Jika dia menganggapku sebagai karyawan bar-bar, masa bodoh. Aku tak peduli. Kalau begini caranya, aku tak takut lagi untuk dipecat. Daripada setiap hari makan hati.
Mending kalau hati ayam, memang enak itu. Apalagi kalau dimasak barengan goreng kentang dan ditambah petai. Mantap. Auto bayangin makanan, nih. Mendadak lapar jadinya.
Laki-laki usil itu berdiri lalu berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Mengawasiku, mungkin takut kabur sebelum tugas selesai. Atau takut aku minta tolong orang lain untuk menulisnya.
Aku terkejut waktu mendengarnya mengunci pintu. Kenapa harus dikunci? Dia mau apa?
"Kamu capek? tanyanya waktu melihatku menggeleng-gelengkan kepala dan juga mengibas-ngibaskan tangan. Pegal.
"Capek, atuh, Pak. Kenapa harus berjumlah 150? Banyak banget, Pak," keluhku.
Ini bos ngerjain orang nggak pakai kira-kira. Coba kalau dia yang ngerjain, memang enak?
"Dikasih kerjaan kaya gitu aja bilang capek," sahutnya sinis.
Aku mencebik kesal. Dia kembali duduk dan melihatku menulis. "Udah dapat berapa kata?" tanyanya.
"Belum dihitung, males hitungnya."
"Saya capek lihatin kamu. Saya mau tidur dulu. Nanti bangunin kalau kamu sudah selesai. Awas kalau nggak selesai kamu udah kabur! Nanti hukumanmu ditambah," ancamnya sambil membuka sebuah pintu yang berada di dekat rak buku.
Sepertinya itu ruangan pribadinya. Mungkin tempat dia beristirahat jika merasa lelah. Enak juga jadi presdir. Orang-orang bekerja, dia bisa tidur di ruangannya.
Jangan-jangan dia juga ngapa-ngapain di kamar itu sama Lidya. Soalnya menurut gosip anak-anak ex-im yang paling dekat dengan ruangan ini, perempuan cantik itu kalau datang ke sini bisa seharian nggak keluar-keluar. Pasti mereka sedang ....
Aih, kenapa hari ini otakku kotor banget, ya? Seseorang! Tolong bawain sapu dan super pell! Bantu aku bersihinnya!
Ini pasti gara-gara Pak Mahendra yang mengerjaiku dari tadi. Makanya otak jadi terkontaminasi. Huh! Sebel!
Segera kuenyahkan pikiran tak sehat yang merajai otak lalu mulai menghitung jumlah tulisan yang telah kubuat. Ternyata belum ada setengahnya. Kalau boleh difoto copy pasti sudah kulakukan dari tadi. Sayangnya si Raja Tega itu inginnya semua tulisanku asli. Original! Niat sekali dia mengerjaiku.
Beberapa menit berlalu, terdengar suara dengkuran dari arah kamar yang pintunya terbuka. Mungkin dia sengaja tak menutupnya agar aku bisa membangunkannya. Ternyata itu orang pelor juga. Baru juga nempel bantal langsung molor.
Buset dah! Ganteng-ganteng kok ya tidurnya ngorok, sih? Sama dong kaya aku. Fix, kami memang jodoh! Ayo, dong, Bos! Cepat halalkan aku!
Haish! Upik Abu mimpi jadi Cinderella.
Tak ingin membuang kesempatan, kuambil ponsel yang ada di kantong celana. Lalu mulai memeriksa pesan yang masuk. Ada pesan dari Aura yang ternyata mengkhawatirkanku. Baik banget ini anak.
[Nara, lo di mana? Lo nggak dihukum, kan? Butuh bantuan, nggak?]
Yaelah! Bawel juga ini orang.
[Aku di ruangannya Bos Ganteng. Lagi dihukum] balasku.
[Apa? Beneran dihukum? Disuruh ngapain?]
[Pengen tahu aja apa pengen tahu banget?] godaku.
[Terserah lo deh! Gue penasaran, nih. Boleh ngintip, nggak?]
[Haish! Kebiasaan! Dasar tukang ngintip! Bintitan tahu rasa, lho!]
