Adrian POV.
Elisabeth Soedarjo.
Itulah nama dari gadis yang merawatku sekarang. dia datang tadi pagi, mengetuk pintuku perlahan saat aku sedang asyik melihat hujan yang turun dari langit. Aku ingat, bahwa dia adalah gadis di rumah sakit itu. sepertinya dunia memang sempit, bagaimana ceritanya dia bisa berada di sini. Merawatku dengan baik.
Aku memang tak peduli pada siapapun yang sudah merawatku selama ini. karena mereka selalu berorientasi dengan uang, bukan karena perasaan tulusnya menjaga seseorang. Entahlah berapa yang nenek berikan, tapi aku sering mendengar mereka bergumam di belakagku ‘kalau tidak karena uang, tidak sudi aku merawat orang gila sepertimu.’ Apa mereka tidak tahu jika aku tidak tuli, aku hanya apatis.
Biasanya, mereka akan meninggalkanku sendirian di kamar setelah tugas mereka selesai. tapi dia tidak. Dia justru mengajakku mengobrol, meskipun aku tak pernah merespon. Dia selalu menceritakan tentang negaranya yang indah yaitu Indonesia. Hey..... apa dia tidak tahu jika aku juga berdarah Indonesia dan pernah tinggal disana beberapa tahun?
Baru kali ini aku antusias sekali berada di sampingnya. Karena meskipun aku tak pernah merespon kalimatnya, dia tetap sabar menungguku, terkadang sambil membaca novel dan terkadang bernyanyi. Ave maria menjadi lagu andalannya dan suaranya sangat merdu.
Setiap pagi dia selalu membuka pintu di samping tempat tidurku lebar-lebar agar aku bisa merasakan hangat mentari pagi dan juga udara bersih. Meskipun dingin, namun ini nyaman. Padahal dulu aku selalu merasa jika aku tak butuh sesuatu yang membuatku nyaman atau yang membuatku sehat. Bahkan terkadang aku berharap jika oksigen di dalam kamarku ini tiba-tiba lenyap, dan bahkan aku berharap jika salah satu dari penjagaku itu adalah psikopat dan meracuni makananku.
Apa lagi? Aku benci hidupku seperti ini. kehilangan sebagian memori masa lalu yang sangat ingin aku ingat, mimpi-mimpi buruk yang hadir hampir setiap malam yang membuatku memiliki gangguan kecemasan dan berakhir dengan depresi. Entah sudah berapa dokter jiwa yang merawatku, tapi tak ada yang membuahkan hasil. Karena aku benci kehilangan memori ini. Aku yakin jika aku memiliki masa lalu yang indah, tapi aku tak tahu apa itu. Apalagi ada sebuah nama yang selalu membuat dadaku membuncah setiap mengingtanya.
Lily...
Nama yang tidak asing bagaiku, namun membuat hatiku ngilu setiap meningatnya. Seolah, nama itu sedang mengutukku di suatu tempat, namun terkadang nama itu membuat hatiku berbunga-bunga.
Tapi lagi-lagi, aku tak mengenal siapa pemilik nama itu.
******
Aku mendengar langkah kaki mendekatiku dengan bau lavender yang begitu familiar di hidungku. Lagi-lagi bau itu menyadarkan kebisuanku. Aku lantas menoleh, wajah familiar itu tengah berdiri di depan pintu sambil tersenyum.
“Lily...?” kembali lagi hanya nama itu yang berhasil dari mulutku. Nama asing yang selalu terngiang-ngiang di otakku. Padahal namanya bukan Lily, aku tahu itu. Hanya saja aku suka memanggilnya begitu.
“Saya Elisabeth tuan muda....” dia mendekatiku dengan perlahan tapi pasti.
Aku menghela nafas, lantas kembali menatap keluar kamarku. Menatap beberapa tukang kebun yang sedang membersihkan taman.
“Apa tuan muda tidak merasa pengap?” dia kembali bersuara, berjalan melaluiku lalu membuka kunci pintu kaca di depanku. “Saya rasa sedikit sirkulasi udara sangat bagus untuk kesehatan anda.”
