Ketika aku tiba di bangsal Grace, dia masih tidur dengan wajah pucat pasi dan bibir kering seperti saat aku meninggalkannya! Aku bertanya kepada seorang perawat yang datang untuk mencatat suhu dan kondisinya."Apa dia menanyakanku saat aku nggak ada?" tanyaku, berharap mendapat jawaban yang meyakinkan. Namun, gelengan kepalanya memastikan kecurigaanku."Nggak, dia terus tidur sejak Ibu pergi," jawabnya.Dengan tenggorokan tercekat karena panik, aku mencari dokter. Aku menemukannya melangkah keluar dari bangsal lain dan segera berlari ke arahnya."Kenapa dia masih tidur? Aku sudah pergi cukup lama!" Tanpa basa-basi, aku langsung ke alasan utama menghadapnya.Dokter mengangkat alis. "Pasien di Kamar 7?" Aku mengangguk, lalu dia tersenyum tenang dan melanjutkan, "Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja."Aku sedikit tenang. Senyum dokter itu meyakinkanku. Namun, ketika aku duduk di samping Grace dan mendengarkan napasnya yang tidak teratur, aku tidak bisa melepaskan kekhawatiranku. Apa d
Saat itu, aku tiba-tiba tersadar bahwa belum menerima pemberitahuan debit. Mengapa? Aku segera memeriksa saldoku di rekening itu dan masih sama, tidak ada potongan.Mengapa dia belum menariknya? Aku tidak mau hal itu menggangguku. Kartu itu ada padanya, dia bisa menariknya kapan saja dia mau.Sekitar setengah jam kemudian, taksi berhenti di depan kantor pendaftaran perceraian. Bahkan saat aku mentransfer pembayaran kepada sopir taksi, aku tidak bisa menahan pandanganku menjelajahi area itu untuk mencari Mark.Aku berjalan ke pintu masuk dan melangkah ke area resepsionis. Mungkin Mark lelah menunggu di luar dan memutuskan untuk menunggu di dalam. Namun, dia juga tidak ada di sana.Menelan kemarahanku yang semakin memuncak, aku menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri sebelum duduk di salah satu kursi di area resepsionis. Aku mendapati diriku duduk di samping pasangan yang begitu manis sampai membuatku bertanya-tanya mengapa mereka bisa sampai di tempat ini.Aku mengetuk-ngetukkan
Dengan desahan pasrah, aku menaiki taksi lain dan menuju ke rumah Keluarga Torres. Aku tahu Nenek Doris pasti berada di sana.Nenek Doris lebih berhak atas rumah besar itu daripada Rose. Namun, sifat Nenek Doris yang periang membuatnya tidak bisa berdiam diri di satu tempat.Dia tidak membiarkan usia atau tanggung jawab membatasi kebebasannya. Jarangnya Nenek Doris berada di rumah membuat rumah besar itu sepenuhnya berada dalam perawatan Rose.Mark juga tidak tinggal di rumah besar itu sehingga Rose berkesempatan untuk berkeliaran di tempat itu sambil menunjukkan kelebihannya—menindas dan memerintah orang lain.Saat aku memasuki kompleks rumah besar Torres, tepat di garasi rumah besar itu ada mobil yang kutinggalkan di Bar Milli kemarin. Mobil itu mungkin dikemudikan oleh Mark. Bagus, kalau begitu, aku bisa membawa mobil itu saat pergi dari sini.Pikiranku masih dipenuhi dengan kemungkinan bertemu Nenek dan apa yang mungkin akan dikatakannya saat suara melengking Nenek membuyarkan lamu
