DrrrtttAveline menyudahi tawanya saat merasakan ponselnya bergetar. Masih dengan sisa tawa dia menerima telfon itu karena berasal dari Aurora.“Ya, dek?”“Kak Ave, gue mau minta tolong nih.” Suara Aurora terdengar kesal, membuat Aveline tiba-tiba mengernyitkan keningnya.“Kenapa? Kok suaranya kedengarannya bete’ gitu?”“Gimana gak bete’ kalau kamar gue di rumah baru desainnya gak banget.” Aurora memang rewel jika ada hal yang mengganggu penglihatannya. Aveline ingat kalau Aurora dulu pernah bilang padanya bahwa, “walaupun gue bukan anak seni, tapi yah gue suka kalau sesuatu yang didesain dengan indah. Enak aja diliatnya gitu.”“Lah trus? Maunya gimana?”“Bantuin rombak dong!! Lo kan punya DI.” Ucap Aurora yang terdengar merengek di telinga Aveline.Aveline menghela nafas. “Gue sih oke. Tapi masalahnya tim gue juga butuh cuan, dek.”Terdegar decakan kesal di seberang sana yang membuat Aveline tergelak. “Gue bayar kali, kak. Lo kira gue apaan, heh.”Aveline tertawa mendengar protes Aur
“Ada yang mau ditambahin lagi gak?”Aurora menggeleng sambil tersenyum puas. Matanya berbinar menatap tablet yang menampilkan desain kamarnya yang baru. “Lo emang tau selera gue, kak Ave.”Aveline tersenyum lebar, lega mendengar pujian itu. “Asal lo suka, itu yang paling penting.” Dia memeriksa sketsa di tablet sekali lagi, memastikan bahwa setiap detail telah sesuai dengan keinginan Aurora. “Kita mulai renovasinya besok, ya. Semua bahan udah gue pesan dan tim gue yang bakal eksekusi.”“Lo-nya nggak?” Tanya Aurora.Sambil mengedikkan bahu, kepela Aveline ikut menggeleng. “Dibatesin aktivitasnya sama ipar lo. Takut guenya kecapean.”Aurora mencibir. “Protective banget..” Ucap Aurora dengan nada iri.Aveline tertawa kecil mendengar komentar Aurora. “Iya, tapi itu juga karena sayang. Lagian, Kak Ian tuh worry-worry club soal kehamilan gue
“Bang Ian..”Cassian celingukan mencari sumber suara, suara yang mirip dengan suara adiknya. Dan benar, di meja seberang mejanya lah Adelia melambaikan tangan dengan antusias. Setelahnya, sang adik terlihat menghampirinya dan meninggalkan Letta yang melemparkan senyum padanya.Café yang didatangi oleh mereka memang tak jauh dari kampus milik Adelia. Cassian bahkan sudah menduga sebelumnya peluang akan bertemu dengan adiknya disini itu sangat besar. Hal itu dikarenakan teman diskusinya kali ini adalah seorang dosen di tempat Adelia mengenyam pendidikan. Wajar kalau dia memilih tempat yang tak jauh dari tempat kerjanya.“Kok Bang Ian gak bilang mau kesini?” Tanya Adelia yang sudah berdiri di sebelahnya.“Abang ada urusan disini dan buru-buru mau selesain secepatnya. Duduk dulu!!” Cassian menepuk kursi di sebelahnya, mengajak Adelia untuk duduk.Adelia duduk sambil memberi anggukan sopan dan senyum sapa pada
Cassian mengetukkan jarinya ke atas meja. Adelia sudah pamit bersama Letta semenit yang lalu, dan ini adalah saatnya untuk melanjutkan pembicaraan seriusnya dengan Ryan.“Jadi, lo mau buka identitas sebagai pemimpin Fortress?” Tanya Ryan.Cassian mengangguk. “Menurut lo, dampaknya ke Fortress sama Rinaldi Corp bakal kayak apa?”Ryan memiringkan kepalanya, tampak berpikir keras sebelum menjawab pertanyaan Cassian. "Bro, kalau lo buka identitas sebagai big boss di Fortress, itu pasti bakal bikin heboh banget. Di satu sisi, ini bisa bikin orang lebih percaya karena ada wajah nyata di balik operasi. Tapi, lo juga harus siap sih dengan risiko keamanan yang mungkin ada, buat lo sendiri dan juga buat keluarga serta bisnis lo."“Untuk Rinaldi Corp, efeknya bisa bervariasi,” lanjut Ryan dengan serius. “Positifnya, ini nunjukin kalau keluarga lo kuat dalam kepemimpinan. Ini juga bisa buka banyak peluang bisnis baru
