Khair berhenti, sedikit memutar tubuhnya agar menghadap Lena. "Saya akan menikahimu," ucapnya setelah mereka berdua sampai di halaman tempat tersebut.
Ucapan Khair seketika membuat Lena terperanjat. Mungkinkah saat ini pendengarannya sedang bermasalah? Atau pria di hadapannya justru sedang bercanda.
"Duduklah Lena, malam ini saya ingin mengatakan hal penting padamu," ujar Khair.
Mereka duduk bersisihan di bangku depan kelab malam. Suasana di luar sepi, meski kadang masih ada beberapa orang lewat.
"Pakai ini, udara malam tidak bagus untuk kesehatanmu." Khair melepas jasnya dan memberikannya pada Lena.
Perhatian seperti ini yang selalu saya rindukan, Mas, batin Lena.
"Lena, saya berniat serius melamarmu. Saya ingin kamu menjadi istri saya." Khair mengulang ucapannya yang tadi sempat terjeda untuk beberapa saat.
Lena menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Dia benar-benar tidak menyangka Khair akan mengatakan hal ini. Harusnya dirinya senang, sebab Tuhan menampakkan jalan keluar atas kehidupan gelapnya selama ini. Namun, saat ini hatinya masih bimbang antara menerima Khair atau menolaknya. "Maaf, bukannya saya menolak, tapi banyak yang Mas Khair belum tahu tentang saya. Mas Khair pria shalih tidak pantas bersanding dengan wanita hina seperti saya."
Apalagi yang belum Khair ketahui tentang perempuan itu? Dia sudah melihat semuanya. Mulai dari pekerjaan Lena, tentang Pak Santoso yang memperlakukan Lena semena-mena dan juga keterpaksaan Lena bekerja sebagai wanita malam. Bukankah seharusnya itu lebih dari cukup?
"Apa karena kamu adalah seorang wanita penghibur?" tanya Khair tanpa memandang ke arah Lena.
"Lebih dari itu. Bahkan saya sudah tidak suci lagi," ujar Lena. Dia mendongakkan kepala agar air matanya tidak jatuh. Sayangnya, saat ini dia terlalu rapuh untuk menahannya. Hatinya terasa perih saat mengingat bahwa dirinya telah gagal menjaga kehormatannya.
"Emangnya kamu tahu darimana kalau saya ini pria shalih? Apa karena rajin beribadah atau tutur kata saya yang menurutmu lembut? Lena, saya ini manusia biasa, yang juga punya banyak dosa. Hanya saja mungkin saat ini Allah SWT sedang menutup aib saya sehingga terlihat baik di matamu," jelas Khair.
"Tapi bukankah lelaki baik adalah untuk wanita baik, dan akan sangat tidak pantas jika Mas Khair memilih perempuan hina seperti saya untuk dijadikan pendamping hidup," sahut Lena seraya menyandarkan punggungnya di bangku.
"Memangnya kenapa? Kita bisa belajar bersama. Saya akan berusaha membimbingmu menjadi sebaik-baik perhiasan dunia. Tidak perlu imbalan apa-apa, yang penting kamu bersedia taat. Itu saja."
Semua perkataan Khair membuat Lena tak sanggup lagi menyembunyikan perasaannya. Hatinya bahagia, tapi juga ragu. Dia terlalu takut untuk mencintai pria seperti Khair. "Sebenarnya saya tidak berniat mengatakan hal ini, Mas. Saya cukup tahu diri, tapi jujur hati ini sakit saat berusaha mencegah rasa cinta itu hadir. Karena sebenarnya Saya juga ingin hidup bersama Mas Khair. Saya sudah capek bergelimang dosa seperti ini. Saya ingin menjadi wanita yang lebih baik. Tapi apa daya? Semua sudah terjadi. Saat ini saya sedang belajar menerima, mungkin inilah takdir yang harus saya jalani." Lena menumpahkan segala rasa sesak dalam dadanya.
