Aku mengangkat alisku. Ekspresi marah di wajahnya tiba-tiba menghilang dan berubah menjadi ekspresi lembut begitu dia menatap Mark. Dia mengernyit karena khawatir sambil berkaca-kaca. Dia mendekat ke tempat tidur dan duduk. "Mark." Suaranya bergetar saat berbicara. "Ada apa? Kamu nggak mengenaliku?" Dia meletakkan telapak tangannya di wajah Mark, tetapi Mark menepisnya."Apa kamu ibu kandungku?" Dia bertanya dengan nada agak kasar. Rose mengangguk. "Ya, Nak, aku ibumu. Ibu kandungmu. Aku mengandungmu selama berbulan-bulan, apa kamu nggak ingat?" Mark mengernyit. "Gimana aku bisa ingat kalau aku ada di perutmu?" Suara aneh keluar dari bibirku saat aku berusaha menahan tawa. Sebelum Rose sempat melontarkan hinaan, Mark, yang tampaknya tidak menyadari dampak kata-katanya bertanya, "Kalau begitu siapa dia?" Tatapan bingung itu kembali tertuju padaku. Aku buru-buru menyela sebelum Rose melontarkan jawaban bodoh, "Aku kreditormu. Kamu berhutang padaku." "Apa?" Rose dan Mark terk
Rose akhirnya datang untuk mengklaim perannya sebagai anggota keluarga Mark, yang berarti aku tidak punya urusan lagi di sana. Aku mendorong diriku melewati tubuh orang-orang itu yang memakai pakaian mencolok dan parfum menyengat yang membuatku mengernyit jijik, hingga aku mencapai ujung koridor. Entah kenapa, aku menoleh kembali ke pintu bangsal Mark sambil tertawa sinis. Lihat saja semua orang ini, bertingkah seperti penjilat kelas bawah, padahal beberapa hari lalu mereka sama sekali tidak terlihat. Kita tidak pernah tahu siapa teman sejati kita sampai segalanya benar-benar berantakan. Aku menghela napas, lalu masuk ke dalam mobil dan menutup pintu. Aku melempar tas ke kursi penumpang dan menatap keluar melalui kaca depan, melihat orang yang keluar masuk rumah sakit.Yang terus terlintas di benakku saat duduk di sana adalah adegan kecelakaan Mark, di mana aku melihat Luigi. Aku ingat melihat sosoknya yang kurus, tepat di arah jam lima dariku hari itu, sebelum dia menghilang.
Dia kemudian membaringkanku ke tempat tidur sambil menekanku."Kamu nggak tahu sudah berapa lama aku menunggu ini. Terlalu lama," bisik Lucas sambil mulai mencium leherku. "Aku juga," jawabku dengan penuh semangat. Ini adalah sesuatu yang sangat kunanti-nanti, dan aku berharap momen ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Aku telah melalui begitu banyak hal. Aku pantas mendapatkan kebahagiaan sebesar ini setelah semuanya. Perasaan melayang bebas yang membuatku lupa akan segalanya, meski hanya untuk sementara. Oh, Lucas benar-benar pemandangan yang menakjubkan.Wajahnya yang tampan, mata tajam yang membuatku jatuh cinta, dan rambut panjangnya yang jatuh begitu alami, seolah meminta jariku untuk menyentuhnya.Aku merasakan gelombang keinginan yang baru saat melihat pakaiannya yang memperlihatkan otot-ototnya, serta bagian dadanya yang sedikit terbuka karena beberapa kancing yang terlepas. Sebuah liontin perak tergantung di rantai di lehernya. Tanpa bisa menahan diri lagi, aku
