Sepanjang jalan aku diam saja, ngambek. Biarin aja bang Aldi sadar diri. Sedari tadi dia berbicara sendiri. Sementara aku chattan dengan Dela. Apalagi kalau bukan membicarakan kekesalanku. Dan emang Della kampret, dia malah menertawaiku."Mau langsung pulang apa mampir kemana dulu?"Aku tak menanggapi. Asyik bermain dengan ponselku."Din... Ya Ampun! Kamu marah sama abang? Dari tadi abang ngomong sama sekali gak kamu sahutin lo."Aku mengangkat kedua alisnya, menjebik. Tapi, tetap saja mataku tak teralih dari benda persegi panjang itu."Dinda..."Enak kan dicuekin. Haha."Oke... Oke. Abang minta maaf karena lebih malah asyik ngobrol sama Haidar.""Bodo amat sih.""Tapi kamu jangan ngambek dong. Haidar itu teman lama abang waktu kuliah di Amrik. Berapa lama ya gak ketemu? Kayaknya sekitar delapan tahunan. Wajar dong pas ketemu abang jadi antusias banget. Lagian, Haidar itu sudah abang anggap seperti adik sendiri, makanya akrab. Anaknya baik kok. Alumni pesantren.""Lah, apa pentingnya
Sementara, untuk sidang perceraian, tinggal nanti menunggu panggilan dari pengadilan. Aku juga sibuk mempersiapkan berkas-berkas yang amat banyak itu. Katanya, proses perceraian itu cukup lama. Bisa sampai berbulan-bulan. Jadi sementara waktu bisa kugunakan untuk mencari bukti."Abang udah nemu tempat tinggal Mas Angga sekarang?" tanyaku disela pekerjaan di kantor."Belum. Rencananya mau besok aja. Gak papa kan?"Aku mendesah pelan. Santuy sekali bang Aldi ini. Meski sidang entah kapan, tapi untuk menyelidiki Riri, belum tentu hanya membutuhkan waktu sebentar bukan? Takutnya ada hal tak terduga dari rencana."Gak usah terburu. Buru-buru perbuatan syaiton loh.""Terlalu santai juga gak baik, Bang," tukasku kesal. Andai aku bisa menyelidikinya sendiri. Bang Aldi malah nyengir lebar. Dan kemudian dia sibuk, asyik menelepon istri dan Anaknya.****Setelah shalat isya', sekitar pukul setengah sembilan, aku minta diantar bang Aldi ke supermarket dekat lapangan sana. Aku lupa stok dapur meni
Ku perhatikan badannya basah kuyup. Bahkan tetes air itu mengalir di wajahnya. Dia memayungiku tapi membiarkan dirinya sendiri kehujanan. Aku menangis, tapi aku masih sempat memperhatikan dirinya."Kenapa kamu disini, hiks..."Rasanya ingin teriak sekeras-kerasnya. Takut, marah, kesal jadi satu. Napasku tersengal menahan emosi."Karena aku melihat seorang gadis yang berjalan sendirian. Udah, ayo. Mau pulang kan?"Aku mengangguk. Tapi tak kunjung beranjak. Dia orang baik kan?"Kenapa diam? Mau disini terus, hm? Atau mau jadi penjaga jalanan?"Aku menggigit bibir bawahku yang gemetaran dingin. Aku hanya takut, dan tidak bisa percaya dengan orang yang baru dikenal. Apalagi pertemuan kedua yang memberikan kesan buruk.Diambil alihnya belanjaan dari tanganku."Bang Aldi yang menyuruh. Kamu tak perlu khawatir. Aku tidak akan berbuat jahat." kutatap wajahnya yang menatap ke depan. Dari tadi, dia memang tidak memandangku meski mengajakku bicara."Apa... Sesuatu terjadi?""Tidak. Tapi dia tida