Aku tak menyahut. Setiap pagi itulah kalimat yang diucapkannya padaku, seolah sedang mengingatkan sebuah hal penting agar aku tidak lupa.
“Apakah kamu pengganti Stella?” kembali aku membuka mulut. Oh Tuhan ada apa denganku hari ini, kenapa aku sangat ingin tahu tentangnya dan banyak bercerita. Padahal biasanya aku tak pernah bersuara meskipun di minta. Jika aku tahu nama perawat yang mengurusku sebelumnya adalah Stella karena Margareth dan nenek sering memanggilnya begitu.
Dia berbalik menatapku lantas tersenyum.
“Iya begitulah. Saya yang akan merawat anda sekarang.” Jawabnya lalu membenarkan letak selimut yang menutupi pahaku. “Jika tuan muda sudah mulai merasa dingin panggil saya.....” Dia beranjak meninggalkanku lalu duduk di sebuah sofa di belakangku sambil membuka sebuah buku novel yang tadi dibawanya masuk.
Kami berdua larut dalam keheningan masing-masing. Pikiranku melayang-layang tapi entah berada di mana, terkadang mataku menengadah ke atas, ke langit biru yang indah di atas sana atau pada pohon maple yang mulai berwarna kuning dengan daun-daunnya yang mulai berguguran. Pasti besok pagi tukang kebun akan semakin sibuk membersihkan daun-daun yang berserakan itu, lalu kembali membersihkannya lagi di sore hari, esoknya lagi dan seterusnya. Sampai daun-daun di ranting-ranting itu tak tersisa sama sekali. Jadi kenapa mereka masih melakukan hal-hal yang tak berguna seperti itu?
“ Aku kedinginan.” Gumamku, setelah angin dingin berdesir mengenai mukaku.
Aku meliriknya, dan melihatnya menutup buku dengan tergesa dan menutup pintu dengan cepat. sebelum pintu itu tertutup sempurna, angin mempermainkan rambutnya. Memperlihatkan leher jenjangnya yang begitu mulus dan menawan. Tubuhnya bagus, dan kulitnya sepertinya juga lembut. Hei.....ada apa dengan pikiranku?
“Maafkan saya tuan muda. Saya terlalu larut dengan novel saya.” Dia mengigit bibir bawahnya.
Aku menunduk, sedikit merasa malu karena dia memergokiku sedang mencuri pandang padanya.
“Aku mau tidur siang.” Kataku kemudian.
Dia membantuku turun dari kursi roda dan memapahku menuju kasur. Sebenarnya aku bisa berjalan dengan baik, hanya saja aku malas melakukannya. Aku lebih suka sesuatu yang apatis seperti ini. tidur, melamun atau menenggelamkan tubuhku di bak mandi berlama-lama meskipun pada akhirnya Margareth akan mendobraknya paksa.
“Silakan anda tidur siang. Saya akan menemani anda di sini.” Dia menyelimutiku.
Aku tak menyahut, hanya sudut mataku saja yang mengekor tubuhnya kembali ke sofa tadi. Biasanya perawat-perawatku sebelumnya akan pergi meninggalkanku jika aku tertidur, bahkan mereka tak sungkan memarahiku jika aku tak menyahut setiap mereka mengajak bicara. Tapi dia lain, dia memperlakukanku dengan baik bahkan sekarang dia menungguku. Akh, aku merasa sangat dihargai.
****
Elisabeth pov.
Dia begitu rapuh dibalik tubuh tegapnya. Aku tahu dia kesepian, terlihat dari tatapannya yang kosong dan sarat dengan kepedihan. Dia tampan, aku akui dia sangat tampan. Kulit putih pucatnya dia dapatkan dari kesehariannya yang tak pernah keluar rumah dan terkena matahari. Rambut hitamnya lurus menutup dahi dengan alis tebal, hidung mancung, mata hazel yang begitu indah serta bibir merah merekah yang sexy. Pantas saja dia tak bermata biru atau berambut pirang. Adrian punya darah Indonesia, korea dan Eropa.
