"A-ku tidak tahu, Din. Bahkan aku tidak ingat apa-apa."
Lagi-lagi aku tertawa."Mas, kamu kira ini sinetron? Novel? Aku tidak percaya yang seperti itu mas.""Tapi aku serius. Aku tidak ingat pernah menyentuh Riri. Saat itu, saat aku sedang menginap di hotel, kamu ingat kan? Aku pernah ada urusan di luar kota. Aku bertemu Riri lagi saat itu. Dan...""Sudahlah, Mas. Aku bosan mendengar ceritamu. Sekarang aku tanya, kamu pilih kehilangan anak itu atau aku?"Mas Angga terdiam. Hah, sudah kuduga. Kamu memang menginginkan anak itu mas. Huh! Padahal kamu sendiri yang memintaku untuk bersabar sampai saat itu tiba. Kita sama-sama subur, kamu tahu itu kan? Tapi tak sekalipun kamu mengungkap fakta di depan ibumu.
"Rupanya kamu bingung mas," aku tersenyum kecut. Mengambil selimut dan berbaring membelakanginya.
"Maafkan aku, Din."
"Kembalilah ke kamar istri mudamu. Anakmu pasti menunggumu," ucapku tanpa menoleh.Tak lama terdengar derap langkah menjauh. Hingga suara pintu tertutup, aku baru menoleh nanar. Air mataku kembali menetes.
Aih, Dinda... kamu tak boleh lemah. Ku usap kasar air mataku.--------------
"Ante jeyek! Itu kulsi mama. Jangan dekat-dekat papaku."
Mata kecilnya melotot galak padaku. Dia pikir itu menakutkan, mengancam seseorang yang bahkan lebih tua darinya.
"Sudah sayang. Biarkan mama Dinda duduk ya? Ayo, Vino minum susunya dulu."
Cih! Meski kamu bersikap seolah membela, aku tidak akan luluh, Mas. Aku mencibir, dasar anak kecil. Seenaknya saja dia mengusirku dari tempat dudukku. Tidak, ini rumahku. Tak akan kubiarkan siapapun bertingkah diktator. Termasuk anak itu. Cuek saja mengambil piring kosong.
"Minggir, Ante!"
Prang!
Piring yang ku pegang jatuh karena di dorong anak itu."Kau!"
Anak itu langsung memeluk mas Angga, mencari perlindungan. Ku hembuskan napas kasar. Astaga, ini anak kecil, sabar Dinda, sabar. Rasanya emosiku di uji. Ah, bisa-bisa tensi darahku naik dadakan kalau begini.
"Ada apa ini? Astaga!"
Apalagi ini... aku merotasikan bola mataku malas."Oma. Huwaa... ante jeyek nakal. Huwaa..."Ini lagi, anak kenapa nangis. Mas Angga kewalahan mengurusi bocah yang menggeliat-geliat di pangkuannya. Mamanya dari belakang buru-buru datang.
"Kamu apakan Vino, Dinda!" bentak ibu mertua.
"Kamu nakutin Vino? Iya? Pake banting-banting piring? Kamu pikir ini piring gak mahal, hah!""Bu, sudah, Bu. Jangan ikut-ikut teriak. Kasihan,Vino takut." Lihatlah, kompak sekali mas Angga dan wanita bernama Riri itu mengurusi Vino yang menangis. Makin muak aku melihatnya."Makanya, ibu suruh kamu cerain Dinda malah nolak. Wanita mandul cuma bikin rusuh aja dipertahankan."
O...begitu rupanya."Kamu ingin kita cerai, Mas?" tatapku pada mas Angga, tenang. Pria itu tergagap."Ah, enggak. Ibu apaan sih. Sudah ku bilang, aku mencintai Dinda, Bu. Sampai kapanpun aku tidak bisa menceraikan dia."
Senyum smirk tersungging di bibirku."Dengar sendiri kan, Bu? Anakmu sangat sangat mencintaiku. Mana mungkin dia menceraikan aku," ucapku berlagak jumawa, melipat tangan di depan dada. Ah, suara tangis bocah itu membuat telingaku pekak. Bukan karena aku tak sayang anak kecil. Tapi dipikir sendirilah, anak itu anak maduku, sudah begitu sifatnya menyebalkan lagi.
"Halah! Paling kamu pake pelet kan? Kamu melet Angga sampai dia segitunya cintanya sama kamu. Dasar gila!"
