Terpaksa kuhentikan langkah. Ingin kabur tetapi takut jika dia terus keluar dan mengejarku. Bisa-bisa aku dipecat dari pekerjaan kalau tertangkap.
"Bapak manggil saya?" tanyaku sambil memegangi dada yang berdetak lima puluh kali lebih cepat dari biasanya.
Aku menengok ke kanan kiri, tak ada siapa pun. Di seberang lorong banyak orang tetapi tak ada yang berdiri atau berjalan. Masing-masing sibuk di kubikelnya.
"Tolong tutup pintunya!" titahnya tanpa menjawab pertanyaanku.
Ealah ... jadi dia manggil aku tuh cuma mau disuruh nutupin pintu doang? Alamak! Aku udah kegeeran tadi. Kirain dia inget sama aku. Huh! Dasar Bos Ganteng!
Pelan-pelan kututup pintu kayu bercat cokelat tua tersebut. Sebelum pintu menutup sempurna, kusempatkan melirik ke arahnya. Pak Mahendra duduk dan menulis sesuatu di buku yang ada di mejanya. Wajahnya terlihat semakin tampan dengan ekspresi datar dan serius seperti itu.
Duh Gusti ... kenapa Kau ciptakan makhluk setampan ini? Kan aku jadi khilaf, pengen meluk.
Ya Tuhan, jika dia adalah jodohku, dekatkanlah. Jika bukan jodohku, tolong jodohkanlah. Jika dia jodoh orang, tolong putuskan dan tetaplah Kau jodohkan denganku.
Aamiin-kan, Gaes!
Lantas terbayang kejadian di malam itu, saat dia mengambil kehormatanku. Mungkin dia juga sedang mabuk atau tak sadar. Coba kalau kami sama-sama sadar, apa dia mau melakukan itu denganku?
Kalau aku sih pasti mau melakukannya. Hitung-hitung untuk memperbaiki keturunan. Biar nanti anakku tampan seperti bapaknya. Dengan catatan, kami sudah halal.
Yang jadi masalahnya, apa iya dia mau menghalalkanku? Kalau dalam angan-anganku sih dia mau. Nggak tahu tuh kalau dalam kenyataan.
Mana mungkin Upik Abu dipersunting oleh laki-laki yang bak pangeran seperti dia? Im-pos-si-ble!
Kinara mimpimu ketinggian! Buruan turun! Kalau nggak ada tangga, lompat, gih!
Akhirnya setelah pintu itu menutup sempurna aku pun meneruskan langkah ke kamar mandi. Sampai di sana langsung kucuci muka di wastafel lalu ke toilet.
Sial! Biarpun sudah mencuci muka tetap saja bayangan Pak Mahendra mengikuti dan tak mau hilang.
Di cermin ada dia, di ember ada dia, di gayung pun ada dia. Eh, tunggu, dia nggak ngintip aku lagi pipis, kan? Jangan-jangan ....
Hush! Hush! Pergi sana! Jangan intip aku!
Gimana bayangannya bisa pergi, lha wong barusan juga ketemu sama orangnya. Percuma deh jauh-jauh ke kamar mandi. Nggak ada hasilnya.
Oalah Gusti ... tolong aku!
Pak Mahendra ternyata sombong juga. Mentang-mentang presdir, menyuruh orang seenaknya. Enggak pakai terima kasih lagi. Mungkin dia sudah lupa sopan santun. Paling tidak kasih senyum. Ini malah mukanya datar mirip telenan. Dasar!
Ingat, Nara! Dia presdir! Dia bebas berbuat apa pun. Sisi malaikatku mengingatkan.
Aaargh! Sial!
Setelah mengeringkan muka, kuoleskan bedak tipis-tipis. Biar ada manis-manisnya sedikit. Mungkin saja nanti Pak Mahendra kepincut. Rezeki nomplok itu namanya. Patut bikin syukuran, kalau perlu bikin tumpeng nasi kuning.
Keluar dari kamar mandi, kembali kulewati ruangan Pak Mahendra yang tertutup. Mulutku komat-kamit berdoa agar jangan dipanggil lagi.