Aku mengulas senyum kecil saat melihatnya tercenung sendirian di depan pintu. terkadang bola matanya begerak ke atas, mungkin menatap langit dan terkadang kembali menatap pohon-pohon maple dengan daun orange kekuningan itu. saat angin musim gugur memainkan rambutnya dia bergumam padaku.
“Aku kedinginan....”
Astaga aku lupa jika dia terlalu lama di sana. Novel romanku terlalu menarik sampai aku melupakan Adrian.
Rupanya angin bertiup sedikit kencang siang ini. sampai rambut panjangku yang sengaja ku gerai saja bekibar-kibar tak beraturan. Aku menoleh padanya, dan melihatnya menatapku dengan tatapan yang tak aku mengerti.
“Aku ingin tidur siang.....” kembali dia bergumam padaku.
Aku membantunya turun dari kursi rodanya dan memapahnya ke atas kasur. Tiba-tiba pandanganku terhenti pada pergelangan tangannya yang penuh bekas luka. Oh Tuhan, apa yang dia lakukan? Sudah berapa kali dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya? Apakah ia merasa hidup sangatlah menderita dan menyedihkan sampai melakukan hal seperti itu?
Aku jadi tak tega meninggalkannya sendirian di kamarnya. Pasti bosan berada di sini terus sepanjang hari tanpa satu orangpun teman. Lebih baik aku menemaninya sampai dia terbangun.
******
“Tidak.....tidak.....jangan.......pergiiiiii.....pergi kataku......!!!!!” aku terlonjak dari kursiku. Melihat Adrian berteriak-teriak di atas tempat tidurnya dengan mata terpejam. Aku berlari menghampirinya lantas mengoyang-goyangkan tubuhnya agar dia terbangun.
“Arrrghhhh.....” dia membuka mata dan langsung menegakkan tubuhnya. “Tidaaaak!!!!” dia berteriak sambil memgangi kepalanya. “Sakkkiittt......aaarrgggghh....!!!” Adrian semakin tak terkendali.
Margareth bilang jika gangguan kecemasannya muncul aku harus segera meminta bantuan. Kulirik tombol merah di samping tempat tidur. Tombol itu menghubungkan dengan Margaret yang akan memberinya suntikan penenang, seharusnya aku yang memberikan suntikan itu. tapi karena aku baru saja bekerja, aku harus melihat bagaimana Margareth memberikannya.
“Aarrrrrgggghhhhh.....” dia berteriak lagi.
“Tuan muda....tenang!!!!” aku mencoba menenangkannya. Namun tak ada hasil, justru dia meraih tubuhku dan memelukku dengan erat. Dia berteriak, menangis di pelukanku.
Tak butuh satu menit, Margareth datang dengan dua orang security. Melihat Adrian berteriak sambil memelukku, dia sedikit terkejut. Margareth mengeluarkan sebuah jarum suntik berisi obat dari tas yang dibawanya lalu langsung membebaskan lengan Adrian dan memberikan suntikan itu tanpa rasa gentar sedikitpun.
Aku menggigit bibir saat jarum itu menusuk lengannya. Lantas melirik Adrian yang tak berespon dengan jarum suntik itu. mungkin rasa sakit dikepalanya mengalahkan semuanya, atau mungkin dia sudah mati rasa dengan jarum-jrum itu karena hampir setiap hari mendapatkannya.
“Tunggulah...dia akan tertidur.” Kata Margareth sambil mengemasi peralatannya. “Jika sudah benar-benar tertidur, kamu bisa kembali menidurkannya di kasur.”
Aku mengangguk, menatap Margareth dan dua orang security yang meninggalkan kami. Tak berselang lama, aku mendengar dengkuran halus dari suara nafas Adrian yang teratur. Pasti dia sudah kembali tertidur. Aku menunduk, sebutir air mata jatuh membasahi pergelangan tangannya yang masih memelukku dengan erat. Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi dia, tapi aku yakin dia sangat menderita.