“Masa terapi selama ini, sih?” Gerutuan itu berasal dari Aurora yang sedari tadi menunggu kepulangan Nicholas dari rumah sakit.Seperti yang diucapkan Nicholas kemarin, Aurora tidak diizinkan untuk ikut dengannya. Padahal Aurora juga ingin melihat apa saja yang akan dilakukan oleh Nicholas selama proses terapi agar kakinya bisa berjalan dengan baik lagi, sekaligus juga ingin memberikan dukungan.Nicholas sudah berangkat sejak pagi tadi, dan sekarang sudah sore. Suami dari Aurora itu bahkan belum menginjakkan kaki di rumah mereka.Proses terapi tidak akan membutuhkan waktu selama itu. Mau dikatakan Nicholas pergi bekerja, juga tidak mungkin. Aurora itu tau semua jadwal pekerjaan Nicholas, karena dia yang mengatur semuanya.Nicholas memiliki tiga kasino. Salah satunya berbentuk bangunan fisik, dan dua lainnya berbentuk virtual. Tidak ada yang mengetahui itu kecuali orang-orang tertentu yang bekerja untuk Nicholas, termasuk Aurora. Tentunya keber
Aurora berdiri mematung di ambang pintu penghubung ruang makan dan ruang keluarga rumah pasutri Cassian-Aveline, sambil menutup matanya dengan kedua tangannya. Karena tidak ada yang mendengarkan kedatangannya, dia memutuskan untuk langsung masuk saja, berhubung juga para bodyguard mempersilahkannya. Mana dia tau ketika menghampiri si tuan rumah, karena dia mendengar suara keduanya yang berasal dari ruang makan, dia justru disuguhkan pemandangan yang membuatnya malu sekaligus iri.Aveline dengan cepat turun dari pangkuan sang suami ketika menyadari keberadaan Aurora. “Eh, Ra. Kapan datang?” Tanyanya dengan gugup.“Baru aja..” ucap Aurora setelah menurunkan tangan yang menutupi matanya.Aveline mengangguk sebagai balasan. “Udah makan malam?”“Gabung aja sama kita, Ra!!” Celetuk Cassian.Aurora menggeleng dengan wajah aneh. “Gak, deh. Bisa-bisa nanti eneg liat kebucinan kalian.” Cibi
“INI BENERAN???”Pekikan yang mengandung keterkejutan sekaligus bahagia itu datangnya dari Hans. Aurora bahkan me-rem langkahnya dengan mendadak ketika mendengar itu. Dengan penasaran, dia mulai mengambil tempat agak tersembunyi karena merasa penasaran hal apa yang membuat orang kepercayaan dari Nicholas itu tampak begitu shock.Mata Hans terlihat berbinar saat menatap layar ponselnya. Aurora merasa semakin penasaran dengan apa yang ada di layar ponsel tersebut.“Gila.. serius Fortress yang ngirim email kek gini?” Tanya Hans pelan pada dirinya sendiri. Dia sungguh tidak menyangka akan mendapat email dari Fortress yang menyatakan membuka perekrutan untuk Warrior baru. Tentunya itu hal yang sangat langka mengingat Fortress adalah organisasi besar dan misterius yang tidak merekrut sembarang orang untuk bergabung. Sehingga kesempatan yang diberikan kepada Hans pasti merupakan hal yang luar biasa.Aurora semakin memper
“Arghhh…”Nicholas berusaha menggerakkan kakinya ke depan dan ke belakang, meskipun setiap gerakan memicu rasa sakit yang tajam. Bahkan teriakan tadi itu tak sengaja lepas dari tenggorokannya.“Heh.. lo santai aja kali.. Suami gue kesakitan bego!!”Seorang pria yang merupakan seorang therapist, mendelik kesal pada seorang Wanita yang mengatainya ‘bego’ hanya karena sedang membantu Nicholas untuk melatih kembali kakinya agar bisa berjalan kembali.“Maaf, yah, mbak. Saya tau kalau mbaknya cemas. Tapi saya harap mbak bisa paham kalau saya melakukan yang terbaik untuk membantu suami mbak pulih," ucapnya dengan suara tenang meskipun di dalam hatinya merasa tersinggung oleh kata-kata wanita tersebut. Dia berdiri di samping Nicholas yang sedang berjuang untuk berdiri, peluh mengucur di dahinya.Nicholas yang masih meringis kesakitan, memberi kode dengan tatapan mata kepada Hans, yang langsung dipah
Musik mengalun lembut di aula besar Rinaldi Corp, tempat pesta perkenalan Aveline sebagai pewaris resmi keluarga berlangsung. Lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memancarkan kilauan yang memukau setiap tamu yang hadir.Para tamu berpakaian anggun dan bercakap-cakap dengan elegan, menikmati suasana malam yang mewah dan eksklusif. Sedang sang pemilik acara dan keluarga dekatnya berkumpul di satu meja yang sama, kecuali Aveline dan Cassian yang sudah berada di atas panggung. Ah dan juga Aurora. Entah berada dimana istri Nicholas itu.Aveline terlihat anggun dan menggemaskan secara bersamaan dengan perut buncitnya, berdiri di samping Cassian dengan senyum tipis di wajahnya. Tangannya yang halus berusaha tetap tenang, tetapi jari-jarinya sesekali meremas gaun biru elegannya. Matanya sesekali melirik ke arah kerumunan, mencari titik fokus untuk mengurangi rasa tak nyaman berada di lautan manusia di ruangan tertutup ini. Setiap senyum yang ia berikan terasa dipa