Sudut pandang Sandra:Aku berjalan cepat keluar dari lift, suara sepatu hak tinggiku menggema seirama dengan ayunan pinggulku saat melangkah menyusuri lorong menuju kantor ayahku. Pada saat yang sama, aku bisa merasakan tatapan orang-orang mengikuti setiap gerakanku.Beberapa pekerja yang berpapasan menyapaku, tetapi aku tidak menoleh ataupun menjawab, tetap melangkah lurus melewati mereka. Ketika sampai di pintu kantor ayahku, aku langsung masuk tanpa mengetuk. Di dalam, ayahku sedang duduk di mejanya dengan dua pria di depannya. Mereka serempak menoleh saat aku masuk. Ayahku mengangkat alisnya melihat kedatanganku sebelum mengakhiri percakapan dengan tamunya. "Aku akan mengurus sisanya. Kalian berdua bisa pergi sekarang." Kedua pria itu mengangguk dan meninggalkan ruangan, sementara aku melihat mereka keluar. Kemudian, aku kembali menghadap ayahku, berjalan ke salah satu kursi di depan mejanya dan melempar tas tanganku ke atas meja dengan lelah.Ayahku, James Henderson, adala
Mark, sayang sekali tidak akan pernah bisa memuaskan nafsu seksualku. Aku tahu berapa banyak pria yang sudah kucampakkan hanya karena mereka selalu meninggalkanku dalam ketidakpuasan.Sekarang, pria yang akan kunikahi akan hidup di kursi roda? Kemudian, aku akan menjadi orang yang merawatnya seperti seorang pengasuh? Oh, tidak mungkin. Ini mustahil terjadi dalam hidupku.Hanya memikirkan terjebak dalam aliansi dengannya saja sudah membuat kulitku merinding. Kalau saja aku tidak setuju dengan ikatan itu sejak awal, semua ini tidak akan terjadi.Kemarahanku makin memuncak saat membayangkan tatapan mengejek dan bisikan-bisikan pelan dari lingkaran teman-temanku yang kaya ketika berita tersebar bahwa "Sandra Henderson yang sok suci" mendapatkan suami yang pincang dan impoten. Aku akan menjadi bahan tertawaan dalam setiap lelucon mereka.Aku tidak bisa menerimanya. Aku tidak sanggup. Bagaimanapun caranya, aku harus membuat ayahku membuka matanya terhadap kekurangan Mark yang mencolok itu.D
Sudut pandang Sydney:Aku memperhatikan sosok Sandra yang menjauh dengan ekspresi geli. Wanita itu berbakat untuk masuk dan keluar secara dramatis, bahkan ketika hal itu tidak diperlukan. Begitu Sandra tidak terlihat, aku melirik kembali ke arah Mark yang telah berbalik di atas roda kursi rodanya untuk memperbaiki ritsleting celana rumah sakitnya.Amnesianya setidaknya tidak menghilangkan rasa kesadaran dirinya, pikirku. Entah apa yang telah terjadi beberapa detik sebelum aku tiba di pintu. Aku mendengar Sandra mengeluh tentang Mark yang tidak aktif secara seksual atau semacamnya.Mark berbalik menghadapku, alisnya terangkat seolah-olah dia diam-diam menantangku untuk mengomentari keadaannya. Aku merasakan panas menjalar ke leherku akibat menahan tawa. Bahkan saat ingatannya hilang, Mark masih saja bersikap sok tangguh. Konsistensi egois yang mengalir dalam pembuluh darahnya.Aku melipat tanganku di dada dan melangkah memasuki ruangan itu dengan sesantai mungkin. Dengan tatapan tajam,
Minggu-minggu terakhir ini sangat membahagiakan. Akhirnya, aku merasa seperti mendapatkan kembali hidupku dan aku benar-benar menikmatinya.Setelah membantu Mark semampuku, yakin bahwa dia baik-baik saja dan posisinya sebagai CEO masih bisa diselamatkan, aku akhirnya bisa fokus pada pekerjaan dan diriku sendiri.Hatiku dipenuhi kehangatan dan perutku bergejolak karena gembira hanya dengan memikirkan kencan yang lebih sering kulakukan bersama Lucas. Aku juga punya lebih banyak waktu untuk bertemu Lucas. Rasanya seperti kami berdua punya kesepakatan diam-diam untuk meluangkan sedikit waktu setiap kali kami tidak bekerja dan lebih fokus pada hubungan kami.Sejak aku mengenal Lucas, jauh sebelum kami berpisah, aku selalu tahu dia anak yang manis dan akan tumbuh menjadi pria yang lebih manis, tetapi Lucas tetap saja membuatku terpesona.Meskipun sesekali ada berita dan beberapa kabar terbaru dari pengacaraku tentang Bella yang terkadang membingungkanku, tiada hari yang berlalu tanpa aku ter