****
Elisabeth pov. “Selamat pagi tuan muda.” Aku tersenyum lebar. Sepagi ini dia sudah bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Seperti biasa, dia hanya menoleh padaku dengan tidak begitu antusias. Aku beranjak mematikan lilin aromatherapi yang berada di sudut kamar lalu membuka jendela. Cuaca sedang bagus hari ini, dan aku berniat mengajaknya untuk berjalan-jalan disekitar rumah. kata ibu udara pagi cocok untuk kesehatan. “Apakah tuan muda siap untuk berjalan-jalan pagi?” tanyaku lantas mengambil sebuah mantel berwarna hitam dari dalam almari. “jalan-jalan?” dia menoleh. &
Elisabeth POV. Stella berkata bohong. Gadis itu mengatakan padaku sebelum dia pergi bahwa Adrian adalah seorang pria yang menyusahkan. dia sering histeris, tak pernah mau merespon apapun yang Stella katakan dan yang paling menyedihkan adalah pria itu seperti mayat hidup. Tapi menurutku tak seperti itu. ya....meskipun pada dasarnya Adrian lebih terkesan apatis, namun menjaganya ternyata begitu sangat mengasyikkan. Dia menerima suapanku dengan baik setiap kami makan, bahkan beberapa hari ini dia sudah mulai makan bersama neneknya di ruang utama. Setiap pagi kami memberi makan merpati, kali ini kami berjalan beriringan tanpa menggunakan kursi roda lagi. Bukankah ini seperti keajaiban? Padahal aku belum ada sebulan tinggal disini. &nb
Adrian POV. Tak seperti pagi-pagiku yang sudah-sudah, kali ini aku melihat pemandangan lain di kamarku. Sosok tubuh mungil berbalut dress tidur satin yang tertidur tenang di atas sofa tanpa selimut. Nampaknya ia tidak peduli dengan hawa dingin pagi ini, buktinya dia tampak begitu tenang dan nyenyak. Nafasnya naik turun secara teratur. Atau ia sangat lelah karena merawatku semalam, sampai tak menyadari cuaca pagi ini yang lebih dingin dari biasanya. Aku menarik selimut yang masih menutupi sebagian tubuhku. Kudekati dirinya, dan berjongkok di depannya. Saat ini kami hanya terjeda beberapa centi saja dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajah wanita Asia yang begitu manis dan cantik. Mas
Mereka berdua menyusuri satu persatu lukisan yang terpajang rapi di galeri itu. berbagai lukisan dari beberapa seniman yang mengadung banyak makna bagi para pecinta seni lukis. “Kamu bisa melukis El?” Adrian menyapu pandangannya pada satu persatu lukisan di galeri itu. dia tidak tahu mengapa setiap mendengar dan melihat lukisan ada perasaan tertarik yang luar biasa di benaknya, padahal dia juga tak bisa melukis. Seakan ia mempunyai hubungan emosional yang begitu dengan dengan lukisan, Elisabeth menggeleng, lantas tersenyum. “Aku menggambar pohon saja wujudnya bukan pohon.” Jawabannya membuat Adrian menoleh. “Maksudku aku sama sekali tidak bisa.” Adrian mengangguk kecil, menyusuri lukisan-lukisan
Elisabeth pov. Aku tahu jika menerima ajakan David untuk bertemu adalah sebuah kesalahan besar. Itu sama saja aku sedang mencoba untuk kembali mendekati dia atau sedang membuka kembali luka lama. Namun nyatanya, meskipun aku mencoba menolak, tetap saja aku berada di tempat ini sekarang. sebuah cafe di pusat kota Budapest yang sangat ramai bersama David tentunya. Pas sekali dia menghubungiku semalam karena hari ini memang aku libur. Awalnya aku ingin pulang dan menjenguk mama, tapi entah kenapa lagi-lagi aku tak kuasa untuk mengatakan tidak setelah dia mengatakan ‘ayo besok keluar untuk minum kopi El.’ Pria blasteran Jerman itu memang luar biasa pandai dalam mengaduk-aduk perasaanku. Kami pacaran
