   Sabotase CCTV

    Miskin itu Memalukan 55Sabotase CCTVAku kok curiga mama memasukkan laki-laki ke dalam rumah toko. Apa mama itu belum kapok juga dengan kegagalan rumah tangganya dulu? Jangan-jangan mama main back street gara-gara aku melarangnya menikah lagi? Aduh, konyol banget sih, kalau memang begitu. Mama itu sudah tua kok main petak umpet kek abege saja. Sebaiknya aku memeriksa rekaman CCTV saja. Dari kemarin aku batal terus melihatnya karena sibuk. Mumpung masih jam delapan malam aku lalu mengambil laptop dan mulai membuka laman sekuriti sistem yang terkoneksi dengan tokonya mama. Layar laptop terbagi menjadi empat bagian. Dua bagian memperlihatkan suasana dalam toko, yaitu menunjukkan gudang dan area meja kasir. Semuanya terlihat tenang dan aman-aman saja. Mataku melihat sisi hambar yang lain. Ini kenapa buram? Mataku memicing dan memperhatikan dengan seksama gambar ketiga. Kenapa rekaman kamera depan toko blank, nggak bisa dilihat? Apa rusak? Biasanya kamera di depan toko memperlihatkan a

  • Miskin itu Memalukan   Siapa Berbohong?

    Miskin itu Memalukan 54Siapa berbohong“Ufi, ini mama ganti uang setoran yang kemaren dipakai mama.” Mama menyodorkan beberapa gepok uang tunai padaku. Aku menatap tumpukan uang di meja. Mama dapat uang dari mana, kok bisa secepat itu?“Sudah punya uang, Ma?” Tanyaku melihat mama yang lalu menghempaskan bobot di kursi depanku. Teras rumah Ruly ini unik. Terlalu sempit ya kalau aku bilang teras. Mungkin ini yang disebut serambi. Tiga bangku kayu besar model kuno berpelitur coklat tua mengkilap ditata berjajar menghadap meja-meja kayu pendek. Di seberangnya bukan bangku tetapi sofa. Aneh, kan? Dua akuarium berukuran besar terpajang masing-masing di belakang bangku dan sofa, isinya ikan Arwana dan satunya berisi ikan cana. Belum lagi halaman luas yang mengelilingi. Masih ada 4 kolam ikan berukuran besar juga. Pepohonannya rindang dan tertata apik, membuat semilir angin terasa sejuk dirasakan. Terkadang juga bikin ngantuk. “Alhamdulillah, sudah, Fi,” sahut mama dengan tersenyum. “Da

DMCA.com Protection Status