Sebuah sentuhan mendarat di pundakku. Aku lupa, ada dia bersamaku tadi. Kuusap kasar air mataku dan menatapnya tajam. Pasti dia tahu sesuatu."Katakan, ada apa sebenarnya? Bang Aldi dimana!"Bahkan aku abai bahwa dia masih mengenakan pakaian basahnya tadi."Bang Aldi terbang ke London."Mataku membulat."A-apa?!""Ya. Dia pergi ke London. Mendadak.""Jahat!" teriakku. Kenapa bang Aldi jahat padaku. Bahkan dia pulang tanpa berpamitan denganku, adiknya sendiri."Tenanglah. Bang Aldi pulang mendadak karena anaknya kecelakaan.""Ja-Jansen... Kecelakaan?""Benar. Makanya dia tak sempat menjemputmu karena langsung mencari tiket kilat. Dia hanya sempat menghubungiku untuk menjemputmu di supermarket. Bahkan dia tidak sempat menghubungimu karena keburu naik pesawat. Dan, ini... Dia memberimu pesan."Gemetar tanganku menerima ponselnya. Membaca pesan dari bang Aldi."Tolong sampaikan pada Dinda. Abang minta maaf. Abang tidak sempat berpamitan karena kabar itu juga mendadak. Jansen mengalami kec
Selepas pulang dari kantor, aku tidak langsung pulang. Melainkan mampir di kedai bakso cuanki. Sudah lama rasanya aku tidak kesini. Dan mendadak ingin makan yang pedas-pedas."Seporsi ya, Bang. Yang pedes. Banyakin kuahnya.""Siap, Non cantik."Sembari menunggu pesanan, netraku menatap sekeliling. Udara panas tadi siang perlahan meredup. Langit berubah jingga. Cantik. Aku suka senja, tapi sayang sekali, dibalik senja menyimpan kegelapan. Mungkin sama dengan hakikat hidup, bahwa tak selamanya akan indah. Ada kalanya kesedihan datang menyapa."Ini, Non pesanannya.""Eh? Iya bang." bang Cuanki mengagetkan saja. Tapi salahku juga sih yang malah melamun. Memberikan lembar hijau padanya, lalu menerima kembalian.Saat membuka pintu mobil, sebuah suara memanggilku."Heh! Wanita mandul!"Aku sontak menoleh. Terkejut mendapati ibu mertua yang bersidekap dan tersenyum mengejek."Gimana rasanya hidup sendiri? Dasar wanita mandul!"Tanganku mengepal. Menggeram marah. Wanita itu masih sama belaguny
"Kakak?""He'em. Bahkan tadi kakakku yang antar kesini. Berhubung pintu rumahnya di kunci, jadi saya cuma bisa nungguin di luar deh. Mana udah gelap."Aku mengamati gadis ini. Sebenarnya siapa sih dia? Dari cara berucapnya sama sekali tidak menunjukkan gugup atau terbelit-belit. Cenderung ceplas ceplos malah. Aku bersidekap. Menarik napas panjang. "Siapa nama kakakmu.""Haidar. Oppa Haidar Hafidzul Ahkam."Mataku melotot. Jadi, dia adiknya? Astaga... Kenapa beda banget sifatnya."Kenal kan? Jelas kenal dong. Siapa sih yang gak kenal sama oppa tampanku itu.""Ish. Aku aja baru mengenalnya. Lagian, op... Oppa? Apaan sih?" telingaku merasa aneh mendengar penyebutan gadis ini. Aku tahunya opah, neneknya upin ipin."Ih, mbak Dinda gak gaul deh. Oppa itu, panggilan buat pria tampan korea.""O.""Yah, O doang."Aku tak menyahut. Kelamaan menginterogasinya, sampai lupa belum membuka pintu. Begitu pintu terbuka, gadis itu langsung nyelonong ikut masuk sambil menggeret kopernya."Aku tidur dim
"Oh. Maaf. Mbak gak tahu.""Biasa kok mbak. Lagian aku juga yang milih ikut mas Haidar daripada sama ibu dan bapak. Gak enak."Aku menatapnya tak tega. Ternyata, Haidar tidak seperti yang aku bayangkan. Maksudku, aku pikir dia masih mempunyai keluarga lengkap. Ternyata, bahkan ada yang nasibnya sama denganku. Kehilangan orang tua. Teringat sesuatu, aku mengernyit heran."Loh, tapi.... Bukannya kakakmu pernah mondok ya? Terus saat itu kamu ikut siapa?""Ikut mas Haidarlah, mbak. Orang aku nyamannya sama dia." "Oo... Kamu di asrama putri, dan dia di asrama putra, begitu?""Enggaklah. Aku tidur bareng dia. Waktu itu umurku baru enam tahun, mbak. Aku nangis maksa buat bareng sama mas Haidar. Dan ya... Akhirnya dibolehin deh. Hehe.""Aneh-aneh kamu.""Kalau gak kayak gitu, gak bakal dibolehin, mbak.""Iya juga sih. Terus, pernah dengar juga, kakakmu kan kuliah di Amrik?""Yups. Beasiswa itu. Dia seneng cari ilmu emang. Biaya sekolah nyari sendiri, kuliah juga nyari sendiri. Bahkan pas di