Setan aja doyan, dhemit aja ndulit.
(Setan jangan doyan, dhemit jangan nyolek)
Haish! Doaku salah, ya? Oke deh, diralat dulu.
Ya Allah, jangan sampai si Setan eh si Tampan manggil aku lagi. Aamiin.
Bantuin aamiin-in atuh! Nah, gitu, dong. Kuhitung nih, ada berapa orang. Terima kasih, nanti nasi berkatnya ambil di rumah, ya!
Aku tiba dengan selamat sentosa di kubikel lagi. Aura, Ririn, dan Andy masih asyik berkutat dengan layar di depannya. Mereka tenggelam dalam pekerjaan masing-masing tanpa ada yang bersuara. Hanya terdengar samar-samar musik dari speaker yang tergantung di dinding. Satu-satunya hiburan untuk mengusir kejenuhan.
Aku pun kembali mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk. Tak lama, Andy memanggilku. "Lani, temenin gue ke sample room, dong!"
"Emang kenapa gitu, harus ditemenin segala? Takut sama Pak Risman, ya?" tebakku.
"Iya, gue takut ditelan sama dia. Tahu sendiri, kan, dia mah manager paling killer."
"Sumanto, kali, makan orang," celetuk Aura.
"Ini mah versi baru, duplikatnya." Ririn mengatakan itu sambil terbahak.
"Kerjaanku lagi banyak-banyaknya, nih. Gimana, atuh?" curhatku.
"Huh! Dasar teman Tayo!" gerutu Andy sambil mengerucutkan bibirnya.
Aku hanya bisa nyengir mendengar perkataannya Andy. Kalau sudah keluar kata 'teman Tayo', berarti dia ngambek. Mentang-mentang namaku Kinara Ailani, dia suka manggil Lani. Makanya dia bilang aku ini temennya Tayo.
"Ya udah. Yuk, kuanterin. Tapi sebentar aja, ya. Kerjaanku menumpuk, takut dimarahin sama Pak Seno," kataku sambil beranjak.
Kami pun pergi ke sample room menemui Pak Risman. Kami membahas aksesoris yang digunakan dalam produksi. Menurutnya aksesoris itu tidak sama dengan yang digunakan dalam proses sample.
Itu bukan kesalahan bagian purchasing tetapi berdasarkan request dan arahan dari Pak Seno. Sementara Pak Seno sendiri hanya menjalankan perintah dari Manager Produksi.
Pak Risman marah-marah lalu memintaku untuk memanggil Pak Seno. Atasanku itu akhirnya datang dan menjelaskan segala sesuatunya. Selalu begitu jika berurusan dengan sample room. Manager sample itu sangat detil dan selalu mempermasalahkan apapun yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam worksheet.
Sebagai bawahan kami memesan berdasarkan arahan dari atasan kami. Mungkin karena alasan ekonomis maka kadang aksesoris yang digunakan dalam produksi bukan yang tercantum dalam worksheet. Harusnya apa yang dipergunakan di produksi adalah aksesoris yang sama agar kualitasnya juga bisa sama.
***
Aku jadi tak bernafsu makan siang harinya gara-gara kejadian itu. Sebenarnya ingin makan tetapi pikiran tak tenang. Hati gundah gulana tidak keruan. Makanan di mulut terasa susah untuk ditelan.
Aku berhayal kalau Pak Mahendra datang menghibur lalu menyuapiku. Ah, bukan! Aku juga menyuapinya. Kami berdua suap-suapan. Romantisnya .... Kalau sudah begini, dua piring pun dijamin pasti akan habis.
Yaelah, itu mah namanya kemaruk, Markonah!
Haish! Dia lagi, dia lagi!
Kadang aku berpikir mungkin hanya aku saja yang sibuk memikirkan dirinya. Sementara dia mungkin tak akan memikirkan gadis yang telah dia ambil mahkotanya.
