"Pasti," ujarku sambil menyapu rambut dengan jari dan menjatuhkan diri ke tempat tidur. "Aku cuma butuh waktu.""Kamu nggak punya waktu itu," katanya sambil menarik lenganku. "Karena aku mau ke klub dan kamu harus ikut denganku.""Nggak," jawabku tegas, mulai menarik diri. "Aku nggak mau ke mana-mana.""Ayolah, Ana. Aku nggak bisa diam saja melihatmu seperti ini.""Biarkan aku melewati malam ini. Sudah empat tahun aku bersamanya!""Nggak peduli.""Clara ....""Aku yakin dia sekarang masih sibuk tidur dengan wanita lain, sementara kamu di sini meratapi nasib dengan menyedihkan."Mungkin dia benar. Bagaimanapun juga, wanita itu ada di rumahnya. Dia mungkin langsung kembali ke pelukannya setelah aku pergi."Bajingan seperti dia nggak pantas mendapatkanmu. Kamu harus keluar dan bersenang-senang. Buktikan ke dirimu sendiri dan ke dia kalau hidup terus berjalan, apa pun yang terjadi," katanya lembut.Aku menghela napas. "Oke."Begitulah akhirnya aku terseret ke klub, padahal aku seharusnya m
Sudut Pandang Anastasia:Aku menatap dokter itu dengan terkejut. Kepalaku terasa pusing saat kata-katanya terngiang di telingaku. Hamil? Bagaimana mungkin aku bisa hamil?Kilasan kenangan bersama Aiden membanjiri pikiranku. Dari kencan pertama kami, malam ketika dia melamar, saat kami bercinta dan membahas tentang impian keluarga masa depan kami.Namun, semua impian itu hancur saat aku memergokinya berselingkuh. Pengkhianatan itu begitu dalam hingga aku tak tahu apakah aku bisa memaafkannya atau tidak.Kini, seorang anak yang tak bersalah terjebak dalam kekacauan ini, kumpulan sel yang berkembang cepat menjadi kehidupan baru .... Anak Aiden ... anak kami.Meskipun aku masih marah, sebagian kecil dari hatiku masih mencintainya. Bisakah aku menjalani kehamilan ini setelah apa yang dia lakukan?Dokter itu sepertinya bisa merasakan pergolakan batinku. "Bu? Sepertinya kamu nggak senang dengan kabar ini ...."Aku perlahan menggeleng. "A ... aku baru saja tahu kalau pacarku selingkuh." Suarak
Sudut pandang Anastasia:Lima tahun kemudian."Kenapa aku harus ke sana setiap hari? Aku mau ikut denganmu!" ucapnya sambil membuang muka dariku.Aku menghela napas, meletakkan ransel, kotak makan siangnya, serta tasku di kursi, lalu berjongkok agar sejajar dengannya."Sayang," panggilku lembut, tetapi dia malah memalingkan wajah lagi."Amie, ayolah." Aku meraih tangannya, tetapi dia langsung menepisnya."Jangan bicara padaku.""Amie, lihat aku," kataku dengan suara tegas. Seketika dia menoleh dengan bibir manyun dan mata berair. Aku benci harus menaikkan nada suaraku padanya, tetapi terkadang itu satu-satunya cara agar dia mau mendengar.Aku menggenggam tangannya dengan lembut dan syukurlah, kali ini dia tidak menolak. "Sayang, kamu nggak bisa ikut Mama ke tempat kerja. Itu nggak diperbolehkan.""Kenapa?" rengeknya. "Aku bisa bekerja.""Aku tahu, Amie," ujarku dengan senyum kecil. "Kamu anak yang sangat rajin. Tapi sekarang, sekolah jauh lebih penting untukmu, oke? Saat waktunya tiba,