Sesuai janjinya, David mengantarku sampai di depan pintu gerbang rumah keluarga Smith ketika mengantarku pulang. Itupun sebenarnya aku bersikeras tidak mau, tapi aku kenal David, ia bukanlah tipe orang yang pantang menyerah dalam semua hal dan ia pasti akan berusaha dengan banyak cara agar bisa mengantarku. “Kapan hari liburmu El?” tanyanya saat aku berusaha melepaskan seat belt. “Setiap hari minggu aku libur.” Jawabku acuh tak acuh. “Bagus!” soraknya girang. “Jadi setiap minggu, aku akan menjemputmu di sini.” Aku tidak menjawab, hanya memutar bola mataku dengan malas. Lagipula apakah ia adalah orang yang banyak wakt
Elisabeth pov. Aku menggeliat bangun saat ponsel di sampingku berdering nyaring. Jidatku berkerut, sebuah nomor baru di pagi hari sudah menyapaku. “Haloo...” suaraku masih terdengar serak. “Ini aku.” Suara itu tidak asing, dan tentu saja berhasil membuat bibirku melengkungkan senyum padahal ini masih sangat pagi. “Adrian?” “Simpanlah. Ini nomorku.” “Kamu punya ponsel sekarang?” aku menegakkan badanku. Kantukku tiba-tiba sirna ketika mendengar suaranya yang lembut di pagi ini.
Adrian pov. Sepertinya aku sudah kembali hidup setelah mati suri yang panjang. Untuk pertama kalinya dalam hidupku selama beberapa tahun ini, aku merasakan sebuah semangat yang muncul dari dalam diriku. Begitu menggelora dan panas. Aku tak memungkiri jika gadis bernama Elisabeth itu sudah mengubah hidupku. Duniaku yang gelap dan seakan tak berarti perlahan mulai terlihat terang karena ada dia di sisiku setiap hari. Dia mengajakku bicara, memelukku dengan hangat saat aku jatuh terpuruk dan selalu memberiku senyuman manisnya setiap pagi. Jika aku jatuh cinta, apakah aku salah? Aku memang belum mengingat bagian-bagian kecil d
Elisabeth POV.Sebuah tangan mengelus perutku dengan lembut sebelum akhirnya sebuah kecupan mendarat di keningku.“Apakah kamu yakin tidak merasa lelah setelah seharian berdiri?” Adrian menatapku dengan sungguh-sungguh.Aku menggeleng. Meskipun ku akui kakiku sedikit pegal karena acara pesta pernikahan kami tadi siang yang mengharuskanku mengenakan heels hampir seharian ditambah dengan kondisi hamil, namun semua itu tidak menyurutkan keinginanku untuk bercumbu sepuasnya malam ini dengannya. Seorang pria tampan yang kini menjadi suamiku.“Aku baik-baik saja….” jawabku setengah berbisik dengan nada menggoda.Adrian mengulas senyum. Dengan pelan ia mengangkat tubuh ringanku dan menjatuhkannya di atas kasur dengan gerakan lembut.“Aku tidak mau anakku terusik.” Dalihnya yang ku sambut dengan tawa kecil.“Terserah…namun malam ini aku begitu menginginkanmu.” Aku menoleh kearah je
Elisabeth POV.Aku menghentikan taxi yang ku tumpangi setelah menyeka air mataku yang tak berhenti jatuh sejak dari rumah sakit tadi. Setelah memastikan penampilanku sedikit lebih baik, aku segera turun setelah membayar sejumlah uang pada sopir tersebut.Aku pulang sendirian, Rebecca tiba-tiba memintaku untuk pulang lebih dulu karena ada urusan. Entah apa urusan yang membuatnya sampai tega memintaku naik taxi sendirian, padahal aku sedang hamil muda. Tapi aku yakin ini pasti urusan tentang pria yang dikencaninya.Taxi baru saja menderu meninggalkanku ketika pandanganku tertuju pada seseorang yang berdiri di seberang jalan. Pria itu menatapku dengan raut datar sekaligus sendu.“Elisabeth.” Panggilnya pelan.Aku menarik nafas dalam. Sejujurnya ada hal yang ingin sekali aku lakukan pada pria itu dan mungkin inilah saat yang tepat. Aku mengayunkan langkah dengan sedikit terburu dan….PLak!Sebuah tamparan keras da