Aura membalas dengan emot tertawa sampai lima biji. Buset, dah! Boros amat!
Langsung saja kubalas dengan mengirimkan foto buku dimana tertulis kalimat-kalimat lebay kreasi Pak Mahendra tadi. Aura kembali mengirimkan emot tertawa sebagai balasannya. Segera kumatikan ponsel dan kembali menulis.
Sialan! Teman lagi kesusahan dia malah tertawa. Dasar tidak berperi pertemanan! Puas-puasin aja tertawa. Awas ya, nanti kalau aku udah beres rasakan pembalasanku! Pembalasan lebih kejam daripada tidak dibalas. Huh!
Baiknya si Aura diapain, ya? Aha! Aku punya ide! Mendingan dia dikelitikin aja. Dia orangnya gelian. Pasti mengasyikkan lihat dia kaya cacing kepanasan, mengeliat ke sana ke mari sambil minta ampun. Ha-ha-ha ... ketawa jahat deh aku jadinya.
Detik berganti menit, menit pun berganti jam. Akhirnya tugasku beres juga. Kuhitung berkali-kali untuk memastikan jumlahnya benar dan sesuai request Yayang Ganteng. Aih, ngarep!
Aku mondar-mandir dengan gelisah. Ingin membangunkan Pak Mahendra tetapi hati merasa takut dan ragu. Rasanya tak sopan memasuki kamar laki-laki. Aku takut kalau nanti aku malah diapa-apain sama dia. Ruangan ini kan sudah dia kunci. Aku nggak bisa keluar. Aku takut dia berbuat yang iya-iya seperti malam itu.
Akhirnya menghitung kancing baju menjadi jalan ninjaku. Itu andalanku satu-satunya kalau sedang kepepet. Termasuk jika mengerjakan soal ujian dan tak tahu jawabannya. Selama ini cara itu ternyata sangat manjur.
Satu, dua, tiga, empat, lima.
Bangunin, jangan, bangunin, jangan, bangunin.Jawabannya 'bangunin', Gaes!
Baiklah! Berarti aku harus bangunin si Pelor itu. Kuberanikan diri melangkah memasuki kamar di ruangan Pak Mahendra dengan jantung yang tak berhenti berdegub. Laki-laki itu terlihat tidur dengan lelapnya di ranjang yang ada di sana. Semakin dekat, terlihat wajahnya yang lebih tampan di waktu terpejam
Pak Mahendra bertelanjang dada dan kemejanya digantung begitu saja di dekat ranjang. Aku menelan ludah melihat pemandangan indah yang terpampang di depan mata.
Selama ini aku melihat laki-laki dengan six pack di perutnya hanya di layar televisi atau di ponsel. Kali ini aku melihat secara langsung penampakan roti sobek itu. Tentu saja aku terpesona.
Ya Tuhan! Mataku ternoda!
Ingin tutup mata tetapi merasa sayang untuk dilewatkan. Kapan lagi bisa melihat Pak Mahendra dalam penampilan seperti ini?
Tanganku terulur, berniat membangunkannya. Namun, kembali kutarik karena ragu. Bagian mana yang harus kusentuh? Gimana kalau dia marah terus aku diterkamnya?
Kuputuskan untuk mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk melindungi diri jika dia menerkam. Kupindai sekeliling dan melihat sebuah payung yang tergantung di samping pintu.
Au! Ternyata sakit juga kalau dipukul pakai ini. Berarti benda ini bisa dijadikan senjata. Yes! I got it!
Kuelus-elus kepala yang tadi sengaja dipukul payung untuk uji coba. Mudah-mudahan saja nanti tidak benjol. Nanti julukanku bukan Upik Abu lagi. Diganti jadi Corona. Virus itu benjol-benjol pinggirannya, ye kan?
Aku kembali ke kamar tanpa was-was lagi. Percaya diri pokoknya. Soalnya merasa sudah punya senjata yang ampuh untuk mengatasi serangan mendadak.
Pelan-pelan kuguncang bahu presdir sengklek itu. Dia bergeming. Guncangan kupercepat tetapi dia tetap tak bergerak.
Dasar kebo!
Tak kehabisan akal, kutarik-tarik tangannya hingga terdengar bunyi 'krak'.