"Tidak apa. Tapi ibu lihat sendiri kan? Begitu kuatnya efek pelet yang dihasilkan," ejekku.Huh! Padahal pelet yang ku maksud itu harta. Apalagi. Tentu saja mas Angga tak mau posisinya turun kembali, atau lebih parah takut ku depak dari kantor. Hmm, tidak seperti itu mas, aku ingin bermain-main dulu. Uh, menyedihkan sekali. Hanya gara-gara anak, luntur sudah kisah indah kita, Mas.
"Sudah... sudah... kenapa sih malah ribut terus."
Mas Angga melerai dan berjongkok memberesi pecahan beling."Angga, biarkan Dinda yang membersihkan."
"Angga saja, Bu. Ini bukan salah Dinda.""Angga! Ibu bilang biar Dinda!""Angga! Ibu bilang biar Dinda!"Mas Angga mendesah pelan. Mendongak sekilas lalu tetap memunguti beling itu. Ayolah, drama apalagi ini. Sungguh memuakkan. Selera makanku hilang begitu saja. Ku raih tas kecilku dia kursi dan melenggang keluar."Wanita sialan! Kamu mau kemana?"Aku mengibaskan tanganku tanpa menoleh."Dasar tidak punya sopan santun!"Tak ku hiraukan teriakan ibu mertua. Biarkan saja dia mengomel-ngomel.Ku ambil mobil yang paling bagus di garasi. Mengendarainya ke kantor. Hari ini, aku akan membuat pengumuman penting.****Sampai di kantor, seperti dugaanku, para karyawan lama yang sudah mengenalku terkejut. Buru-buru menunduk hormat. Aku tersenyum tipis, mengangguk memberi balasan sapaan pada mereka. Melanjutkan langkah ke lift menuju lantai paling atas dimana ruang direktur berada.Rupanya disana juga ku dapat euforia kehebohan mereka. Mungkin mereka juga bertanya-tanya, kenapa aku hanya datang sendi
"Din!"Aku hiraukan panggilannya. Melanjutkan langkah menuju lobi lantai utama. Disana sudah berkumpul para karyawan. Langkahku mantap menuju tempatku disana."Selamat pagi, semua," sapaku sembari mengedarkan pandangan pada semua karyawan."Sudah lama tak jumpa ya? Ah, rasanya banyak yang berubah dari perusahaan ini. Mungkin untuk karyawan baru masih bertanya-tanya, siapa saya? Baiklah, saya jelaskan."Aku melirik mas Angga dengan wajah pasrahnya."Saya Dinda Arumi Bahril, direktur Golden Future Company."Tepuk membahana dari ruangan ini. Meski ada beberapa dari mereka ada yang saling berbisik. Wajar saja, selama menikah dengan mas Angga aku tidak pernah menginjakkan kaki disini."Mulai hari ini dan seterusnya saya yang menggantikan posisi pak Angga. Jadi untuk laporan, ataupun yang lainnya, harap diserahkan padaku."Mas Angga menunduk. Mengusap poni rambutnya. Sampai terbukti kau sengaja menikahi wanita itu, aku tak akan s
Meski berusaha menegarkan diri, tetap saja aku wanita yang gampang nangisan. Setelah tersakiti oleh penghianatan mas Angga, di tambah sumpah serampah ibu mertua tadi, rasanya dada ini makin sesak. Bagaimanapun juga aku takut, ada malaikat lewat yang mengamini sumpahnya. Ah, terlalu lama menangis, membuatku haus.Berjalan ke dapur, namun sayangnya harus melewati ruang tengah. Dan sialnya, mataku menangkap mereka yang tengah berkumpul. Ibu mertua bermain dengan cucunya itu, dan lebih menyesakkan, mas Angga tampak bahagia berada di situasi itu. Bismillah Dinda, kamu pasti bisa."D-dinda..."Kuhiraukan panggilan terkejut mas Angga dan melanjutkan tujuanku ke dapur. Sempat aku dengar ibu mertua yang mengompori mas Angga dan menyuruhnya untuk membiarkanku. Ku tenggak banyak-banyak cairan bening itu. Menetralkan sesak yang membakar.Pluk!Aku meringis. Sebuah benda mengenai punggungku dan jatub tergulir di lantai, kelereng. Pantas saja sakit. Saat k