"Jika kita berdua saling mencintai. Lalu sekarang apa masalahnya? Lena, obat terbaik dari rasa rindu akan dua orang yang sedang jatuh cinta adalah pernikahan. Kita harus membawa rasa ini dalam ikutan suci agar nantinya tidak menimbulkan dosa," jelas Khair.
"Bagaimana dengan keluargamu, Mas? Apa mereka akan setuju? Belum lagi ucapan orang sekitar, mereka pasti akan mencemooh Lena habis-habisan," ucap Lena. Dia membenamkan wajah di telapak tangannya.
"Lena, saat ini saya memang belum tahu Mama setuju atau tidak. Tapi kita bisa coba, semoga beliau memberikan restu. Selagi kita melakukan perkara baik serta tidak merugikan orang lain, maka di situlah kita tidak perlu risau akan perkataan buruk mereka."
Lena menengadahkan wajahnya ke langit, menyimak setiap kata yang keluar dari bibir Khair dengan seksama. Sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, perkataan pria itu membuat hatinya merasa tenang.
'Duhai Allah, Tuhan pemilik alam semesta.
Apa ini yang disebut jalan menuju hidayah? Saat aku ingin berubah menjadi lebih baik dan engkau mengirimkan pria shalih seperti Mas Khair. Pria yang bersedia menerima dengan lapang dada segala kekurangan hambamu yang hina ini.
Duhai Allah.
Jika memang dia adalah pria yang engkau takdirkan untuk memperbaiki akhlakku, maka mantapkanlah hatiku dan ridhailah hubungan kami. Sungguh, hambamu ini pasrah atas segala keputusanmu. Karena hamba percaya segala ketentuanmu adalah yang terbaik untukku.'
"Lena? Kok malah diam. Apa jawabannya?" Suara Khair seketika membuat Lena tersadar dari lamunannya.
"Apa Lena benar-benar pantas untuk bersanding dengan Mas Khair?" Kalimat itu sepertinya tak akan pernah bosan untuk Lena ucapkan.
"Lena, harus berapa kali saya bilang padamu? Sekarang dengarkan baik-baik! Kita ini manusia biasa yang tak lepas dari salah dan dosa. Tapi siapa pun diri kita di masa lalu, kita tetap berhak menjadi lebih baik di masa depan. Sekarang untuk kesekian kalinya saya bertanya padamu. Maukah kamu menemani saya hingga maut memisahkan?"
Lena mengangguk. Penuturan Khair membuat dirinya berhasil menepis segala keraguan dalam hati. "Saya mau, Mas. Saya bersedia menemani Mas Khair sampai kapan pun dan dalam keadaan apa pun," ucapnya tersenyum sembari menghapus sisa air matanya.
"Alhamdulillah. Nah, jawab gitu aja dari tadi muter-muter terus kalimatnya." Khair terkekeh. "Tunggu sebentar, ya!" lanjutnya.
Khair berjalan menuju bagasi mobil lalu membukanya. Tak lama kemudian, dia membawa sebuah paperbag di tangannya. "Sekarang ganti bajumu dengan gamis ini. Malam ini saya mau ajak kamu ketemu Mama," ujar Khair seraya menyodorkan paperbag tersebut.
"Ta-tapi Lena takut," sahut Lena.
"Takut? Mama nggak gigit kok, tenang aja." Khair tersenyum.
Astaga! Senyummu benar-benar membuatku melayang, Mas, batin Lena.
"Udah cepetan masuk. Ingat ya! Nggak lebih dari sepuluh menit. Saya nggak mau nunggu lama, ntar kamu malah melayani pelanggan lagi," ucap Khair.
"Ck, sekarang saya udah tobat kok," lirihnya.
Lena bergegas masuk ke kelab malam untuk mengganti pakaiannya. Sementara Khair menunggu di luar.