Aku jadi panik karenanya. Tangan kekar itu kuempaskan begitu saja. Aku takut kalau tangannya patah dan disalahin. Lalu dijebloskan ke dalam penjara. Oh, tidaaak!Aku tak mau hidupku berakhir di penjara. Namun, kalau terpenjara cintanya Pak Mahendra, aku mau sekali.
Jangan mimpi, Markonah!
Dengan hati-hati kembali kuraih tangannya yang menjuntai ke lantai lalu mengamatinya. Sepertinya tidak patah. Ini masih normal, kok. Masih bisa digerakin. Berarti aman, deh. Berarti aku nggak dipenjara. Horeee!
"Pak, bangun, Pak. Tugas saya sudah selesai," ucapku sambil mengguncang bahunya lagi.
Buset, dah! Dia nggak bangun juga. Ini kebo apa gorila, sih? Soalnya tangan dan dadanya penuh bulu. Hiiiy!
Aha! Aku punya ide cemerlang!
Cepat-cepat aku naik ke ranjang lalu melompat-lompat hingga benda itu terguncang mirip gempa tektonik. Aku senang sekali karena merasa menemukan permainan baru. Seumur-umur belum pernah aku main lompat-lompatan kaya gini. Di rumah tak punya ranjang soalnya.
"Kinara Ailani! Apa yang kamu lakukan?"
Teriakan itu menghentikan kerianganku. Aku tersentak. Terlalu asyik menikmati permainan, aku jadi tak sadar jika berada di ranjang Pak Mahendra.
Duh Gusti ... tolong aku!
***
Sambil menahan malu, aku pun turun dari tempat tidur itu. Pak Mahendra bangun dan duduk di tepi ranjang. Wajahnya merah padam, pertanda amarah melingkupinya. Setengah hatiku merasa bersalah karena telah bermain-main dengan tempat tidurnya. Setengahnya lagi, aku merasa senang, berhasil membangunkan seekor gorila eh, maksudku Pak Mahendra. Awas, jangan dibilangin julukanku untuknya, ya! "Maaf Pak, saya cuma mau bangunin Bapak," ucapku setenang mungkin. "Itu namanya bukan bangunin, tapi bikin syok. Memang nggak bisa pakai cara lain, apa? Dasar!" Dia menggerutu dengan raut kesal. "Tadi sudah saya goyang-goyangin bahu Bapak, saya udah tarik-tarik tangannya juga, tapi nggak bangun. Saya nggak punya cara lain, Pak. Masa saya harus ambil air segayung terus guyurin muka Bapak? Kan nggak sopan, ya? Kayak ibu tiri saya kalau bangunin aja." "Kamu udah kayak anak kecil aja, main lompat-lompat. Gimana kalau ran
Lagi-lagi kukeluarkan jurus andalan. Menghitung kancing baju. Ciyaaat ...hiyat ... hadezig!Isi, jangan, isi, jangan, isi ....Lho? Kok kancingku jadi lima? Padahal tadi enam. Ke mana yang satunya?Astaga! Ternyata kancingku yang paling atas terbuka. Aku tak menyadari entah sejak kapan itu terjadi. Mungkin waktu menarik-narik tangan gorila tadi. Atau pas lompat-lompat di kasur.Dalam hati merasa khawatir Pak Mahendra sempat melihatnya. Tadi dia sempat membuatku terdesak ke di tembok. Lalu dia sempat berbisik jahil waktu jarak kami sangat dekat. Mungkin dia berpikir jika aku sengaja menggodanya, maka dia tak memberitahuku.Duh Gusti ... kenapa ini harus terjadi?Kugelengkan kepala mengusir pikiran yang berkeliaran ke mana-mana. Kembali perhatian kualihkan ke buku di hadapan. Kolom tentang ukuran belum kuisi juga.Akhirnya kuputuskan untuk mengisi kolom itu belakangan saja. Mengisi yang lainny