Ah, tidak! Bagaimana jika dia kira aku itu kekasihnya? Makanya dia tak mengenali dan bersikap biasa saja padaku? Sebenarnya, dia ingat, atau tidak?
Ealah! Apes amat nasibku. Sepertinya aku harus mandi air kembang tujuh rupa, sekalian diruqyah!
Mendadak badanku jadi gerah jika mengingat kekasih Pak Mahendra yang pernah datang ke kantor itu.
Hareudang hareudang hareudang ....
Panas panas panas ....Mendadak aku jadi cemburu sama kekasihnya Pak Mahendra. Jangan-jangan aku benar-benar sudah jatuh cinta sama laki-laki flamboyan itu.
Kinara, bangun! Jangan mimpi mulu!
Muluk-muluk, enggak, sih, jika aku berharap jadi Cinderella? Aku ini kan sudah biasa hidup sengsara dari kecil. Makanya sekarang cita-citaku hidup bahagia. Menikah dengan pangeran tampan yang mempersuntingku. Aih, indahnya!
***
Tak terasa sebulan telah berlalu dari kejadian terkutuk itu. Kutatap cemas kalender yang tergantung di dinding kontrakan. Kalender yang bergambar aktor-aktor tampan Korea dan tulisan toko baju tempat kerjaku dulu.Bukan ... aku bukan lagi mencemaskan Lee Min Ho atau aktor bermata sipit yang lainnya. Aku lagi deg-deg ser sambil memelototi angka-angka yang ada di sana.Biasanya tanggal segini tamu bulananku sudah datang. Kenapa sekarang belum, ya? Jangan-jangan ....Oh, tidaaak! Jangan sampai itu terjadi!Membayangkan perutku akan semakin membesar dan semua orang akan menatap sinis membuatku bergidik ngeri. Mau ditaruh di mana mukaku?Apa iya aku harus pakai topeng ke mana-mana? Gimana kalau aku dikira tukang ondel-ondel yang suka mengamen dari pintu ke pintu? Terus nanti anak-anak kecil pada ngikutin dan nyorakin aku?Haish! Benar-benar merepotkan!Pelan-pelan kuusap perut yang
Paginya aku bangun kesiangan. Gara-gara semalam bermimpi tentang Pak Mahendra. Setelah terbangun jadi susah untuk kembali tidur padahal baru jam dua malam. Entah jam berapa aku tertidur lagi, rasanya baru saja terpejam tetapi hari sudah beranjak pagi.Aku berangkat dengan tergesa-gesa. Hanya mampir di tukang dagang depan pabrik untuk membeli sarapan dan langsung kubawa masuk ke kantor. Biarlah nanti makannya di dalam saja.Ketika melewati ruangan Pak Mahendra, aku tak tahan untuk tak menolehkan kepala. Kebetulan tirai di jendelanya terbuka. Jadi aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di dalam. Apa yang terlihat disana membuat mata ini terbelalak.Krak!Ada yang patah di dalam sini. Hatiku. Organ tubuhku yang satu itu terpotek-potek, hancur berkeping-keping. Rasanya terlalu mustahil untuk disatukan lagi.Di depan mata, Lidya sedang bergelayut manja di bahu Pak Mahendra. Sementara laki-laki tampan itu tersenyum ceria.
Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya. Semalam aku bisa tidur dengan lelap setelah melihat hasil yang ditampilkan oleh benda pipih yang kubeli di apotek kemarin.Gara-gara benda itu aku memekik kegirangan mirip orang menang lotre. Ah, bukan, lebih mirip kejatuhan bulan sepertinya.Tekadku sudah bulat seperti bola bekel putrinya ibu kontrakan. Mulai hari ini aku akan melupakan Pak Mahendra. Tak ada gunanya lagi berharap padanya setelah melihat kenyataan yang terjadi di depan mata. Dia tak bisa lepas dari Lidya! Mereka sudah mirip kucing garong dan buntutnya, tak bisa dipisahkan.Apalah aku yang hanya seorang Upik Abu bagi dirinya. Kami jauh berbeda bagaikan bumi dan langit. Atau bulan dan matahari. Sangat jauh dan tak mungkin bisa bertemu ataupun disatukan. Mungkin hanya bisa disatukan jika memakai aplikasi. Fotonya maksudku.Kucoba menata hati yang telah porak-poranda diobrak-abrik oleh pesonanya. Sepertinya me
Sontak kubuka mata dan menoleh ke asal suara di belakangku. Mata ini langsung melotot waktu melihat siapa yang ada di sana. Pak Mahendra!Dia duduk di atas meja Pak Seno sambil melipat tangan di dada. Matanya menyorot tajam ke arahku, mirip sinar laser yang mampu menembus ke dalam jantung.Ealah! Kukira dia udah masuk ke kandangnya eh ruangannya, nggak tahunya malah ada di sini. Sejak kapan dia nongkrong di meja itu? Ish ... nggak sopan banget, duduk kok di meja!Kok aku nggak nyadar dia ada di belakang, ya? Berarti, dia lihat, dong, waktu aku ngupil tadi. Duh Gusti ... mau ditaruh di mana mukaku?"Hmm!" Dia berdehem waktu melihatku menatapnya."Maaf, Pak," lirihku, setengah takut dan ragu.Jantungku seakan berhenti berdetak waktu melihatnya bangkit dan berjalan ke arahku.Aduh ... dia mau apa, ya? Apa dia mau menghukumku? Tolong Baim eh Nara, ya Allah!"Kamu tahu in
Mau tak mau kuturuti perintah Pak Mahendra. Tangan ini mendadak pegal karenanya. Dalam hati merutuk kesal karena merasa dipermainkan. Sengaja kupasang wajah cemberut waktu menulis. Biar dia tahu jika aku sedang kesal.Jika dia menganggapku sebagai karyawan bar-bar, masa bodoh. Aku tak peduli. Kalau begini caranya, aku tak takut lagi untuk dipecat. Daripada setiap hari makan hati.Mending kalau hati ayam, memang enak itu. Apalagi kalau dimasak barengan goreng kentang dan ditambah petai. Mantap. Auto bayangin makanan, nih. Mendadak lapar jadinya.Laki-laki usil itu berdiri lalu berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Mengawasiku, mungkin takut kabur sebelum tugas selesai. Atau takut aku minta tolong orang lain untuk menulisnya.Aku terkejut waktu mendengarnya mengunci pintu. Kenapa harus dikunci? Dia mau apa?"Kamu capek? tanyanya waktu melihatku menggeleng-gelengkan kepala dan juga mengibas-ngibaskan tanga