Pada akhirnya, Bella dikirim ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan perawatan yang memadai, bukan ke penjara. Bahkan sebelum hakim berbicara, aku sudah tahu apa keputusannya.Aku menghela napas lega. Ini adalah hasil terbaik, mungkin yang aku harapkan dalam hati kecilku.Meskipun Bella dan aku telah menjadi orang asing karena Mark, aku merasa telah menghukumnya dengan caraku sendiri.Memang menyedihkan, namun hubungan Bella dengan Isaac sudah lama dan Bella tetaplah saudaraku. Isaac sudah merusak Bella begitu parah dan Bella harus bertindak serius untuk mengatasi hal itu. Jadi, mengirim Bella ke rumah sakit jiwa itu seperti sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.Pertama, aku menyingkirkannya untuk sementara waktu dan memberinya hukuman dengan merampas kebebasannya. Kedua, dia mendapatkan perawatan yang tepat dan menjadi orang yang lebih baik.Teleponku berdering. Aku keluar dari dapur, menari mengikuti alunan nada deringku sambil berjalan ke tempat teleponku berada di ruang
Aku mengangguk. "Aku ibu kandungnya, tapi dia bukan ayahnya." Dokter itu menggeleng. "Ya, Ibu bisa menjadi pendonor untuk transplantasi kalau sumsum tulangnya cocok. Tapi, aku ingin memberi tahu Ibu, sangat jarang ada orang tua biologis yang cocok. Tapi, itu nggak akan menghentikan kita. Ibu akan menjalani tes yang diperlukan untuk menentukan kecocokan." Dokter mengambil sebuah berkas dari tumpukan di mejanya. "Apa Ibu siap untuk melakukan tes kecocokan sekarang atau lebih memilih kami jadwalkan untuk hari lain?" "Sekarang saja, tolong," kataku menyeka air mata di wajahku sambil duduk tegak. Dokter membuka berkas dan mulai mengajukan beberapa pertanyaan. Di sela-sela, dia menjelaskan, "Kami perlu semua informasi ini untuk memastikan pengujian yang sukses dan akurat." "Nggak apa-apa, aku mengerti." Aku mengangguk. Dia melanjutkan bertanya dan aku menjawab dengan cepat. "Baik, Ibu bisa melakukan tesnya sekarang," kata dokter itu sambil berdiri dan melirik ke Dennis yang juga
Sudut pandang Anastasia:Wajahku basah oleh air mata saat aku mengguncang tubuh Amie agar bangun. Aku memeluknya erat-erat dan menangis. Aku bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Sementara aku terisak, Dennis bergegas masuk ke kamar."Ada apa? Apa yang terjadi?" Dia bergegas ke sampingku dan langsung menatap Amie. Dia pun mengerti. Dia langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Dia dengan cekatan mengambil Amie dari lenganku yang gemetar dan meraih kunci mobilnya. Saat dia menggendong Amie ke mobil, aku mengikutinya dari belakang, masih menangis dan memanggil nama putriku.Saat Dennis mengemudi menuju rumah sakit, sebagian perhatiannya tertuju kepadaku. "Nggak apa-apa, Ana," ucapnya seraya meremas tanganku, tatapannya tertuju kepada Amie yang kugendong. "Dia akan baik-baik saja."Saat kami sampai di rumah sakit, sebuah tandu dibawa keluar dan Amie dilarikan ke bangsal. Kami dilarang masuk bersamanya.Aku menangis di baju Dennis saat kami berdua menunggu dokter atau salah satu perawa