"Eh! Mbak gak kenapa?!" Aku menggeleng. Untung ada Niswah, kalau tidak mungkin aku sudah terjerembab di lantai. Aku menoleh dan perempuan yang menyenggolku tadi nampak berbicara dengan seseorang yang ada di mobil. Tidak nampak itu siapa. Karena posisi kami yang berada di belakang mobil itu, dan dalam jarak sejauh ini."Heh! Kamu!"Dia menoleh. Tapi saat itu juga netraku membulat. Bersamaan dengan dia yang juga sama terkejutnya."Ri... Riri!" pekikku spontan."Mbak kenal?""Ri! Tunggu!" Riri justru berlari menghindariku. Aneh sekali dia. Lagipula aku dan mas Angga sudah tidak bersama, kenapa dia harus mengindar coba. Dan lagi, wajahnya tadi seperti ketakutan. Hey!aku bukan pembunuh atau orang jahat. "Mbak kenal orang itu?"Aku mendesah kesal."Kenal. Tapi gak penting."Niswah baru mengikutiku beberapa saat kemudian, mungkin dia bingung dengan kecuekanku yang tiba- tiba. Maaf, Nis. Mbak cuma kesal dengan dia. Kenapa coba harus kabur? Bikin tersinggung saja.Namun beberapa langkah kem
Zul dan Della rencananya akan tinggal sendiri. Sekarang, mereka masih bulan madu sambil menikmati Winter di Osaka. Setelah pulang, mereka tinggal di apartemen. Zul tengah menyiapkan rumah yang akan mereka tinggali nanti. Della sendiri, kembali bekerja di perusahaan Dinda. Tentu saja setelah Dinda memintanya dengan teramat. Lagipula, potensi Della di perusahaan memang besar. Jadi, tak bukan hanya atas dasar persahabatan semata. Zul juga sudah menceritakan sesuatu yang membuatnya mengganjal dulu. Tentang dia yang pernah tertarik ape Niswah. Awalnya Zul tidak mau cerita, karena takut Della cemburu. Tapi wanita itu memaksanya. Daripada memicu perang dunia di tengah pernikahan seumur jagung mereka, Zul mengalah. Della sempat kaget dan cemburu, tapi Zul berhasil meyakinkan bahwa itu hanya perasaan lewat. Cintanya pada Della lebih besar dan segalanya. Della masih cemburu, tapi dia percaya Zul. Zul sudah membuktikan bahwa perasaan pria itu sudah sepenuhnya tertuju padanya.Hari ini, mereka m
Niswah dan Arjun yang merencanakannya. Sepasang suami istri itu tidak tahan melihat hubungan dingin dua manusia dewasa itu. Satunya terlalu tinggi ego, dan satunya yang cenderung pasrah. Dan sangat kebetulan, bertepatan dengan itu, Zul mendapat promosi. Masa mutasinya dipercepat. Dia kembali mengabdi di kantor pusat. Kinerjanya memang bagus. Hanya sempat lalai karena patah hatinya.Sebenarnya, Zul mau berpamitan pada Della. Tapi Niswah melarangnya. Wanita yang sempat singgah di hatinya itu bilang, Zul harus tegas. Sesekali Della harus disentil egonya. Dengan cara menjauhinya. Seolah Zul sudah menyerah pada perasaannya. Awalnya Zul tidak setuju. Dia takut, Della justru semakin jauh darinya. Tapi Niswah juga tak kalah memaksa. Bagaimanapun juga, dia sesama wanita. Dia tahu, apa yang ditakutkan oleh kaum wanita keras kepala. Dia cinta, hanya saja ego tinggi mengalahkan perasaannya sendiri. Niswah bahkan berani menjamin, akan menebusnya seandainya rencananya gagal. Karena Niswah juga yak