Aku melangkah dengan tergesa-gesa sambil menutupi kepala dengan tas sandang agar tak terkena hujan. Aku rela berbasah-basahan karena berpikir jika bos tampan itu akan menawariku masuk ke dalam mobilnya. Lagi pula waktu yang tersisa semakin mepet sementara mobil pesanan belum juga datang."Bapak manggil saya?" tanyaku ketika sudah berada di dekat jendela mobil yang terbuka."Di depan itu mobil pesananmu, bukan? Bilangin sama sopirnya, suruh mundur! Saya mau lewat dulu," titahnya dengan suara tegas, pertanda tak bisa dibantah.Bibirku langsung maju beberapa centi. Kesal! Kuentakkan kaki, berjalan cepat ke arah mobil yang ada di depan.Sialan! Dia mengerjaiku lagi! Padahal kan dia bisa nyuruh sopirnya turun. Kenapa mesti aku lagi? Dasar!"Kenapa kesal? Kamu pikir, saya mau nawarin kamu naik mobil ini?" serunya.Rupanya dia menyadari kekesalanku. Tanpa menoleh kulanjutkan langkah dengan tak menghirauka
Sambil menunggu Asep membuatkan teh manis, aku mengintip dari jendela kaca pantry. Ingin tahu apakah Pak Mahendra mengejarku. Namun tak terlihat siapa pun di lorong. Mungkin dia sedang mengganti bajunya sambil merutuk kesal. Aku tertawa geli membayangkan wajah marahnya tadi.Memang enak, balas dikerjain?"Hei, dipanggilin malah senyam-senyum sendiri!"Gerutuan Asep membuyarkan lamunanku. Kuterima minuman yang diangsurkannya lalu bergegas meninggalkan pantry setelah mengucapkan terima kasih.Sewaktu melewati ruangan Pak Mahendra kusempatkan untuk menengok. Gordennya ternyata tertutup. Rencana mau ngintip dia pun gagal.Mungkin saja dia merasa kalau sudah menjahiliku, makanya dia tidak protes atau mengejar waktu aku membalasnya. Kemarin juga dia diam saja waktu kuisi dengan asal biodata di bukunya.Berarti memang impas dong, kita. Score-nya sama, 2-2. Aih, udah kaya pertandingan bola aja.
Entah mengapa malam itu aku tidak bisa tidur. Berkali-kali kucoba memejamkan mata tetapi bayangan Pak Mahendra yang datang dan terus membayangi. Mengusik dan mengobrak-abrik pikiranku.Semula kupikir dia diam karena memaklumi kekesalan yang kurasakan. Namun semakin kutelusuri, ada kemungkinan lain yang mengganggu pikiran.Mungkin saja diamnya laki-laki tampan itu pertanda jika dia benar-benar tak peduli padaku. Jika iya, itu berarti aku harus mengubur dalam-dalam segala harapan padanya. Berarti dia memang benar-benar tak mengingatku sebagai perempuan yang telah dia renggut kehormatannya di malam itu.Terkadang aku ingin menanyakan padanya secara langsung mengenai kejadian itu. Namun, aku takut dia menyangkal atau malah menuduhku mengarang cerita untuk memerasnya.Jika diperkarakan dengan hukum pasti juga tak akan bisa karena tak ada bukti dan saksi. Lagipula berhadapan dengan hukum sama saja dengan bersiap-siap mengge
Ketika memasuki lobi kantor, resepsionis memperhatikan tanpa berani berkomentar apa pun karena ada Pak Mahendra di sampingku. Setelah menempelkan jari pada mesin absen aku pun segera menuju ke meja kerja.Semenjak memasuki lobi tak sepatah kata pun keluar dari bibir si Bos. Aku dan dia bagai kedua orang yang saling tak mengenal, sama-sama diam. Mungkin dia menjaga image-nya di depan karyawan yang lainnya.Mungkinkah sebenarnya dia mengingat dan mengenaliku sebagai gadis yang dia renggut kehormatannya malam itu. Bisa saja dia merasa derajat kami tidak sama. Dia bos, sedangkan aku karyawan biasa. Maka dari itu dia tak mau bertanggung jawab dan berpura-pura tak kenal denganku.Sepertinya kemungkinan ini yang paling mendekati kebenarannya. Perhatiannya kepadaku tak seperti perhatiannya kepada karyawan lain.Maksudku sikapnya kepadaku sangat berbeda layaknya terhadap karyawan yang lain. Di depan mereka dia terkesan angkuh dan di