Aku menghela napas lega. "Oh, Dennis, kamu benar-benar penyelamat," ujarku saat dia turun dari mobil dan membantuku memasukkan Amie, menempatkannya dengan aman di kursi belakang."Kamu bisa bilang sekali lagi," jawabnya dengan seringai sambil membukakan pintu depan untukku. Aku pun naik ke dalam mobil.Herannya, Dennis, pria berbahaya yang dulu bertekad kuhindari, kini menjadi salah satu teman terdekatku. Sejak hari itu di bar, setelah membawaku ke rumah sakit, dia menungguku sampai aku sadar. Sejak saat itu, dia selalu ada di sekitarku. Bahkan, lebih dari sekadar hadir. Dia benar-benar menjadi teman sejati. Bahkan di masa-masa tergelapku, dia selalu ada untuk menghiburku.Tak butuh waktu lama sampai dia mengonfirmasi kecurigaanku bahwa dia memang tertarik padaku. Aku senang bisa menolaknya dengan berita kehamilanku, tetapi itu sama sekali tidak menghalanginya. Dia siap menerima aku dan kehamilanku tanpa sekalipun bertanya siapa ayah dari anakku.Keikhlasan dan perhatiannya menyentuh h
Sudut pandang Anastasia:"Apa?"Semua aturan tentang betapa pentingnya menjaga keheningan di tempat kerja langsung terlupakan saat aku menjerit. Jojo langsung melirik ke sekeliling dengan mata membelalak ketakutan. "Kamu terlalu berisik."Mataku juga membelalak, mungkin lebih besar darinya. "Kamu serius?" Aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang, seakan ingin meledak. Dunia terasa berputar di sekelilingku saat aku mencoba mencerna informasi ini.Rachel menghela napas dan memutar matanya. "Lihat sekeliling, Anastasia," katanya sambil melambaikan tangan, menunjuk ke ruangan sekitar. "Apa suasana di sini terlihat seperti ini hanya lelucon bodoh?"Ya Tuhan. Tidak, tidak mungkin. "Apa? Kenapa? Tunggu, kapan ini terjadi?" seruku dengan suara yang mulai bergetar. Tuhan, tolong, semoga ini hanya lelucon kejam. Namun, melihat ekspresi di wajahnya, aku tahu ini bukan lelucon.Rachel menghela napas lagi, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kursi. Untuk pertama kalinya, aku bisa melihat betapa berat
"Mama!"Amie berlari ke dalam pelukanku dan untuk pertama kalinya sejak mendengar kabar buruk di kantor, senyuman tulus menghiasi wajahku."Sayangku!" Aku menyerang wajahnya dengan ciuman, membuatnya tertawa kecil. "Bagaimana sekolahnya?""Baik! Aku menjawab pertanyaan hari ini.""Wah, anak pintar!" Aku memberikan tos kepadanya dan memintanya menceritakan pertanyaan yang dia jawab. Dia pun mulai berceloteh panjang lebar.Saat kami melangkah keluar dari gedung sekolahnya, wali kelasnya menghampiriku."Aku lupa memberikan ini," katanya setelah menyapaku, lalu menyerahkan sebuah formulir. "Kami akan mengadakan perjalanan sebelum semester berakhir. Jika Amie ingin ikut, pastikan formulir ini diisi dan dikembalikan sebelum minggu depan.""Baik, terima kasih. Aku akan menghubungimu lagi." Aku menjawab, lalu membawa Amie pergi.Di dalam taksi, aku menatap biaya mahal untuk tamasya itu, sementara Amie terus berbicara tentang betapa inginnya dia ikut."Mama, video yang mereka tunjukkan tentang
Sudut pandang Anastasia:Aiden adalah pemilik baru? Bagaimana bisa?Tatapan kami bertemu dan jantungku seolah berhenti berdetak. Dalam sekejap, bertahun-tahun yang telah berlalu terasa mencair, membawa gelombang kenangan manis sekaligus pahit.Saat aku menatap matanya, aku seperti dilempar kembali ke masa lalu. Seperti kilas balik yang kabur, dari saat-saat indah yang kami habiskan bersama hingga hari yang buruk ... tidak, hari yang paling buruk. Rasa sakit dari momen terakhir itu masih terasa baru, bahkan setelah sekian lama.Setelah aku mengatakan padanya bahwa semuanya sudah berakhir, aku tak pernah mendengar kabar darinya lagi. Itu hanya semakin mengonfirmasi bahwa dia memang tidak pernah peduli padaku. Tidak pernah. Aku hanyalah sumber hiburan baginya, terus-menerus mengatakan betapa aku mencintainya dan yakin bahwa aku akan menghabiskan sisa hidupku dengannya.Tuhan! Aku bahkan pernah merancang rumah impian kami dan menunjukkannya padanya, memaksanya memilih nama untuk anak-anak