Adrian POV.“El, aku ingin makan—“ kalimatku terhenti ketika menyadari jika wanita yang berdiri menyusun buah di atas nakas itu adalah Margareth.“Apa ada yang ingin anda makan tuan muda?” dia menoleh dengan senyum samarnya.Aku menggeleng.“Lupakan.” Dengusku lalu menarik selimutku dengan malas. Sudah lebih dari seminggu aku terkurung di di rumah sakit ini. Entah itu nenek atau dokter Antony tetap memintaku untuk tinggal meskipun aku memaksa pulang.“Anda merindukan Elisabeth?” tanya MArgareth kemudian.Aku pura-pura tak mendengar. Sejujurnya aku sering memimpikan gadis itu. bagaimanapun juga, meskipun merasa sudah berkhianat kepada Lilly, aku tetap tak bisa melupakan Elisabeth begitu saja. Aku mencintainya, itulah hal yang tak bisa hatiku bohongi. Dia adalah seorang gadis yang sudah merubah warna abu-abu di hidupku menjadi lebih berwarna. Meskipun ada satu hal yang membuatku kecewa pada
ELisaabeth POV.Aku terbangun di pagi buta ketika isi perutku mendesak-desak ingin keluar. Langsung, aku melompat dari atas kasur lalu membuka pintu kamar mandi dengan tergesa. Dan ketika baru saja tubuhku berjongkok di sisi kloset, semua yang mendesak di perutku itu langung tumpah ruah. Namun karena sejak kemarin aku tidk nafsu makan, muntahan yang keluar hanya berupa air. Dan itu bahkan cukup membuatku lemas.Tiba-tiba saja sebuaha telapak tangan mengurut-urut punggungku. Tanpa menoleh pun aku sudah tahu jika itu Rebbecca. Rupanya kegaduhanku melompat dari tempat tidur dan membuka pintu kamar mandi sembarangan tadi berhasil membuatnya terbangun. Memang rumah ini kecil, jadi setiap aku tidur di sini, aku selalu berbagi ranjang dengan Rebecca.“Apa kamu sudah memberitahunya?” tanya Rebecca kemudian, ketika aku sudah selesai membilas kloset dan kini sedang membungkuk di depan wastafel sambil membersihkan mulutku.Aku tercenung beberapa saat, me
Elisabeth POV.Aku mengucapkan ribuan syukur ketika matanya terbuka pagi ini. Setelah dari kemarin ia tak sadarkan diri. Bergegas aku bangun dari posisiku, menghalau capek yang mendera badanku sejak kemarin. Bahkan aku baru bisa tidur satu jam lalu, sebab semalaman ia terus mengigau dan aku tak kuasa untuk tak memperhatikannya dan tak menangisinya. Aku merasakan jika kedua mataku terasa panas, ini pasti bengkak.“Adrian….kamu sudah bangun.” Aku tersenyum penuh syukur.Pria itu tidak segera menjawab, ia hanya memperhatikanku dengan sorot mata penuh makna.“Apa…kamu ingin sesuatu? Minum barangkali?” Aku bergegas meninggalkan tempatku. Namun sebelum aku berhasil melangkahkan kaki, tangannya sudah menahanku.Aku menoleh.“Kenapa tidak mengatakan padaku?” suaranya terdengar jelas dan juga dingin. Dadaku tiba-tiba terasa ngilu. Adrian tak pernah sedingin ini padaku.“Mengatakan apa?&rd