Kerempongan Pak Mahendra semakin menjadi saat bakso pesananku datang. Pesanannya sendiri baru dibuat karena dia datang belakangan. Kububuhkan saus, kecap, dan sambal sesuai seleraku lalu mengaduknya."Itu enak, nggak?" tanyanya sambil menunjuk mangkok bakso punyaku.Aku pun langsung menyendok bakso yang paling kecil berikut kuahnya. "Enak, kok, Pak. Seperti biasanya," jawabku jujur.Memang rasanya seperti biasanya tak ada yang berubah. Kuletakkan lagi sendok di mangkuk lalu menyeruput teh botol di meja. Haus, Gaes!Terkejut. Itu yang kualami saat tiba-tiba saja Pak Mahendra mengambil mangkuk punyaku lalu dengan santainya menyuapkan bakso ke mulutnya.Sendok itu kan bekasku tadi. Dia tanpa sungkan memakainya. Entah dia sadar atau tidak.Si Bos Sengklek meleletkan lidah. "Pedas! Nggak enak! Kamu mau meracuni saya?"Dia mengatakan itu sambil kembali menyodorkan mangkuk ke hadapanku.Ealah ...
Siang setelah jam istirahat aku tak bisa konsentrasi. Otak ini terus saja bekerja memikirkan ucapan teman-temanku tadi. Baik tentang Pak Mahendra ataupun tentang Andra. Kedua laki-laki yang kata mereka menyukaiku.Aaargh! Kenapa bayangan mereka nggak mau pergi? Benar-benar menyiksa!Aku merutuk sambil mengacak-acak rambut. Tiba-tiba saja kepala terasa gatal. Aku tersentak ketika merasa seperti ada yang bergerak di antara helaian rambut.Jangan-jangan ... di sana ada kutunya. Aduh ... seperti ada yang menggigit!Segera kugerakkan jari di tempat yang terasa gatal. Tak sengaja telunjukku mengenai sesuatu. Rasa curiga mendorongku untuk menjumputnya.Ealah ... ternyata beneran kutu!Duh Gusti ... kenapa binatang penghisap darah itu bisa ada di rambutku?Segera kupites mahluk kecil itu sambil bayangin lagi mites miniaturnya Pak Mahendra. Ssst! Jangan dibilangin, ya!Sial! Kepala
Aku keluar dari kamar mandi dengan membawa testpack yang diberikan oleh dokter. Dokter dan Mas Mahendra menunggu di sofa, kelihatannya sudah akur lagi. Rasanya ingin tertawa waktu melihat mereka berdebat tadi. Sudah seperti Tom dan Jerry saja tingkahnya. Eh, tunggu, kalau mereka Tom dan Jerry, lalu aku siapa? Aih, mendadak amnesia lagi. Apa iya, aku jadi guk-guknya? Oke, skip!"Gimana, Dok? Apa benar istriku hamil?" Pasien barbar itu rupanya penasaran sekali."Selamat, ya. Kamu akan jadi seorang ayah," ucap dokter itu.Reaksi Mas Mahendra benar-benar tak terduga. Dia melonjak-lonjak kegirangan mirip anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. Girang bukan main.Aku hanya bisa melongo melihatnya. Baru kali ini aku melihat sisi gila seorang Mahendra Danuarta, yang jika di kantor biasa terlihat dingin, tegas, dan sedikit sinis, tetapi ternyata berbanding terbalik dengan yang saat ini kulihat.