"Tunggu, Din! Aku belum selesai sarapan."Aku menghiraukan teriakan mas Angga. Tetap melanjutkan langkah."Dinda... Dinda! Kamu dengar gak sih!"Tarikan tangan mas Angga membuat langkahku terhenti paksa. Menoleh kesal."Kenapa lagi, sih! Kamu mau bikin aku terlambat?""Kamu gak lihat aku lagi sarapan?"Aku merolingkan mata jenuh."Terus?""Ya tunggu dong. Kita kan berangkat bareng.""Kata siapa? Aku berangkat sendiri.""Tapi, mobil yang satunya gak ada di garasi.""Emang. Aku sewakan orang.""Terus, bagaimana aku ke kantor, Dinda?""Naik taksilah. Jangan kayak orang susah napa.""Dinda! Kamu kenapa sih?!""Aku? Pikir saja sendiri." menghempas kasar tangan Mas Angga. Membiarkannya berteriak-teriak di belakang. Kamu saja tega menduakanku, kenapa aku harus peduli denganmu, Mas?Tubuhku bersandar, memejamkan mata. Ku hela napas dalam-dalam. Sakit. Di satu sisi aku sadar, lima tahun tanpa anak memang
Berada di jarak yang sedekat ini, mengingatkanku dengan kemesraan kami yang telah lalu. Ah, bahkan masih terhitung hari kamu memperlakukanku seolah akulah satu-satunya wanita yang kau cintai. Tapi kini, fakta sudah terkuak. Sakit sekali. Ribuan jarum itu seperti kau tancapkan paksa di tubuhku.Aku masih memalingkan wajah, tak sudi menatap wajahnya dari dekat. Usapan lembut di pipi yang semula membuatku melayang, kini aku justru muak."Din... Aku sudah pernah bilang kan sama kamu? Aku gak tahu apa-apa. Sumpah! Aku bahkan tidak sadar telah melakukannya dengan Riri.""Cukup mas! Kau bilang tidak sengaja? Tapi, kini kamu menikmatinya, 'kan? Oke. Aku tahu kok, aku bukan wanita sempurna yang bisa memberimu anak. Ibumu benar, aku mungkin mandul. Tapi, untuk dikhianati begitu saja, maaf... Aku tidak serendah itu, Mas. Aku masih punya harga diri. Jadi, kalaupun kamu ceraikan aku sekarang, aku tidak masalah. Ayo, talak saja aku.""Tidak! Tidak akan pernah. Aku mencinta
"Oke deh. Kalau urusan hati, gue gak ikut-ikut. Atut."Aku perlu membuktikan beberapa hal. Salah satunya mengenai perasaan mas Angga. Benarkah cintanya sudah meluntur untukku? Atau memang dia terpaksa menikah karena terlanjur menghamili Riri tanpa sengaja. Aku harus mengusutnya terlebih dahulu. Hati boleh sakit, tapi aku tidak mau gegabah dalam mengambil keputusan. Toh, sekarang mas Angga tidak ada kuasa apapun atas hartaku. Jadi, dia tidak akan semena-mena, untuk saat ini. Dan, ketika nanti dia terbukti sengaja menyakitiku, aku bisa saja mendepaknya pergi. Tinggal lihat saja antara ibu mertua dan Riri. Siapakah dalang dibalik dalang yang sesungguhnya.Mengusir saja tidak cukup, mungkin dengan sedikit bermain-main?******Anak itu memang menyebalkan. Entah bagaimana mamanya mendidiknya. Anak sekecil itu, yang harus nya masih berada di fase polos-polosnya, tapi nyatanya pandai memaki dan melawanku yang notabene jauh diatas umur mamanya, apalagi umurnya.