Sambil menahan malu, aku pun turun dari tempat tidur itu. Pak Mahendra bangun dan duduk di tepi ranjang. Wajahnya merah padam, pertanda amarah melingkupinya. Setengah hatiku merasa bersalah karena telah bermain-main dengan tempat tidurnya. Setengahnya lagi, aku merasa senang, berhasil membangunkan seekor gorila eh, maksudku Pak Mahendra. Awas, jangan dibilangin julukanku untuknya, ya! "Maaf Pak, saya cuma mau bangunin Bapak," ucapku setenang mungkin. "Itu namanya bukan bangunin, tapi bikin syok. Memang nggak bisa pakai cara lain, apa? Dasar!" Dia menggerutu dengan raut kesal. "Tadi sudah saya goyang-goyangin bahu Bapak, saya udah tarik-tarik tangannya juga, tapi nggak bangun. Saya nggak punya cara lain, Pak. Masa saya harus ambil air segayung terus guyurin muka Bapak? Kan nggak sopan, ya? Kayak ibu tiri saya kalau bangunin aja." "Kamu udah kayak anak kecil aja, main lompat-lompat. Gimana kalau ran
Lagi-lagi kukeluarkan jurus andalan. Menghitung kancing baju. Ciyaaat ...hiyat ... hadezig!Isi, jangan, isi, jangan, isi ....Lho? Kok kancingku jadi lima? Padahal tadi enam. Ke mana yang satunya?Astaga! Ternyata kancingku yang paling atas terbuka. Aku tak menyadari entah sejak kapan itu terjadi. Mungkin waktu menarik-narik tangan gorila tadi. Atau pas lompat-lompat di kasur.Dalam hati merasa khawatir Pak Mahendra sempat melihatnya. Tadi dia sempat membuatku terdesak ke di tembok. Lalu dia sempat berbisik jahil waktu jarak kami sangat dekat. Mungkin dia berpikir jika aku sengaja menggodanya, maka dia tak memberitahuku.Duh Gusti ... kenapa ini harus terjadi?Kugelengkan kepala mengusir pikiran yang berkeliaran ke mana-mana. Kembali perhatian kualihkan ke buku di hadapan. Kolom tentang ukuran belum kuisi juga.Akhirnya kuputuskan untuk mengisi kolom itu belakangan saja. Mengisi yang lainny
Aku melangkah dengan tergesa-gesa sambil menutupi kepala dengan tas sandang agar tak terkena hujan. Aku rela berbasah-basahan karena berpikir jika bos tampan itu akan menawariku masuk ke dalam mobilnya. Lagi pula waktu yang tersisa semakin mepet sementara mobil pesanan belum juga datang."Bapak manggil saya?" tanyaku ketika sudah berada di dekat jendela mobil yang terbuka."Di depan itu mobil pesananmu, bukan? Bilangin sama sopirnya, suruh mundur! Saya mau lewat dulu," titahnya dengan suara tegas, pertanda tak bisa dibantah.Bibirku langsung maju beberapa centi. Kesal! Kuentakkan kaki, berjalan cepat ke arah mobil yang ada di depan.Sialan! Dia mengerjaiku lagi! Padahal kan dia bisa nyuruh sopirnya turun. Kenapa mesti aku lagi? Dasar!"Kenapa kesal? Kamu pikir, saya mau nawarin kamu naik mobil ini?" serunya.Rupanya dia menyadari kekesalanku. Tanpa menoleh kulanjutkan langkah dengan tak menghirauka
Aku keluar dari kamar mandi dengan membawa testpack yang diberikan oleh dokter. Dokter dan Mas Mahendra menunggu di sofa, kelihatannya sudah akur lagi. Rasanya ingin tertawa waktu melihat mereka berdebat tadi. Sudah seperti Tom dan Jerry saja tingkahnya. Eh, tunggu, kalau mereka Tom dan Jerry, lalu aku siapa? Aih, mendadak amnesia lagi. Apa iya, aku jadi guk-guknya? Oke, skip!"Gimana, Dok? Apa benar istriku hamil?" Pasien barbar itu rupanya penasaran sekali."Selamat, ya. Kamu akan jadi seorang ayah," ucap dokter itu.Reaksi Mas Mahendra benar-benar tak terduga. Dia melonjak-lonjak kegirangan mirip anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. Girang bukan main.Aku hanya bisa melongo melihatnya. Baru kali ini aku melihat sisi gila seorang Mahendra Danuarta, yang jika di kantor biasa terlihat dingin, tegas, dan sedikit sinis, tetapi ternyata berbanding terbalik dengan yang saat ini kulihat.
