Aku menaiki mobilku dan melaju melewati batas kecepatan saat aku memacu mobilku ke apartemen Bella.Sejak pesta ulang tahun yang berakhir dengan tangisannya, Bella tidak pulang ke tempatku. Jadi, seharusnya dia berada di apartemennya atau mungkin dia memutuskan untuk menangis di pelukan kekasihnya.Yah, apa pun itu, aku akan mengetahui kebenarannya saat aku sampai di apartemennya.Aku tidak mau repot mengemudikan mobil ke halaman rumahnya atau memarkirnya dengan rapi. Aku hanya menghentikan mobil, mencabut kunci, dan menaiki tangga menuju apartemen Bella. Saat aku sampai di pintunya, aku tidak ragu untuk menghantamkan tinjuku ke pintunya."Bella!" teriakku dengan segenap kemarahan dan rasa sakit yang aku rasakan. Tidak ada jawaban dari dalam, tetapi aku tidak menyerah. Aku terus menghantamkan tinjuku ke pintunya.Aku mengangkat tinjuku untuk menghantamkannya ke pintu untuk keempat kalinya, tetapi aku mendengar suara gaduh dari dalam. Aku berhenti dengan tangan yang masih menggantung di
Sudut pandang Mark:Aku bergegas mengejar para perawat saat mereka mendorong Bella ke dalam rumah sakit dengan brankar. Tidak ada yang datang saat aku berteriak meminta bantuan setelah Bella mulai pendarahan, tetapi begitu aku turun ke lantai bawah, ambulans telah tiba.Dengan tergesa-gesa, aku masuk ke ambulans dan memegang tangan Bella. Aku memanggil namanya beberapa kali dan berharap dia akan terbangun, tetapi matanya tetap tertutup.Dokter tiba-tiba muncul dari sudut ruangan. Dia menggantungkan stetoskopnya dengan asal di lehernya. Sambil berjalan cepat mengikuti para perawat yang mendorong brankar, aku menjelaskan semua yang terjadi pada sang dokter."Kayaknya orang itu sempat memukuli Bella, karena dia tiba-tiba mulai pendarahan."Dokter itu mengangguk dan memasuki bangsal tempat mereka membawa Bella. Dia sudah dibaringkan di ranjang rumah sakit. Aku tidak diizinkan masuk ke bangsal, jadi aku tetap berada di luar pintu dan mengamati melalui kaca tembus pandang di pintu.Dokter it
"Dok, apa pasiennya sudah bangun? Apa saya boleh ketemu dia sekarang?" Akhirnya, aku bisa bersuara.Namun, dokter itu hanya menggeleng. "Pasien masih tidur karena pengaruh anestesinya. Pasien akan dipindahkan ke kamar perawatan sekarang. Dalam beberapa menit lagi, pasien pasti sudah bangun.""Makasih, Dok." Dokter itu mengangguk, lalu pergi.Aku berada di ruang tunggu sambil mencoba untuk tetap sabar menunggu Bella terbangun. Lalu, seorang perawat menghampiriku, "Pak Mark, pasien yang Anda bawa sudah dipindahkan ke kamar dan sekarang sudah bangun. Kalau Anda mau ketemu pasien sekarang, saya bisa antar Anda ke bangsalnya."Aku berdiri dan mengangguk. "Tolong antarkan saya ke kamarnya." Perawat itu memimpin jalan dan aku mengikutinya. Kami melewati beberapa kamar lain sampai akhirnya sang perawat berhenti di depan sebuah pintu.Dia membuka pintunya. "Ini bangsalnya, Pak."Aku memasuki bangsal dan perawat itu pergi meninggalkanku berdua dengan Bella. Wajah Bella sedang menoleh ke sisi lai
Gelombang kemarahan yang dahsyat menyelimutiku. Perasaan ini datang mewakili Sydney dan diriku. Aku menatap Bella dengan pandangan penuh penghinaan."Nggak usah salahkan Sydney terus ataupun nutupi kebohonganmu dengan membuatnya tampak buruk. Ini nggak ada hubungannya sama dia. Aku bahkan sudah lama nggak berhubungan dengannya, lebih tepatnya sejak kami bercerai. Jadi, jangan libatkan dia.""Percayalah, sejak Syd …. "Aku menutup mata dan menggertakkan gigiku, berusaha menahan amarahku. Namun, Bella membuatnya semakin sulit. "Diam, Bella. Aku nggak mau dengar kebohonganmu yang dibuat-buat lagi. Aku sudah cukup mendengarnya.""Mark …. ""Sebaiknya kamu istirahat. Aku pergi dulu. Akan kutelpon Michael dan Clarissa biar mereka datang menjemputmu," perintah aku.Darah seolah-olah mengalir dari wajah Bella. Matanya membelalak penuh kepanikan. Tubuh dan suaranya gemetar saat dia berteriak, "Apa kamu mau putus denganku?!"Aku mengangkat alisku. "Memangnya kita pernah pacaran? Kita nggak perna