Anak laki-laki itu menatap adik perempuannya dan dengan sedikit cemberut, dia melihat sekeliling, matanya mencari apa yang diinginkan adiknya.Aku melihat sekeliling dan menyadari bahwa tidak ada lagi permen. "Permennya sudah habis," gerutuku."Mestinya ada lebih banyak di dapur," jawab Dennis."Aku akan pergi mengambilnya. Tunggu di sini, aku akan segera kembali," kataku kepada Dennis dan pergi.Beberapa detik kemudian, aku mendengar langkah kaki di belakangku. Aku melihat ke belakang dan menggelengkan kepala, menyembunyikan senyumku."Apa? Aku juga mau lebih banyak permen.""Baiklah," kataku sambil tertawa pelan.Begitu kami memasuki dapur, jari-jari Dennis melingkari pergelangan tanganku dan dia menarikku agar mendekat kepadanya.Saat dia menatap mataku, tatapannya berpindah-pindah di antara mataku dan bibirku. Aku pun menggoda, "Memangnya permen itu ada di mataku?"Dengan tawa kecil, dia menundukkan kepalanya dan menyatukan bibir kami dalam ciuman yang menggairahkan.Aku mencengker
Sudut pandang Anastasia:Lima bulan kemudian."Hai!" Aku melambaikan tangan pada salah satu teman Amie yang baru saja masuk bersama ibunya."Selamat datang." Aku menghampiri mereka. "Terima kasih sudah datang."Ibunya tersenyum. "Pilihanku cuma dua, datang ke sini atau mendengar Kayla menangis di telingaku seharian."Kami tertawa, sementara Kayla hanya bisa tersipu malu. Aku menutup pintu, lalu saat kami berjalan lebih jauh ke ruang tamu, aku melihat ibunya menatap bingkai-bingkai foto yang tergantung di dinding, sama seperti semua orang yang pertama kali masuk ke rumah kami.Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil dan aku mengikuti arah pandangannya untuk melihat foto mana yang menarik perhatiannya. Aku menghela napas saat mataku tertuju pada pria di sampingku dalam foto itu.Dengan setelan terbaiknya, begitu katanya, Dennis berdiri sambil melingkarkan lengannya di bahuku, menatap ke arahku. Aku masih mengingat hari itu seolah baru kemarin.Fotografer sampai lelah menyuruhn
Aku rasa mereka berdua memang bersalah dalam beberapa hal, tetapi Clara seharusnya tidak melakukan ini. Oh, dia seharusnya tidak melakukannya. Dia sudah keterlaluan.Clara tahu aku hamil anak Aiden, tetapi dia tidak mengatakan apa pun. Jika bukan demi aku, setidaknya demi bayi itu, dia seharusnya memberitahuku yang sebenarnya. Namun tidak, dia hanya diam dan menyaksikan aku berjuang sendirian membesarkan Amie.Dia ada di sana setiap malam, saat aku menangis diam-diam agar tidak membangunkan Amie karena semuanya terasa terlalu berat. Dia selalu ada di sana. Dia ada di sana, menyaksikan dengan kejam bagaimana Amie tumbuh tanpa seorang ayah.Ya Tuhan! Dia bahkan yang menenangkan Amie setiap kali putriku menangis merindukan sosok ayah!Itu semakin membuatku marah. Bagaimana bisa dia mengaku mencintai Amie, sementara dia yang merenggut bagian penting dalam hidupnya?"Kamu nggak punya pembenaran untuk semua yang sudah kamu lakukan, Clara." Suaraku bergetar, tetapi aku tetap melanjutkan, "Kal
Sudut pandang Anastasia:Wajah Clara terpaling ke samping akibat tamparan keras yang baru saja aku layangkan ke pipinya.Dia terhuyung ke belakang, memegangi wajahnya, lalu menatap lantai dalam diam untuk waktu yang lama.Tamparan itu hanyalah hal paling ringan dari semua yang ingin aku lakukan padanya. Aku benar-benar menahan diri agar tidak melontarkan hinaan sambil menghajarnya. Namun, untuk apa? Itu tidak akan mengubah apa pun. Yang sudah terjadi tetaplah terjadi. Semuanya sudah menjadi masa lalu."Kamu akhirnya tahu." Suaranya terdengar lirih. "Dennis yang memberitahumu, 'kan?""Aku nggak percaya kamu sampai memerasnya agar tetap diam soal ini. Kamu pikir dia sepertimu? Seorang pembohong? Kamu tersenyum padaku, tapi jauh di dalam hatimu, kamu membenciku karena ...." Aku membuat tanda kutip di udara dengan jariku, lalu melanjutkan, "Merebut Aiden darimu."Clara tetap diam, tidak mengatakan apa pun."Clara, kenapa kamu tega? Kamu temanku! Aku percaya padamu. Aku menceritakan segalan