Aku terkekeh. "Aku yakin, Nenek. Sekali menyebut nama Nenek, mereka akan langsung mundur."Nenek Doris tampak berusaha mengalihkan tatapannya dari Mark. Kemudian, dia bergumam, "Memang seharusnya begitu."Salah satu pelayan datang membawa tiga kotak anggur di nampan, yang lain meletakkan bangku kaca di depan kami masing-masing, lalu menyuguhkan jus jeruk kepada kami semua. Keheningan di ruangan itu meluas saat Nenek Doris menyesap anggurnya. Dia menurunkan gelasnya dan melirik kami masing-masing."Ayolah, jangan hanya melihatku minum." Dia menunjuk gelas kami. "Minumlah sampai puas." Dengan enggan, kami masing-masing mengambil gelas dan minum.Aku bisa tahu dari suasana tegang—yang hendak dicairkan oleh Nenek Doris—di ruangan itu, dia akan berbicara tentang perceraian. Bukan hanya membicarakannya, dia pasti akan mencoba menghentikanku menceraikan cucunya.Aku sangat menghormati Nenek Doris, tetapi aku tidak bisa begitu saja menyetujuinya. Aku tidak bisa menghentikan semua usahaku untuk
Nenek Doris dan aku keluar dari ruang tamu di bawah tatapan mata Rose dan Mark yang waspada. Aku bisa merasakan tatapan mata mereka yang tajam menusuk ke arah kami saat pintu tertutup di belakang kami.Kami melangkah keluar ke halaman yang tenang, berjalan melalui halaman, lalu ke taman. Taman itu membungkus kami dalam keheningannya yang tenteram. Sesekali gemerisik dedaunan yang lembut dan kepakan sayap burung yang lembut mengganggu keheningan yang tenang itu.Warna-warna cerah dari berbagai bunga memenuhi seluruh area, kelopaknya bergoyang anggun tertiup angin. Kupu-kupu yang juga berwarna-warni dengan berbagai bentuk dan ukuran beterbangan di taman, menambah nuansa lembut dan keindahan surgawi ke tempat itu.Aku mengagumi bunga-bunga dan kupu-kupu itu. Aku mendesah pelan, andai saja hidupku bisa semudah keindahan mereka.Nenek Doris menggenggam kedua tangannya di belakang punggungnya saat kami berjalan di sepanjang jalan setapak di antara taman itu. Pasti menyakitkan bagiku untuk me
Suara Nenek Doris bergetar saat berbicara. Dia mengembalikan ponsel itu kepadaku. "Nggak diragukan lagi," ucapnya seraya menggelengkan kepalanya dengan sungguh-sungguh."Mark nggak pantas untukmu." Dia menarik napas dalam-dalam dan menyelesaikan kalimatnya. "Aku setuju dengan perceraianmu. Kalau itu membuatmu bahagia, aku akan mendukungmu sepenuhnya."Aku mengembuskan napas yang tanpa sadar telah kutahan dan rasanya seperti sesuatu yang berat akhirnya terangkat dari dadaku setelah sekian lama."Terima kasih, Nek." Aku berseri-seri dan terkekeh gemetar saat merasakan air mata mengalir di pipiku. Aku menyekanya, tetapi air mata itu terus mengalir. Akhirnya, aku membiarkannya jatuh dan memeluk Nenek Doris dengan erat."Nenek adalah nenek terbaik di dunia dan aku akan selamanya berterima kasih kepada Nenek.""Jangan menangis, Nak. Kamu sudah berusaha sebaik mungkin." Telapak tangan Nenek Doris yang lembut tetapi kuat menepuk punggungku dengan lembut. "Kamu adalah cucu menantu terbaikku. Se
Sesuai dugaan, dan memang sewajarnya begitu, bukan hanya aku yang terkejut. Ekspresi terkejut sekilas terpancar di wajah Mark, merusak sikap tenang yang selama ini ditunjukkannya.Keterkejutan Rose begitu hebat. Dia tidak bisa menahannya sehingga dia mengamuk. "Apa-apaan ini?" Dia meledak, tersentak dari posisi duduknya. "Apa Ibu serius akan memberinya saham?"Doris mengamatinya sebelum menjawab dengan tenang, "Ya, Rose, aku serius akan memberinya saham.""Kenapa? Ibu? Kenapa?" Kemudian, Rose menoleh kepadaku. Wajahnya sudah merah karena marah. "Dasar jalang!" Dia memelotot dan suaranya bergetar setiap kata-kata makian itu keluar dari mulutnya. "Beraninya kamu mengambil saham anakku! Kamu bilang apa kepada Ibu hingga dia memberimu saham milik anakku?"Aku hanya menatapnya dengan acuh tak acuh. Mataku terus menatap, mengamati tatapan kemarahannya. Apa wanita ini tidak pernah lelah? Bahkan orang bodoh yang gila pun akan tahu bahwa tidak seorang pun bisa memengaruhi keputusan apa pun yang