Sudut pandang Sydney:Aku menautkan alisku saat melihat judul berita yang baru saja muncul di notifikasi ponselku. Judul yang mencolok itu bertuliskan.[ Wanita Licik Mengalami Keguguran, Kehilangan Tiket Menuju Kekayaan. ]Sebuah foto Mark sedang menggendong Bella yang berlumuran darah ke dalam ambulans terlampir di postingan berita tersebut. Meskipun wajah mereka sedikit kabur karena mosaik tipis, siapa pun yang akrab dengan kalangan atas pasti bisa mengenali mereka dalam sekejap. Itu karena Bella sering memamerkan foto-foto kehamilannya di media sosial.'Apa mereka bertengkar atau semacamnya?' pikirku penasaran. Namun, rasa ingin tahu itu tidak cukup untuk membuatku ingin membuka beritanya dan mengalihkan perhatian dari pekerjaanku.Aku menghela napas, lalu menggulir layar ponselku ke gambar sampel perhiasan yang diinginkan seorang klien. Inilah tujuanku mengambil ponsel. Aku membandingkannya dengan sketsa yang telah kubuat dan menggelengkan kepala.Aku sudah puas dengan apa yang ku
"Kami benar-benar …. "Aku bersandar di kursi dan memotong ucapannya, "Aku penasaran, apa seorang anak perempuan hanya alat untuk kamu gunakan? Apa begitu kami semua bagimu? Apa kamu selalu menganggap Bella begitu?"Aku berhenti sejenak, tiba-tiba gambaran tentang Mark menggendong Bella yang berlumuran darah terlintas di pikiranku. "Aku benar-benar penasaran, apa kamu sudah mengunjungi Bella di rumah sakit? Atau kamu belum mendengar apa-apa?""Aku …. " Suara ayah terdengar tercekat. Aku bahkan merasa kesal dengan diriku sendiri karena masih menganggap mereka sebagai orang tuaku. "Aku akan pergi sekarang juga!" katanya dengan tergesa-gesa."Saran dariku, berhentilah sebelum semuanya terlambat. Menabunglah untuk dirimu sendiri dan ibu supaya kalian nggak benar-benar jadi gelandangan. Dan tolong jangan hubungi aku lagi!" kataku dengan tegas lalu mengakhiri panggilan telepon dan memblokir nomor itu. Aku penasaran nomor mana lagi yang akan dia pakai untuk menelepon.Aku mendorong ponselku k
Sudut pandang Bella:"Terima kasih." Aku masih terbaring di ranjang dengan posisi telungkup dan suaraku terdengar serak, bahkan tidak sedikit pun terkesan bersyukur. "Bisakah kalian pergi sekarang?""B …. ""Ibu!" Aku berbalik dengan marah dan menatap tajam pada mereka. "Apa kalian nggak bisa pergi? Tolonglah, aku ingin sendirian!"Dadaku naik turun dengan cepat karena marah sambil melihat mereka saling bertukar tatapan. Mereka lalu berdiri dan keluar dari kamar.Aku melihat barang-barang yang mereka bawa untukku, lalu menyingkirkan makanan yang diberikan untukku dan meraih ponselku. Dengan tergesa-gesa, aku menggulir layar ponselku untuk mencari berita, blog, dan komentar-komentar yang ada.Seperti yang mereka katakan, berita itu sudah menyebar ke mana-mana. Setiap saluran berita hiburan, blog, bahkan kanal media mengolok-olokku karena ditinggalkan oleh Mark.[ Wanita matre berpura-pura hamil untuk menjebak miliarder Mark Torres. ][ Wanita hamil yang mencoba memaksakan dirinya masuk