Tak lama kemudian dia keluar dengan senyuman yang mengembang. "Gimana? Udah cantik belum? Kok nggak dilihatin?" godanya pada Khair.
"Udah mulai genit ya kamu sekarang." Khair memalingkan wajahnya. Dia takut tidak bisa menjaga pandangannya.
"Ngomong-ngomong, gimana kalau Mami marah?" tanya Lena dengan ekspresi menunduk.
"Tenang aja, semua udah beres kok," sahut Khair.
"Hmm, bagus deh. Ayo! ntar keburu malam." Tentu saja Lena bersemangat. Dia akan bertemu calon mertuanya. Melihat sikap Khair yang lembut, pasti mamanya jauh lebih lembut. Itu yang ada di pikiran Lena saat ini.
~oOo~
"Mel, ada apa? Tumben ke sini malam-malam?" tanya Mama Reta saat melihat Melody masuk ke rumah dan langsung menghempaskan tubuh di dekatnya.
"Hmm, kebetulan tadi Melody habis ke rumah teman, jadi sekalian mampir. Ini Mel bawakan martabak kesukaan Tante." Melody meletakkan sebuah bungkusan di meja.
"Kamu ini emang calon mantu idaman. Udah pinter, baik lagi. Sampai hafal makanan kesukaan Tante segala," ucap Mama Reta seraya mengangkat dagu Melody.
Melody tersenyum. "Tante bisa aja, ngomong-ngomong kok sepi banget, di mana Mas Khair?" tanya Melody seraya memperhatikan keadaan sekitar.
"Tadi sih katanya ada urusan. Tante juga nggak tahu mau ke mana. Sepertinya buru-buru. Oh, ya, gimana hubungan kalian?" Mama Reta mematikan televisi di hadapannya dan beralih membuka martabak yang dibawakan Melody.
"Masih gitu-gitu aja, Tan. Mas Khair nggak respect sama Mel." Melody menunduk.
"Jangan sedih gitu, dong. Mungkin Khair masih sibuk ngurus perusahaan. Tapi Tante yakin, lama-lama dia pasti suka sama kamu."
"Assalamualaikum!" Terdengar suara Khair dari luar.
Menyadari yang datang adalah Khair, Melody segera bergegas menuju pintu depan. Sayang, langkahnya langsung terhenti saat melihat seorang perempuan berjalan ke arah Khair. "Siapa dia, Mas?" tanya Melody. Setelah Lena berdiri tepat di samping Khair.
"Oh, ya, kenalkan ini Lena, calon istri Mas," ucap Khair seraya tersenyum pada Melody.
Dorr!
Jawaban Khair bagai bom yang menghantam tubuh Melody dengan keras. Sekarang hatinya terasa membeku, persis seperti dinginnya udara malam.
Lena mengulurkan tangan ke arah Melody, tapi perempuan itu tak merespon apa-apa.
"Calon istri?" tanya Mama Reta seraya menghampiri mereka. "Kamu nggak lagi bercanda kan Khair?" lanjutnya.
"Khair nggak bercanda, Ma. Selama ini Mama nyuruh Khair nikah, kan? Nah, sekarang Khair bawa calonnya," jelas Khair.
Sementara Lena dan Melody masih diam di tempatnya tanpa sepatah kata pun. Mereka berkutat pada pikiran masing-masing.
Mama Reta berjalan menghampiri Lena. "Siapa nama kamu?" tanyanya acuh tak acuh.
"Lena, Tante," ucap Lena menunduk.
"Hmm, ayahmu namanya siapa? Terus dia kerja apa?" tanya Mama Reta dengan nada menginterogasi.
"Ayah saya namanya Santoso, Tan. Beliau sedang tidak bekerja."
Mata Mama Reta membulat sempurna, seolah ada yang salah dengan perkataan Lena. "Santoso seorang pemabuk dan tukang judi itu?" Pertanyaan Mama Reta membuat Lena dan Khair terkejut.