Direktur pelaksana kembali duduk dan ruang rapat menjadi hening saat Aiden berdiri untuk berbicara."Seperti yang sudah disampaikan oleh direktur pelaksana, aku adalah pemilik baru PT Tasoron. Aku meminta maaf atas situasi yang tiba-tiba ini, kami nggak punya banyak waktu untuk mengirimkan pemberitahuan sebelumnya ...."Aku menatapnya tajam saat dia melontarkan pidato panjangnya tentang visi baru perusahaan serta hal-hal hebat yang akan dicapai dan membuat PT Tasoron dikenali di masa depan.Aiden berhenti sejenak, menatap semua orang dengan senyum kaku. "Aku menantikan untuk bekerja sama dengan kalian semua demi membawa PT Tasoron ke puncak yang lebih tinggi."Setelah itu, dia kembali duduk dan ruangan langsung dipenuhi dengan suara tepuk tangan berlebihan sekali lagi.Direktur pelaksana berdiri lagi, kali ini dengan senyum lebar. "Sekarang setelah kalian bertemu dengan CEO baru, aku akan menutup pertemuan ini dengan pengumuman yang menyenangkan.""Akan ada pesta untuk merayakan awal k
Sudut pandang Anastasia:Akhirnya, kami tiba di penginapan untuk perjalanan bisnis ini.Dengan tas di tangan masing-masing, semua orang ternganga kagum melihat bangunan di depan kami. Antisipasi yang tumbuh selama perjalanan tampak memuncak saat kami melihat pemandangan tersebut.Di atas sebuah papan kayu yang dipaku di bagian atas bangunan, terdapat tulisan "Resor Kayupinus" yang terbuat dari potongan kayu kecil dan dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang menyala. Kerajinan tangan itu sangat mengesankan, memberikan suasana yang unik tetapi profesional pada tempat tersebut."Rasanya seperti baru saja menginjakkan kaki di negeri dongeng," bisik Rachel saat berhenti di sampingku. Dia tampak sangat kagum, matanya bersinar saat lampu-lampu memantul di sana.Meskipun ada lubang besar di hatiku yang hanya bisa diisi dengan memeluk Amie, aku juga sedikit terpesona.Gubuk-gubuk kecil yang terhubung itu dikelilingi, hampir tertelan, oleh pohon-pohon pinus yang tinggi dan pepohonan hijau yang rimb
Aku tertawa mendengar suara tawa riang Anastasia lagi."Tanganku ada di sini, jadi aku nggak lupa membawanya," ucap Ana, masih dengan tawanya."Syukurlah.""Tapi sejujurnya, aku nggak bakal tahu kalau aku lupa sesuatu sampai aku buka koper.""Ya Tuhan." Aku mengusap dahiku. "Kuharap kamu nggak terdampar. Kalian sekarang di mana?"Ana mendengung sebentar. "Aku nggak tahu. Kami masih di bus.""Kuharap perjalananmu menyenangkan, Sayang.""Terima kasih.""Dan Amie, ya ampun! Aku kangen sekali. Bagaimana kabarnya? Bagaimana dia menghadapi kepergianmu?" tanyaku antusias."Dia baik-baik saja dan kurasa dia menerima kepergian ini dengan cukup baik. Kupikir akan ada lebih banyak drama, jadi aku sudah siap untuk meyakinkannya, tapi dia malah mengejutkanku. Tapi …." Suara Ana mulai meredup. "Amie benar-benar kesulitan dengan tinggal di rumah sakit. Dia terus bilang ingin pulang."Aku menghela napas. "Kasihan sekali. Aku paham. Rumah sakit nggak seperti taman atau toko es krim. Lama-lama di sana m