Aku memberi tahu tujuanku kepada sang supir taksi lalu kami pun berangkat. Setelah sampai di tujuan, aku mentransfer biaya taksi padanya dan melihatnya pergi.Saat aku berdiri di sana, mataku memindai bangunan kantor mewah yang besar dan luas di depanku. Di seberang sana, ada kafe tempat aku menangkap Sydney yang sedang menguping percakapanku dengan Isaac. Berhubung dia mengklaim bahwa dia bekerja di sini, maka akan kupastikan kebenarannya.Aku berjalan mendekat ke bangunan itu dengan terkesima. Dari dekat, bangunan itu sungguh luar biasa. Dinding kaca di lantai atas berkilau di bawah sinar matahari. Cerminan langit dan gedung-gedung di sekitarnya terlihat jelas. Aku sampai membayangkan seperti apa tampak interior di dalamnya dan bagaimana rasanya duduk di kursi kantor sana.Aku menggelengkan kepala dan kembali fokus pada alasan utamaku datang kemari. Aku tidak punya banyak waktu untuk berdiri di tempat yang bisa dengan mudah dikenali orang lain dan hanya untuk mengagumi keindahan temp
Aku mencengkeram rokku dengan erat sambil mencoba menenangkan ketakutanku serta menstabilkan detak jantungku yang kacau. Hal seperti ini benar-benar asing bagiku dan juga sangat menakutkan."Berlutut." Aku tersentak mendengar suaranya dari belakangku. Dengan patuh, aku berlutut, meringis saat lantai keras menggores lututku.Tavon mengangguk puas, matanya bersinar dengan tatapan aneh. "Kamu penurut, bagus."Dia berjalan ke salah satu sisi ruangan dan mengambil sebuah cambuk. Bulu kudukku meremang ketika dia mendekatiku. Tangan tuanya mencengkeram cambuk itu dengan erat. Sebelum aku bisa memproses apa yang akan terjadi atau mencoba memprotes, dia tiba-tiba mengangkat tangannya dan langsung mencambukku kulitkuPunggungku melengkung saat aku mencoba menghindari rasa sakit yang menyengat itu. Jeritanku menggema di seluruh ruangan, rasa sakit itu menyebar ke seluruh tubuhku, air mata menggenang di mataku."Kamu suka ini?" Suaranya kasar, matanya dipenuhi gairah yang mengerikan.Sial, bagaima
Aku memaksa diriku untuk tetap tenang. Aku melepaskan genggaman tanganku yang erat, berhenti menggertakkan gigi, dan memberikan senyuman terbaikku padanya, meskipun aku merasa mual karena jijik. Menjaga kepura-puraan ini sangat melelahkan, tetapi aku tahu aku harus tetap bersandiwara jika ingin rencana ini berhasil.Peringatan Dylan terngiang di pikiranku. Satu kesalahan saja bisa berarti kematianku. Jadi, aku memasang ekspresi manis dan lembut, tidak peduli seberapa besar rasa mual yang kurasakan.Bibir Tavon membentuk senyuman jahat. Tangannya yang berkeliaran berhenti di lekuk pantatku dan menekannya secara halus sambil menoleh ke arah Dylan. "Nak, kamu selalu tahu apa yang aku suka."Dylan mengangguk dengan senyum puas, matanya berbinar-binar. "Paman, kepuasanmu selalu menjadi kebahagiaan terbesarku."Bulu kudukku meremang mendengar kata-kata Dylan. Pengabdiannya dengan menjilat kepada pria bejat ini benar-benar menjijikkan. Bagaimana mungkin dia begitu antusias, begitu bangga, mel
Sudut pandang Sydney:Sekitar satu jam setelah Dylan mendandaniku, dia diberi tahu bahwa mobil sudah siap. Dia berganti ke setelan jas yang, menyebalkannya, membuatnya terlihat semakin mirip Lucas.Aku tidak melewatkan rasa iri yang sekilas muncul di mata para wanita lain saat Dylan dengan kasar menyuruh mereka bersikap baik dan tetap di kamar mereka, lalu pergi bersamaku. Aku rasa mereka pasti ingin menjadi paket yang akan dikirimkan. Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya apakah dia pernah menawarkan salah satu dari mereka kepada pamannya juga.Kami masuk ke dalam mobil, dan sopir membawa kami ke tempat di mana aku akan bertemu dengan Paman Tavon.....Setelah beberapa menit perjalanan yang menyesakkan bersama Dylan, akhirnya kami sampai di tujuan, dan aku bisa bernapas lega lagi.Mobil berhenti di depan mansion besar, tetapi yang satu ini jelas lebih mewah dan megah dibandingkan dengan tempat tinggal para wanita Dylan. Aku perlahan mengangguk pada diri sendiri. Aku bisa me