Adrian POV.“Lihatlah…. Indah sekali pemandangan malam di sini….” Aku mengelus rambutnya yang tergerai lurus melebihi bahu. Rambut warna brown itu terlihat meliuk-liuk di tiup angin malam.“Iya, aku menyukai musim panas dan pemandangan dia atas balkon ini. Namun aku lebih menyukaimu.” Ia mengeratkan tangannya di lenganku.Aku menggeser tubuhku dan kini kami saling berhadapan. “Lilly…..” aku meremas pipinya gemas. Dia tertawa, lalu mencubit hidungku.“Apa? Kamu ingin mengatakan bahwa kamu mencintaiku kan? Ayolah…katakana saja!”aku mengangguk, sebelum akhirnya tawa kami berderai dan kembali menatap pemandangan malam di atas balkon lalu ia menidurkan kepalanya di bahuku.“Apa kamu bahagia bersamaku?” tanyaku kemudian.“Sangat.”“Jadi apa rencanamu selanjutnya?” tanyaku kemudian. Wangi lavender menguar dari r
Adrian POV.“Kemana Elisabeth?” tanya nenek di sela-sela makan siang kami.“Dia pergi menjenguk mama-nya nek.” Sahutku sambil memasukkan sesendok sup ke dalam mulutku.“Oh….” Angguk nenek, dan kembali menekuni makan siangnya. Pagi tadi Elisabeth meminta ijin untuk menjenguk mama-nya, padahal beberapa hari lalu kami sudah berencana untuk menghabiskan minggu dengan berjalan-jalan di taman kota.Kami makan perlahan, dan sesekali saling melempar pertanyaan. Nenek selalu memastikan kondisi perusahaan baik-baik saja setelah semuanya diserahkan kepadaku, meskipun ia masih sering juga datang ke kantor dan memeriksa semuanya.“Barang yang akan di ekspor ke Indonesia sudah siap nek.” Aku mengambil ponsel yang berada di atas meja ketika benda itu bergetar.Sebuah pesan dari Samantha. Aku pikir gadis itu sudah tak memiliki keinginan untuk menghubungiku sama sekali setelah apa yang terjadi bebe
Elisabeth POV.Aku duduk dengan tenang di sofa, melihat betapa antusiasnya Adrian menulis list kegiatannya selama liburan ke Korea nanti. sebenarnya, aku tidak tertarik pergi ke sana, karena aku yakin Adrian pasti akan mengingat semua hal terakhirnya bersama Lilly di sana. Lamaran membahagiakan yang berujung tragis itu.Saat aku sedang asyik melihat Adrian yang masih menulis, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari David.‘Apa kamu ada waktu besok El?’‘Tidak!’‘Jangan bohong! Aku tahu kalau besok adalah hari liburmu.’Aku melirik Adrian sebelum kembali mengetik pesan untuk mantanku yang menyebalkan itu.‘Kalaupun aku libur, aku juga tak akan berniat menemuimu.’‘Apa kamu yakin El?’‘YES!’(sebuah gambar terkirim)‘Tapi aku tidak yakin jika kamu akan menolakku besok.’Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Davi
Adrian POV.“Apa yang ingin kau bicarakan Samantha?” tanyaku.Kami berdiri di taman merpati setelah ia mendatangiku dan ingin mengatakan sesuatu yang penting tadi.Samantha belum menjawab. Ia malah asyik memperhatikan merpati-merpati yang berada di dalam kandangnya. Cuaca yang dingin rupanya membuat binatang-binatang itu urung melakukan aktifitas di luar kandang.“Seharusnya kamu tahu apa tujuanku kemari Adrian.” Sahutnya tanpa menatapku.Aku menarik nafas panjang. sebenarnya aku tak ingin menyakiti hati wanita, karena mereka begitu lembut dan rapuh. Namun, dalam hal cinta bukankah kita tidak diperbolehkan memberi harapan?“Samantha—““Aku mencintaimu.” Gadis itu menatap kepadaku dengan cepat. Kilat matanya terlihat sendu sekaligus penuh harapan. “Aku akan mengatakan pada nenek jika bersedia menerima perjodohan kita.”Aku menunduk. Meskipun terlihat lembut, rupan