Aveline tercengang di tempatnya berdiri. Perasaan, dia tidak melakukan apa pun. Dia hanya menuruti kode Max, yang menyuruhnya untuk berjalan di depan. Dia mengira kalau Max menyuruhnya untuk masuk sendiri. Ternyata agar wajahnya dapat dikenali oleh face recognition sensor yang ada di pintu ruangan CEO.
Langkahnya terhenti sejenak saat pintu yang tadinya terlihat seperti pintu biasa kini terbuka secara otomatis. Aveline tak bisa menyembunyikan keterkejutannya terhadap teknologi keamanan yang begitu canggih di gedung ini. Namun, yang membuatnya agak tersipu adalah system yang mengenalnya sebagai "Mrs. Cassian"? Dia tidak salah dengar, kan?
“Silahkan, Nyonya..”
Aveline mengangguk dan membuntuti Max yang juga ikut masuk ke dalam ruangan ini. Bodyguard-nya yang lain memilih untuk tetap berada di luar. Max mengarahkannya untuk duduk di sofa sebelum langsung meninggalkan ruangan.
“Loh, Max?” panggil Aveline, tetapi Max tidak memb
Cassian memeluk Aveline erat, merasa begitu bersyukur memiliki wanita yang kuat dan penuh pengertian di sisinya. “Kamu istri hebat, sayang. Aku merasa malu sebagai kepala keluarga. Harusnya aku yang berjuang untuk pernikahan kita.” Aveline mengangkat wajahnya dari dada Cassian dan menatap suaminya dengan tulus. "Ini bukan tentang siapa yang harus berjuang lebih keras. Ini tentang kita berdua, sebagai pasangan yang saling mendukung.” Aveline tersenyum dan mengelus pipi Cassian dengan lembut. “Yang penting sekarang adalah kita berdua belajar dari pengalaman ini dan saling memperkuat hubungan kita ke depannya. Aku yakin, kita bisa hadepin semua drama pernikahan sama-sama." Cassian terkekeh dan mengambil telapak tangan Aveline di pipinya. Dibawanya tangan itu untuk dikecupnya. “Itu kamu yang kebanyakan bikin drama.” Aveline memiringkan kepalanya dengan ekspresi lucu. “Kalau gak pake drama, kamu gak bakal tau perasaan kamu ke aku.” Setelah memutar
Aveline menyandarkan dirinya di pundak Cassian sambil matanya memperhatikan pemandangan melalui jendela mobil. Setelah memuaskan rasa penasarannya tentang kecelakaan dua tahun yang lalu, Cassian mengajaknya untuk pulang.Semua yang dikatakan Rama sesuai dengan data yang ada di Fortress. Dimana Cassian sebenarnya sudah mengetahui semuanya. Saat ditanya kenapa tidak menjelaskan semuanya pada Aveline, Cassian mengedikkan bahunya dan bilang kalau Laura adalah alasannya.Aveline sebenarnya geram juga pada tingkah sahabatnya itu. Terlalu bertingkah seenaknya, dan mempengaruhi semua orang agar mengikuti rencananya.Tapi sudahlah. Aveline menganggap itu impas karena juga sudah merepotkan para sahabatnya saat masa labilnya ingin pisah sementara dari Cassian.Mengingat kejadian di villa Rafael saat itu, Aveline jadi teringat Nicholas.Aveline memutar tubuhnya untuk menghadap Cassian. “Kak Ian..” Panggilnya.Cassian yang sedang sibuk dengan
Adelia dan Cassian terkejut saat melihat Aveline tiba-tiba bersimpuh di hadapan Adelia. Wajah Aveline menunduk dan air matanya perlahan meluruh. “Adel.. Maaf..” Ucap Aveline dengan lirih. Adelia terpaku. Dia tidak salah dengar? Wanita ini meminta.. maaf? “Aku salah, Del. Maaf udah ngukir kenangan buruk di masa kecil kamu.” Aveline mendongakkan wajahnya dan menatap Adelia dengan sorot penyesalan yang sangat kentara di matanya. “Maaf karena aku gak berani nemuin kamu karena malu, dan juga maaf karena aku baru minta maaf sama kamu.” Lanjut Aveline. Adelia masih saja terpaku. Entah mengapa hatinya tersentuh melihat ketulusan Aveline. Aveline mencoba menyentuh tangan Adelia, yang untungnya tidak ditepis oleh Adelia. “Aku gak nuntut dapet maaf dari kamu, Del. Aku tau efek dari pembullyan itu sangat besar bagi kamu. Aku cuma berharap kamu ngasih aku kesempatan buat jadi orang yang lebih baik, dan juga jadi kakak ipar yang baik untuk