“Adelia.. dari tadi saya coba calling kenapa gak diangkat, hem?” suara Ryan terdengar dari belakang.Adelia dan ketiga teman perempuannya—minus Letta, sedang duduk bersantai di gazebo belakang fakultas sembari menunggu Staff TU menyelesaikan SK penetapan pembimbingnya. Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan kedatangan Ryan Davis menghampiri mereka.“Eh, handphone saya lagi silent mode, pak.” Adelia meringis pelan. Matanya melirik teman-temannya yang mulai saling berbisik. Jujur, dia tidak nyaman dengan keadaan saat ini.Ryan mengeluarkan ponselnya dari saku. "Saya udah nge-chat kamu dari tadi. Kalau kamu udah selesai, kabari saya.”Adelia mengangguk cepat, merasa wajahnya memanas. "Baik, Pak. Saya akan cek dan langsung kabari."Teman-temannya mulai berbisik-bisik lebih heboh, membuat Adelia semakin tidak nyaman. Ryan tampak menyadari kegelisahan Adelia dan berkata, “Oke, ka
Tangan Aurora yang memang sudah terangkat itu mengepal, merasa gemas sekali dengan kalimat pedas sang suami. Ingin rasanya meremukkan mulut yang sedari tadi membalasnya dengan sinis.“Isshhh.. gemes aku sama kamu.”Nicholas menipiskan bibirnya, mencoba menahan tawa yang hampir saja lolos. Aurora terlihat seperti kucing galak yang sedang mengais dengan kaki depannya.“Yaudah, sini. Gue ada handuk kecil buat bersihin tangan lo.”Aurora menatap Nicholas dengan senyum kecil. "Kamu bawa handuk? Kok perhatian banget sih?" godanya.Nicholas mendengus, menyerahkan handuk kecil yang diambilnya dari tas. “Udah jangan GR. Gue bawa ini buat bersihin muka sendiri, bukan buat lo.”Aurora menerima handuk itu dengan mata berbinar. "Makasih, Hubby." Dia membersihkan tangannya dengan hati-hati, merasakan kehangatan dari handuk yang diberikan oleh suaminya.Yang orang lain tau, Nicholas adalah pria gila dengan obsesi
"Lo lagi ngelindur, ya?" decih Nicholas sambil menatap Aurora dengan mata menyipit.Aurora duduk di tepi tempat tidur dengan posisi menghadap ke arah Nicholas yang duduk bersandar di headboard. Mata wanita yang mengenakan gaun tidur berwarna biru muda itu menatap Nicholas dengan penuh harap. Matanya berkilauan dengan semangat, dan senyum manis terukir di wajahnya.Aurora mendekatkan wajahnya sedikit ke Nicholas, membuat jarak di antara mereka semakin kecil. “Ayo dong, Hubby. Kita cuma duduk-duduk di pantai. Aku yang bakal nyiapin perlengkapannya, kamu nggak perlu khawatir hal lain,” bujuknya dengan suara lembut.“Fix lo emang masih ngantuk.” Nicholas melengos, memutus pandangan matanya pada Aurora. “Mikir gak sih, gue kesananya gimana? Tau sendiri pasir pantai gak cocok buat pengguna crutches kek gue, kursi roda apalagi,” jawabnya sambil menatap ke arah tirai tipis berwarna krem yang sedikit bergoyang tertiup angin dari jendela yang terbuka.Tak habis pikir dengan Aurora. Hari masih p
“Laporan macam apa ini, Ran?”Seorang wanita yang tengah duduk di belakang meja besar di ruang kantor mewah mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas yang hampir menutupi seluruh permukaan meja. Wajahnya menunjukkan kelelahan bercampur frustrasi. Di hadapannya, duduk seorang pria yang tengah sibuk mengetik di MacBook-nya.Randy—sekretaris Cassian yang sekarang tengah sibuknya membantu Aveline mempelajari segala hal tentang Rinaldi Corp, menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap Aveline dengan ringisan. “Itu laporan terbaru tentang Rinaldi Corp, Bu. Semua detail keuangan, proyek, dan investasi terbaru ada di dalamnya.”Aveline menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba meredakan ketegangan yang menjalar di tubuhnya. "Kenapa saya juga harus tau ini? Kan udah ada jajaran Manajer yang bakal handle ini.”“Memang benar, ada tim manajer yang kompeten. Tapi sebagai pewaris utama, anda perlu memahami semua aspek bisnis, termasuk detail laporan ini. Ini penting un