"Dari mana Mama tahu kalau Pak Santoso pemabuk dan pejudi?" Khair malah balik bertanya.
"Mama tahu karena dulu mama pernah dekat sama dia. Tapi untungnya mama nolak waktu diajak nikah. Karena mama tahu dia itu orangnya nggak bener," ucap Mama Reta.
Entah mengapa Lena merasa kalimat terakhir Mama Reta ditujukan padanya. Karena wanita itu melirik ke arah Lena.
Astaga! Kenapa jadi kaya gini, sih, batin Khair.
"Pokoknya kamu harus putusin perempuan ini ya, Khair. Karena mama nggak mau besanan sama mantan. Titik!" Mama Reta berjalan meninggalkan mereka bertiga. Bahkan dia tidak peduli dengan tatapan heran Melody.
"Ma ... Khair belum selesai bicara," ucap Khair dengan suara agak keras. Dia berharap Mama Reta mendengar suaranya dan kembali menemui Lena. Sayangnya, perempuan itu benar-benar tak peduli. Mama Reta malah berjalan menaiki tangga dan menuju kamarnya.Khair memandang Lena yang sedari tadi hanya diam. Khair tahu perempuan itu pasti kecewa sebab sikap Mama Reta tidak seperti apa yang Lena bayangakan. Bahkan mungkin Lena tersinggung dengan perkataan Mama Reta yang tajam, meski sebenarnya semua itu benar adanya."Lena, kamu duduk dulu ya! Anggap aja rumah sendiri. Saya tinggal ke atas sebentar," ucap Khair lembut lalu bergegas menyusul Mama Reta. Sepertinya memang dia harus bicara dengan mamanya itu.Lena mengangguk. Perempuan itu memandang Khair dengan tatapan tak berdaya. Ternyata pemikirannya salah, Mama Reta tak menyukainya. Padahal dia sangat berharap nantinya akan mendapatkan kasih sayang dari calon mertuanya. Karena semenjak ibunya pergi bersama lelaki l
"Len, tumben jam segini sudah masak? Pulang jam berapa tadi?" tanya Pak Santoso seraya menuangkan air putih ke dalam gelas lalu menenggaknya."Jam sembilan," ucap Lena cuek.Pak Santoso tampak tersedak mendengar jawaban Lena dan buru-buru meletakkan gelas yang masih berisi setengah air itu ke atas meja."Kamu nggak melayani pelanggan?" tanyanya lagi."Nggak, Lena pergi sama Khair," sahut Lena dengan wajah datar.Brakk!Pak Santoso menggebrak meja di hadapannya, seketika terdengar suara dentingan sendok dan garpu secara bersamaan.Lena sudah menduga, ayahnya pasti marah mendengar perkataannya. Namun, dia sudah tidak peduli lagi, sekalipun sang ayah menghajarnya habis-habisan karena telah melarikan diri dari kelab malam. Semua itu tetap tidak akan mengembalikan kehormatannya yang telah terenggut. Siksaan dari ayahnya sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Lena."Kamu ini sudah nggak waras? Mami Dora bisa pecat kamu k
Setelah semua pekejaan kantor dan meeting selesai. Aida dan Khair menuju supermarket. Kini mereka sedang memilih barang untuk diberikan pada Lena. "Sepertinya yang ini bagus, Pak," ucap Aida sembari menenteng satu boneka dengan warna biru muda berbentuk beruang dilengkapi love di bagian perutnya."Kira-kira Lena suka nggak, Ai?" tanya Khair seraya mengambil alih benda itu dari tangan Aida dan mengamatinya."Mudah-mudahan suka, Pak," sahut Aida. "Sepertinya ini sudah cukup. Ada cokelat, jam tangan, parfum sama boneka ini," lanjutnya."Oke kita ke sana mumpung belum terlalu siang. Hari ini kamu ada acara nggak?" tanya Khair."Kebetulan saya lagi free, Pak." Aida membawa semua barang belanjaan mereka dan menuju kasir. Khair mengikuti langkah Aida, lalu membayar semua belanjaan mereka setelah kasir menyebutkan nominalnya, dan segera bergegas menuju rumah Lena.***Lena mengambil sapu dan mulai membersihkan rumahnya. Mungkin aca