Sehari sebelum pernikahan Aurora dan Nicholas“Kamu yakin, dek?” Tanya Aveline, kembali memastikan keputusan Aurora untuk menikah dengan Nicholas.Aurora menghela nafas dengan kasar. “Ya..” Jawabnya untuk kesekian kalinya.Aveline menatap Aurora dengan tak yakin. Pernikahan itu bukan permainan. Keputusan yang diambil akan memengaruhi seluruh hidupnya. Aveline merasa khawatir karena dia tahu lebih banyak tentang Nicholas daripada yang diketahui Aurora.Bola mata Aveline bergulir ke arah Papa Vincent yang sejak tadi terdiam. Dia mengode papanya untuk kembali membujuk Aurora.Papa Vincent yang mengerti kode itu berdehem hingga atensi Aurora beralih padanya.“Om Bagas gak bilang kamu harus nikah sama Nicho, Rora.” Ucap Papa Vincent, mengingatkan Aurora pada permintaan dari sahabat papanya sekaligus calon mertuanya. “Dia cuma minta bantuan kamu buat mendisiplinkan Nicho. Kan Nicho nurut sama kamu.” lanjutnya.Aurora memijit keningnya yang terasa pening. Yang Papa Vincent maupun Om Bagas ti
CklekkAurora membuka pintu kamar hotel dengan pelan. Ekspresi wajahnya cemberut saat melihat Nicholas yang dengan santainya tengah bermain ponsel di atas ranjang, setelah pria itu meninggalkan pesta pernikahan mereka tanpa pamit pada siapa pun.Nicholas hanya melirik sekilas Aurora yang kini berjalan mendekatinya. “Lo pesen kamar lain sana!!” Ucapnya acuh dengan mata yang masih menatap ponselnya.Aurora membelalakkan matanya mendengar itu. “Loh? bukannya kita udah sah sekarang? Kok pisah kamar?”“Males gue sekamar sama lo.” Nicholas mengedikkan bahunya acuh.Aurora yang mendengar itu bertambah kesal. Masih dengan gaun pengantinnya, dia membaringkan tubuhnya di samping Nicholas.“Gak mau.. aku mau tidur disini.” Ujar Aurora sambil menyelimuti tubuhnya.“Jorok lo.. Badan lo bau dan itu ngotorin ranjang ini, tau gak..” Seru Nicholas dengan kesal.Dengusan kesal
Nicholas terbangun dari tidurnya dan terkejut saat wajah seseorang begitu dekat dengan wajahnya. Dengan spontan, dia mendorong wajah itu sambil berteriak kesal. "Lo kenapa tidur disini?" Teriaknya. Aurora tersentak kaget saat Nicholas tiba-tiba mendorong wajahnya dengan keras. Dia merasakan dadanya berdebar kencang oleh kombinasi dari kejutan dan rasa sakit dari dorongan tersebut. "Darn it, Nicholas! Apa yang kamu lakukan?" teriak Aurora balik, wajahnya terlihat kaget dan kesal. Nicholas menatapnya dengan mata terbuka lebar, masih dalam keadaan terkejut. "Lo ngapain tidur di sini?" bentaknya dengan suara tinggi. Aurora mendengus sambil menguap lebar. "Lebay banget, sih. Kita udah sah juga." Cibirnya. “Lo gak punya telinga, yah? Jelas-jelas semalam gue bilang gak mau seranjang sama lo.” Desis Nicholas dengan penuh penekanan. Aurora mengabaikan itu dan turut menatap Nicholas dengan kesal. “Kamu gak liat sofanya keras kayak gitu? Aku mana mau tidur disana semalaman.” Elaknya. “Lo
DrrrtttAveline menyudahi tawanya saat merasakan ponselnya bergetar. Masih dengan sisa tawa dia menerima telfon itu karena berasal dari Aurora.“Ya, dek?”“Kak Ave, gue mau minta tolong nih.” Suara Aurora terdengar kesal, membuat Aveline tiba-tiba mengernyitkan keningnya.“Kenapa? Kok suaranya kedengarannya bete’ gitu?”“Gimana gak bete’ kalau kamar gue di rumah baru desainnya gak banget.” Aurora memang rewel jika ada hal yang mengganggu penglihatannya. Aveline ingat kalau Aurora dulu pernah bilang padanya bahwa, “walaupun gue bukan anak seni, tapi yah gue suka kalau sesuatu yang didesain dengan indah. Enak aja diliatnya gitu.”“Lah trus? Maunya gimana?”“Bantuin rombak dong!! Lo kan punya DI.” Ucap Aurora yang terdengar merengek di telinga Aveline.Aveline menghela nafas. “Gue sih oke. Tapi masalahnya tim gue juga butuh cuan, dek.”Terdegar decakan kesal di seberang sana yang membuat Aveline tergelak. “Gue bayar kali, kak. Lo kira gue apaan, heh.”Aveline tertawa mendengar protes Aur
“Ada yang mau ditambahin lagi gak?”Aurora menggeleng sambil tersenyum puas. Matanya berbinar menatap tablet yang menampilkan desain kamarnya yang baru. “Lo emang tau selera gue, kak Ave.”Aveline tersenyum lebar, lega mendengar pujian itu. “Asal lo suka, itu yang paling penting.” Dia memeriksa sketsa di tablet sekali lagi, memastikan bahwa setiap detail telah sesuai dengan keinginan Aurora. “Kita mulai renovasinya besok, ya. Semua bahan udah gue pesan dan tim gue yang bakal eksekusi.”“Lo-nya nggak?” Tanya Aurora.Sambil mengedikkan bahu, kepela Aveline ikut menggeleng. “Dibatesin aktivitasnya sama ipar lo. Takut guenya kecapean.”Aurora mencibir. “Protective banget..” Ucap Aurora dengan nada iri.Aveline tertawa kecil mendengar komentar Aurora. “Iya, tapi itu juga karena sayang. Lagian, Kak Ian tuh worry-worry club soal kehamilan gue