Doris tersenyum puas, lalu memanggil pembantu. "Tolong ambilkan map cokelat di meja kamarku," perintahnya.Aku mengerutkan kening. Kelihatannya sejak awal Nenek Doris berniat memberikan saham itu padaku. Dia memang tipe orang yang memikirkan segala sesuatunya matang-matang. Jadi, dia mungkin sudah merencanakan hal ini, terlepas apakah aku akan tetap bersama Mark atau tidak.Tak lama kemudian, pembantu tadi kembali dengan membawa selembar map. Doris menerima map itu, lalu memanggilku. "Kamu tanda tangan di sini, sama di sini," katanya sambil menunjuk spasi-spasi kosong di dokumen. "Oh, sama satu lagi di sini."Aku mendekat dan mengambil pena yang Doris ulurkan. Setelah membaca dokumen transfer saham itu sebentar, aku menandatanganinya. Dari belakang, aku bisa merasakan tatapan tajam Rose yang menusuk seperti pisau.Doris mengambil kembali dokumen yang telah kutandatangani dan meletakkannya di samping. "Bagus. Saham itu punyamu sekarang," ujarnya sambil tersenyum.Aku membalas senyumnya.
Aku mencengkeram rokku dengan erat sambil mencoba menenangkan ketakutanku serta menstabilkan detak jantungku yang kacau. Hal seperti ini benar-benar asing bagiku dan juga sangat menakutkan."Berlutut." Aku tersentak mendengar suaranya dari belakangku. Dengan patuh, aku berlutut, meringis saat lantai keras menggores lututku.Tavon mengangguk puas, matanya bersinar dengan tatapan aneh. "Kamu penurut, bagus."Dia berjalan ke salah satu sisi ruangan dan mengambil sebuah cambuk. Bulu kudukku meremang ketika dia mendekatiku. Tangan tuanya mencengkeram cambuk itu dengan erat. Sebelum aku bisa memproses apa yang akan terjadi atau mencoba memprotes, dia tiba-tiba mengangkat tangannya dan langsung mencambukku kulitkuPunggungku melengkung saat aku mencoba menghindari rasa sakit yang menyengat itu. Jeritanku menggema di seluruh ruangan, rasa sakit itu menyebar ke seluruh tubuhku, air mata menggenang di mataku."Kamu suka ini?" Suaranya kasar, matanya dipenuhi gairah yang mengerikan.Sial, bagaima
Aku memaksa diriku untuk tetap tenang. Aku melepaskan genggaman tanganku yang erat, berhenti menggertakkan gigi, dan memberikan senyuman terbaikku padanya, meskipun aku merasa mual karena jijik. Menjaga kepura-puraan ini sangat melelahkan, tetapi aku tahu aku harus tetap bersandiwara jika ingin rencana ini berhasil.Peringatan Dylan terngiang di pikiranku. Satu kesalahan saja bisa berarti kematianku. Jadi, aku memasang ekspresi manis dan lembut, tidak peduli seberapa besar rasa mual yang kurasakan.Bibir Tavon membentuk senyuman jahat. Tangannya yang berkeliaran berhenti di lekuk pantatku dan menekannya secara halus sambil menoleh ke arah Dylan. "Nak, kamu selalu tahu apa yang aku suka."Dylan mengangguk dengan senyum puas, matanya berbinar-binar. "Paman, kepuasanmu selalu menjadi kebahagiaan terbesarku."Bulu kudukku meremang mendengar kata-kata Dylan. Pengabdiannya dengan menjilat kepada pria bejat ini benar-benar menjijikkan. Bagaimana mungkin dia begitu antusias, begitu bangga, mel
Sudut pandang Sydney:Sekitar satu jam setelah Dylan mendandaniku, dia diberi tahu bahwa mobil sudah siap. Dia berganti ke setelan jas yang, menyebalkannya, membuatnya terlihat semakin mirip Lucas.Aku tidak melewatkan rasa iri yang sekilas muncul di mata para wanita lain saat Dylan dengan kasar menyuruh mereka bersikap baik dan tetap di kamar mereka, lalu pergi bersamaku. Aku rasa mereka pasti ingin menjadi paket yang akan dikirimkan. Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya apakah dia pernah menawarkan salah satu dari mereka kepada pamannya juga.Kami masuk ke dalam mobil, dan sopir membawa kami ke tempat di mana aku akan bertemu dengan Paman Tavon.....Setelah beberapa menit perjalanan yang menyesakkan bersama Dylan, akhirnya kami sampai di tujuan, dan aku bisa bernapas lega lagi.Mobil berhenti di depan mansion besar, tetapi yang satu ini jelas lebih mewah dan megah dibandingkan dengan tempat tinggal para wanita Dylan. Aku perlahan mengangguk pada diri sendiri. Aku bisa me