"Jangan pergi...."Jantung Della terasa berdegup kencang. Dia juga tidak ingin pergi. Tapi, keadaan sudah berbeda. Zul sudah bertunangan dengan wanitanya. Harusnya dia tak ada disini. Ini acara pentingnya.Della melepas pelukan Zul darinya. Menghindarkan wajahnya dari pandangan Zul."Pergilah," ucapnya lirih. Menahan isakan yang sebentar lagi kembali pecah."Kenapa? Kau tidak suka aku mendatangimu?" ucap Zul tanpa penekanan.Della menggeleng. Dia tidak berani menatap pandang Zul. Dia takut perasaannya semakin hancur saat sadar pria itu tidak bisa dia harapkan lagi."Kembalilah. Itu acaramu. Tak seharusnya kamu malah disini."Zul mengerutkan dahinya. Mencerna perkataan Della."Acaraku? Ini acara ki ..." Zul menghentikan ucapannya. Berdehem kecil. Lantas menarik tangan Della. Memaksa mengikuti langkah lebarnya."Zul, lepas. Kau mau membawaku kemana?" tolak Della. Zul bergeming. Dia justru mengeratkan genggamannya. Tak akan membiarkan wanita ini kabur lagi."Niatmu datang kesini untuk me
Perjalanan ke kota cukup menyita waktu. Terutama karena Della hanya menggunakan angkutan umum. Dari satu bis ke bis yang lain. Pikirannya kacau. Dia tak bisa berfikir jernih lagi. Di pikirannya hanya satu. Dia tak mau terlambat. Berharap perjodohan itu belum dilaksanakan.Sepanjang jalan Della menangis. Membuat penumpang lain melihatnya heran. Penampilannya lebih mirip gadis yang kabur dari rumah. Karena dia membawa ransel ukuran sedang untuk pakaiannya. Tak ada yang menanyainya, sungkan terlebih dahulu.Jika dipikir, Della seperti tak punya malu. Dulu, dia yang menarik ulur perasaan Zul. Sampai pria itu hanya bisa memendam lukanya dalam senyum perjuangan. Memang, Della berhak marah karena Zul yang dulu. Tapi, bukankah Zul sudah meminta maaf? Bukan hanya sekali dua kali. Bahkan sering. Zul juga menunjukkan tekad yang kuat. Bahwa dia serius dengan lamarannya untuk menikahi dirinya. Tapi egonya terlalu besar untuk memaafkan Zul. Membiarkan pria itu tersiksa dengan perasaannya. Sekarang,
Della tidak tahu, entah sampai kapan dia bisa bertahan dengan hubungan aneh ini. Dia cemburu setiap kali melihat kedekatan Zul dan Ika. Tapi dia sendiri sadar diri, yang juga dekat dengan Kevin. Egonya memang keterlaluan besarnya. Dan, ternyata itu tidak hanya berlaku untuk Ika semata. Nyatanya Della juga cemburu saat Zul dekat dengan para mahasiswi itu. Dia kesal hanya dengan melihat Zul tertawa renyah pada mereka. "Wow! Bang Zul keren!"Della mendecak. Hanya karena Zul mengangkat dua galon isi penuh secara bersamaan. Para mahasiswi itu tampak kagum. Padahal, wajar saja Zul kuat. Dia polisi yang terlatih secara fisik dan mentalnya.Della malas berada di situ. Beringsut ke belakang. Duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. Melempar kerikil ke kolam. Yang langsung disambut para ikan, karena mengira itu makanan yang diberikan pada mereka. Yah, tipuan yang menyebalkan bagi kaum ikan."Kau tidak bermaksud membunuh mereka kan?"Della tersentak. Spontan menoleh. Kembali membuang wajah saat t
Sungguh menarik perhatian. Itulah yang Niswah dan Arjun pikirkan melihat kejadian ganjil tadi pagi. Bagaimana bisa, Della dan Zul yang mereka kenal sebagai sepasang kekasih, tapi malah berangkat kerjanya dengan pasangan yang berbeda?"Lihat kan tadi?"Arjun mengangguk. Mereka sedang menghabiskan waktu berdua. Tidak ada yang protes. Ya kali mereka mau mendemo dosen sendiri. Taruhannya nilai, uy. Yah, meskipun Arjun juga tidak akan melakukan hal selicik itu."Aneh deh. Masak kalau cuma alesan tempat kerja yang beda, mereka berangkatnya pisah sih? Mana yang dibonceng lawan jenis lagi.""Perempuan tadi bukan polisi, Nis. Dari seragamnya dia karyawan biasa.""Iya, maksudku itulah, pokoknya. Aneh aja gitu. Apa, mereka lagi ada masalah ya? dilihat juga, bang Zul sama mbak Della kayak lagi jaga jarak kan?""Mereka emang lagi ada masalah. Cuma, aku kira sudah baikan. Ternyata belum toh.""Ih, jadi pengen deketin mereka lagi loh. Mereka kan pasangan serasi. Pacaran juga udah lama. Sayang kalau