Kami tiba di rumah menjelang petang. Begitu tiba, kami langsung membersihkan diri dan setelah Magrib datang langsung makan malam. Mbok Nah sudah menyiapkan beberapa jenis masakan sebelum pulang. Sebagian masih dalam keadaan hangat, jadi tak perlu dipanaskan lagi.Usai makan malam, kuselonjorkan kaki di sofa depan televisi. Rasanya pegal sekali karena dalam keadaan terikat terus selama disandera oleh si Sapu Lidi.Aih, sepertinya aku harus diberi penghargaan karena kreativitas tanpa batasku dalam menciptakan julukan untuk seseorang.Kurasa julukan itu pas sekali dengan badannya yang tinggi dan langsing seperti lidi. Fix! Sepertinya julukan itu harus dipatenkan!"Mana yang sakit, Sayang?" tanya Mas Mahendra yang baru saja datang dari dapur.Laki-laki berlesung pipi itu baru saja mencuci piring bekas makan kami. Sulit dipercaya, seorang Mahendra Danuarta, Presdir perusahaan garment besar di Purwakarta, mau m
Untuk sejenak aku terpaku saat mengetahui keberadaan kamar dimana aku disekap. Memikirkan bagaimana bisa kabur dari tempat ini tanpa ketahuan. Lubang ventilasi ini terlalu kecil untuk bisa kulalui.Apa iya, aku mesti kabur lewat jendela?Aku bukan Spiderman yang bisa merayap seperti cicak di dinding. Kalau nekat terjun ke bawah, mungkin nanti nyawaku melayang. Yang ada diriku nanti tinggal nama saja dengan embel-embel di depan 'almarhumah'. Hiiy ... ngeri!Walaupun tak mau terus-menerus terperangkap di sini, tetapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa lagi. Di dalam tasku ada ponsel tetapi entah di mana perempuan sialan itu menyembunyikannya.Ya sudahlah. Mungkin memang nasibku harus jadi tawanan seperti ini. Aku hanya bisa berdoa semoga saja Mas Mahendra segera memenuhi keinginan perempuan ulat bulu itu agar aku dibebaskan.Dengan segala kepasrahan, aku keluar dari dalam kamar mandi. Rini, si pelayan tadi masih s
"Kukira kamu nggak akan bangun lagi."Sebuah suara yang terdengar tak asing di telinga memaksaku untuk menoleh. Perempuan sialan itu duduk di sofa dengan kedua tangan dilipat di dadanya.Dia berjalan mendekat dengan tatapan sinisnya. Terlihat sekali jika dia tak menyukaiku."Kamu senang, ya, sudah memiliki Mas Mahendra?" sindirnya."Tentu saja aku senang. Dia suami yang baik," sahutku, mencoba memancing emosinya."Aku punya penawaran menarik buatmu," katanya sambil mengempaskan tubuh di ranjang, tak jauh dari tempatku."Apa maumu? Aku tak pernah mengganggumu. Kenapa kamu lakukan ini padaku?""Tak pernah mengganggu, katamu?" Tiba-tiba saja nada bicaranya meninggi. "Kamu sudah merebut Mahendraku. Apa itu namanya bukan menggangguku?"Lidya, perempuan itu pun duduk di tepi ranjang dan menatapku seakan ingin menelanku mentah-mentah."Aku nggak merebutny
Beberapa menit berlalu, dia pun membuka pintu kamar. Dari luar, kamar terlihat remang-remang. Aku membayangkan apa yang akan kami lakukan dalam suasana seperti itu. Pasti dia akan ...."Mau masuk sekarang apa nanti?"Aku mencebik dan membalikkan badan. Kembali menuruni tangga. Kekecewaan jelas terbayang di wajahnya. Namun, aku tak peduli.Bergegas aku masuk ke dalam musala kecil setelah sebelumnya bersuci. Sudah pukul tujuh lewat. Pasti sudah Isya. Kalau tak cepat-cepat ke sini, aku takut kewajiban ini akan terlewat karena melayani laki-laki itu.Tadi subuh saja aku terlewat gara-gara terlalu lelah akibat serangan berkali-kali darinya. Sepertinya malam ini akan jadi malam penuh gairah lagi seperti kemarin malam.Saat ku keluar dari musala, Mas Mahendra terlihat tengah duduk manis di sofa ruang keluarga. Lampu utama sudah dimatikan, tinggal lampu temaram yang menyala. Sudah mirip bioskop saja. Pendar-pendar caha