"Aku nggak butuh bantuanmu!" Aku ingin meludah ke wajahnya dan menunjukkan semua kebencian yang kurasakan padanya, tetapi itu pasti akan merusak segalanya, bukan? Itu bahkan bisa membuatku kehilangan nyawa.Jadi, sebagai gantinya, aku memasang senyuman tipis di bibirku dan berbalik menghadapnya. Aku mengejapkan bulu mataku padanya, "Aww." Aku mendesah manja. "Terima kasih."Sambil tersenyum sinis, dia bangkit dari kursinya dan berjalan mendekatiku. Tiba-tiba, lingerie yang kupakai dirobek olehnya dari tubuhku dan dilemparkannya begitu saja, lalu dia merebut gaun itu dari tanganku.Aku terperanjat dan menatapnya dengan mata terbelalak, tetapi dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia bahkan tidak melihatku dan senyum itu telah lenyap dari wajahnya. Alisnya berkerut dalam konsentrasi saat dia memakaikan gaun itu kepadaku dan mulai mendandaniku.Tangannya bergerak begitu terampil seolah-olah dia sudah terbiasa melakukan hal ini.Saat dia selesai, dia melangkah mundur dan menatap tubuhku
Dengan hati-hati, aku mengambil gaun itu darinya dan dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan benar-benar menyerahkannya padaku. Dengan kedua tanganku menggenggam sisi gaun, aku mengangkatnya di depan tubuhku dan membentangkannya sepenuhnya agar bisa melihat desainnya dengan jelas.Itu adalah gaun merah panjang yang langsung membuatku tercengang. Saat aku melihatnya lebih dekat, aku menyadari bahwa bahan gaun ini adalah sutra halus dan mewah dengan tekstur yang begitu lembut sehingga aku bisa langsung tahu bahwa aku akan menyukai sensasinya saat kain itu mengenai kulitku.Panjangnya saja sudah memberikan kesan elegan dan berkelas, tetapi desainnya yang berani, menjadikannya jauh dari kesan sederhana. Kamu hanya perlu melihatnya untuk mengetahuinya.Sebagai pemilik bersama lini pakaian dengan sahabatku, Grace. Aku telah terbiasa dengan banyak desain mode yang menakjubkan dan indah selama bertahun-tahun. Namun, aku tidak bisa menyangkal bahwa gaun yang dipilih Dylan ini memiliki keunikan d
Sudut pandang Sydney:Aku langsung menarik diri dari pelukan Dylan begitu mendengar suara tepukan tangan.Sambil menatap Dylan yang hanya berjarak beberapa sentimeter dariku, aku tetap membiarkan lenganku melingkar di lehernya. "Kenapa kamu tepuk tangan?" tanyaku dengan senyum kecil, mataku mencari-cari petunjuk di wajahnya. Ada kilatan nakal di matanya yang membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dia rencanakan.Dylan hanya balas tersenyum, tidak repot-repot menjawab. Dan dia memang tidak perlu menjelaskan apa pun karena, tepat saat itu, salah satu anak buahnya membuka pintu kamar dan melangkah masuk.Pria itu membawa sebuah kantong belanja di tangannya. "Selamat malam, Pak," sapanya sopan sambil menunduk sedikit, lalu mengangguk padaku. "Nona." Wajahnya tetap datar, tidak memberi petunjuk apa pun tentang isi kantong yang dibawanya.Aku melirik pria itu lalu kembali menatap Dylan, masih dengan tangan yang melingkari lehernya."Apa itu?" tanyaku sambil mengangkat alis, penuh selidik.