“Dari mana lo?”Aurora melirik orang yang tengah bersantai di ruang TV itu dengan sinis ketika dirinya hendak ke kamarnya untuk beristirahat. Tanpa menghentikan langkahnya, wanita yang memiliki nama lengkap Aurora Sophia Rinaldi mengacuhkan suaminya itu."Lo denger gak gue nanya tadi?" suara Nicholas terdengar lebih tegas dan sedikit marah.Aurora berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum berbalik menghadap Nicholas. "Aku capek. Aku mau istirahat."Tatapan Nicholas tajam, mencoba menahan amarahnya. "Gue cuma nanya, Aurora. Lo abis dari mana?"Aurora mengangkat alisnya, merasa tidak ada kewajiban untuk menjelaskan. "Kenapa? Apa kamu se-khawatir itu aku baru pulang?" tanyanya dengan ketus.“Cih.. gue cuma nanya.” Gantian Nicholas yang menatap dengan sinis ke arah Aurora.“Kepo banget.” Cibir Aurora, lalu melanjutkan langkahnya.Nicholas mendelik mendengar cibiran dari Aurora. Matanya men
“Bisa jelaskan apa maksudnya ini, Hans?”Aurora memperlihatkan sebuah pesan yang masuk ke ponsel Nicholas kemarin yang sempat dipotretnya kepada Hans. Wanita yang mirip dengan istri Cassian itu berdiri di samping sebuah layar besar di ruangan kakak iparnya. Sedang sang empunya tengah duduk di kursi kebesarannya.Hans menelan ludah, jelas merasa tertekan oleh situasi ini. Semua pandangan mata tajam dan menuntut tertuju padanya, termasuk Samuel dan Max yang duduk dihadapannya.“S..saya udah bilang semuanya, Nya. Termasuk orang yang kerja sama Boss Nicho, kan?” suara Hans bergetar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia telah jujur.“Iya kita tau..” Ujar Aurora. “Tapi ‘dia’ yang disebut dalam pesan ini ditujukan ke siapa sebenarnya?” tanyanya dengan nada menuntut.Hans menelan ludah sekali lagi, matanya berkedip cepat saat dia berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Terlihat jelas kala
“Maksudnya, dek?” Kening Aveline berkerut saat mendengar ucapan Aurora yang penuh dengan penekanan.“Iya.. Gue mau buat perhitungan ama bang Ian karena udah bikin suami gue menderita.” Mata Aurora mulai berkaca-kaca. Itu adalah cerminan dari hatinya yang ikut tersiksa melihat Nicholas yang sedang berjuang sembuh. Dan semua itu karena Cassian. “Suami gue berjuang banget buat sembuh. Dia kadang kesakitan pas beraktivitas.” Aurora mulai terisak.Aveline memilih duduk di sebelah Aurora. Tangannya terangkat untuk menenangkan sang adik.Dia paham perasaan Aurora karena dia sendiri pun sudah merasakannya. Melihat orang yang dicintai menderita, juga membuat kita merasa sakit.Aurora menundukkan kepalanya, air mata mulai mengalir di pipinya. Aveline merangkulnya erat, mencoba memberikan dukungan sebisanya.“Abang turut prihatin dengan kamu, Ra. Tapi abang gak bakal minta maaf buat apa yang udah abang lakuin.”
“Arghhh…”Nicholas berusaha menggerakkan kakinya ke depan dan ke belakang, meskipun setiap gerakan memicu rasa sakit yang tajam. Bahkan teriakan tadi itu tak sengaja lepas dari tenggorokannya.“Heh.. lo santai aja kali.. Suami gue kesakitan bego!!”Seorang pria yang merupakan seorang therapist, mendelik kesal pada seorang Wanita yang mengatainya ‘bego’ hanya karena sedang membantu Nicholas untuk melatih kembali kakinya agar bisa berjalan kembali.“Maaf, yah, mbak. Saya tau kalau mbaknya cemas. Tapi saya harap mbak bisa paham kalau saya melakukan yang terbaik untuk membantu suami mbak pulih," ucapnya dengan suara tenang meskipun di dalam hatinya merasa tersinggung oleh kata-kata wanita tersebut. Dia berdiri di samping Nicholas yang sedang berjuang untuk berdiri, peluh mengucur di dahinya.Nicholas yang masih meringis kesakitan, memberi kode dengan tatapan mata kepada Hans, yang langsung dipah