Kami tiba di rumah menjelang petang. Begitu tiba, kami langsung membersihkan diri dan setelah Magrib datang langsung makan malam. Mbok Nah sudah menyiapkan beberapa jenis masakan sebelum pulang. Sebagian masih dalam keadaan hangat, jadi tak perlu dipanaskan lagi.Usai makan malam, kuselonjorkan kaki di sofa depan televisi. Rasanya pegal sekali karena dalam keadaan terikat terus selama disandera oleh si Sapu Lidi.Aih, sepertinya aku harus diberi penghargaan karena kreativitas tanpa batasku dalam menciptakan julukan untuk seseorang.Kurasa julukan itu pas sekali dengan badannya yang tinggi dan langsing seperti lidi. Fix! Sepertinya julukan itu harus dipatenkan!"Mana yang sakit, Sayang?" tanya Mas Mahendra yang baru saja datang dari dapur.Laki-laki berlesung pipi itu baru saja mencuci piring bekas makan kami. Sulit dipercaya, seorang Mahendra Danuarta, Presdir perusahaan garment besar di Purwakarta, mau m
Untuk sejenak aku terpaku saat mengetahui keberadaan kamar dimana aku disekap. Memikirkan bagaimana bisa kabur dari tempat ini tanpa ketahuan. Lubang ventilasi ini terlalu kecil untuk bisa kulalui.Apa iya, aku mesti kabur lewat jendela?Aku bukan Spiderman yang bisa merayap seperti cicak di dinding. Kalau nekat terjun ke bawah, mungkin nanti nyawaku melayang. Yang ada diriku nanti tinggal nama saja dengan embel-embel di depan 'almarhumah'. Hiiy ... ngeri!Walaupun tak mau terus-menerus terperangkap di sini, tetapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa lagi. Di dalam tasku ada ponsel tetapi entah di mana perempuan sialan itu menyembunyikannya.Ya sudahlah. Mungkin memang nasibku harus jadi tawanan seperti ini. Aku hanya bisa berdoa semoga saja Mas Mahendra segera memenuhi keinginan perempuan ulat bulu itu agar aku dibebaskan.Dengan segala kepasrahan, aku keluar dari dalam kamar mandi. Rini, si pelayan tadi masih s
"Kukira kamu nggak akan bangun lagi."Sebuah suara yang terdengar tak asing di telinga memaksaku untuk menoleh. Perempuan sialan itu duduk di sofa dengan kedua tangan dilipat di dadanya.Dia berjalan mendekat dengan tatapan sinisnya. Terlihat sekali jika dia tak menyukaiku."Kamu senang, ya, sudah memiliki Mas Mahendra?" sindirnya."Tentu saja aku senang. Dia suami yang baik," sahutku, mencoba memancing emosinya."Aku punya penawaran menarik buatmu," katanya sambil mengempaskan tubuh di ranjang, tak jauh dari tempatku."Apa maumu? Aku tak pernah mengganggumu. Kenapa kamu lakukan ini padaku?""Tak pernah mengganggu, katamu?" Tiba-tiba saja nada bicaranya meninggi. "Kamu sudah merebut Mahendraku. Apa itu namanya bukan menggangguku?"Lidya, perempuan itu pun duduk di tepi ranjang dan menatapku seakan ingin menelanku mentah-mentah."Aku nggak merebutny
Beberapa menit berlalu, dia pun membuka pintu kamar. Dari luar, kamar terlihat remang-remang. Aku membayangkan apa yang akan kami lakukan dalam suasana seperti itu. Pasti dia akan ...."Mau masuk sekarang apa nanti?"Aku mencebik dan membalikkan badan. Kembali menuruni tangga. Kekecewaan jelas terbayang di wajahnya. Namun, aku tak peduli.Bergegas aku masuk ke dalam musala kecil setelah sebelumnya bersuci. Sudah pukul tujuh lewat. Pasti sudah Isya. Kalau tak cepat-cepat ke sini, aku takut kewajiban ini akan terlewat karena melayani laki-laki itu.Tadi subuh saja aku terlewat gara-gara terlalu lelah akibat serangan berkali-kali darinya. Sepertinya malam ini akan jadi malam penuh gairah lagi seperti kemarin malam.Saat ku keluar dari musala, Mas Mahendra terlihat tengah duduk manis di sofa ruang keluarga. Lampu utama sudah dimatikan, tinggal lampu temaram yang menyala. Sudah mirip bioskop saja. Pendar-pendar caha