"Aku nggak butuh bantuanmu!" Aku ingin meludah ke wajahnya dan menunjukkan semua kebencian yang kurasakan padanya, tetapi itu pasti akan merusak segalanya, bukan? Itu bahkan bisa membuatku kehilangan nyawa.Jadi, sebagai gantinya, aku memasang senyuman tipis di bibirku dan berbalik menghadapnya. Aku mengejapkan bulu mataku padanya, "Aww." Aku mendesah manja. "Terima kasih."Sambil tersenyum sinis, dia bangkit dari kursinya dan berjalan mendekatiku. Tiba-tiba, lingerie yang kupakai dirobek olehnya dari tubuhku dan dilemparkannya begitu saja, lalu dia merebut gaun itu dari tanganku.Aku terperanjat dan menatapnya dengan mata terbelalak, tetapi dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia bahkan tidak melihatku dan senyum itu telah lenyap dari wajahnya. Alisnya berkerut dalam konsentrasi saat dia memakaikan gaun itu kepadaku dan mulai mendandaniku.Tangannya bergerak begitu terampil seolah-olah dia sudah terbiasa melakukan hal ini.Saat dia selesai, dia melangkah mundur dan menatap tubuhku
Dengan hati-hati, aku mengambil gaun itu darinya dan dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan benar-benar menyerahkannya padaku. Dengan kedua tanganku menggenggam sisi gaun, aku mengangkatnya di depan tubuhku dan membentangkannya sepenuhnya agar bisa melihat desainnya dengan jelas.Itu adalah gaun merah panjang yang langsung membuatku tercengang. Saat aku melihatnya lebih dekat, aku menyadari bahwa bahan gaun ini adalah sutra halus dan mewah dengan tekstur yang begitu lembut sehingga aku bisa langsung tahu bahwa aku akan menyukai sensasinya saat kain itu mengenai kulitku.Panjangnya saja sudah memberikan kesan elegan dan berkelas, tetapi desainnya yang berani, menjadikannya jauh dari kesan sederhana. Kamu hanya perlu melihatnya untuk mengetahuinya.Sebagai pemilik bersama lini pakaian dengan sahabatku, Grace. Aku telah terbiasa dengan banyak desain mode yang menakjubkan dan indah selama bertahun-tahun. Namun, aku tidak bisa menyangkal bahwa gaun yang dipilih Dylan ini memiliki keunikan d
Sudut pandang Sydney:Aku langsung menarik diri dari pelukan Dylan begitu mendengar suara tepukan tangan.Sambil menatap Dylan yang hanya berjarak beberapa sentimeter dariku, aku tetap membiarkan lenganku melingkar di lehernya. "Kenapa kamu tepuk tangan?" tanyaku dengan senyum kecil, mataku mencari-cari petunjuk di wajahnya. Ada kilatan nakal di matanya yang membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dia rencanakan.Dylan hanya balas tersenyum, tidak repot-repot menjawab. Dan dia memang tidak perlu menjelaskan apa pun karena, tepat saat itu, salah satu anak buahnya membuka pintu kamar dan melangkah masuk.Pria itu membawa sebuah kantong belanja di tangannya. "Selamat malam, Pak," sapanya sopan sambil menunduk sedikit, lalu mengangguk padaku. "Nona." Wajahnya tetap datar, tidak memberi petunjuk apa pun tentang isi kantong yang dibawanya.Aku melirik pria itu lalu kembali menatap Dylan, masih dengan tangan yang melingkari lehernya."Apa itu?" tanyaku sambil mengangkat alis, penuh selidik.