Ucapan Mas Angga saat sendiri tadi terus terngiang. Dia masih mencintaiku? Tapi, kenapa kamu menghianatiku, Mas? Ah, andai saja waktu bisa diputar, akan aku singkirkan duri yang membuat kita jadi seperti ini. Jujur, aku menyesal telah membawa ibu mertua kesini jika malah membuat baktiku meluntur dan berganti rasa benci untuknya. Keluarga harmonis kita menjadi hancur dalam sekejap karena campur tangan beliau.Sebuah ketukan di pintu membuat lamunanku buyar. Kuusap air mata yang sempat menetes tadi. Tapi bukan untuk bergerak membuka pintu, melainkan untuk tidur."Dinda, ini aku. Tolong bukakan pintu sayang.""Dinda... Din..."Kututup telingaku dengan bantal. Memilih menggapai mimpi daripada membuka pintu dan berakhir perdebatan panjang.*****Hujan gerimis rintik menyapa indera pendengaran saat aku bangun tidur. Dingin. Apalagi tadi malam aku lupa mematikan AC kamar. Jam di nakas menunjuk pukul setengah empat pagi. Kebiasaan bangun pagi it
"Sudah, Bu, Din. Uhuk! Uhuk! Ini salahku. Kepalaku pusing melihat kalian berdebat. Hatchi!"Aku mengangkat tubuhku dari kursi. Mengibaskan rambut elegan. Mending pergi."Kamu mau kemana, Din?""Nanya. Ya kantor, lah," sahutku ketus. Derap heels terdengar membanggakan di telingaku."Tapi ini minggu. Uhuk! Kantor kan libur."Astaga! Kelamaan jadi ibu rumah tangga membuatku lupa. Wajahku memerah malu. Tapi sudah terlanjur kepalang basah. Jadi kulanjut saja langkahku."Aku ada urusan," sahutku menutupi wajah malu. Entah kemana, yang penting pergi. Sudah terlanjur juga.*****Akhirnya aku ke rumah Della. Della malah terbahak setelah mendengar ceritaku."Makanya, fokus sayang. Jangan-jangan emang bener, peletnya mas Angga terlalu kuat. Sampai sampai Lo jadi linglung."Kupukul tangannya yang memegangi perutnya karena tertawa ngakak. Sialan. Sahabatnya sedang kena sial, dia malah asyik menertawakan."Udah yuk. Daripada g
Zul dan Della rencananya akan tinggal sendiri. Sekarang, mereka masih bulan madu sambil menikmati Winter di Osaka. Setelah pulang, mereka tinggal di apartemen. Zul tengah menyiapkan rumah yang akan mereka tinggali nanti. Della sendiri, kembali bekerja di perusahaan Dinda. Tentu saja setelah Dinda memintanya dengan teramat. Lagipula, potensi Della di perusahaan memang besar. Jadi, tak bukan hanya atas dasar persahabatan semata. Zul juga sudah menceritakan sesuatu yang membuatnya mengganjal dulu. Tentang dia yang pernah tertarik ape Niswah. Awalnya Zul tidak mau cerita, karena takut Della cemburu. Tapi wanita itu memaksanya. Daripada memicu perang dunia di tengah pernikahan seumur jagung mereka, Zul mengalah. Della sempat kaget dan cemburu, tapi Zul berhasil meyakinkan bahwa itu hanya perasaan lewat. Cintanya pada Della lebih besar dan segalanya. Della masih cemburu, tapi dia percaya Zul. Zul sudah membuktikan bahwa perasaan pria itu sudah sepenuhnya tertuju padanya.Hari ini, mereka m
Niswah dan Arjun yang merencanakannya. Sepasang suami istri itu tidak tahan melihat hubungan dingin dua manusia dewasa itu. Satunya terlalu tinggi ego, dan satunya yang cenderung pasrah. Dan sangat kebetulan, bertepatan dengan itu, Zul mendapat promosi. Masa mutasinya dipercepat. Dia kembali mengabdi di kantor pusat. Kinerjanya memang bagus. Hanya sempat lalai karena patah hatinya.Sebenarnya, Zul mau berpamitan pada Della. Tapi Niswah melarangnya. Wanita yang sempat singgah di hatinya itu bilang, Zul harus tegas. Sesekali Della harus disentil egonya. Dengan cara menjauhinya. Seolah Zul sudah menyerah pada perasaannya. Awalnya Zul tidak setuju. Dia takut, Della justru semakin jauh darinya. Tapi Niswah juga tak kalah memaksa. Bagaimanapun juga, dia sesama wanita. Dia tahu, apa yang ditakutkan oleh kaum wanita keras kepala. Dia cinta, hanya saja ego tinggi mengalahkan perasaannya sendiri. Niswah bahkan berani menjamin, akan menebusnya seandainya rencananya gagal. Karena Niswah juga yak