Dengan alasan mencoba kado dari Andy, akhirnya aku hanya bisa pasrah saat tubuhku dikuasainya. Padahal kami baru saja menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Namun, Mas Mahendra seperti tak punya rasa lelah. Dia terus saja bergerak di atas tubuhku. Aku kehilangan kendali, bergerak ke sana ke mari saat laki-laki perkasa itu membawaku meraih puncak kenikmatan. Gerakanku semakin liar seperti ular yang meliuk-liuk dan mendesis. Lalu di satu titik kami berpelukan erat dan mengerang bersamaan. Tubuh berpeluh itu pun terkulai di sampingku. Senyum puas tergambar jelas di wajahnya. Dia menyeka keringat di dahiku dengan jemarinya dan mendaratkan kecupan di sana. "Terima kasih, Sayang," bisiknya di telingaku. Aku hanya bisa menanggapi dengan senyuman. Tubuhku terasa lemas sekali. Sejak semalam dia telah membuatku kelelahan. Ditambah kegiatan pagi yang panas tadi. Lalu sore ini dia kembali beraksi, membuat badanku terasa remuk.&nbs
Dengan alasan mencoba kado dari Andy, akhirnya aku hanya bisa pasrah saat tubuhku dikuasainya. Padahal kami baru saja menempuh perjalanan yang lumayan jauh. Namun, Mas Mahendra seperti tak punya rasa lelah. Dia terus saja bergerak di atas tubuhku. Aku kehilangan kendali, bergerak ke sana ke mari saat laki-laki perkasa itu membawaku meraih puncak kenikmatan. Gerakanku semakin liar seperti ular yang meliuk-liuk dan mendesis. Lalu di satu titik kami berpelukan erat dan mengerang bersamaan. Tubuh berpeluh itu pun terkulai di sampingku. Senyum puas tergambar jelas di wajahnya. Dia menyeka keringat di dahiku dengan jemarinya dan mendaratkan kecupan di sana. "Terima kasih, Sayang," bisiknya di telingaku. Aku hanya bisa menanggapi dengan senyuman. Tubuhku terasa lemas sekali. Sejak semalam dia telah membuatku kelelahan. Ditambah kegiatan pagi yang panas tadi. Lalu sore ini dia kembali beraksi, membuat badanku terasa remuk.
."Mas, punggungmu ini kenapa? Kok ada guratannya?" tanyaku keheranan."Semalam ada macan cantik yang cakarin Mas gara-gara keenakan," sahutnya dengan ekspresi datar."Ah, masa, sih? Memang beneran semalam ada macan? Kok bisa masuk lewat mana? Kita kan di lantai dua?""Macannya ini, nih, yang lagi mandi bareng Mas."Dia mengatakan itu sambil menaik-turunkan alis.Astaga! Suami siapa, sih ini? Bikin geregetan aja!Seketika langsung kulayangkan cubitan di pinggang rampingnya. Cantik-cantik gini kok dibilang macan. Ter-la-lu!"Aduh! Sakit, Sayang!" pekiknya.Tak kupedulikan pekikannya, dengan semangat tetap kulancarkan serangan pada pinggangnya. Misi balas dendam harus dituntaskan.Tiba-tiba saja dia meraih kedua tanganku. Dengan kekuatannya, dia menarik tubuhku. Wajahku pun tinggal berada beberapa centi lagi darinya."Jangan membangunkan macan yang sud
Malam itu, terjadilah apa yang memang seharusnya terjadi. Aku dan Mas Mahendra melayari lautan luas, menyusuri lekuk-lekuk dan semenanjung. Kami terus berlabuh hingga berulang kali, hingga usai dalam satu tarikan napas yang panjang disertai senyuman puas.Semula aku takut jika akan terasa sakit seperti waktu itu. Namun, laki-laki yang tadi pagi menghalalkanku itu begitu pintar mengalihkan rasa takut dan membuatku merasa nyaman.Dia memperlakukanku dengan lembut, lalu perlahan-lahan membawa diri ini terbang ke atas awan. Semua mengalir begitu saja, aku terbuai hingga tak menyadari tiba-tiba saja dia sudah memegang kendali atas tubuhku.Butir-butir peluh membasahi kening, wajah, dan juga rambutnya usai pergumulan kami. Aku masih terengah saat dia memeluk dan mencium keningku. "Terima kasih," lirihnya sambil menutupi tubuh kami dengan selimut. Aku tersenyum dan membenamkan wajah di dada bidangnya yang berbulu tipis. Aku