Khair ingin menceritakan sedikit tentang kehidupan Lena, mumpung mood mamanya sedang baik. Sayangnya, Melody lebih dulu datang dan menyapa mereka."Assalamualaikum," sapa Melody dengan membawa sebuah rantang di tangannya."Waalaikumsalam. Duduk, Mel! Tante kangen sama kamu." Mama Reta memeluk perempuan itu layaknya menantunya sendiri."Ini ada titipan dari Bunda untuk Mas Khair dan Tante," ucap Melody seraya menyodorkan rantang yang sepertinya berisi makanan pada Mama Reta. Ya, Bunda Soraya memang sering memberikan makanan pada Khair dan mamanya. Karena mereka memang sudah seperti kerabat."Khair kamu nggak mau cicipin?" Mama Reta meletakkan rantang yang dibawa Melody di meja dan membuka satu persatu isinya. Seketika aroma dari berbagai makanan menguar di udara. Sayang, Khair sudah kenyang."Nggak, Ma. Khair mandi dulu, gerah soalnya." Khair berlalu menuju rumah. Dia tidak ingin Melody semakin berharap padanya. Khair bisa me
Awas baper!"Khair, kamu benar-benar mau memberikan mahar ke Lena dan Pak Santoso sebanyak itu?" tanya Mama Reta setelah mereka sampai di rumah. Wajahnya tampak menginterogasi layaknya hakim yang sedang berhadapan dengan terdakwa. Sekejap kemudian, perempuan itu melempar tas-nya yang cukup bermerk dengan sembarangan."Iya, Ma. Memangnya kenapa?" tanya Khair polos. Dia sama sekali tidak merasa tindakannya adalah sebuah kesalahan."Awalnya memang Mama setuju, tapi kayanya kamu harus pikir-pikir dulu. Mahar 15 juta rupiah bukan uang sedikit, terlalu mahal jika diberikan pada wanita bekas orang lain," ujar Mama Reta. Nada suaranya terdengar mengejek, seolah Lena memang serendah itu di matanya."Ma, Lena jauh lebih berharga dari itu," tandas Khair."Terserah lah! Ini kalau orang sudah dibutakan sama cinta, pikirannya jadi nggak berfungsi dengan baik!" tukas Mama Reta sinis. Perempuan itu membenarkan letak kacamatanya deng
"Apa masih ada yang lain, Ai?" tanya Khair pada sekretarisnya. Kini dia sedang berada di kantor bersama Aida, untung ada pak satpam yang sedang berjaga. Sehingga mereka tidak hanya berdua saja.Khair terpaksa harus datang ke kantor malam-malam untuk menyelesaikan dan menandatangani berkas yang akan dipakai meeting besok pagi. Meja kerjanya tampak sangat berantakan, kertas dan dokumen berserakan di atasnya."Tidak ada, Pak. Sepertinya sudah selesai. Maaf, saya merusak malam pertama Bapak dengan Ibu Lena," ucap Aida seraya membereskan dokumen-dokumen kantor tersebut. Wajahnya tampak menyesal."Tidak masalah, kalau begitu saya pulang dulu. Kamu pesan taksi saja atau ojek online biar lebih cepat sampai rumah," tutup Khair seraya bergegas menuju pelataran kantor. Bukan Khair tidak ingin mengantar Aida, hanya saja dia harus menjaga perasaan Lena. Mengingat ini belum terlalu malam, masih banyak kendaraan dan angkutan umum yang lewat. Jadi kemungkinan Aida tidak terlalu