"Jangan pergi...."Jantung Della terasa berdegup kencang. Dia juga tidak ingin pergi. Tapi, keadaan sudah berbeda. Zul sudah bertunangan dengan wanitanya. Harusnya dia tak ada disini. Ini acara pentingnya.Della melepas pelukan Zul darinya. Menghindarkan wajahnya dari pandangan Zul."Pergilah," ucapnya lirih. Menahan isakan yang sebentar lagi kembali pecah."Kenapa? Kau tidak suka aku mendatangimu?" ucap Zul tanpa penekanan.Della menggeleng. Dia tidak berani menatap pandang Zul. Dia takut perasaannya semakin hancur saat sadar pria itu tidak bisa dia harapkan lagi."Kembalilah. Itu acaramu. Tak seharusnya kamu malah disini."Zul mengerutkan dahinya. Mencerna perkataan Della."Acaraku? Ini acara ki ..." Zul menghentikan ucapannya. Berdehem kecil. Lantas menarik tangan Della. Memaksa mengikuti langkah lebarnya."Zul, lepas. Kau mau membawaku kemana?" tolak Della. Zul bergeming. Dia justru mengeratkan genggamannya. Tak akan membiarkan wanita ini kabur lagi."Niatmu datang kesini untuk me
Perjalanan ke kota cukup menyita waktu. Terutama karena Della hanya menggunakan angkutan umum. Dari satu bis ke bis yang lain. Pikirannya kacau. Dia tak bisa berfikir jernih lagi. Di pikirannya hanya satu. Dia tak mau terlambat. Berharap perjodohan itu belum dilaksanakan.Sepanjang jalan Della menangis. Membuat penumpang lain melihatnya heran. Penampilannya lebih mirip gadis yang kabur dari rumah. Karena dia membawa ransel ukuran sedang untuk pakaiannya. Tak ada yang menanyainya, sungkan terlebih dahulu.Jika dipikir, Della seperti tak punya malu. Dulu, dia yang menarik ulur perasaan Zul. Sampai pria itu hanya bisa memendam lukanya dalam senyum perjuangan. Memang, Della berhak marah karena Zul yang dulu. Tapi, bukankah Zul sudah meminta maaf? Bukan hanya sekali dua kali. Bahkan sering. Zul juga menunjukkan tekad yang kuat. Bahwa dia serius dengan lamarannya untuk menikahi dirinya. Tapi egonya terlalu besar untuk memaafkan Zul. Membiarkan pria itu tersiksa dengan perasaannya. Sekarang,
Della tidak tahu, entah sampai kapan dia bisa bertahan dengan hubungan aneh ini. Dia cemburu setiap kali melihat kedekatan Zul dan Ika. Tapi dia sendiri sadar diri, yang juga dekat dengan Kevin. Egonya memang keterlaluan besarnya. Dan, ternyata itu tidak hanya berlaku untuk Ika semata. Nyatanya Della juga cemburu saat Zul dekat dengan para mahasiswi itu. Dia kesal hanya dengan melihat Zul tertawa renyah pada mereka. "Wow! Bang Zul keren!"Della mendecak. Hanya karena Zul mengangkat dua galon isi penuh secara bersamaan. Para mahasiswi itu tampak kagum. Padahal, wajar saja Zul kuat. Dia polisi yang terlatih secara fisik dan mentalnya.Della malas berada di situ. Beringsut ke belakang. Duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. Melempar kerikil ke kolam. Yang langsung disambut para ikan, karena mengira itu makanan yang diberikan pada mereka. Yah, tipuan yang menyebalkan bagi kaum ikan."Kau tidak bermaksud membunuh mereka kan?"Della tersentak. Spontan menoleh. Kembali membuang wajah saat t