Tanpa memberinya kesempatan untuk mengajukan keberatan lebih jauh, aku langsung membungkamnya dengan ciuman yang intens.Sekejap saja, bibirnya sudah bergerak membalas ciumanku, tangannya mencengkeram erat pinggangku dan menarikku lebih dekat ke dadanya. Lalu, satu tangannya meluncur turun, meremas bokongku seolah-olah tubuhku adalah miliknya.Aku menggeliat di atas pangkuannya, merasakan tonjolan keras di balik celananya. "Sial, Sydney," desahnya kasar sebelum menggigit bibir bawahku dengan keras, lalu mengisapnya seakan-akan hendak menghapus bekas yang baru saja dia tinggalkan.Dalam permainan balas dendam yang berkedok cinta ini, kami terus menguji dan menebak satu sama lain. Aku bertanya-tanya, apakah dia bisa melihat senyum palsuku, atau kasih sayang yang hanya merupakan ilusi belaka? Hatiku bergidik saat memikirkan kemungkinan itu.Dylan meremas bokongku lebih kuat, membuatku kembali menggeliat di atasnya. Aku mengerang pelan yang terdengar begitu meyakinkan walaupun semuanya han
"Tentu saja aku keberatan karena kamu ngebunuh sahabatku," kataku pelan, berusaha menjaga agar suaraku tetap terdengar lembut tanpa memperlihatkan kemarahan atau kebencian yang tersembunyi di baliknya. Aku menampilkan gambaran sempurna seorang wanita yang jatuh cinta terlalu dalam, yang sedang mengungkapkan kenyataan pahit pada pria yang dicintainya."Tapi Lucas memang sudah sakit parah sejak lama. Bahkan kalau kamu nggak melakukan apa-apa, dia nggak akan bertahan lebih lama lagi. Mungkin, dengan cara ini, kamu justru membebaskan dia dari penderitaan lebih cepat. Selama ini, dia terus dihantui rasa sakit dan siksaan dari segala penyakit yang bikin tubuhnya melemah …."Aku mengangkat bahu seolah-olah kematian Lucas tidak lagi membebani pikiranku."Lagi pula, aku nggak bisa membenci laki-laki yang sekarang jadi alasan jantungku berdetak. Aku cuma ingin bisa bersama orang yang aku cintai, hanya itu yang aku mau. Aku yakin Lucas nggak akan nyalahin aku … atau bahkan nyalahin kamu, karena k
Sudut pandang Sydney:Tawaku meledak karena ucapan Dylan yang menggelikan. Bagaimana mungkin dia bisa cemburu pada orang yang sudah mati?Dylan berdiri di sana, berusaha terlihat mengintimidasi dengan tatapan marahnya, tapi malah terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk. Di saat itu, rasanya hampir seperti saat aku sedang bercanda dengan Lucas, dan bukan dengan Dylan.Konfrontasi ini sebenarnya pertanda baik walaupun tingkah Dylan ini agak terlalu dramatis. Ini artinya sandiwara yang selama ini kurancang dengan hati-hati masih berjalan sesuai rencana.Mungkin aku belum sepenuhnya memasuki hatinya yang gila itu, tapi setidaknya aku sudah berhasil masuk cukup jauh ke dalam pikirannya yang rapuh."Maaf," kataku terkikik sambil menutup mulut dengan tanganku untuk menahan tawa. Aku pun turun dari tempat tidur dan berdiri di hadapannya. Aku tidak bisa menahan rasa geli melihat kecemburuan Dylan terpicu oleh sesuatu yang begitu sepele. Dia benar-benar konyol.Selagi aku masih tertawa p