Sudut pandang Anastasia:"Amie ...." Aku mengeluh sambil tertawa. "Kamu belum selesai? Tanganku pegal."Amie terkekeh-kekeh. "Tetap jaga ekspresi wajahmu seperti tadi. Aku perlu menggambar bibirmu dengan benar."Aku menghela napas dan mengangkat kedua tangan ke udara, lalu menyeringai lebar. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa dia ingin menggambarku dengan pose seperti ini.Saat ini, di kamar rumah sakit Amie, aku duduk bersila di kursi dengan tangan terangkat dan senyum lebar di wajahku.Aku bertahan dalam pose itu selama beberapa menit lagi sampai akhirnya Amie meletakkan buku gambarnya dan bertepuk tangan. "Selesai! Mama, kamu kelihatan cantik sekali!"Amie sudah menghabiskan banyak waktu di rumah sakit dengan menggambar, jadi dia semakin mahir. Saat aku bergeser ke tempat tidur untuk melihat hasilnya, aku tertegun melihat sketsa di bukunya. Yang ada di sana bukan sosok manusia yang realistis, melainkan gambar seperti orang-orangan dengan tangan terangkat, kaki bersilang membentu
Sudut pandang Aiden:Aku menggertakkan gigi, mencengkeram setir dengan erat saat melaju ke alamat yang dia kirimkan.Pikiranku kacau. Meskipun aku tahu telah kehilangan Anastasia, dia tetap ada dalam benakku. Aku masih menyalahkan diri sendiri karena tidak berusaha lebih keras mencarinya saat dia pergi pertama kali. Aku menyalahkan diriku karena tidak mengejar taksi yang dia naiki pada hari dia mengakhiri segalanya di antara kami ... sampai ... sampai apa? Mungkin sampai dia meminta sopir untuk berhenti.Sharon juga ada dalam pikiranku, atau lebih tepatnya, kontrak pernikahan terkutuk yang aku miliki dengannya. Sekarang, setelah ayahnya menelepon dan memintaku menemuinya di sebuah alamat yang dia kirimkan, aku yakin kekacauan akan segera dimulai.Jika dia memintaku untuk menemuinya di sini, itu berarti dia telah terbang ke negara ini.Aku sebenarnya bisa saja mengabaikan panggilannya, terutama setelah aku benar-benar menyadari bahwa aku telah kehilangan Ana. Yang aku inginkan hanyalah
Dia tampak terkejut, yang entah kenapa justru membuatku heran. Aku hanya berharap dia tidak meragukan dirinya sendiri karena tadi malam dia benar-benar sempurna.Dennis menggeleng, lalu menenggak habis isi cangkirnya. "Aku harus memberitahumu sesuatu."Aku terdiam, tanganku membeku di udara, masih memegang sendok pengaduk teh. "Apa yang ingin kamu katakan padaku?"Dia mengalihkan pandangannya, menatap sesuatu di belakangku sebelum akhirnya kembali menatapku. "Ini tentang Aiden ... lebih tepatnya tentang apa yang terjadi bertahun-tahun lalu, tentang tuduhan perselingkuhannya.""Oh," gumamku datar. "Itu." Itu sudah berlalu. Lagi pula, sekarang semuanya baik-baik saja. Dia akan menikah dengan seseorang yang mencintai dan mempercayainya, sementara aku sudah menemukan seseorang yang kusukai dan yang juga mencintaiku. Semuanya sudah sesuai dengan jalan yang memang seharusnya kami tempuh."Ya, itu." Dennis melanjutkan dengan hati-hati, sepertinya salah paham dengan ekspresiku. "Sebenarnya, di