Sungguh menarik perhatian. Itulah yang Niswah dan Arjun pikirkan melihat kejadian ganjil tadi pagi. Bagaimana bisa, Della dan Zul yang mereka kenal sebagai sepasang kekasih, tapi malah berangkat kerjanya dengan pasangan yang berbeda?"Lihat kan tadi?"Arjun mengangguk. Mereka sedang menghabiskan waktu berdua. Tidak ada yang protes. Ya kali mereka mau mendemo dosen sendiri. Taruhannya nilai, uy. Yah, meskipun Arjun juga tidak akan melakukan hal selicik itu."Aneh deh. Masak kalau cuma alesan tempat kerja yang beda, mereka berangkatnya pisah sih? Mana yang dibonceng lawan jenis lagi.""Perempuan tadi bukan polisi, Nis. Dari seragamnya dia karyawan biasa.""Iya, maksudku itulah, pokoknya. Aneh aja gitu. Apa, mereka lagi ada masalah ya? dilihat juga, bang Zul sama mbak Della kayak lagi jaga jarak kan?""Mereka emang lagi ada masalah. Cuma, aku kira sudah baikan. Ternyata belum toh.""Ih, jadi pengen deketin mereka lagi loh. Mereka kan pasangan serasi. Pacaran juga udah lama. Sayang kalau
Sampai di rumah, para mahasiswa itu sudah di depan. Ada yang menyapu, ada pula yang mencabuti rumput. Zul jadi malu sendiri dengan keadaan rumahnya yang memang tidak terawat. Tidak ada waktu, juga malas. Biasalah, pria lajang yang hidup sendiri, biasanya begitu. Zul ikut bergabung bersama mereka. Hari ini, dia berangkat agak siang saja.Selesai berberes, sarapan diadakan di rumah pak lurah. Tentunya sarapan kali ini lebih ramai dengan mereka yang baru datang...Pukul setengah delapan kurang sepuluh menit, Kevin datang menjemput. Merasa heran dengan keadaan ramai rumah Della. Dia sampai bengong dan tak berani memanggil. Mahasiswi muda yang sedang berkumpul di teras. Sepertinya mereka sedang musyawarah. Tapi, demi mendengar suara motor, mereka sontak menoleh. Membuat Kevin salah tingkah karena menjadi pusat perhatian."Cari siapa, Mas?" tanya mahasiswi berjilbab krem."Oh? S-saya? Saya nyari ... Em ... Mbak Della.""Oh. Mbak Della."Gadis berjilbab krem itu menjawil temannya. "Panggil
Jika pagi yang kemarin Zul hanya sendiri, maka pagi ini dia disambut dengan keriuhan. Para mahasiswa yang antre di kamar mandinya dengan wajah kusut khas bangun tidur."Pagi, Bang."Zul mengangguk. Duduk di salah satu kursi, ikut mengantri."Duluan saja, Bang."Zul mengibaskan tangannya, pertanda tidak perlu. Nertanya tak menangkap keberadaan Arjun diantara para mahasiswa itu."Dimana dosenmu?" tanya Zul dengan suara serak parau."Oh, pak Arjun sudah bangun dari tadi, bang. Kayaknya keluar tadi. Mungkin ke masjid," terang salah satu mahasiswa dengan dagu lancip. Yang kalau tidak salah namanya Ilham.Zul tertegun. Sangat berbeda dengan dirinya. Yang hanya ke masjid jika sempat saja. Zul menyadari, dibanding dirinya, Arjun memang lebih baik. Dan sangat cocok untuk Niswah yang mempunyai background agama kuat.Tidak Zul. Ingat dengan tekadmu. Cinta lama itu sudah hilang. Kini yang terpenting adalah mendapatkan kembali hati Della untuknya.Adzan subuh berkumandang. Syukurlah antrian tidak
Keseluruhan mahasiswa KKN ada enam belas. Enam laki-laki, dan sepuluh perempuan. Delapan tinggal di kediaman lurah Yogi, dan delapan yang lainnya tinggal di dusun sebelah. Karena kebetulan rumah dinas Zul dekat dengan kediaman pak Yogi, jadi, tiga laki-laki, ditambah Arjun, akhirnya tinggal di rumah dinas Zul. Supaya lebih menjaga para kaum hawa, itu kata Arjun. Padahal, aslinya dia tidak rela kalau istrinya tinggal seatap dengan teman prianya itu. Hal yang disetujui oleh Zul, dan yang lainnya. Tentunya, Zul dengan alasan yang sama. Tak mau Della kecantol dengan salah satu anak KKN itu, atau malah anak KKn yang kecantol Della."Mas Zul sudah lama disini?" Obrolan ringan kala malam hari. Yang lain sudah tidur, mungkin lelah setelah perjalanan panjang tadi siang."Hm. Lumayan. Sudah cukup lumayan lama sih."Arjun manggut-manggut. Menyeruput hot chocolate buatannya. Berhubung dia tidak suka kopi, jadi dia membawa sendiri susu cokelat dari rumah."Istrimu, sudah berapa bulan?" Maafkan Z