"Mana istrimu? Belum bangun?" tanya Mama Reta."Sudah kok, Ma. Sebentar lagi turun." Khair mengambil nasi dan mulai memasukkannya ke dalam piring."Kamu jangan diam aja dong, Khair! Kalau punya istri itu dinasehatin. Masa hari pertama jam segini belum turun juga. Mau sampai kapan dia malas-malasan kaya gitu? Bikin enek mama lihatnya. Apa gunanya punya istri kalau kamu melakukan apa-apa sendiri?" gerutu Mama Reta, tapi Khair hanya diam dan menikmati sarapan."Namanya juga pengantin baru, Nya," celetuk Bi inah."Halah!! Tahu apa kamu soal pengantin baru? Kayak pernah nikah aja!" ceplos Mama Reta.Bi Inah langsung diam. Apa yang dikatakan Mama Reta benar adanya. Dia memang belum pernah menikah sama sekali, meski usianya sudah semakin tua."Halo, Ma! Pagi," sapa Lena dengan senyumnya yang mengembang. Perasaannya sedang bahagia sebab berhasil menggoda Khair. Lena langsung menarik kursi, lalu mendudukinya. Tanpa Lena sadari
"Lebih baik Mas Khair keluar saja. Saya sedang ingin sendiri." Lena mendongakkan kepala, menatap sekeliling yang tampak buram akibat air mata yang menghalangi pandangannya."Baiklah! Tapi sebelumnya Mas ingin menanyakan satu hal padamu." Khair duduk di samping Lena, mensejajarkan dirinya dengan perempuan itu.Lena tidak menjawab, dia justru semakin terisak."Kenapa Lena mau menikah dengan Mas?" tanya Khair lembut. Lelaki itu mengusap pelan pundak istrinya."Karena saya ingin hidup dengan Mas Khair lah!" lirih Lena."Nah, jika Lena ingin terus hidup bersama Mas, ini adalah ujian yang harus dihadapi. Lena, perlu kamu tahu, pernikahan adalah perjanjian yang besar di hadapan Allah SWT dan orang-orang yang hadir untuk meng-aminkan doa kita. Semua yang terjadi di dalam pernikahan adalah pahala, ibadah terlama dalam hidup kita. Karena imbalannya surga maka ujiannya juga tidak mudah. Jadi, untuk bisa terus mempertahankan rumah
Khair yang sedang berpelukan dengan istri pertamanya sontak segera melepaskan tautan mereka. Khair berjalan menghampiri Melody dan diikuti Lena di belakangnya."Mel, lain kali kalau kamu mau masuk ke kamarku bisa tolong mengetuk pintu lebih dulu?" tanya Khair dengan lembut meski dia merasa risih dengan kehadiran Melody disaat dirinya tengah bermesraan dengan Lena."Mas, aku juga istrimu. Apa aku salah memasuki kamar suamiku tanpa izin?" tanya Melody dengan tatapan nanar."Tidak salah kalau itu kamarku sendiri! Tapi ini adalah kamar Lena, yang harus dijaga privasinya. Seperti Lena tak memasuki kamarmu sembarangan, begitu pun kamu harus menjaga privasinya!""Baik, maaf kalau aku lancang!" Melody menekuk wajahnya dan menunduk sedih. Khair yang melihat itu merasa kasihan dan mengelus kepala Melody."Tak masalah, lain kali jangan seperti itu lagi, ya," ucap lelaki itu.