Sudut pandang Clara:Aku melemparkan senyuman pada nenek tua yang tersenyum padaku saat tatapan kami bertemu. Sambil berjalan keluar dari bandara, aku merogoh tas untuk mengambil ponselku yang berdering. Wajahku langsung cerah saat melihat nama peneleponnya."Halo, bestie," sapaku ceria sambil menempelkan ponsel ke telinga."Halo." Suara Ana terdengar di ujung sana. "Aku lihat pesanmu soal toko itu.""Oh, itu." Bibirku melengkung kesal. Rasa marah yang tadi sempat kutahan perlahan muncul lagi."Iya, aku nggak terlalu ngerti sih. Kayaknya kamu ngetiknya buru-buru deh, banyak salahnya.""Bukan ngetik buru-buru, aku ngetiknya sambil kebakar emosi," jawabku blak-blakan."Oh?""Aku harus meluapkannya biar nggak teriak di tengah jalan atau narik rambut cewek itu sambil kasih ceramah ke manajernya!"Ana terkekeh kecil. "Santai, dong. Aku masih belum ngerti ceritanya."Aku memindahkan ponsel dari telinga kanan ke kiri sambil menggeser tas ke bahu satunya."Jadi gini ceritanya. Aku ke toko lang
Aku melingkarkan tanganku erat-erat di sekeliling tubuhnya, lalu berbisik penuh rahasia, "Iya, Mama janji. Para suster ini nggak tahu rencana rahasiaku buat bawa kamu kabur."Tawanya kembali memenuhi telingaku dan dia menarik diri sambil mengedipkan mata nakal. Aku mengecup keningnya sekali lagi, seolah-olah untuk menyegel janji kami. "Sekarang lanjut gambar kita yang banyak, ya."Dia mengangguk cepat, lalu mengambil kembali buku sketsanya dan melanjutkan gambarnya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri para suster. "Tolong awasi Amie dengan baik. Aku nggak mau dia keluyuran atau terima barang dari orang asing, ya. Aku sudah cukup banyak pikiran dan nggak mau nambah beban lagi.""Kami benar-benar minta maaf soal itu, Bu. Amie anak yang penuh energi dan punya cara manisnya sendiri. Kami juga nggak tahu gimana dia bisa mengelabui suster, tapi kami akan perhatikan semua yang Ibu sampaikan. Dia akan aman di sini," jawab salah satu suster dengan tulus."Bagus, terima kasih." Pandanganku bera
Sudut pandang Anastasia:Aku duduk di samping ranjang rumah sakit Amie, mengamati saat pensilnya bergerak lincah di atas buku sketsa. Alisnya berkerut penuh konsentrasi dan matanya bersinar-sinar penuh kreativitas."Mama tebak, itu kita ya?" tanyaku sambil menunjuk gambar dua karikatur yang mirip denganku dan Amie, minus kaki yang semuanya mengarah ke satu sisi."Iya, Mama. Itu kita yang lagi bikin kue enak di dapur. Aku sebentar lagi mau gambar Tante Clara soalnya dia suka kue buatan Mama juga," jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari sketsanya."Terus Dennis?" tanyaku lagi.Dia berhenti sejenak, pensilnya berhenti di atas buku sketsa sebelum akhirnya dia mengangkat bahu dan kembali menggambar. "Aku tambahin dia juga. Setelah Tante Clara. Mama, aku pengen cepat pulang. Di sini sepi dan bau obat banget."Rasanya sedikit sedih karena aku tahu sebentar lagi aku harus meninggalkannya. Aku belum pernah berpisah dengannya selama satu hari penuh. Sekarang aku akan berpisah dengannya selama
Aku mulai terbuka padanya. "Hanya saja ... teman-temanku belakangan ini sangat membantu, terutama Clara. Tapi, sekarang dia sedang di luar negeri dan aku tahu Dennis juga sudah banyak membantu, tapi aku nggak mau terus-terusan merepotkannya.""Rasanya seperti aku selalu berutang budi pada orang lain. Jadi ... rasanya sulit mengatur semuanya sekarang. Setiap hari aku selalu berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan kebutuhan Amie."Remi mengangguk, suaranya penuh dengan empati. Dia meraih tanganku dengan penuh pengertian."Aku paham kalau keluarga adalah alasan yang sah untuk nggak ikut dan aku nggak akan memaksamu."Dia sedikit condong ke depan dan menatapku lekat-lekat. "Tapi, aku mau jujur. Aku secara pribadi merekomendasikan namamu untuk masuk daftar peserta. Sekarang aku tahu sepertinya kamu memang nggak bisa ikut.""Aku nggak nyangka," ucapku pelan di balik rasa terkejut karena perhatian yang dia tunjukkan, mataku membelalak. "Terima kasih, Remi. Itu berarti banyak bagiku. Aku