Sampai di rumah, para mahasiswa itu sudah di depan. Ada yang menyapu, ada pula yang mencabuti rumput. Zul jadi malu sendiri dengan keadaan rumahnya yang memang tidak terawat. Tidak ada waktu, juga malas. Biasalah, pria lajang yang hidup sendiri, biasanya begitu. Zul ikut bergabung bersama mereka. Hari ini, dia berangkat agak siang saja.Selesai berberes, sarapan diadakan di rumah pak lurah. Tentunya sarapan kali ini lebih ramai dengan mereka yang baru datang...Pukul setengah delapan kurang sepuluh menit, Kevin datang menjemput. Merasa heran dengan keadaan ramai rumah Della. Dia sampai bengong dan tak berani memanggil. Mahasiswi muda yang sedang berkumpul di teras. Sepertinya mereka sedang musyawarah. Tapi, demi mendengar suara motor, mereka sontak menoleh. Membuat Kevin salah tingkah karena menjadi pusat perhatian."Cari siapa, Mas?" tanya mahasiswi berjilbab krem."Oh? S-saya? Saya nyari ... Em ... Mbak Della.""Oh. Mbak Della."Gadis berjilbab krem itu menjawil temannya. "Panggil
Jika pagi yang kemarin Zul hanya sendiri, maka pagi ini dia disambut dengan keriuhan. Para mahasiswa yang antre di kamar mandinya dengan wajah kusut khas bangun tidur."Pagi, Bang."Zul mengangguk. Duduk di salah satu kursi, ikut mengantri."Duluan saja, Bang."Zul mengibaskan tangannya, pertanda tidak perlu. Nertanya tak menangkap keberadaan Arjun diantara para mahasiswa itu."Dimana dosenmu?" tanya Zul dengan suara serak parau."Oh, pak Arjun sudah bangun dari tadi, bang. Kayaknya keluar tadi. Mungkin ke masjid," terang salah satu mahasiswa dengan dagu lancip. Yang kalau tidak salah namanya Ilham.Zul tertegun. Sangat berbeda dengan dirinya. Yang hanya ke masjid jika sempat saja. Zul menyadari, dibanding dirinya, Arjun memang lebih baik. Dan sangat cocok untuk Niswah yang mempunyai background agama kuat.Tidak Zul. Ingat dengan tekadmu. Cinta lama itu sudah hilang. Kini yang terpenting adalah mendapatkan kembali hati Della untuknya.Adzan subuh berkumandang. Syukurlah antrian tidak
Keseluruhan mahasiswa KKN ada enam belas. Enam laki-laki, dan sepuluh perempuan. Delapan tinggal di kediaman lurah Yogi, dan delapan yang lainnya tinggal di dusun sebelah. Karena kebetulan rumah dinas Zul dekat dengan kediaman pak Yogi, jadi, tiga laki-laki, ditambah Arjun, akhirnya tinggal di rumah dinas Zul. Supaya lebih menjaga para kaum hawa, itu kata Arjun. Padahal, aslinya dia tidak rela kalau istrinya tinggal seatap dengan teman prianya itu. Hal yang disetujui oleh Zul, dan yang lainnya. Tentunya, Zul dengan alasan yang sama. Tak mau Della kecantol dengan salah satu anak KKN itu, atau malah anak KKn yang kecantol Della."Mas Zul sudah lama disini?" Obrolan ringan kala malam hari. Yang lain sudah tidur, mungkin lelah setelah perjalanan panjang tadi siang."Hm. Lumayan. Sudah cukup lumayan lama sih."Arjun manggut-manggut. Menyeruput hot chocolate buatannya. Berhubung dia tidak suka kopi, jadi dia membawa sendiri susu cokelat dari rumah."Istrimu, sudah berapa bulan?" Maafkan Z