Wajah Khair yang semula berbinar langsung berubah masam. Dia sangat terkejut mengapa rekan kerjanya bisa bersama Lena seperti itu. Apa lelaki itu mencoba menusuknya dari belakang?"Bohong, Mas. Ini nggak seperti yang dia ucapkan. Aku sama sekali nggak pernah janjian apalagi barengan belanja sama Azam," papar Lena yang seketika merasa lemas."Kamu ini bicara apa, Lena? Bukankah semalam kita teleponan gara-gara kamu kesepian. Karena Khair melakukan malam pertama dengan istri keduanya." Azam menyunggingkan senyum bahagia saat dia sedang berdiri di belakang Lena dan melihat Khair mengepalkan tangan."Kamu jangan bicara sembarangan lagi! Mas, dengarkan aku jangan percaya sama ucapannya. Dia sengaja ingin merusak rumah tangga kita," sahut Lena dengan tampang memelas."Sayang, udahlah jujur aja!" Azam merangkul pundak Lena.Seketika emosi Khair langsung meledak. Dia menggebrak mej
Pagi itu setelah Khair dipuaskan Lena dia pergi ke kantor dengan wajah semringah. Sementara Melody sengaja mengambil cuti dan berharap bisa berduaan dengan Khair. Karena mereka adalah pengantin baru yang masih hangat-hangatnya."Mbak, di mana Mas Khair?" tanya Melody setelah menghampiri Lena yang baru saja akan keluar untuk belanja keperluannya dengan Khair yang kebetulan ada beberapa yang telah habis."Mas Khair berangkat ke kantor sejak tadi pagi!" jawab Lena dengan tangan masih sibuk memasukkan ponsel juga dompet ke dalam tas.Rencananya dia akan belanja diantar sopir. Karena Khair sedang sibuk. Sebenarnya Lena sudah bisa mengemudikan mobil, dia beberapa kali diajari Khair dan sudah lumayan mahir. Sayangnya, Lena masih kurang percaya diri."Kerja? Kenapa nggak Mbak Lena larang, sih? Aku sama dia kan pengantin baru," protes Melody ketus.Lena mengembuskan napas kasar mena
Khair mengacak rambutnya frustasi, semua yang dikatakan Melody benar adanya. Namun, dia tak mungkin tega mengatakan semua itu padanya. Karena akan terlalu menyakitkan, tetapi bagi Khair dia memang butuh waktu setidaknya untuk menyentuh Melody.Rasa cinta untuk seseorang bisa saja hadir sebab terbiasa. Namun, ada juga yang bersama sekian lama, tetapi tak punya perasaan apa-apa.Cinta lebih mudah hadir kala hati masih kosong tanpa penghuni dan lebih susah untuk menggantikan nama seseorang yang telah lama bertahta.Khair menoleh menatap Melody yang menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut tebal. Bahu perempuan itu terlihat berguncang, isaknya terdengar keras di telinga Khair.Dia merasa kasihan, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Jika bukan karena permintaan sang mama juga persetujuan dari Melody dan Lena tentu dirinya tak mungkin menikahi perempuan itu.Khair tak akan m
Lena menelan saliva saat mendengar perkataan Aida, tidak bisa dipungkiri kalau dirinya juga merasa takut akan hal itu."Aku permisi dulu, Ai. Mau ngobrol sama tamu-tamu di luar," pamit Lena akhirnya. Dia tak ingin larut dalam pembahasan yang membuat hatinya semakin was-was.Sementara Aida merasa lega melihat ekspresi Lena yang berubah seperti itu. Artinya perempuan itu pasti memikirkan kalimatnya barusan.***Lena keluar dari kamar untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di ruang tamu. Hari telah berganti malam, dia tidak tahu saat ini Khair berada di mana. Padahal sebentar lagi azan maghrib akan segera berkumandang.Ceklek!Saat Lena membuka pintu dia berpapasan dengan Melody yang keluar dari kamar tamu. Perempuan itu tak sungkan mengenakan lingerie seksi di hadapannya."Mbak, gimana penampilanku cantik bukan?" tanya Melody yang sengaj