Sudut pandang Anastasia:Aku memindai memo di layar komputerku, kata-kata "Retret Perusahaan" dan "Pembangunan Tim" langsung mencuri perhatian. Suasana kantor dipenuhi kegembiraan, rekan-rekanku mengobrol dengan antusias tentang acara liburan yang akan datang."Kamu percaya nggak sih? Seminggu penuh di Hawhi!" seru seorang wanita berambut pirang, berdiri di dekatku."Iya, 'kan? Aku bahkan sudah mulai membayangkan semua pakaian liburan yang bakal kuperlukan," sahut seorang pria dari seberang ruangan.Kegembiraan mereka yang begitu mencolok tidak berhasil menembus suasana hatiku yang suram. Hawhi? Aku memaksakan senyuman, berusaha menyembunyikan kekecewaanku. Aku tahu aku tidak akan bisa ikut karena kondisi kesehatan Amie.Ini bukan masalah yang bisa diperdebatkan, apalagi kalau menyangkut nyawa putriku. Aku akan selalu mengutamakan kepentingannya.Jari-jariku menari di atas papan ketik, mengetik pesan untuk menolak tawaran retret itu.[ Maaf, aku tidak bisa menghadiri retret perusahaan
Selama waktu itu juga, aku memutuskan untuk kembali ke kota. Sharon sempat memprotes, bahkan memohon agar aku tetap tinggal karena dia tidak bisa meninggalkan bisnis. Namun, aku tidak bisa. Aku butuh ruang dan waktu untuk benar-benar berpikir.Namun, sebanyak apa pun waktu yang kuhabiskan untuk mempersiapkan diri atau keputusan apa pun yang kuambil, pernikahan itu tetap harus dilangsungkan. Karena sifat pernikahan yang sudah diatur ini dan dokumen yang kutandatangani dengan sadar, pernikahan itu tidak bisa dihindari.Dulu kupikir semua itu baik-baik saja. Namun, saat aku bertemu Anastasia lagi, pikiranku semakin kacau. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak akan pernah siap untuk pernikahan ini, apalagi untuk kembali ke hubungan yang sedang kubangun dengan Sharon.Jadi, aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan, yaitu menghindari Sharon dan pernikahan yang semakin dekat ini dengan segala cara yang kubisa.Sekarang, Sharon yang duduk di seberang meja, menatapku tajam dari balik
Sudut pandang Aiden:Ibuku, entah tidak menyadari senyumanku yang membeku atau memang tidak peduli, melangkah ke samping, memberi ruang bagi Sharon untuk menerima pelukan yang seharusnya untuknya.Dengan senyum lebar, Sharon melingkarkan lengannya di tubuhku. "Astaga! Aku sangat merindukanmu," ucapnya sambil menyandarkan wajahnya ke dadaku."Hmm," gumamku saat dia melepaskan pelukannya, lalu menaruh tangannya di dadaku sebelum berjinjit untuk mengecup pipiku.Entah kenapa, aku ingin menghapus bekas kecupannya dari pipiku dengan jaketku. Namun, aku menahan diri dan memberikan kecupan singkat di pipinya. Sejujurnya, aku bahkan ragu apakah bibirku benar-benar menyentuh kulitnya.Aku tetap berdiri di tempat sementara Sharon duduk dan ibuku mengambil tempat di sampingnya.Alih-alih ikut duduk, aku hanya berdiri dan memasukkan tangan ke saku. "Bu, gimana kabarmu?" tanyaku.Setidaknya, dia akan menjawab ini, mengingat dia baru saja memberikan pelukannya ke orang lain."Aku baik-baik saja, Say