Dengan alasan mencoba kado dari Andy, akhirnya aku hanya bisa pasrah saat tubuhku dikuasainya. Padahal kami baru saja menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Namun, Mas Mahendra seperti tak punya rasa lelah. Dia terus saja bergerak di atas tubuhku. Aku kehilangan kendali, bergerak ke sana ke mari saat laki-laki perkasa itu membawaku meraih puncak kenikmatan. Gerakanku semakin liar seperti ular yang meliuk-liuk dan mendesis. Lalu di satu titik kami berpelukan erat dan mengerang bersamaan. Tubuh berpeluh itu pun terkulai di sampingku. Senyum puas tergambar jelas di wajahnya. Dia menyeka keringat di dahiku dengan jemarinya dan mendaratkan kecupan di sana. "Terima kasih, Sayang," bisiknya di telingaku. Aku hanya bisa menanggapi dengan senyuman. Tubuhku terasa lemas sekali. Sejak semalam dia telah membuatku kelelahan. Ditambah kegiatan pagi yang panas tadi. Lalu sore ini dia kembali beraksi, membuat badanku terasa remuk.&nbs
Dengan alasan mencoba kado dari Andy, akhirnya aku hanya bisa pasrah saat tubuhku dikuasainya. Padahal kami baru saja menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Namun, Mas Mahendra seperti tak punya rasa lelah. Dia terus saja bergerak di atas tubuhku. Aku kehilangan kendali, bergerak ke sana ke mari saat laki-laki perkasa itu membawaku meraih puncak kenikmatan. Gerakanku semakin liar seperti ular yang meliuk-liuk dan mendesis. Lalu di satu titik kami berpelukan erat dan mengerang bersamaan. Tubuh berpeluh itu pun terkulai di sampingku. Senyum puas tergambar jelas di wajahnya. Dia menyeka keringat di dahiku dengan jemarinya dan mendaratkan kecupan di sana. "Terima kasih, Sayang," bisiknya di telingaku. Aku hanya bisa menanggapi dengan senyuman. Tubuhku terasa lemas sekali. Sejak semalam dia telah membuatku kelelahan. Ditambah kegiatan pagi yang panas tadi. Lalu sore ini dia kembali beraksi, membuat badanku terasa remuk.
."Mas, punggungmu ini kenapa? Kok ada guratannya?" tanyaku keheranan."Semalam ada macan cantik yang cakarin Mas gara-gara keenakan," sahutnya dengan ekspresi datar."Ah, masa, sih? Memang beneran semalam ada macan? Kok bisa masuk lewat mana? Kita kan di lantai dua?""Macannya ini, nih, yang lagi mandi bareng Mas."Dia mengatakan itu sambil menaik-turunkan alis.Astaga! Suami siapa, sih ini? Bikin geregetan aja!Seketika langsung kulayangkan cubitan di pinggang rampingnya. Cantik-cantik gini kok dibilang macan. Ter-la-lu!"Aduh! Sakit, Sayang!" pekiknya.Tak kupedulikan pekikannya, dengan semangat tetap kulancarkan serangan pada pinggangnya. Misi balas dendam harus dituntaskan.Tiba-tiba saja dia meraih kedua tanganku. Dengan kekuatannya, dia menarik tubuhku. Wajahku pun tinggal berada beberapa centi lagi darinya."Jangan membangunkan macan yang sud
Malam itu, terjadilah apa yang memang seharusnya terjadi. Aku dan Mas Mahendra melayari lautan luas, menyusuri lekuk-lekuk dan semenanjung. Kami terus berlabuh hingga berulang kali, hingga usai dalam satu tarikan napas yang panjang disertai senyuman puas.Semula aku takut jika akan terasa sakit seperti waktu itu. Namun, laki-laki yang tadi pagi menghalalkanku itu begitu pintar mengalihkan rasa takut dan membuatku merasa nyaman.Dia memperlakukanku dengan lembut, lalu perlahan-lahan membawa diri ini terbang ke atas awan. Semua mengalir begitu saja, aku terbuai hingga tak menyadari tiba-tiba saja dia sudah memegang kendali atas tubuhku.Butir-butir peluh membasahi kening, wajah, dan juga rambutnya usai pergumulan kami. Aku masih terengah saat dia memeluk dan mencium keningku. "Terima kasih," lirihnya sambil menutupi tubuh kami dengan selimut. Aku tersenyum dan membenamkan wajah di dada bidangnya yang berbulu tipis. Aku