Hari berlalu begitu cepat, malam berganti dengan sangat singkat. Ujian sebenarnya telah di depan mata, Lena harus mulai melangkah menapaki pahitnya rumah tangga dengan hadirnya orang ketiga pun madu yang menemani kegiatannya."Saya terima nikah dan kawinnya Melody Fauziah binti Muhammad Mas'ud dengan mas kawin tersebut. Tunai.""Sah?" tanya penghulu kemudian."Saaah ...," jawab mereka serempak."Barakallahu laka wabaaraka alaika wajam'a bainakuma fii khair, aamiin yaa rabbal'alamin."Tes!Sebulir air mata meluncur cepat dari kelopak yang rasanya sedang tak mampu berkedip. Bibir yang mengatup rapat dengan serangkaian pandangan kosong, juga rintihan keras yang tak terdengar di dalam sana membingkai sebuah ijab qabul kecil yang hanya dihadiri saksi, tetangga dan keluarga.Sebuah ikatan yang seharusnya menjadikan dua insan bahagia, tetapi tid
"Kamu harus mengerti Mel, kalau nggak semua yang kamu inginkan bisa kamu dapatkan," tutur Bunda Soraya pada putrinya saat Khair dan keluarganya telah pulang."Kamu harus menghargai keputusan Abah juga belajar mengerti perasaan istri pertamanya. Bagaimana seandainya suami yang begitu kamu cintai dan mencintaimu akan menikah dengan orang lain?" tanya Bunda Soraya.Melody mengerungkan wajahnya. "Aku tidak peduli apa pun lagi, Bun. Kalau keputusan Abah sudah bulat, aku juga sama. Aku tak akan menikah dengan lelaki mana pun selain Mas Khair," jawab perempuan itu."Cinta itu bisa datang setelah ikatan kalian halal. Lihatlah Abah dan Bunda, kami dijodohkan tapi cinta itu bersemi justru setelah akad terlaksana," papar Bunda Soraya berharap putrinya mengerti akan keadaan."Mudah saja karena waktu itu Bunda tak mencintai siapa pun. Sementara aku sudah memiliki Mas Khair dalam hatiku," sahut Melody.&nbs
Pagi jatuh lagi di kota ini. Dengan angin bertiup semilir juga sinar mentari yang begitu cerah. Burung-burung berkicau riang, pepohonan melambai dengan santai menandakan begitu luasnya ciptaan Yang Mahakuasa di bumi pertiwi ini.Beberapa hadiah yang telah dibungkus cantik duduk rapi di atas meja. Hari ini akan menjadi awal kisah dan perjuangan Lena yang baru."Nak Lena, boleh Abah bertanya sesuatu?" Suara bariton milik Abah Mas'ud terdengar begitu menggelegar di telinga Lena.Tentu saja dia sudah tahu apa yang akan ditanyakan lelaki paruh baya yang dipenuhi wibawa itu."Silakan, Bah," jawab Lena seraya menunduk sopan.Berhari-hari dia telah menyiapkan diri untuk melakukan acara peminangan ini. Melewati ribuan detik melawan sepinya hati. Lena sangat terluka, tetapi tak akan membiarkan siapa pun melihat luka itu."Begini, terus terang
Katanya cinta bisa membuat yang sulit menjadi mudah. Lalu, mengapa kisah cinta Lena begitu menyesakkan?Rasa yang luluh lantak masih terus dia perjuangkan pada malam-malam senyap. Rindu-rindu yang sebentar lagi terbagi masih tetap dia semai.Mengalah bukanlah hal mudah saat dia baru saja mereda dari rasa dahaga bernama kasih sayang. Merelakan adalah hal yang menyakitkan, apalagi merelakan suami yang begitu mencintainya.Tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu saat tubuhnya memerlukan selimut hangat, dan kini mertuanya justru membencinya.Bukankah ini terlalu pedih bagi perempuan yang ingin berubah menjadi lebih baik, perempuan yang pernah terjebak pada dosa kelam dari masa lalu yang hitam."Sepertinya wajah istrimu tak asing," ucap Azzam sambil melirik Lena yang sedari tadi tak berani menatapnya."Oh, ya? Mungkin karena aku sering mengajaknya keluar, Ba