Tanpa memberinya kesempatan untuk mengajukan keberatan lebih jauh, aku langsung membungkamnya dengan ciuman yang intens.Sekejap saja, bibirnya sudah bergerak membalas ciumanku, tangannya mencengkeram erat pinggangku dan menarikku lebih dekat ke dadanya. Lalu, satu tangannya meluncur turun, meremas bokongku seolah-olah tubuhku adalah miliknya.Aku menggeliat di atas pangkuannya, merasakan tonjolan keras di balik celananya. "Sial, Sydney," desahnya kasar sebelum menggigit bibir bawahku dengan keras, lalu mengisapnya seakan-akan hendak menghapus bekas yang baru saja dia tinggalkan.Dalam permainan balas dendam yang berkedok cinta ini, kami terus menguji dan menebak satu sama lain. Aku bertanya-tanya, apakah dia bisa melihat senyum palsuku, atau kasih sayang yang hanya merupakan ilusi belaka? Hatiku bergidik saat memikirkan kemungkinan itu.Dylan meremas bokongku lebih kuat, membuatku kembali menggeliat di atasnya. Aku mengerang pelan yang terdengar begitu meyakinkan walaupun semuanya han
"Tentu saja aku keberatan karena kamu ngebunuh sahabatku," kataku pelan, berusaha menjaga agar suaraku tetap terdengar lembut tanpa memperlihatkan kemarahan atau kebencian yang tersembunyi di baliknya. Aku menampilkan gambaran sempurna seorang wanita yang jatuh cinta terlalu dalam, yang sedang mengungkapkan kenyataan pahit pada pria yang dicintainya."Tapi Lucas memang sudah sakit parah sejak lama. Bahkan kalau kamu nggak melakukan apa-apa, dia nggak akan bertahan lebih lama lagi. Mungkin, dengan cara ini, kamu justru membebaskan dia dari penderitaan lebih cepat. Selama ini, dia terus dihantui rasa sakit dan siksaan dari segala penyakit yang bikin tubuhnya melemah …."Aku mengangkat bahu seolah-olah kematian Lucas tidak lagi membebani pikiranku."Lagi pula, aku nggak bisa membenci laki-laki yang sekarang jadi alasan jantungku berdetak. Aku cuma ingin bisa bersama orang yang aku cintai, hanya itu yang aku mau. Aku yakin Lucas nggak akan nyalahin aku … atau bahkan nyalahin kamu, karena k
Sudut pandang Sydney:Tawaku meledak karena ucapan Dylan yang menggelikan. Bagaimana mungkin dia bisa cemburu pada orang yang sudah mati?Dylan berdiri di sana, berusaha terlihat mengintimidasi dengan tatapan marahnya, tapi malah terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk. Di saat itu, rasanya hampir seperti saat aku sedang bercanda dengan Lucas, dan bukan dengan Dylan.Konfrontasi ini sebenarnya pertanda baik walaupun tingkah Dylan ini agak terlalu dramatis. Ini artinya sandiwara yang selama ini kurancang dengan hati-hati masih berjalan sesuai rencana.Mungkin aku belum sepenuhnya memasuki hatinya yang gila itu, tapi setidaknya aku sudah berhasil masuk cukup jauh ke dalam pikirannya yang rapuh."Maaf," kataku terkikik sambil menutup mulut dengan tanganku untuk menahan tawa. Aku pun turun dari tempat tidur dan berdiri di hadapannya. Aku tidak bisa menahan rasa geli melihat kecemburuan Dylan terpicu oleh sesuatu yang begitu sepele. Dia benar-benar konyol.Selagi aku masih tertawa p